Arum berjalan menyusuri lorong fakultasnya dengan perasaan yang masih kacau. Ia tidak bisa berhenti memikirkan tentang perjodohan yang dibicarakan dengan ayah kemarin. Di tengah rasa kalut itu, langkahnya terhenti ketika melihat sosok lelaki yang selama ini telah mengisi hatinya sedang berdiri tak jauh darinya, lelaki itu terlihat sedang mengobrol bersama beberapa teman sekelasnya. Jantung Arum berdegup dengan kencang, sakit sekali jika memikirkan bahwa mustahil untuk bisa bersama dengan laki-laki yang ia cintai. Pasalnya, kali ini pun ia tak akan bisa menolak perintah dari ayahnya.
Arum mengusap air mata yang tanpa disadari mengalir tanpa izin menuruni pipinya, lalu berbalik dan segera pergi dari sana, tak ingin jika harus menatap wajah Sekala dan bicara dengan lelaki itu. Sesampainya di kelas, Arum duduk di kursinya dan menatap papan tulis dengan tatapan kosong. Kata-kata ayahnya terus berputar-putar di kepala, memantul tanpa henti. Hatinya berdegup cepat, seolah dunia yang selama ini dia kenal mulai runtuh begitu saja. Dia meremas jemarinya, rasanya seperti ada yang menekan dadanya dengan keras. Apa ini lelucon? Kenapa mereka memutuskan untuk menjodohkannya dengan orang yang bahkan belum pernah Arum kenal? Bahkan dengan seseorang yang bahkan usianya terpaut jauh dengan Arum. Lagi dan lagi, Arum menghela napas berat, mencoba menenangkan diri. Arum tersentak ketika seseorang menepuk pundaknya, lamunannya buyar seketika saat Sekala kini sudah berdiri tepat di sampingnya. Lagi-lagi lelaki itu tersenyum dengan manis membuat perasaan Arum kini kian kalut. "Tumben ke kelas duluan, biasanya kan bareng? Tadi aku liat lho waktu kamu puter balik di koridor, tapi ga bisa langsung nyamperin karena masih bahas proker sama anak-anak," jelas Sekala. Lelaki itu memerhatikan raut wajah Arum yang nampak tak baik-baik saja. "Kamu kenapa sih? Lagi sakit?" Tanya Sekala seraya menyentuh kening Arum dengan punggung tangannya. Segera, Arum menghindar agar Sekala tak menyentuhnya. Melihat itu, membuat Kala semakin yakin ada sesuatu yang terjadi pada gadis di hadapannya. "Maaf, Kala... Tapi aku lagi pengen sendiri. Boleh tinggalin aku dulu?" Mendengar permintaan itu, Kala diam selama beberapa saat lalu mengangguk mengiyakan perkataan Arum. Lelaki itu tersenyum tipis lalu berbalik menuju bangkunya. Meski berat, namun Arum harus membuat jarak dengan Sekala mulai saat ini, agar hatinya tak semakin terluka ketika harus menerima kenyataan bahwa Sekala memang bukanlah takdirnya. Ia memasang earphone di telinganya lalu menunduk. Sekala benar-benar mengikuti perkataan Arum, lelaki itu tak menghampiri Arum bahkan hingga jam istirahat telah tiba. Kini, perempuan itu berjalan keluar dari kelas dengan lemas, rasanya sudah tak ada semangat sama sekali. Di luar, udara terasa dingin entah mengapa, namun hati Arum jauh lebih dingin dari itu. Pikiran itu terus menghantui: "Bagaimana bisa aku menerima ini?" Arum duduk di bangku taman, matanya terpejam berusaha meredam semua pikiran yang sedari tadi mengganggunya. Ketenangan di siang hari itu berubah ketika suara seorang perempuan yang terasa tak asing memanggilnya. "Hai, Rum! Kamu ga papa? Aku perhatiin kayanya lagi badmood?" tanya Maya, bestie yang selalu ada di setiap momen Arum. Arum hanya tersenyum pahit, lalu menggeleng pelan. "Ah, ayolah! Kamu ga mau cerita sama aku?? Kenapa sih? Cemburu lagi sama Sekala??" Tebak Maya yang dengan cepat dibalas gelengan kepala oleh Arum. "Ya terus apaa?" Tanya Maya lagi. Setelah berpikir sebentar, Arum memutuskan untuk menceritakan semua yang menggangu pikirannya pada sahabatnya, berharap setelah ini bisa merasa sedikit lega. Setelah mendengar apa yang Arum ceritakan, sontak membuat Maya memasang raut wajah tak percaya lalu tertawa kecil. Namun, ada nada yang sedikit asing dari tawa itu. "Wah! Seru juga ya, Rum. Tapi, kamu tau kan, hidup memang penuh kejutan." Mendengar tanggapan itu, entah mengapa Arum merasa ada yang aneh, namun ia hanya bisa tersenyum lelah. Bukan