Rachel tidak bisa menghilangkan bayangan Davin dari pikirannya. Pria itu bukan hanya berbahaya, tetapi juga cerdas dan penuh perhitungan.
Apa yang sedang ingin ia rencanakan? Pagi itu, Rachel duduk di ruang makan bersama Martin, tetapi pikirannya masih terjebak di malam sebelumnya. Ia ingin bertanya lebih banyak tentang Davin, tetapi Martin tampak sama sekali tidak ingin membicarakannya. Saat itulah seorang pelayan masuk, membawa sebuah amplop berwarna hitam. “Tuan muda Martin, ini surat untuk Anda.” Martin mengambil amplop itu dan menatapnya dengan dahi berkerut. Tidak ada pengirim. Rachel ikut melihat ketika Martin membuka amplop itu. Isinya hanya selembar kertas dengan tulisan tangan yang sangat rapi. “Harta yang kau banggakan bukan milikmu. Aku hanya mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi hakku. Bersiaplah.” Rachel merasa tengkuknya meremang. “Dari Davin?” Martin mengepalkan kertas itu dengan rahang mengeras. “Siapa lagi kalau bukan dia?” Tidak lama beberapa jam kemudian, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Seorang pengacara datang ke rumah mereka untuk membawa sebuah dokumen penting. Tuan Gunawan masih dalam kondisi lemah, tetapi cukup sadar untuk mendengarkan. Dokumen itu berisi perubahan dalam surat wasiat. Dan di sana tertulis sesuatu yang membuat Rachel nyaris kehilangan keseimbangan. Semua aset keluarga Hartono kini berada dalam kendali Davin. “Apa?!” Martin langsung berdiri. “Ini tidak mungkin! Surat wasiat terakhir Kakek tidak seperti ini!” Pengacara itu menghela napas. “Kami hanya melaksanakan perubahan yang sudah dibuat beberapa bulan lalu.” Martin menoleh ke kakeknya. “Kakek! Ini benar?” Tuan Gunawan tampak terguncang. “Aku tidak pernah mengubah surat wasiatku…” Rachel merasakan sesuatu yang tidak beres. “Jadi… seseorang telah memalsukan dokumen ini?” Pengacara itu menggeleng. “Dokumen ini sah. Ada tanda tangan dan sidik jari Tuan Gunawan.” Tuan Gunawan menggeleng lemah. “Tidak… aku tidak pernah menandatanganinya…” Martin mencengkeram meja. “Ini pasti kerjaan Davin!” Rachel mulai memahami semuanya. Davin telah merencanakan ini sejak lama. Dan sekarang, mereka kehilangan segalanya. Malam itu, rumah mereka terasa lebih sunyi dari biasanya. Rachel tidak bisa tidur. Ia tahu bahwa Martin sedang berada di ruang kerja, mencoba mencari jalan keluar. Ketika ia melangkah ke luar kamar, ia melihat sesuatu yang membuatnya terhenti. Pintu ruang kerja Martin sedikit terbuka dan di dalamnya ada Martin yang duduk dengan kepala tertunduk, tangannya mengepal di atas meja. Rachel mendekat dengan hati-hati. “Martin?” Martin mendongak, dan Rachel terkejut melihat mata suaminya merah, penuh amarah dan keputusasaan. “Aku sudah kehilangan segalanya, Rachel.” Rachel berlutut di sampingnya. “Kita bisa mencari jalan lain—” “TIDAK!” Martin menggebrak meja. “Kau tidak mengerti! Selama ini aku bekerja keras untuk mempertahankan semua ini, dan dalam sekejap semuanya hilang!” Rachel menggenggam tangannya. “Kita masih punya satu sama lain…” Martin menatapnya dalam. “Tapi apa kau masih mencintaiku jika aku bukan siapa-siapa?” Rachel tersentak. “Kenapa kau bicara seperti itu?” Martin tersenyum miris. “Karena aku tahu bagaimana dunia ini bekerja, Rachel. Semua orang mencintai kekuasaan dan uang. Dan sekarang aku tidak punya apa-apa.” Rachel menggigit bibirnya. “Aku mencintaimu, Martin. Bukan karena hartamu.” Martin menatapnya lama. Lalu, ia menarik