25Alexander bangkit, tak tega rasanya melihat sang anak terus seperti ini. Lelaki itu hendak keluar ruangan, saat ponselnya terasa bergetar. Dengan sigap, tangannya merogoh benda itu dari dalam saku. Matanya berbinar melihat nama Jo, si tangan kanannya yang menelepon. "Halo, Jo. Bagaimana, apa kau sudah menemukan wanita itu?" tembaknya langsung sesaat setelah benda itu menempel di telinganya. "Kabar baik, Boss. Kami sudah menemukannya." Jo mengabari dengan antusias. Bagaimanapun, semua orang ingin agar Aira kembali dan bayi Alister sehat seperti biasa. Agar boss mereka tidak lagi uring-uringan seram. "Di mana?" Alexander tak kalah antusias. "Di klinik kecil tak jauh dari rumah boss.""Apa?" Kening lelaki itu berkerut. "Apa yang dia lakukan di sana?""Anaknya dirawat di sana, Boss. Bukankah saat pergi, anaknya memang sakit? Bodohnya aku tidak terpikir ke sana. Kalau saja ….""Ya, sudah. Kau awasi terus, tahan jangan sampai ia pergi lagi!" Alexander berkata cepat. "Apa perlu aku
26"Kenalkan dokter, saya ayah dari anak Raka Faisal. Saya ingin memindahkan Raka ke rumah sakit yang lebih lengkap. Apa bisa, Dok?" tanya lelaki itu dengan sangat mantap dan meyakinkan. Dokter senior yang juga kepala klinik di sana memicingkan mata. Mengamati lelaki yang duduk di depannya. Lelaki yang tak lain Alexander. "Kenapa mau dipindahkan, Pak? Apa pelayanan kami kurang memuaskan? Dari diagnosa saya, anak Raka hanya demam biasa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tidak harus pula melakukan pemeriksaan lanjutan. Demamnya juga sudah turun per pagi ini. Bahkan besok pagi kalau tidak demam lagi, sudah boleh pulang. Saya tidak bisa merujuk karena tidak perlu juga dirujuk ke rumah sakit besar." Dokter senior menatap Alexander dengan seksama. Rasanya janggal orang tua pasien meminta anaknya dipindah ke rumah sakit besar. Padahal tidak ada hal serius. Dokter itu membuka rekam medis Raka. Di mana di sana hanya tertera nama Aira Andriani sebagai penanggung jawab anak itu dalam biodat
27"Sayang, sudahlah! Jangan menghalangi perawat yang sedang bekerja. Kita pindahkan saja Raka ke rumah sakit besar. Alister juga dirawat di sana. Biar kita sekalian merawat anak-anak kita bersama. Di sana juga ada babysitter yang akan membantu, kamu tidak akan terlalu capek." Alexander mulai dengan aktingnya. Suaranya terdengar sangat lembut dan memelas. Sungguh meyakinkan. Bahkan agar semakin meyakinkan, lelaki itu ingin merengkuh pundak Aira yang matanya melotot dan spontan menepis tangan lelaki itu. Seperti yang sudah Alexander kira, wanita itu tentu sangat marah. Apalagi saat ia ingin menyentuhnya. Untunglah sudah berhasil meyakinkan dokter senior. Hingga tampak sekali kalau Aira benar-benar istri yang sedang marah pada suaminya. Wanita itu menggeser tempat agar tak terlalu dekat dengan Alexander. Dokter senior tersenyum melihat tingkah Aira. Begitulah wanita bila sedang merajuk. Bahkan suka pura-pura tak ingin disentuh. "Ibu, nanti urusan dalam negerinya diselesaikan di ruma
28"Kenapa tidak membunuh kami sekalian, Tuan besar?" tanya Aira dingin begitu sudah berada dalam mobil. Wanita itu dengan terpaksa mengikuti kemauan Alexander masuk ke dalam mobilnya pasca sandiwara lelaki itu berhasil meyakinkan dokter dan semua orang, hingga Aira merasa terpojok. Rasa dongkol begitu meraja, tetapi ia tak mungkin berteriak. Raka yang terbangun paksa karena merasa tubuhnya terguncang, terus memperhatikan seluruh sudut mobil dan orang-orang di dalamnya. Untunglah bayi itu tidak menangis, hanya terus saja memperhatikan ke seluruh sudut, dalam dekapan Aira. "Tidak sekarang! Nanti ada masanya. Sekarang aku masih membutuhkan air susumu untuk kelangsungan hidup anakku," jawab Alexander ringan. Nada suaranya kemblai dingin, tidak selembut saat bersandiwara tadi. "Anda pikir aku masih mau menyusui anak Anda setelah semua yang Anda lakukan pada kami?" tanya Aira lagi dengan suara penuh tekanan, tetapi berusaha tidak bersuara keras, agar Raka tidak kaget. Wajah Alexander