itu reaksi yang ia inginkan. "Oh yaa, kalau gitu sekarang Sekala free dong?" Arum tertegun ketika mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Maya. Apa maksud sahabatnya itu? "Berarti sekarang gue ga papa kan kalau mau deket sama dia? Secara lo bakal segera nikah sama om-om itu," sambung Maya membuat air mata jatuh begitu saja dari pelupuk mata Arum. Dengan cepat ia memalingkan wajahnya dan menghapus sisa air mata yang tersisa dan mengangguk pada Maya. Seketika itu pula, Maya bersorak senang. Dan Arum, ia hanya bisa tersenyum pahit memikirkan bahwa keputusan ini ternyata dapat membawa kebahasaan bagi beberapa orang. Arum menarik napas panjang lalu bangkit dari duduknya. "Gue ke toilet dulu ya," pamit Arum sebelum akhirnya melenggang menjauh dari Maya. Air mata tak dapat ia bendung lagi, ia berjalan dengan cepat sembari terus menerus menghapus air matanya yang terus saja mengalir dengan deras. Hingga tanpa sengaja, ia menabrak bahu seseorang membuat langkahnya sedikit terhuyung saat itu. "Maaf, saya ga sengaja!" Ucap Arum dengan panik. Arum mengangkat kepalanya, menatap sosok yang baru saja ia tabrak. Arum diam memerhatikan sosok laki-laki yang terasa asing baginya, laki-laki dewasa yang jika dilihat mungkin berumur sekitar 26 tahun itu terkesan tenang dan penuh wibawa. Membuat nyali Arum rasanya ciut seketika. Lelaki itu tersenyum tipis ketika matanya bertemu dengan Arum. Ia memutar badannya dan berhadapan dengan Arum sepenuhnya. Dengan nada yang sedikit dingin namun penuh wibawa, ia memulai pembicaraan. "Jadi kamu yang namanya Arum? Saya Saka," terkejut dan bingung mendengar perkenalan lelaki itu, Arum hanya bisa terdiam dan membeku. Bagaimana bisa lelaki itu mengetahui namanya? Arum mengedipkan matanya beberapa kali dengan cepat lalu kembali menatap wajah tampan Saka. Dengan kaku ia menjawab, "Oh... Iya, saya Arum." Saka mendelik sedikit, ia menyadari gadis yang ada di hadapannya saat ini tengah merasa bingung dan sedikit tegang. Saka tersenyum lagi, meskipun masih ada sedikit ketegangan di udara. Kini dengan nada yang sedikit santai, Saka tersenyum lebar pada Arum. “Senang bertemu dengan kamu, Arum. Ngomong-ngomong, kamu ga usah merasa takut sama saya. Saya donatur yang biasanya emang rutin datang ke sini," jelas Saka mendapat balasan anggukan kepala dari Arum. Tapi tetap saja, bagaimana laki-laki ini bisa mengetahui namanya?? Saka menyeringai lalu melanjutkan perkataannya, "Kalau kamu perlu bantuan, kamu bisa hubungi saya di nomor ini," ucap Saka seraya memberikan gulungan kertas kecil pada Arum. Masih merasa aneh dengan situasi saat itu, perlahan Arum meraih gulungan yang Saka berikan lalu tersenyum kecil pada lelaki itu. "Terima kasih." Tak menanggapi lagi, lelaki itu melenggang meninggalkan Arum sendiri. Pikiran Arum kembali terbang, memikirkan bagaimana lelaki itu bisa tahu akan dirinya dan dengan sukarela memberikan nomor ponselnya. Lamunan itu seketika berakhir ketika Maya menghampirinya sembari menepuk bahunya. "Hey, gue liat lo abis ngobrol sama tuan Saka. Ngomongin apaan? Iss kok bisa sih," tanya Maya. Terdengar sedikit kekesalan pada nada bicaranya. "Tuan... Saka?" Tanya Arum, merasa heran dengan panggilan itu. "Lo ga tau? Sumpah ga tau? Dia itu tuan saka, donatur utama kampus kita ini! Harusnya dia itu galak banget, bahkan dia juga bakal marah kalau dia dipanggil dengan panggilan selain tuan. Pernah tuh ada yang manggil dia pake pak, ngamuk loh! Kok Lo bisa sih ngobrol sama dia? Ih iri deh~" Ledek Maya seraya menyenggol lengan Arum. "Haduhh pengen banget bisa punya cowok kaya tuan Saka, udah ganteng, keren, banyak uangnya lagi! Duhh Lo sih ga mungkin ya kan dapet yang modelan tuan Saka? Lo kan nikahnya sama om-om, ups!" Tak menanggapi ocehan Maya, Arum hanya tersenyum tipis lalu menatap arah lain, sambil memikirkan apakah benar lelaki itu tak ada maksud terselubung padanya. Arum membiarkan kehidupannya berjalan layaknya air yang mengalir. Ia tak ingin memikirkan hal tak penting dan