napas panjang dan berkata dengan suara rendah, “Kalau begitu, bersiaplah. Kita akan melawan Davin.” Rachel merasa jantungnya berdegup lebih cepat. “Apa maksudmu?” Martin berdiri, matanya penuh tekad. “Aku tidak akan tinggal diam. Aku akan merebut kembali semua yang menjadi milikku.” Dan saat itu, mereka mendengar suara langkah kaki di luar ruangan. Rachel dan Martin langsung menoleh. Seseorang ada di luar. Martin segera menuju pintu dan membukanya lebar. Tidak ada siapa-siapa. Tapi di lantai, ada sebuah benda kecil yang berkilauan. Kunci. Rachel mengenali benda itu. Kunci yang Davin tunjukkan padanya malam itu. Martin mengambil kunci itu dan menatapnya dengan ekspresi serius. “Sepertinya Davin meninggalkan sesuatu untuk kita.” Rachel menelan ludah. “Apa ini jebakan?” Martin menggenggam kunci itu dengan erat. “Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya.”Langit sore di kota itu tampak kelabu, seolah menyatu dengan suasana hati Rachel. Di balkon rumahnya yang menghadap taman kecil, ia berdiri sendiri. Angin lembut menerpa wajahnya, membawa harum bunga melati yang ditanam almarhum ibunya dulu. Rachel menatap jauh ke depan, ke arah jalanan tempat Martin baru saja pergi untuk mengurus sisa perkara keluarga yang nyaris merenggut segalanya dari mereka.Rachel menarik napas dalam. Seluruh perjalanan panjang ini terasa begitu berat di pundaknya. Dari seorang perempuan sederhana yang hanya ingin hidup damai bersama suaminya, kini ia menjadi perempuan yang memanggul beban nama besar keluarga, konflik, warisan, dan luka yang menganga akibat pengkhianatan orang-orang yang ia percayai.Tapi sore ini, Rachel tahu: semuanya akan berakhir. Bukan karena dunia sudah berubah sepenuhnya, tapi karena ia sendiri yang berubah.Ketukan pelan di pintu balkon menyadarkannya. Clara berdiri di sana dengan mata yang berkaca-kaca. “Rachel… kamu baik-baik saja?”Ra
Senja itu, Rachel berdiri di depan cermin besar di kamar tidur mereka. Wajahnya tampak lelah, tetapi sorot matanya jauh lebih tenang dibanding sebelumnya. Seolah semua badai yang telah dilewatinya mulai mereda. Namun, di balik ketenangan itu, pikirannya masih berputar—tentang sidang yang baru saja berlangsung, tentang Tante Renata yang tak mau menyerah, tentang keluarga besar yang kini memandangnya dengan iri sekaligus takut.Martin masuk ke kamar, melepaskan dasi, lalu mendekat. Tangannya menyentuh bahu Rachel lembut. “Semua akan segera selesai, sayang. Percayalah.”Rachel mengangguk pelan. “Aku percaya, Martin. Tapi aku juga tahu… ini bukan sekadar soal sidang atau warisan. Ini soal menutup semua luka masa lalu. Luka kita, luka keluargamu, luka keluarga kita.”Martin tersenyum pahit. “Dan kamu sudah melakukannya lebih baik dari siapa pun.”Rachel berbalik memandang Martin. “Besok aku ingin mengadakan syukuran di butik. Bukan untuk merayakan menang atau kalah. Tapi untuk mengakhiri s
Langit Lembang mendung, awan kelabu menggantung rendah seolah menambah berat di dada Rachel. Vila tua keluarga besar Anshari berdiri kokoh, menjadi saksi bisu betapa rapuhnya tali persaudaraan yang sebentar lagi diuji. Rachel menatap bangunan itu dari balik jendela mobil. Di sampingnya, Martin menggenggam tangannya, berusaha menyalurkan kekuatan.“Kamu yakin mau hadapi ini, Rachel?” tanya Martin lirih.Rachel mengangguk. “Kalau aku lari, selamanya mereka akan menganggap aku pengecut. Dan aku nggak akan biarkan kebenaran dikubur begitu saja.”Martin mengangguk, meski hatinya tak kalah gelisah. Mereka turun dari mobil bersamaan dengan datangnya mobil-mobil lain. Dari mobil hitam mengilap, keluar Tante Renata dengan gaun mahal dan tatapan menusuk. Di belakangnya, para paman, bibi, sepupu, dan anggota keluarga besar lain yang jarang ditemui Rachel. Semua berkumpul karena satu alasan: mempertanyakan warisan Malik Anshari.Saat semua masuk ke dalam vila, Rachel berdiri di depan mereka. Meja
