Share

Ketakutan Sinta

Mentari terbit laksana memberikan senyuman yang menarik diri untuk bangun dari keletihan yang memaksa diri untuk bergerak. Alana terbangun dari tidurnya yang nyaman saat merasakan sinar mentari menerpa wajah dan menyilaukan matanya menembus balik tirai. Membuatnya jadi kesal sendiri tak dapat lagi memejamkan matanya. 

Saat Alana bangun dari tempat tidurnya, ia memegang kepalanya yang terasa sakit. “Aduuh, kepalaku nyeri deh.” 

Alana turun dari tempat tidurnya merasakan pusing dibagian belakang kepalanya semakin menjadi-jadi. Ia menyesal tadi malam minum-minuman beralkohol terlalu banyak membuat ketidakseimbangan elektrolit dan dehidrasi menyebabkannya sakit kepala. 

Dengan memegang tengkuknya, Alana berjalan menuju ruang tamu sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling ruangan di rumah kontrakannya. Ia melirik kamar Sinta penasaran apakah sahabatnya sudah bangun atau belum. 

“Sin… Sinta.” Alana mengetuk pintu sambil memanggil nama sahabatnya. 

Tapi tidak ada jawaban dari Sinta. Ia mengernyitkan dahi nya tak seperti biasa sahabatnya tidak merespon panggilannya. Ia kembali memanggil Sinta. 

“Sinta… kamu udah bangun belum? Udah sarapan belum?” tanya Alana. 

Namun, tak kunjung ada jawaban dari Sinta, ia pun memilih untuk menuju dapur. Tapi tiba-tiba ia merasa mual dan ingin muntah dengan cepat menuju kamar mandi untuk mengeluarkan semua isi yang ada di dalam perutnya. 

“Tau begini aku ga minum banyak deh. Penyesalan selalu datang terlambat,” keluh Alana sambil memegang perutnya. 

Wajah Alana jadi pucat, tapi nyeri kepalanya tak kunjung juga membaik. Ia membuat segelas teh hangat untuk meredakan sedikit nyeri yang menderanya sekalian juga membuatkan teh untuk Sinta. 

“Sin… Sinta… kamu baik-baik aja? Aku buatin kamu teh nih.” Alana memanggil Sinta agar keluar kamarnya. 

Namun, seperti sebelumnya tak ada jawaban dari Sinta. Alana hanya menarik napas mencoba mengerti mungkin Sinta sedang tidak ingin diganggu. Ia berjalan menuju sofa dan mengambil remote televisi, mencari berita gosip agar lebih tahu tentang perkembangan artis-artis terbaru. 

Terdengar suara pintu kamar Sinta terbuka membuat Alana menoleh ke belakang. Sinta keluar kamar sambil membawa handuk yang diletakan di pundaknya. 

“Sin dari tadi aku panggil-panggil kamu kok ga keluar kamar? Apa kamu sakit?” tanya Alana khawatir pada Sinta. 

“Aku ga apa-apa kok.” Jawab Sinta. 

“Sini minum dulu. Nih, aku udah buat teh.” 

“Iya nanti aku minum. Aku mau mandi dulu.” 

Sinta segera berlalu dari hadapan Alana dan Alana juga tidak mempermasalahkannya. Cuman ia merasa Sinta pagi ini agak aneh, tidak seperti biasanya. 

“Mungkin Sinta pusing kali ya,” ucapnya kembali fokus melihat berita artis-artis Indonesia. 

Sinta di dalam kamar mandi hanya diam mematung. Masih terekam jelas dalam ingatannya tentang bagaimana gadis kecil yang bersimbah darah tergeletak di jalan. Ia tak dapat melihat dengan jelas wajah gadis kecil itu, rambut panjang gadis itu menutupi wajahnya. 

Bulir-bulir air mata terjatuh di pipi Sinta. Ia sangat ketakutan dan merasa sangat berdosa akibat menyetir secara ugal-ugalan menyebabkan nyawa orang lain melayang. Ia menatap tangannya dengan menangis terisak-isak. Kenapa ia bisa begitu bodoh melakukan perbuatan yang tidak manusiawi seperti itu? 

Dengan langkah gontai Sinta keluar dari kamar mandi dan melihat berita tentang tabrak lari yang dilakukan oleh orang tak bertanggung jawab. Matanya terbelalak saat tahu kalau gadis kecil itu lah yang telah ditabraknya. 

“Kasian banget kamu gadis kecil.” Terdengar suara Alana yang juga menonton berita di televisi. 

Sinta menjadi semakin ketakutan. Ia bergegas masuk ke dalam kamarnya membereskan semua bajunya di dalam koper. Ia harus segera pergi meninggalkan rumah kontrakan, jangan sampai ketahuan kalau ia lah pelaku yang sebenarnya. Namun, ia bimbang jika pergi nanti malah Alana yang akan dituduh melakukan tabrak lari. 

“Aku harus bagaimana? Kasian Alana,” ucapnya ragu. 

