Mobil melaju dengan kencang, Mikel langsung menuju hotel berbintang miliknya. Beberapa menit kemudian mereka sudah ada di kamar, dan Mikel langsung menarik wanita itu menuju kamar mandi.
“Bagaimana kalau kita melakukannya di sini?” Mikel sangat suka melakukan pemanasan di kamar mandi, dan wanita itu sudah tahu kebiasaan Mikel.
Malam ini begitu panas, mereka sudah melakukannya beberapa kali. Mikel seolah tak pernah puas dengan tubuh wanita itu. Kini mereka berakhir di ranjang dengan nafas yang terengah-engah.
Wanita itu menutupi tubuh mereka dengan selimut, lalu ia menatap langit-langit kamar sedangkan Mikel berbaring telungkup di sampingnya.
“Siapa dia?” Raut wajah kecewa wanita itu menatap Mikel yang telah tumbang di sampingnya.
Mikel diam, ia tidak menyangka menyebut nama wanita lain saat melakukannya dengan wanita itu.
“Maafkan aku, bukan siapa-siapa. Jangan memikirkannya, lihatlah aku sekarang ada di ranjang bersamamu kan?” jawab Mikel singkat. Ia sendiri tidak tahu kenapa ia bisa menyebutkan nama Fara saat pelepasannya.
Ia merutuki dirinya, selama ini dia tidak pernah begitu. Tapi akhir-akhir ini ada perasaan lain yang tumbuh di hatinya. Tentu perasaan yang harus ia hapus dengan cepat dari kepalanya itu.
Kepalanya berdenyut memikirkannya, hingga ia ikut terlelap karena malam ini mereka melakukannya lebih dari biasanya.
***
“Dad, hari ini ke kampus sedikit lebih cepat” ia membuka kamar Mikel tanpa mengetuk terlebih dahulu.
Mikel yang masih setengah sadar membuka matanya dengan terpaksa. Matanya tiba-tiba terbelalak hampir keluar dari tempatnya ketika melihat Fara sudah berdiri di samping ranjang hanya mengenakan handuk yang membalut sebagian tubuhnya.
“Fara, apa yang kamu lakukan! Cepat pakai bajumu, kamu itu sudah besar!” bentaknya dengan suara tinggi. Dia semakin menggila jika putrinya itu terus membuat otak mesumnya semakin menjadi.
“Iya dad, Fara takut daddy masih ketiduran.” Ia pun keluar dengan sedikit kesal sambil menghentakkan kakinya.
“Emang kenapa kalau aku pakai handuk?” dumelnya, mengingat daddynya juga sering keluar kamar tanpa menggunakan baju.
Mikel memijat pangkal hidungnya, ia pulang sudah hampir pagi setelah ia melalui malamnya dengan Lidya. Pagi ini dia disuguhkan lagi dengan tingkah Fara yang membuatnya harus mandi lebih cepat.
Susah payah ia menghilangkan otak kotornya. Fara menambah lagi beban pikirannya yang tentu saja membuatnya semakin tidak masuk akal.
“Apa aku harus mengirimnya kembali ke luar?” gumamnya sebelum ia di telan pintu kamar mandi.
***
Sesampai di kampus Fara, Mikel keluar dari mobil sambil melihat Fara memasuki gerbang kampus. Para cewek-cewek berbisik-bisik, mereka mengagumi Mikel yang masih tetap memukau di usianya yang kepala tiga itu.
“Hai, apa kamu baru masuk hari ini? Kemaren aku belum pernah melihatmu. kenalkan, saya Fara,” sapanya sambil mengulurkan tangan.
“Hai!” dengan senyum memukau cowok itu menjabat tangan Fara.
Fara kaget, rambut panjang sebahu dengan bibirnya yang merah jambu ternyata orang itu adalah cowok “Kamu..?” ia menelan ludahnya karena terlalu kaget dengan kenyataan.
“Aku memang cantik, tapi suaraku terlalu maco. Apa aku harus mengoperasi pita suaraku?” ia menatap Fara dengan senyum manisnya.