Pagi itu, Rachel bangun lebih awal dari biasanya. Udara segar pagi menyambutnya di balkon kamar, namun pikirannya sudah penuh dengan rencana hari ini. Hari pertama audit menyeluruh Anshari Properti dimulai, dan Rachel tahu langkah ini akan mengguncang banyak pihak.Martin muncul membawa secangkir kopi. “Kamu belum tidur cukup, ya?”Rachel tersenyum lelah. “Tidak apa-apa. Ini bukan soal lelah. Aku harus memastikan tidak ada celah lagi untuk mereka mencuri hak orang banyak.”Martin duduk di sampingnya. “Aku bangga padamu.”Rachel menatap suaminya, lalu menggenggam tangannya erat. “Aku juga bangga padamu, karena selalu berdiri di sampingku.”Di kantor pusat, suasana lebih tegang dari kemarin. Rachel, Martin, dan Reza sudah berada di ruang audit, bersama tim independen yang mereka tunjuk. Layar besar menampilkan aliran dana perusahaan selama lima tahun terakhir.“Ini laporan pertama,” ujar Reza sambil menunjuk grafik. “Kita temukan ada dana masuk yang tidak pernah tercatat dalam laporan r
Pagi di rumah Rachel disambut matahari yang hangat, namun suasana hatinya tetap penuh waspada. Kemenangan di pengadilan dua hari lalu ternyata belum benar-benar memberi kelegaan. Di meja ruang makan, koran-koran dengan berita utama terpampang: “Rachel Ayuningtyas Sah Miliki 40% Saham Anshari Properti”, “Keluarga Besar Anshari Pecah Karena Warisan”, “Rachel: Wanita Biasa, Pewaris Luar Biasa”. Rachel menatap tajuk-tajuk itu dengan campuran rasa lega dan gelisah. Martin datang membawa secangkir teh hangat, meletakkannya di depan istrinya. “Koran hari ini penuh tentang kamu lagi,” ucapnya pelan. Rachel mengangguk. “Dan mungkin akan begitu untuk beberapa waktu. Aku tidak ingin dikenal hanya karena saham ini, Martin.” Martin duduk di hadapannya. “Kamu akan dikenal karena caramu menjaga amanah ini, Rachel. Bukan karena angka 40% itu.” Rachel menarik napas panjang. “Aku ingin mulai bekerja hari ini. Kita harus pastikan perusahaan ini benar-benar dikelola dengan jujur. Tak boleh ada cel
Dua hari terakhir ini menjadi dua hari terberat dalam hidup Rachel. Setiap malam terasa panjang, setiap detik penuh cemas. Sejak sidang ditunda untuk musyawarah hakim, pikirannya terus dihantui kemungkinan terburuk. Tak jarang ia terjaga hingga fajar, menatap langit gelap dari jendela kamar, bertanya-tanya: Apakah aku kuat menghadapi semua ini?Pagi ini, matahari baru saja muncul dari ufuk timur ketika Rachel berdiri di depan cermin. Ia menatap pantulan dirinya. Mata itu, yang dulu selalu dipenuhi keraguan, kini memancarkan keteguhan. Bibirnya mengatup erat, menahan kegugupan. Gaun abu-abu sederhana membalut tubuhnya, rambutnya dibiarkan tergerai tanpa hiasan. Ia tak mengenakan perhiasan mewah, hanya cincin kawin di jari manisnya—satu-satunya simbol bahwa ia punya sandaran yang selalu setia.Martin masuk membawa secangkir kopi hangat. Tanpa berkata-kata, ia meletakkannya di meja dan berdiri di belakang Rachel, memandang istrinya dari pantulan cermin. Tangan Martin terulur, memegang p