Renita mengetahui fakta bahwa kekasih yang selama 5 tahun menjalin hubungan dengannya telah selingkuh. Lebih mengejutkan lagi kekasihnya itu selingkuh dengan ibu tirinya. Ayah kandung Renita tidak bisa menerima itu dan mengalami sakit jantung. Dengan keterputusaan, Renita menyewa seorang pengamen jalanan untuk menghiburnya. Aldo Pratama pria arrogant dan menyebalkan di kantor. Dalam pertemuan keduanya mereka tidak saling mengenal. Aldo selalu membuat diri Rere kesal saat bekerja di kantor. Aldo mempunyai calon istri bernama Celine. Di saat itu Aldo mulai tertarik kepada Rere dan si kecil Kenan. Lalu bagaimana Aldo akan menghadapi kisah cinta di antara mereka.
View MoreI still remember the first time I saw them. At the time, I had no idea how significant it would be in changing the direction of my life, but within a matter of weeks from that day, it became quite clear that a turning point had occurred. I probably should’ve recognized the importance when it happened. It’s not as if it was an ordinary event, after all, but at the time, I chalked it up to something strange, something unexpected, and went on about my day. Until the next afternoon when everything began to change, and my life spiraled out of control.
It was a Sunday morning. Like usual, my stepdad, Max, was making breakfast for the family. The scent of bacon coated my lungs as I entered the kitchen, my mouth already watering. No one makes bacon and eggs like Max. I remember, my mom, Helena, and my younger sister, Grayson, were seated at the table, chatting about an assignment my sister needed to complete for her history class the next day. The school year was almost over; it was May, and we only had three weeks left. I remember distinctly that it was May 14, the day before my seventeenth birthday.
“Come have a seat, Harlow,” my mother said to me as I sauntered in, my eyes slitted as I concentrated on the savory smell of the cooking meat. I would have gone directly over to the cozy dining area in the corner of the kitchen, like normal, if something out the window hadn’t caught my attention. We lived in California at the time, just outside of Sacramento, a populace place. While our house was small and our yard was anything but big, it backed up to a green belt of sorts--not that much of anything was green there. Large rocks and a few scraggly trees were visible from the kitchen window. Nearer the house, there was a thin strip of brownish grass and our old swing set, which Grayson and I hadn’t used for about a decade. At first, I assumed the movement I caught out of the corner of my eye was just a swing blowing in the breeze, but when I turned my head, I realized that wasn’t it at all.
I only saw one of them at first. He was a dark gray, large, so large, in fact, that his shoulders towered above the swings, which were rocking back and forth but not due to the wind. Rather, he had bumped them as he made his way through. I froze, taking a few steps closer to the window, which was directly across the room from where Mom and Grayson sat, their backs to the scene that had caught my attention. I was drawn to the window, but not out of fear, more out of curiosity.
I remember standing there with my hand pressed to the glass, as if I thought he might be about to say something to me, not that it seemed like a possibility at the time. He sat down, resting back on his haunches, his blue eyes penetrating through the window and into my soul. I stared back, trying to comprehend what I was seeing. It wasn’t as if it was an alley cat or a stray dog sitting in our back yard, staring at me. It was a wolf--a large one. A menacing wolf, with sharp canines protruding from his mouth, his fur dark, the mane around his mammoth head shaggy in a way that made him seem even more dangerous, the tufts coming to points at the end. His snout was mostly white, which contrasted with the red from his mouth and his saliva covered tongue that darted out between those sharp, white teeth every few seconds.
“What are you looking at?” The sound of my mother’s voice, full of alarm, should’ve jarred me out of my stupor, made me realize that what I was looking at was unnatural, especially where we lived. Perhaps this sort of thing might’ve been more common in the woods or near a mountain range, but even then, looking back now, I should’ve realized how strange the situation was.
But I didn’t. I didn’t even answer my mother. I just stared out the back glass for a few more moments until I realized there was a second wolf. This one was standing on the ridge above our yard, on the other side of the fence. I’m not sure how I knew that the smaller, brownish red wolf was a female and the other a male. It might’ve been their size, but there was just something about her that exuded female. When she made a high pitched yipping sound, as if she was calling him to come on, he didn’t move at first, his eyes still trained on my face. It wasn’t until the second, more urgent yelp that he began to move. Even then, he paused before he climbed up the hill to turn and look at me. He’d taken the fence in one easy leap, stopping atop the rocks behind the house to look me in the eye once more, lick his lips with that long red tongue, and then follow the female out of sight.
