Linda Hayden keluar dari ruangan Sadewa Atmadja dengan muka kusut. Matanya berkaca-kaca, seolah sedang menahan tangis yang bisa menetes kapan saja. Bukan seolah—ia memang sedang berjuang mati-matian agar air matanya tidak jatuh saat itu juga.
Jangan sebut ia cengeng. Karena Linda yakin, siapa pun yang berada di posisinya pasti akan menangis. Bagaimana tidak? Orangtuanya meninggal dunia dan mewariskan utang yang menumpuk. Saat Linda mencoba bertahan hidup—berhenti kuliah dan bekerja serabutan demi membayar semuanya—ia malah dijebak oleh kakak sepupunya sendiri. Satu-satunya keluarga yang tersisa, justru menyeretnya menjadi istri kontrak seorang CEO kaya raya... yang gila. Memang sih, bayarannya besar. Dengan uang 200 juta yang ia terima di awal, dan 25 juta perbulan, ia bisa melunasi utang kedua orangtuanya itu dalam waktu dua belas sampai lima belas bulan. Linda tak harus bekerja mati-matian seumur hidup untuk melunasi utang-utang itu berkat kontrak nikah yang ia tandatangani. Namun tetap saja ia rasanya ingin menangis. Tentu saja. Bagaimanapun juga, Linda hanyalah seorang perempuan yang bermimpi untuk menikah dengan pria yang ia cintai. Bukan malah menikah secara terpaksa—apalagi nikah kontrak— hanya karena ia terlilit banyak utang. Dan salah satu orang yang menjerumuskan ia pada pernikahan kontrak itu adalah Mbak Eka. Sepupunya sendiri. Ia kecewa juga marah. Linda merasa dikhianati oleh kakak sepupunya itu. Ah. Benar. Kakak sepupunya. Linda harus mencari Mbak Eka sekarang juga. Linda harus bertemu dan bertanya langsung kepada orang itu alasan kenapa dia begitu tega menjebak Linda begini. "Awas saja. Aku pasti bakal jambak rambut Mbak Eka kalau ketemu!" desisnya. Dan sepertinya Linda cukup beruntung, karena detik berikutnya ia melihat orang yang ia cari itu sedang berjalan menuju ke arahnya dengan berkas di tangan kanan dan kirinya. Buru-buru Linda mengusap matanya yang sedikit meneteskan airmata. Lalu Linda tersenyum cerah saat matanya bertatapan dengan mata Mbak Eka—sepupunya. "Mbak Eka!" seru Linda riang. Perempuan itu berusaha menyembunyikan kekesalannya pada sosok di depannya. Meski ia sendiri tak tahu kenapa ia melakukan itu. "Eh, Lin. Udah selesai wawancaranya? Gimana hasilnya?" Mbak Eka juga tersenyum, ramah dan hangat seperti biasa, seolah ia tidak pernah melakukan satu kesalahan fatal padanya. Dan itu membuat Linda makin kecewa bukan main pada sosoknya. Padahal Mbak Eka tahu wawancara apa yang ia lakukan di ruangan itu—tentu saja, Mbak Eka adalah sekretaris pria setengah iblis itu, dia juga yang menawari posisi ini untuknya, jadi pasti dia tahu seratus persen. Namun tingkahnya seolah ia tidak tahu apa-apa. "Lancar, Mbak," jawab Linda seadanya. Mbak Eka makin melebarkan senyumannya. "Syukurlah, kamu terima?" tanyanya lagi dan Linda mengangguk. "Iya, Mbak. Udah tanda tangan kontrak juga." Linda masih menjawabnya secara ambigu. Tidak langsung menyebutkan kontrak nikah atau semacamnya untuk melihat reaksi Mbak Eka yang—sayangnya masih normal dan tampak tak tahu apa-apa. Mbak Eka yang mendengar jawaban itu pun hanya menganggukkan kepalanya seolah mengerti. Perempuan itu lalu menepuk pelan pundak Linda. "Bagus deh, kalau kamu sesuai sama kriteria Pak Sadewa." Linda mengernyitkan keningnya, tak mengerti dengan apa maksud perempuan itu. Mbak Eka yang melihat Linda kebingungan pun sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Linda, ia mendekatkan mulutnya di telinga Linda sebelum ia kembali berkata, "Kapan lagi kamu dibayar 200 juta buat jadi istri kontrak CEO ganteng, kan?" bisiknya. Mata Linda membulat. Ia menatap tak percaya ke arah Mbak Eka yang menyeringai kecil setelah berbisik begitu di telinganya. "Mbak Eka bilang apa barusan?" Suara Linda sedikit bergetar saat bertanya begitu. Sungguh, Linda sama sekali tak pernah berpikir kalau Mbak Eka akan melakukan hal keji seperti menjebaknya begini. "Nggak, Mbak Eka cuma bilang selamat, akhirnya kamu bisa lunasin utang bapak sama ibu kamu," kata Mbak Eka, sambil tersenyum