Hahaha, Fara tertawa mendengar ucapan teman barunya. “Kamu lucu juga ternyata, senang kenal denganmu!” Jujur Fara sangat menyukai pribadi cowok itu yang ramah.
“Hmm, ayo berteman. Mulai sekarang kita akan mencari tahu kakak senior yang tampan,” ucapnya sambil mengerlingkan matanya.
“Jangan-jangan kamu…” ucapnya terpotong saat teman barunya itu menempelkan jarinya ke mulutnya.
“Jangan mengucapnya kencang!” Ia tersenyum jahil, seolah tau apa yang ada di pikiran Fara.
“Tidak apa-apa, aku akan menjadi sahabat terbaikmu dan akan menjaga rahasisamu, janji!” Fara menjulurkan jari kelingkingnya yang disambut oleh cowok itu.
“Tidak apa-apa mereka tahu, keluargaku juga tidak mempermasalahkannya!” dengan bangganya dia menatap Fara dengan kesombongannya.
“Waaaa,” Fara geleng-geleng sambil bertepuk tangan. “Keluargamu hebat,” ucapnya sambil memberikan jempol.
“Fara!”
Suara berat dan datar membuat Fara dan anak cowok itu menoleh.
Fara kaget ketika melihat Mikel berada di pintu kelasnya. “Iya dad,” setengah berlari Fara menghampiri Mikel. "Lo, kok ke sini Dad?" Fara heran kenapa daddynya berada di depan kelas mereka.
“Kamu melupakan ini.” Mikel menyerahkan setumpukan kertas kepada Fara. Dia tidak butuh waktu lama mencari kelas putrinya itu.
"Astaga, makasih dad. Kalau gak Fara bakalan tidak mengumpul tugas hari ini." Ia memeluk Mikel dengan sangat mesrsyukur.
Mikel melepaskan pelukan Fara, dan melihat wajah cantik yang duduk menatapnya. Ia mengernyit, baru saja ia mendengar suara laki-laki. Apa ini karena usianya sudah menua membuat pendengarannya berkurang.
“Baiklah, daddy pergi dulu. Nanti akan di jemput Sam!” Sebelum pergi ia tak lupa mengelus kepala Fara yang membuat teman barunya tersenyum aneh.
Fara berjalan girang ke arah cowok cantik itu. Melihat mata temannya itu yang berbinar, membuat Fara manyun. “Hei, kenapa kau tersenyum seperti itu?” ia penasaran dengan senyum temannya itu.
“Itu daddymu?” tanyanya setengah berbisik.
“Hey, awas ya! Jangan pernah bermimpi mau jadi ibu tiriku!” balas Fara berbisik, kemudian tawa mereka pecah.
***
“Kamu gila Mike?” asistennya mendengus kesal, ia tidak menyangka sahabatnya itu bisa berpikiran aneh pada putrinya sendiri.
Setelah mempunyai keberanian akhirnya Mikel berbagi keresahannya dengan asisten sekaligus sahabatnya itu.
“Aku harus bagaiman? apa aku harus mengirimnya lagi ke luar negeri?” jawabnya dengan nada frustasi atas birahi gilanya itu.
“Tidak, bukan itu masalahnya. Kamu harus menikah. Percayalah Mike, ini jalan satu-satunya.” Ia menepuk bahu Mikel yang duduk dengan lemas di kursi kerjanya.
Apalagi kejadian pagi tadi menambah otak kotornya tambah gila.
“Apa aku harus ke psikolog?” tanyanya dengan pasrah sambil menatap asistennya itu dengan lemas.
“Aku kira juga begitu. Baiklah aku akan memberimu kontak dokter Samatha. Dia dokter yang bisa dipercaya.” Ia merogoh sakunya untuk mengambil ponsel lalu ia mencari kontak dokter itu.
Setelah mengirim kontak dokter ke Mikel, ia melirik jam di pergelangan tangannya. “Mike, aku jemput Fara dulu.”