Once they were both gone, I found myself staring at nothing, blinking, trying to gain enough control over my mouth to answer the questions coming from all three of my family members. Max’s voice broke through my delirium. “Harlow? What are you staring at?”
“Oh,” I’d said, shaking my head to clear it. “Nothing. I mean… something.” It was then that it dawned on me that it was all so unusual. “Wolves,” I said, trying to keep my tone nonchalant. I turned then, expecting them to tell me I was crazy.
It was only my sister who said, “What? Wolves?” My parents exchanged a look that said more than I realized at the time and then went on about our day as if nothing had happened.
“Come sit down,” Mom said again, pulling a chair out for me. Her smile was forced, but I didn’t notice because I was still thinking about the wolves, the way the male seemed to be staring at me, as if he were a person, as if he had something he wanted to say to me, something he wanted me to know.
Again, I tried to shake it off and go on about my day. Within an hour or two, it had slipped my mind, and I was able to have a normal Sunday, spending time with my family, talking to my friends online. Nothing else unusual happened that day. It wasn’t until the next day that the world began to fall apart in a way I never would’ve thought possible.
"Pinggangku," rintihnya. Kenan meraih handycam yang tadi ia letakkan di kursi rotan di dalam kamar. Ia memutar isi dalam rekaman itu. Kenan bernapas lega karena Liora tidak sempat dilecehkan oleh keempat pria jahat itu. Kenan keluar dari dalam kamar kapal. Masih ada beberapa anak buah Aldo yang menunggu majikannya keluar. "Kalian siapkan mobil. Aku mau pulang," kata Kenan. "Siap, Tuan," ucap salah satu pria yang bertubuh kekar dan alisnya tebal. Pintu kamar diketuk oleh pengawal tadi. Kenan beranjak membuka pintu. "Sudah siap mobilnya?""Sudah, Tuan." "Tolong bawa istriku ke mobil," pinta Kenan dengan mempersilakan pria itu masuk ke dalam kamar. "Baik, Tuan." Pria itu masuk dan sedikit heran dengan kondisi Liora. Pria itu ingin tertawa namun ia menahannya. "Cepat bawa," kata Kenan kesal karena pengawal itu memperhatikan istrinya. "B-baik, Tuan." Mata tajam Kenan tidak lepas dari pengawal yang membawa istrinya. Takutnya pria itu mencuri kesempatan yang ada. Pintu mobil sudah
"Jangan mendekat," lirih Liora dengan memegang pecahan kaca di tangannya. Ia harus tetap sadar. Liora harus mempertahankan segala kehormatannya. "Cepat lakukan sebelum wanita ini ditemukan," perintah Angel. Dua pria lain sudah membuka celana yang mereka kenakan. Keduanya menunggu giliran. Liora bergeser untuk menjauh dari dua pria itu. Namun dua pria itu semakin mendekat. "Ayo, Sayang. Kita bermain-main," ucap keduanya. Pria yang mempunyai gambar bintang di lehernya mendekat. Ia hendak meraih rambut Liora namun dengan cepat Liora melayangkan pecahan kaca ke tangan pria itu. "Ish ... kurang ajar. Berani sekali wanita ini. Sudah terluka masih bisa melukai lengan tanganku," berangnya. Liora mengacungkan pecahan kaca yang ia pegang. "Jangan ada yang mendekat.""Hei ... kenapa kalian lamban sekali," kesal Angel. "Cepat lakukan." Dua pria itu menendang tangan Liora yang mengacungkan pecahan gelas kaca. Pecahan itu terlempar dan keduanya memegang lengan Liora. "Lepaskan." Liora mero