hangat yang entah kenapa malah terlihat sangat menyebalkan dan menyakitkan di mata Linda. Tangan Linda mengepal erat. Buku jarinya bahkan sampai memutih karena ia mengepalkan tangannya terlalu erat. "Kenapa Mbak Eka tega?" tanya Linda. Beruntungnya, lantai ini hanya diisi oleh ruang kerja Sadewa Atmadja. Jadi, tak ada orang yang berlalu lalang di sekitaran sini yang akan menyaksikan drama pertengkaran dua saudara. "Tega kenapa? Mbak Eka hanya coba bantu kamu buat lunasin utang orangtuamu, lho." "Iya. Mbak bener." Linda menjeda sejenak kalimatnya. "Tapi nggak dengan bikin aku jadi istri kontraknya Bos sinting Mbak itu!" teriaknya marah. Napas Linda memburu. Airmata yang sedari tadi ia tahan untuk tak keluar pun, malah mulai mengalir dengan deras. Hatinya benar-benar hancur. Linda benar-benar tak percaya satu-satunya keluarga yang ia punya, mengkhianati dirinya dengan cara yang paling kejam. Mbak Eka tertawa renyah. "Terus, memangnya kamu punya cara buat lunasin utang bapak kamu, hah?" tanya Mbak Eka menantang, senyuman ramah dan wajah hangatnya itu hilang seketika. "700 juta. Utang bapak kamu ke orang-orang yang dia tipu itu 700 juta. Kamu kerja banting tulang dari pagi ketemu pagi lagi juga, nggak bakal kekumpul uang segitu kalau bukan dengan jual diri!" Mata Mbak Eka menatap tajam ke arah Linda yang sedang menangis tanpa suara. "Dengar, Linda. Dunia luar itu kejam. Kamu harus tahu itu. Dan percaya sama Mbak, jadi istri kontrak Pak Sadewa jauh lebih baik daripada kamu keluyuran cari kerjaan nggak jelas yang bikin kamu berakhir menjajakan diri kamu ke om-om mesum di pinggir jalan," kata Mbak Eka sebelum ia kembali melanjutkan langkahnya yang semula terhenti. "Lalu, apa yang Mbak Eka dapatin dari jual aku ke Pak Sadewa? Mbak Eka pasti dijanjiin sesuatu kan kalau bisa bawain perempuan yang bisa dijadiin istri kontrak bos Mbak itu?" Langkah Mbak Eka terhenti. Linda bisa melihat perempuan itu yang sedikit mengejat terkejut mendengar pertanyaannya barusan. Dan reaksinya itu sudah cukup untuk menjawab pertanyaan Linda.Pertanyaan bertubi-tubi yang diajukan Kakek Atmadja sedikit banyak membuat Linda kembali gugup. Apalagi si Kakek Tua itu juga seperti memberikan tatapan dan aura yang horor dan mencekam. Makin saja Linda dibuat gugup bukan main. Meski sejauh ini pertanyaan yang keluar dari bibir pria tua itu hampir sama dengan pertanyaan yang tertulis di file 'tanya-jawab' yang dikirim oleh Sadewa Atmadja yang ia hafalkan—meski ia juga tak mengerti kenapa pria itu bisa memprediksi dengan 'hampir' tepat setiap pertanyaan yang akan diajukan si Kakek tua.Namun sepertinya persiapan yang dilakukan pria itu dan dirinya tidak terlalu berguna. Buktinya Linda kembali gugup bukan main hanya karena beberapa rentetan pertanyaan dan tatapan tajam penuh selidik dari pria tua di depannya. Dan juga—karena sekali lagi, perempuan itu paling tak tahan dengan aura yang mendominasi. Dan sayangnya sepasang kakek dan cucu ini malah—sepertinya— senang sekali menunjukkan aura mendominasi yang membuat Linda kesulitan."Itu ka
Glup. Entah sudah berapa kali Linda Hayden menelan ludahnya sendiri karena gugup. Senyum tetap mengembang di wajahnya, tapi itu tak lebih dari topeng—menutupi kegelisahan yang mengaduk-aduk isi perutnya. Bagaimana ia tidak gugup? Di seberang meja makan panjang itu duduk seorang pria tua dengan wajah yang mirip Sadewa Atmadja— hidung mancungnya, garis muka yang tampan dan rupawan sekalipun sudah berumur senja, dan bahkan aura seramnya pun mirip Sadewa Atmadja! Jika saja Sadewa Atmadja tidak duduk di sebelahnya, mungkin Linda sudah pingsan karena tekanan psikologis yang diberikan si kakek tua. Tadi saat pertama menginjakkan kaki ke rumah megah ini, si Kakek tua kebetulan sedang duduk di meja makan sambil membaca buk. Jelas bukan hal yang wajar dan aneh seolah tahu akan kedatangan cucunya. Namun sepertinya si kakek memang sudah tahu cucunya akan datang—entah karena diberitahu atau memang hanya sekadar feeling. Karena mereka berdua langsung disuruh duduk saat keduanya sampai di hadap