Air mata Sinta kembali menetes di pipinya. Ada perasaan yang tidak enak hinggap di hatinya, tapi ia juga takut. 

“Aku pergi ajalah daripada nanti aku yang masuk penjara. Alana kan punya orang tua pasti nanti dibantu orang tuanya kalau aku hanya akan menderita sendiri di penjara. Lebih baik aku kabur aja.” 

Sinta mengambil ponselnya untuk menghubungi taksi online. Setelah memastikan taksi online sudah berada di depan rumah ia segera keluar kamar membawa koper besar. Alana mengernyitkan dahinya saat melihat Sinta keluar kamar dengan koper besar seperti orang yang mau pindahan. 

“Sin, mau ke mana?” tegur Alana. 

Sinta menatap Alana dengan sedih lalu berkata, “maaf Lan, aku baru mau memberitahukan kalau aku harus segera pulang ke Klaten.” 

“Kenapa? Kok tiba-tiba banget kamu mau pulang ke Klaten?” Alana menatap Sinta heran. 

“Lan, sebelumnya aku mau minta maaf sama kamu,” ucap Sinta tanpa menjawab pertanyaan Alana. 

“Minta maaf? Kenapa kamu minta maaf?” 

“Pokoknya aku minta maaf sama kamu. Kamu harus kuat dan aku percaya kalau pasti bisa melewati semua masalah yang ada.” 

“Kamu kenapa sih, Sin? Sumpah deh kamu aneh banget.” 

“Aku ga apa kok, Lan.” Sinta langsung memeluk Alana dengan erat. Ia merasa bersalah. 

Setelah itu Sinta melepaskan pelukannya dari Alana. Menatap wajah Alana yang terlihat bingung. 

“Terus sekarang, kenapa kamu mau pulang ke Klaten? Kita masih ada kuliah loh,” ujar Alana. 

“Ayah dan Ibu ku sakit, jadi aku harus segera pulang ke Klaten. Kamu jaga diri baik-baik yaa, Lan. Aku memohon maaf sebesar-besarnya sama kamu.” Sinta berlalu pergi tanpa menunggu jawaban dari Alana yang tampak kebingungan. 

Brak!!

Terdengar suara bantingan pintu yang membuat Alana terhenyak sambil mengelus dadanya sendiri. Ia menggelengkan kepalanya agar tetap kembali pada kewarasannya. 

“Kenapa Sinta bilang Ayah dan Ibunya sakit? ‘Kan Sinta anak yatim piatu?” Alana jadi kebingungan sendiri. 

“Apa Pakde sama Bude nya kali yak yang dimaksud sama Sinta? Memang sih Sinta dibesarkan sama mereka, mungkin aja kali udah dianggap kayak ayah dan ibunya sendiri.” Alana mencoba untuk mempercayai keyakinannya sendiri. 

“Ah, sudahlah. Kalau Sinta bohong, apa ya alasannya bohong,” ujar Alana jadi penasaran sendiri. 

Terdengar suara bunyi keroncongan dari perutnya. Dari tadi ia belum makan apapun hanya segelas teh hangat. 

“Sudahlah aku ga usah memikirkannya lagi. Mending makan aja dulu, aku susah berpikir kalau kelaparan abis makan baru deh molor lagi.” 

Dengan semangat Alana menuju dapur membuat sebungkus mie instan dimasak bersama telur dan potongan cabai agar lebih terasa pedas membangkitkan selera makannya. 

“Paling enak kalau makan sambil nonton tv nih,” ucapnya sambil membawa mangkuk mie instan. 

Alana sambil meniup mie melihat lagi berita kecelakaan yang tadi sudah dilihatnya. Ia mengganti berkali-kali chanel televisi, tapi lagi-lagi mengenai kabar meninggalnya gadis kecil di jalan Simatupang, Jakarta. Ia terkejut saat mengetahui kalau korban tabrak lari tersebut merupakan cucu dari Adiwangsa Group. Salah satu perusahaan properti, mall di Indonesia. 

“Pantesan diberitakan di mana-mana, lah cucu orang kaya raya begitu,” gumam Alana. 

“Tapi kenapa tuh cucu orang kaya raya bisa jalan tengah malam sih? Masa berusia 6 tahun bisa berkeliaran sendirian begitu tanpa pengawasan. Beneran aneh deh.” 

Alana kembali melihat berita di televisi yang menampilkan wajah cantik gadis kecil dengan rambut panjang tampak menggemaskan. Ia menjadi ikutan sedih dengan kejadian tragis yang menimpa anak berusia 6 tahun tersebut. 

“Sialan bener nih yang nabrak! Ku sumpahin yang nabrak hidupnya membusuk di penjara biar mati disiksa para tahanan. Untung aja ada cctv di sana biar cepetan ditangkap tuh orang laknat,” ucap Alana puas. 

Setelah menghabiskan semangkuk mie instan dan perutnya jadi kenyang. Alana berencana untuk melanjutkan tidurnya, lagi pula ia sedang tidak memiliki jadwal kuliah hari ini jadi bisa tidur seharian penuh. 



Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status