Drtttt!
Baru saja ia pamit ponselnya sudah berbunyi
“Ia Fa, om akan menjemputmu.” Ia meberi kode kepada Mike Fara menelponnya.
“Apa? tunggu! Ini ada daddymu, izin ke dia saja. Aku tidak mau jadi santapan malamnya.” Dengan cepat memberikan ponsel kepada Mike.
“Hmm, kenapa?” jawab Mikel pada Fara di ujung telepon.
[Dad, Fara mau jalan-jalan bersama teman Fara ke mall ya dad. Gak lama kok, cuma sebentar. Nanti juga dia yang antar pulang,] dari seberang sana Fara memberanikan diri meminta izin pada Mikel.
Ini pertama kali Fara keluar rumah dengan orang asing. Itu pun karena teman cowoknya itu yang mengajak.
“Om Sam akan antar, kalau mau. Kalau tidak, pulang saja.” Mikel mematikan ponselnya dan mengembalikannya kepada sang asisten.
“Hei, kamu terlalu kejam. Biarkan dia menghabiskan waktu dengan temannya. Ini masa pertumbuhannya.” Ia tidak terima Mikel terlalu mengekang Fara.
Mikel mengabaikan ocehan lelaki itu yang terus berlanjut, dengan cepat ia menyambar kunci mobilnya.
“Hei, kamu mau kemana, Bos?”
Farra duduk di atas karpet tebal, membiarkan rambutnya yang panjang terurai dan jari-jarinya membolak-balik buku sketsa yang sejak semalam belum selesai ia isi.Namun pikirannya tidak fokus.Di layar TV besar di ruang tengah, suara pembawa berita menggema pelan.“...hingga kini belum ada klarifikasi resmi dari MRA Holdings terkait pembangunan proyek yang disebut-sebut melanggar zona hijau di kawasan Selatan kota...”Farra mematung. “Proyek MRA? Itu perusahaan Mikel,” gumamnya pelan.Ia meletakkan buku sketsanya perlahan, berjalan mendekat ke TV dan menaikkan volumenya.“...seorang pengirim anonim melampirkan beberapa dokumen internal perusahaan yang tampaknya valid. Meski belum dikonfirmasi, publik mulai mempertanyakan integritas sang CEO muda...”Farra menelan ludah. Kenapa Mikel tidak mengatakan apapun? Bukankah dia selalu bicara soal keterbukaan? Tentang kepercayaan?Ia k
Lampu-lampu jalan menyala satu per satu, menciptakan bayangan panjang di sepanjang kafe kecil tempat Sarah duduk dengan anggun di pojokan, mengenakan kacamata hitam.Ia sedang menunggu seseorang.Dan saat lelaki itu masuk deberpakaian rapi, senyum ramah, aura tenang, Sarah segera tahu bahwa mangsanya telah datang dengan suka rela.“Steven,” panggil Sarah lembut, menyeringai saat pemuda itu duduk di hadapannya.Steven menatapnya waspada. “Kenapa kamu memintaku datang?”“Langsung ke inti, ya?” Sarah menatap cangkir kopinya sebelum menatap Steven lagi dengan mata penuh muslihat. “Aku ingin bicara tentang Farra dan Mikel.”Wajah Steven yang awalnya tenang berubah sedikit kaku.Sarah tersenyum puas. “Kamu tahu, bukan? Mereka akan menikah. Mikel menyembunyikannya dari semua orang. Tapi aku punya mata dan telinga di mana-mana.”Steven menggenggam tangannya di bawah meja. Ia t