Kenan dan Aldo telah sampai di perusahaan. Keduanya langsung saja masuk ke dalam lift menuju lantai paling teratas gedung perusahaan. Di atas sana Doni dan beberapa anak buah Aldo sudah menunggu. Pintu lift terbuka. Kenan dan Aldo keluar. Keduanya menuju pintu darurat. Kenan bersama Aldo menaiki anak tangga hingga tibalah mereka di atas atap gedung. Angin berhembus kencang meniup rambut para pria yang berada di atap. Itu disebabkan karena baling-baling helikopter tengah berputar. "Semuanya sudah siap?" tanya Aldo. "Sudah, Tuan," jawab Doni. "Kapan bantuan datang?""Bantuan sudah dalam perjalanan.""Kita berangkat sekarang. Aku takut istriku terluka."Kenan, Aldo, serta Doni serta satu anak buah mereka naik ke dalam helikopter yang bermuatan enam orang. Setelah semuanya naik dan bersiap. Helikopter pun lepas landas. *****Angel duduk di pangkuan Ardi. Ia memegang segelas minuman berwarna coklat. Tangannya menjelajahi tubuh bidang Ardi yang polos. "Malam ini aku tidak mau bermain
"Mau kalian bawa ke mana aku?" tanya Liora. "Diam saja. Nanti kamu juga akan tahu," kata pria yang duduk di kursi depan mobil. Liora terdiam namun jantungnya berdegup kencang saat ini. Rasa takut tentu saja ada dalam benaknya. Liora paham maksud dari arti penuturan Kenan tadi. Suaminya itu menyiratkan kata-kata dalam sebuah adegan film action. Meski Kenan mengajak keempat pria tadi berkelahi. Tentu saja Kenan akan kalah dan pasti tubuhnya akan babak belur. Pada akhirnya pun Liora akan tertangkap juga. Kenan memberinya kode agar menyerahkan diri saja. Liora menuruti perintah suaminya dan percaya jika Kenan akan secepatnya menyelamatkan dirinya. Mobil sampai ke sebuah pelabuhan. Keempat pria itu turun begitu juga dengan Liora. Ia digiring menuju kapal. Sepertinya Ardi memang memiliki kapal itu. "Ayo naik," perintah pria yang sudah membuka topeng wajahnya. Liora dapat melihat jika pria itu memiliki lukisan tubuh bintang di lehernya. Liora naik ke kapal bersama keempat pria itu. Se
Kenan membawa tubuh Liora yang kelelahan. Keduanya keluar dari kamar mandi. Telapak jari Liora berkerut karena kedinginan. Kenan seakan tidak ada hari esok untuk mengempur sang istri. Bibir Liora bergetar karena kedinginan. Kenan membungkus tubuh istrinya dengan selimut tebal. Rambut Liora yang basah juga ia bungkus dengan handuk."Kamu mau makan apa? Biar aku pesankan," ucap Kenan. "Terserah!""Kamu masih marah?" tanya Kenan. Bagaimana Liora tidak marah. Kenan tidak membiarkannya istirahat. Pinggangnya saja terasa sakit. Belum lagi air dingin yang menguyur tubuhnya. Perutnya juga terasa sangat lapar. Namun Kenan malah menunda-nunda keinginannya untuk makan. Suaminya itu semakin mengila saja menghujam dirinya. Kenan memeluk Liora yang terbungkus oleh selimut tebal. "Maaf, Sayang. Namanya juga pengantin baru."Liora mendengus. "Biarkan aku istirahat dulu dan makan. Semua tubuhku sakit, perutku lapar dan aku mengantuk ingin tidur."Kenan terkekeh. "Iya, Sayang."*****Ardi mengge
Kenan menoel-noel lengan Liora. Istrinya tengah tertidur pulas. Liora sempat membersihkan dirinya sebelum tidur. Kenan juga meminta kepada pelayan hotel untuk menganti seprai mereka yang sudah kotor."Sayang ... ayo bangun. Kita main lagi," bisik Kenan di telinga sang istri.Liora tidak bergeming. Ia tertidur pulas dengan memeluk guling dalam dekapannya. Kenan kembali menoel-noel pipi Liora. Berharap istri tercintanya itu mau bangun dan melayani hasratnya."Sayang ... ayo," ajak Kenan dengan kata lirih.Kenan mendusel wajahnya di tengkuk belakang Liora. Ia memberi gigitan kecil supaya istrinya itu terbangun. Liora mengeliat karena merasa terganggu."Ayo tidur, Ken. Aku sudah lelah." Liora menarik selimut tebalnya dan meringkuk dengan memeluk bantal guling."Jangan tidur. Aku masih ingin bermain," rengek Kenan bagai anak kecil."Besok masih bisa. Malam ini tidur dulu. Kamu tidak capek apa?" tanya Liora dengan mata terpejam."Sayang ... ayo," rayu Kenan.Liora membalik tubuhnya menghada
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments