"Aku dengar kalau hari ini kamu bikin masalah lagi ya,Nara? Berapa kali harus kuingatakan kalau ibu punya darah tinggi? Seharusnya kamu bisa lebih jaga emosinya!"
Suara Bang Galih menyambut ku saat ia baru pulang kerja. Tanpa bertanya kabarku. Tanpa sekadar menanyakan bagaimana hariku berlalu. Ia langsung menuduh, langsung memarahiku. Aku tersenyum kecut. Aku tahu ini ulah Adel. Wanita itu memang hobi sekali memprovokasi suamiku hingga kami bertengkar.
"Apa Adel yang mengadu padamu tentang kejadian tadi siang?" tanyaku dengan nada pelan. Bang Galih tengah emosi. Kalau aku bicara dengan nada tinggi aku takut berujung dengan pertengkaran hebat yang melibatkan kedua orangtuanya juga. Aku lagi pasti yang disalahkan nanti.
"Enggak penting siapa yang ngadu. Toh kabar itu benar, kan?" jawab Bang Galih kemudian.
"Salah ya Bang kalau aku cuma ingin Adel menjauh darimu? Dia itu punya suami tapi kenapa setiap hari sibuk mengurusi suami orang?" ucapku dengan mata berkaca-kaca menahan semua emosi yang sudah lama ku pendam.
"Dia enggak akan sibuk ngurusi aku kalau kamu becus jadi istri!"
Jawaban itu menghantam perasaanku. Hatiku seolah remuk berkeping-keping.
"Aku bukannya enggak mau masakin kamu, Bang. Tapi kamu tahu sendiri, setiap aku masak tak ada yang mau menyentuh makananku termasuk kamu. Padahal Sofia bilang masakanku enak tapi tetap saja kalian tak mau memakannya. Lalu kenapa semua orang terus menyalahkanku seolah-olah aku ini pemalas, enggak berguna!"
Suamiku terdiam, aku pun melanjutkan ucapanku, "Aku selalu berusaha menjadi menantu yang baik. Aku bangun paling awal dan mengerjakan semua pekerjaan rumah kecuali memasak itupun aku punya alasan kuat kenapa aku tak melakukannya, tapi kenapa kalian tetap saja seenaknya bilang aku pemalas dan tak berguna!"
Bang Galih tiba-tiba menarik pergelangan tanganku dan menyeretku kedepan cermin.
"Kami pikir kami menyebutmu tak berguna cuma karena soal makanan dan pekerjaan rumah saja?" ucap Bang Galih kemudian melanjutkan kalimatnya, "Lihat dirimu!" katanya dingin. "Baru dua tahun menikah kenapa kamu kelihatan enggak menarik lagi?"
Aku menatap bayangan diri di cermin. Mata sembab, wajah berantakanm Ya aku memang sudah tak memperhatikan penampilanku. Tapi aku melakukannya bukan tanpa alasan. Aku takut dianggap boros kalau menggunakan uang suamiku untuk merawat diri. Aku takut makin di benci kalau tampak lebih cantik. Aku takut segalanya semakin buruk.
"Malam ini renungkan kesalahanmu. Aku enggak akan tidur di kamar sebelum kamu sadar dan meminta maaf pada ibuku dan Adel," ucap Bang Galih kemudian berbalik dan berjalan pergi.
Ku intip dia yang tengah menghempaskan tubuhnya ke sofa di ruang keluarga, membiarkanku sendiri dalam kamar dan menanggung semua luka yang ia ciptakan.
Malam semakin larut. Jarum jam sudah menunjukan pukul dua. Aku tak bisa tidur. Rasa bersalah mulai merayapi dadaku. Aku bangkit perlahan dan melangkah ke ruang keluarga.
Bang Galih masih tidur di sofa. Wajahnya tertutup selimut. Aku terenyuh. Sesalah itukah aku? Apa aku benar-benar istri yang buruk?
Aku menghela nafas kemudian mendekat. Dengan hati-hati aku menggoyangkan bahunya.
"Bang, aku udah sadar. Aku bakal minta maaf ke Ibu dan Adel besok. Aku janji enggak akan menuduh Adel yang bukan-bukan lagi."
Aku berharap dengan meminta maaf pada ibu mertuaku dan Adel akan membuat hubunganku dan Bang Galih membaik meskipun aku yakin itu hanya bertahan sebentar karena Adel pastinya takan pernah membiarkan kami berdua akur dan hidup tenang.
"Kalau Bang Galih tak puas aku hanya minta maaf pada mereka, aku sanggup berlutut di depan keduanya. Apapun akan kulakukan asal Bang Galih berhenti marah lagi padaku. Jadi tolong pindah lagi ke kamar kita ya, Bang!"
Tak ada jawaban. Ia masih terlelap. Akupun menarik selimutnya perlahan. Namun seketika aku terperanjat.
Bukan Bang Galih.
Yang tidur di sofa ternyata adalah Rudy.
Bau alkohol menusuk hidungku. Aku hampir muntah mencium aroma minuman keras yang menyeruak dari napasnya.
Jika Rudy di sini lalu di mana Bang Galih?
Aku menelan ludah mencoba menyingkirkan pikiran buruk yang tiba-tiba menyeruak di benakku. Tidak. Tidak mungkin. Bang Galih tidak mungkin tidur di kamar Adel, kan? Mereka tak akan melakukan hal segila itu kan?
Langkahku gemetar saat menuju kamar Adel. Baru saja aku ingin mengetuk pintu, samar-samar kudengar suara Adel yang mengatakan hal begitu menjijikan.
"Bang Galih, terus, Bang... Ini yang aku suka darimu. Tampan, perkasa, dan..."
Dadaku terasa sesak. Napasku tercekat. Airmataku jatuh tanpa bisa ku bendung. Aku buru-buru menutup telinga tak sanggup mendengar kelanjutan kalimat Adel.
Jadi dugaanku selama ini benar. Bang Galih dan Adel punya hubungan terlarang. Pantas saja Bang Galih selalu mencari-cari kesalahanku. Ternyata ini alasannya.
Hatiku hancur.
Aku ingin berteriak, ingin menjerit sekencang-kencangnya. Tapi aku sadar aku tidak bisa hanya berdiam diri dan menjadi penonton dalam kisah menyedihkan ini.
Tanganku gemetar. Aku meraih handle pintu. Lalu, dengan satu tarikan keras pintu kamar itu terbuka lebar.
"Nara...?"
Bang Galih terlonjak kaget. Ia segera menjauh dari Adel, sementara wanita itu hanya tersenyum puas seolah menikmati penderitaanku.
"Aku bisa jelasin, Nara. Ini cuma kesalahpahaman!" panik Bang Galih.
Kesalahpahaman?
Apa dia pikir aku bodoh?
Aku mengedarkan pandangan, mencari sesuatu. Lalu mataku menangkap tongkat baseball di dekat meja rias. Tanpa pikir panjang aku meraihnya.
"Nara, jangan gila!" teriak Bang Galih saat aku mengayunkan tongkat itu ke arahnya. Tapi aku tak peduli. Aku sudah terlalu muak.
Bang Galih berhasil menghindar, lalu dia mencoba merampas tongkat dari tanganku, tapi aku malah memukul lengannya hingga ia meringis kesakitan.
"Jadi sebenarnya perempuan inilah alasan kamu berubah kasar padaku, Bang? Pantas saja kamu selalu membela dan memujinya di depanku. Kurang apa aku jadi istrimu, Bang? Aku selalu mengalah dan meminta maaf untuk kesalahan yang sama sekali tak kubuat hanya demi menghindari pertengkaran denganmu. Tapi ini balasanmu?"
Aku kemudian beralih pada Adel, wanita yang telah menghancurkan rumah tanggaku. Aku ingin menghajarnya. Aku ingin membuatnya merasakan sakit yang kurasakan. Tapi Adel sigap menghindar dan tongkatku justru menghantam cermin besar di atas meja rias, menciptakan bunyi pecahan kaca yang memekakkan telinga.
Adel berteriak panik.
"Tolong...Tolong...Ibu...Ayah...Tolong...!"
Teriakannya membangunkan seluruh orang kecuali Rudy yang tengah tak sadarkan diri karena pengaruh alkohol.
Ayah mertuaku muncul lebih dulu, diikuti ibu mertuaku yang tampak terkejut melihat kekacauan ini.
"Nara, gila kamu! Kamu mau bunuh Adel?" bentak ayah mertuaku sambil merebut tongkat dari tanganku.
Aku meronta. "Kembalikan tongkat itu, Ayah! Wanita ini sudah berselingkuh dengan suamiku! Aku harus menghukumnya!"
Aku menangis, berusaha merebut kembali tongkat itu. Tapi sebelum sempat menyentuhnya, tiba-tiba...
BRAK!
Tubuhku terhempas keras ke dinding.
Sakit.
Perih.
Aku mengangkat kepala perlahan dan kulihat ibu mertuaku berdiri di depanku, menatap penuh kebencian.
"Pergi dari rumah ini, dasar perempuan sial!"
Hari itu langit cerah, tapi hati Nara justru mendung. Dengan langkah berat, ia kembali masuk kerja meski hatinya penuh gejolak. Ia tahu, hari-hari menyedihkannya yang penuh dengan ejekan, hinaan, sindiran dan tuduhan kejam dari rekan-rekan kerjanya mungkin akan kembali ia rasakan terutama dari Lusi, teman dekat yang kini berbalik jadi musuh.Nara sendiri tak tahu bahwa Lusi sebenarnya sudah tak bekerja lagi di perusahaan itu. Yang ia tahu hanyalah bayangan buruk yang menunggu di balik pintu kantor. Dengan helaan nafas panjang, ia melangkah masuk ke ruangannya seakan sedang menyiapkan perisai untuk menghadapi hujatan yang pasti akan datang."Semua akan baik-baik saja, Nara. Pak Justin bilang aku tak boleh lari lagi dari masalah," gumamnya, berusahael menyemangati diri sendiri meski suaranya bergetar.Namun, sesampainya di meja kerjanya, ia justru dibuat bingung. Semua orang yang biasanya menyambutnya dengan cacian kini diam. Tak ada satupun yang menatapnya apalagi melempar sindiran."K
"Bang, besok pagi pinjemi aku baju. Aku mau kerja lagi." ucap Justin mantap, tatapan matanya penuh tekad.Erryl yang bersandar di sofa menoleh terkejut, keningnya berkerut. "Kau tak takut lagi kalau Ayahmu akan menangkapmu?" tanyanya dengan nada serius."Sebenarnya takut," Justin menarik nafas panjang lalu menghembuskannya berat, "tapi aku enggak bisa biarin Nara celaka. Lusi pasti akan berbuat macam-macam di kantor."Erryl menyandarkan tubuh ke depan, suaranya tenang tapi tegas. "Lusi sudah kupecat, dia tidak bisa menyakiti Nara di perusahaan. Untuk sekarang, setidaknya perusahaan tempat paling aman untuknya."Justin terperanjat, "Dipecat?" Tanyanya seolah tak percaya."Iya. Siang tadi Ayahmu datang dan hampir saja menggeledah rumah Nara kalau aku tak mencegahnya. Dan kau tahu dalang di balik semua ini?" Erryl menatap lurus ke arah Justin."Lusi, kah?" Justin balik bertanya, suaranya bergetar menahan emosi."Betul sekali. Makanya setelah tahu aku langsung memecat wanita itu dan menyu
"Bang, kamar tamu kok banyak barang. Enggak diberesin dulu apa biar aku bisa tidur dengan nyaman?" tanya Justin sambil keluar dari kamar tamu dengan wajah masam.Erryl yang tengah bersandar santai di sofa menoleh sejenak, alisnya sedikit terangkat. "Barang?" gumamnya berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Oh, itu semua barang Bastian. Mungkin karena buru-buru, dia enggak sempat bawa pulang."Justin berjalan mendekat lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa, tepat di samping Erryl. "Barang Bastian? Bukannya dia sekarang ada di luar kota?" tanyanya curiga."Tadi aku ada urusan mendesak dengannya," jawab Erryl sambil menatap ke langit-langit mengenang kembali rasa kecewa yang beberapa jam lalu ia rasakan. "Aku kan suruh dia pulang hari ini, dan jujur aku lega sekali karena semua urusan ini selesai meski aku ngerasa sedikit kecewa dengan keputusan akhir yang dia ambil."Justin memberanikan diri menatap wajah abang sepupunya. "Apa ini soal Lusi?" tanya Justin hati-hati.Alis Erryl l