"Sekali lagi, pastikan kamu sudah menghafal semua pernyataan yang saya kirimkan." Sadewa Atmadja kembali mengingatkan Linda saat mobil mereka berhenti setelah perjalanan yang—cukup lama. Perjalanan itu terasa cukup lama dan panjang untuk Linda. Entah karena ia yang tidak biasa naik mobil mewah, atau karena tugas yang diberikan Sadewa Atmadja padanya selama perjalan. Melihat ponsel saat naik mobil saja sudah cukup membuat ia mual, apalagi ini disuruh membaca dan menghafalkan rentetan kata-kata yang cukup panjang dan banyak. Beruntungnya, Linda itu saat sekolah—dan berkuliah dulu— cukup cepat dalam menghapal. Jadi, hanya butuh dua sampai tiga kali lihat saja ia sudah bisa menghafal seluruh isi pesan yang dikirimkan bosnya."Tenang saja, Pak. Saya ini cukup pintar menghafal." Linda berkata sambil menepuk dadanya kelewat percaya diri. Sadewa Atmadja yang mendengar perkataannya itu menyeringai tampan. pria itu lalu menoleh ke arah Linda, kepalanya sedikit miring ke arah kemudi yang mak
Keesokan paginya, si bos tampan tapi sinting itu benar-benar muncul pukul sepuluh tepat. Mobil Benz mewahnya sudah terparkir manis di depan rumah kontrakan Mbak Eka—tempat Linda tinggal. Sadewa Atmadja berdiri santai, bersandar di pintu mobil, penuh percaya diri. Wajahnya yang putih bersih tampak berkilau diterpa cahaya matahari pagi. Rambutnya yang sedikit panjang ikut menari ditiup angin semilir, menciptakan kesan dramatis bak tokoh utama drama Korea versi gila. Linda meringis, bahkan pria itu tahu alamat tempat tinggalnya tanpa bertanya padanya lebih dulu. Ia jadi bertanya-tanya, seberapa banyak informasi mengenai dirinya yang diketahui oleh seorang Sadewa Atmadja? Drrt. Drrt. Linda segera menutup gorden jendela rumah—tempat ia mengintip kedatangan Sadewa— dan berlari keluar saat ia melihat layar ponselnya menampilkan satu panggilan masuk dari Sadewa Atmadja. "Kamu telat dua menit." Linda membulatkan matanya. Ia benar-benar tak mengira akan langsung ditodong kalimat
"Pak Sadewa?" kata Linda tak yakin. Pria di seberang telepon itu tampak berdecak pelan sebelum ia menjawab pernyataan—atau pertanyaan perempuan itu. "Betul,” katanya. “Bukannya saya sudah menyuruh kamu untuk menyimpan nomor saya sebelum kamu keluar dari ruangan saya?" lanjut pria itu. Perkataan Sadewa memang tidak salah. Setelah ia menandatangani surat perjanjian kontrak 'kerja'nya, Sadewa memang menyebutkan deretan angka—yang adalah nomor ponselnya, dan menyuruh Linda untuk menyimpannya. Namun, jangankan untuk mengetik nomor yang disebutkan pria itu dan menyimpannya, untuk bernapas saja Linda tidak bisa. Pikirannya mendadak kosong seketika. Pun juga seluruh kemampuan inderanya. "Maaf, Pak. Sepertinya tadi saya nggak fokus dan lupa menyimpannya," kata Linda. Pria itu tak bicara apapun. Namun jika boleh Linda tebak, pria itu pasti sedang mengerutkan kedua keningnya, yang membuat alis tebal pria itu menyatu, tanda jika ia tak puas atau tak suka dengan jawaban yang Linda ber
Sembilan ratus juta. Total utang yang ditinggal oleh kedua orangtuanya itu adalah sembilan ratus juta. Jumlah yang sangat banyak untuk utang pribadi, bukan? Bahkan Ayahnya sendiri yang hanya seorang Kepala SMP Negeri yang hidupnya sangat sederhana itu, tak pernah bermimpi akan terjerumus sedalam ini. Gajinya bahkan tak menyentuh angka dua digit per bulan. Namun itulah kenyataannya—satu keputusan bodoh yang menyeret seluruh keluarga ke jurang kehancuran. Semua bermula dari tawaran manis seorang rekan sejawat. Skema investasi yang disebut Tabungan Cuan, menjanjikan pengembalian dua kali lipat hanya dalam waktu sebulan. Satu juta menjadi dua juta. Lima juta menjadi sepuluh juta. Terlalu indah untuk menjadi kenyataan—tetapi pada awalnya, itu memang terjadi. Ayah Linda, yang awalnya penuh keraguan, akhirnya luluh karena rayuan bertubi-tubi. Ia mencoba dengan nominal kecil, dan saat hasilnya nyata, ia mulai percaya. Rasa percaya itu tumbuh menjadi keyakinan, dan dari keyakinan muncullah