Meriam duduk di beranda samping mansion, secangkir teh di tangannya, mata tajamnya menatap taman yang masih basah oleh embun pagi. Tapi bukan taman itu yang memenuhi pikirannya.Melainkan nama itu. Farra. Dan lebih dari itu ‘pernikahan.’Ia baru mendengar kabar itu pagi ini. Dari Samuel, yang terlalu terbiasa melihat kemarahan Mikel hingga tidak lagi bisa berbohong di hadapan wanita yang melahirkan pria itu.“Pernikahan?” bisik Meriam tadi pagi, tatapannya menusuk. “Tanpa restuku?”Samuel hanya menunduk, tahu batasannya.Dan kini, saat aroma teh menguar di udara, Meriam masih mencoba memahami, bagaimana mungkin putranya yang selama ini tak tersentuh, menjadi sebegitu terikat pada gadis itu."Menjijikkan," suara lain menyela.Meriam menoleh pelan. Sarah berdiri di ujung beranda, mengenakan dress merah muda pastel yang terlalu manis untuk niat yang begitu pahit.“Sarah,” ucap Meriam
Langkah Farra terhenti di ambang pintu kamar.Pintunya tinggi, ukiran gelap khas Eropa, dan begitu terbuka, wangi maskulin langsung menyeruak menyambut indra penciumannya, paduan kayu cendana, kulit, dan aroma sabun Mikel yang mulai ia kenali.Kamar itu luas. Terlalu luas untuk satu orang. Dengan jendela kaca besar menghadap taman belakang, langit-langit tinggi, rak buku dari kayu mahoni, dan pencahayaan lampu gantung yang temaram. Tempat tidur king size di tengah ruangan itu tampak seperti panggung megah untuk drama yang belum dituliskan.Farra memeluk dirinya sendiri. Ia merasa kecil.“Kenapa diam?” Suara berat Mikel terdengar dari belakang, sebelum lengan pria itu melingkar lembut di pinggangnya. “Tidak suka kamarku?”“Bukan begitu,” Farra menoleh, menatap mata pria itu. “Aku hanya tidak pernah membayangkan akan berdiri di sini. Di kamar ini. Denganmu.”Mikel menyentuh pipinya. “Aku ti
Farra menggeliat pelan. Selimut masih membungkus tubuhnya sampai dada, tapi kulitnya merinding begitu angin pagi menyusup lewat celah jendela yang belum tertutup sempurna. Ia menoleh ke samping, dan napasnya langsung tercekat.Mikel masih terlelap. Wajahnya damai. Ada sisa lelah di sana, tapi juga ada sesuatu yang membuat dada Farra terasa sesak, keintiman yang tak bisa dibatalkan.“Sudah bangun?” suara berat itu menyapa, membuat Farra panik dan buru-buru menarik selimutnya lebih erat.“Kamu pura-pura tidur?” tanya Farra, menunduk, malu setengah mati.Mikel berbalik menatapnya, wajahnya serius namun tenang. “Nggak tega buka mata duluan. Aku takut kamu bakal lari.”“Aku masih tidak menyangka telh melakukan hal bodoh ini,” jawabnya dengan pelan hampir seprti berbisik.“Tapi kamu nggak bisa lari dariku, Farra.” Suaranya berat.Farra menahan napas. Matanya menatap langit-langit k
Mikel duduk di sofa, menarik napas lega dan sekarang ia merasa ada angin segar yang menyelimuti rumahnya. Tanpa kehadiran sang ibu, semuanya menjadi lebih ringan.Mikel melirik ke arah Farra yang duduk di sampingnya. “Akhirnya, kita bebas…” kata Mikel dengan suara rendah, namun penuh dengan arti, saat ia berjalan mendekat.Tangannya menyentuh pelan pundak Farra, membuat gadis itu sedikit terkejut dan menoleh cepat.“Kita tidak bisa melakukan ini, dad,” ucapnya pelan dan takut.“Aku bukan lagi dadymu Fara, panggila Mike, kalau tidak kau akan mendapatkan hukuman yang setimpal,” ancamnya di telinga Farra membuat gadis itu merona.“Baiklah, aku akan belajar menyebutkannya. Tapi untuk sekarang rasanya sangat aneh,” aku Farra.“Aneh? Tapi kenapa kau menerima sentuhanku waktu itu, Farra?” lanjut Mike menggoda Farra.Farra tiba-tiba berdiri dan melepaskan rangkulan Mike. &ldqu