Setelah Justin tertangkap basah berada di dalam rumah Nara, kini mereka bertiga duduk di ruang keluarga. Suasana terlihat begitu tegang."Nara, apa maksudnya ini? Justin tinggal di rumahmu tapi kamu tak memberitahuku?" tanya Erryl dengan tatapan tajam yang membuat udara di ruangan seakan menipis."Nara enggak salah, Bang. Aku yang memohon sama dia untuk diizinkan tinggal di sini tanpa memberi tahu siapapun!" sela Justin cepat seolah ingin membela Nara."Kamu juga sama. Punya masalah sebesar ini bukannya mencariku malah datang ke Nara. Kamu sadar enggak kalau Ayahmu tahu kamu ada di sini, ini bisa jadi masalah serius!" Suara Erryl meninggi, nadanya penuh geram."Kamu itu dekat dengan Ayahku maka dari itu aku enggak bisa mempercayaimu. Menurutku rumah Nara merupakan tempat paling aman. Ayahku enggak akan pernah curiga aku tinggal di sini!" Balas Justin, matanya menantang.Padahal, ingin rasanya Erryl mengatakan pada Justin tentang kejadian tadi siang saat Ayah Justin hampir saja datang
"Kak Erryl, boleh aku masuk?" Suara Bastian terdengar ragu saat melihat pintu kamar Erryl tidak tertutup rapat.Erryl yang duduk di tepi ranjang mengangkat kepalanya. "Aku memang sengaja tidak mengunci pintu karena menunggumu. Jadi gimana? Apa kau sudah menyelesaikan masalah dengan istrimu? Kau akan meninggalkan wanita jahat itu kan?" tanya Erryl penasaran.Bastian menarik nafas panjang seperti sedang mengumpulkan keberanian sebelum berbicara. "Maafin aku, Kak!" Hanya itu yang keluar dari bibirnya, suaranya bergetar."Maaf? Kenapa kau minta maaf?" Dahi Erryl berkerut, firasatnya langsung buruk."Jangan bilang kau mau memberikan kesempatan kedua untuk wanita itu!" ucap Erryl cepat, matanya tajam menatap adiknya.Bastian menunduk. "Kak, aku enggak bisa hidup tanpa Lusi. Aku belum siap kehilangannya. Maaf kalau aku mengecewakanmu!" Bastian berbohong, itu jelas bukan alasan sebenarnya membatalkan cerai. Tapi sayangnya dia tak mungkin mengatakan alasan sebenarnya pada pada sang kakak.Erry
"Sayang, aku bisa jelasin semua. Ini enggak seperti yang kamu pikirkan!' suara Lusi bergetar, matanya memohon, mencoba meraih tangan suaminya.Namun tanpa sepatah kata, Bastian langsung mengayunkan tangannya. Plak!Tamparan keras itu mendarat di pipi Lusi. Rasa panas membakar kulitnya dan air mata seketika mengalir. Bukan hanya sakit yang Lusi rasakan tapi juga malu. Apalagi Bastian melakukannya di hadapan Erryl."Kak, aku minta maaf. Aku enggak tahu istriku segila ini sama kamu!" ucap Bastian dengan suara berat menahan amarah."Maaf!" ucapnya lagi.Erryl menatap dingin. "Kalau bukan karena menjaga perasaanmu, aku sudah memasukan wanita jahat ini ke penjara. Sekarang, aku kasih waktu kalian selesaikan masalah ini sendiri. Aku dukung seratus persen kalau kamu mau membuangnya. Dia bukan istri yang baik!" Nada suaranya penuh kebencian tapi ia memilih menjauh tanpa ingin ikut campur. Erryl kemudian berbalik meninggalkan ruangan.Begitu Erryl pergi, Lusi langsung meraih lengan Bastian. "B