29Aira bersyukur anaknya bisa sekuat itu. Wanita itu tersenyum dan ingin menghampiri ranjang Raka, saat dari sudut lain terdengar rengekan lemah. Aira spontan menoleh, dan pemandangan mengenaskan langsung tertangkap matanya. Alister terbaring lemah dengan selang infus terhubung ke salah satu kakinya. Suara bayi itu sangat lemah, wajahnya pucat, sorot matanya layu, kedua tangannya yang lemah terangkat meminta Aira datang padanya. Sungguh, hati Aira tersayat karenanya. Bagaimanapun, Alister sudah seperti anaknya sendiri. Dalam tubuh bayi itu sudah mengalir darahnya. Ia sangat menyayangi anak susunya. Namun, mengingat perlakuan Alexander yang begitu tega kepada Raka. Aira gegas membuang pandangan dari Alister, hanya agar tak terlihat matanya berkaca-kaca. Wanita itu segera berjalan menuju ranjang Raka yang letaknya di pojok berseberangan dengan ranjang Alister. Ia mencoba tidak peduli dengan Alister walaupun hatinya menjerit sakit melihat keadaan bayi itu. Kalau Alexander saja bisa se
30Alister seperti menemukan dunianya kembali. Bayi itu itu terus saja menempel dengan Aira. Seolah takut kalau ibu susunya akan pergi lagi. Seperti sebuah pembalasan juga, ia terus menyusu dengan rakus. Bahkan lagi-lagi, Aira harus menyusui dua bayi sekaligus bila Raka juga lapar. Hanya saja, karena Raka sudah dibantu MPASI, jadi menyusunnya tidak serakus Alister. Terlebih Raka mau dibantu dengan susu botol. Raka juga seperti bahagia kembali bertemu pengasuhnya yang sudah seperti ibu kedua baginya. Karena kenyataannya, bayi tujuh bulan itu lebih banyak diasuh Dita daripada Aira sendiri. Sebersit penyesalan hadir di hati Aira. Ia sudah melukai hati kedua bayi saat memutuskan pergi kemarin. Raka yang terpisah dari Dita. Dan terutama Alister yang sangat kehilangan dirinya. Namun, bukan tanpa alasan kalau Aira pergi, bukan? Kearoganan Alexander yang membuatnya menjadi ibu berhati tega. Kini, di hadapan dua bayi dan dua pengasuhnya, Alexander sudah merendahkan dirinya. Bersimpuh memoh
31"Aira, dipanggil Pak Boss ke ruangannya." Hasna yang masuk ke ruang bermain langsung membawa kabar yang membuat kening Aira berkerut dalam. Dipanggil Pak Boss? Ke ruangannya? Ah, itu artinya mereka akan berada di satu ruangan, dan tidak mungkin Aira terus membisu di sana. "Ada apa, ya, Bu?" tanya Aira heran. Hasna hanya mengangkat bahu. "Akun tidak tahu, Pak Boss hanya memberi perintah agar kau segera ke sana," jawab Hasna seraya ingin berlalu. Namun, segera berbalik saat menyadari Aira masih diam di tempatnya. "Apa yang kau tunggu? Jangan tunggu dia marah!" Hasna mengangkat kedua alisnya. Aira mengembus napas kasar sebelum menyerahkan Baby Al yang tengah duduk bersandar ke tubuhnya, ke pangkuan Nina. Aira memang sudah mengajarkan Alister untuk duduk. "Oh, ya. Baby Al bawa saja ke sana," lanjut Hasna sebelum meninggalkan ruang khusus bermain. Aira, Nina, dan Dita saling pandang. Sebelum kedua babysitter itu tersenyum geli melihat wajah Aira yang tegang. "Sudah cepetan, nant
32Aira masih berdiri di tempatnya. Menatap heran lelaki yang seenak jidatnya menambahkan poin yang menurut Aira … ah, entahlah. Kedengarannya lucu, tetapi Aira tidak ingin tertawa. "Silakan tandatangani lagi kontrak kerja ini!" Alexander meletakkan kembali kertas yang ia baca ke atas meja kemudian sebuah bolpoin diletakkan juga di atas kertas itu. Setelah sekian lama mematung, Aira menggeleng keras. Ia tentu keberatan dengan dua poin baru yang ditambahkan Alexander tanpa membicarakan dulu dengannya. "Maaf, Tuan. Tapi saya tidak bisa menyetujui dua poin tambahan itu!" ujar Aira tegas. Membuat kening Alexander berkerut. "Kenapa?""Karena dua poin itu terlalu mengada-ada. Tidak masuk akal. Tidak seharusnya hal seperti itu dimasukkan kontrak!" Aira mulai lagi mendebat Alexander. Ia lupa kalau sedang menjalankan aksi tutup mulut. Alexander tersenyum senang. Senyum yang akhir-akhir ini sering sekali terlihat di wajahnya. Tidak seperti saat awal-awal Aira bekerja di sini. Alexander te