hanya fokus pada apa yang bisa ia perbaiki, tentunya bukan nasib perjodohannya yang mengerikan. Bahkan hingga saat ini pun, ketika ia sudah duduk di ruang tamu bersama keluarga calon suaminya, ia hanya bisa pasrah dan menerima takdirnya. Matanya naik menatap sosok lelaki paruh baya yang terasa sangat asing baginya, ditemani oleh seorang perempuan paruh baya yang sepertinya adalah istri pertama dari lelaki tersebut. Ingin sekali rasanya menangis, namun apalah daya, Arum hanya bisa meremas roknya dan menahan agar air mata itu tak sampai jatuh. "Ah, maaf sebelumnya," dengan cepat pandangan Arum naik menatap lelaki bernama Bima itu. Sesekali ia melirik pada Dewi, wanita paruh baya yang duduk di samping Bima. "Tiba-tiba saja Saka mengabari kalau dia tidak bisa ikut hadir hari ini karena ada meeting mendadak dan urgent. Jadi bagaimana kalau kita bicarakan saja semuanya tanpa Saka hari ini?" Jelas Bima, membuat kening Arum mengerut penuh tanya. ".. Saka?" Tanya Budi ingin diperjelas. "Kenapa bingung seperti itu, Bud?" Tanya Bima. "Um, apa kita harus menyertakan Saka juga dalam persiapan pernikahan ini?" Tanya Budi memastikan, nada bicaranya terdengar ragu. "Seharusnya sih begitu, baiknya kan kedua mempelai memang mempersiapkan," mendengar jawaban itu sontak membuat Arum dan keluarganya terkejut. Bukankah mempelainya ada di hadapan mereka saat ini? "Ah oke, jadi... Saka adalah calon suami Arum, benar begitu ya?" Tanya Budi kembali memastikan. "Iya, dari awal kan memang begitu. Kamu ini bagaimana sih, haha! Sudahlah ayo kita tentukan tanggal dan lain-lainnya," Budi mengangguk seraya tertawa canggung kemudian melihat daftar persiapan pernikahan yang sudah Bima siapkan. Arum diam, mengucap syukur karena ternyata Bima bukanlah orang yang harus menikah dengannya. Namun Saka, siapa lelaki ini? Bukan lelaki yang dulu pernah bertemu dengannya, kan? Pasti bukan, batin Arum. Selama persiapan pernikahan, lelaki bernama Saka ini sekalipun tak pernah menunjukkan batang hidungnya pada Arum. Setiap kali ada pertemuan, lelaki itu selalu beralasan dan tak bisa hadir menemani. Dari yang awalnya penasaran, kini Arum sudah biasa saja dan terkesan tak peduli pada sosok calon suaminya itu. Mengetahui bukan lelaki dengan umur yang terpaut jauh darinya saja, itu sudah cukup baginya. Malam ini pun, Arum yakin lelaki itu tak akan hadir menemaninya untuk mencoba gaun pengantin. Ia mendengus kesal dan mulai mengganti pakaiannya. Gaun pengantin yang dikenakan Arum tampak seperti ciptaan dari mimpi, memeluk tubuhnya dengan sempurna. Bahan sutra halus dan lembut berkilau di bawah cahaya lampu, memberi kesan elegan yang tak berlebihan. Bagian atas gaun itu berbentuk strapless, menonjolkan bahunya yang ramping dan lehernya yang jenjang, dengan detail bordir halus di sepanjang pinggiran. Di bagian pinggang, gaun itu terikat dengan sabuk tipis yang mempertegas lekuk tubuhnya, sementara rok gaun tersebut mengembang perlahan ke bawah, seolah menyatu dengan angin yang berhembus lembut. Di bawahnya, lapisan tulle memberikan volume yang dramatis tanpa terlihat berat, menciptakan gerakan yang mengalir seperti air setiap kali Arum bergerak. Di bagian belakang gaun, terdapat detail punggung terbuka dengan renda yang menyilang membentuk pola yang rumit namun tetap memberi kesan seksi namun anggun. Gaun itu tidak hanya memperlihatkan kecantikan fisik Arum, tetapi juga aura misterius dan kemewahan yang memancar dari dalam dirinya. Ia tak bisa menampik betapa sempurnanya gaun ini membalut tubuhnya. Suara sepatu pantofel yang memasuki ruangan sontak membuat semua perhatian segera tertuju pada seseorang yang sedang berjalan hendak memasuki ruangan. Tak lama muncul sosok lelaki tinggi dengan perawakan gagah menatap keadaan dalam ruangan dengan wajah datar dan dinginnya. Arum membeku melihat sosok itu, sosok yang saat ini tengah berjalan mendekatinya. ".. Kamu..."Sudah tiga hari berlalu sejak malam itu, malam di mana Arum hampir pergi meninggalkan Saka. Meski berkata akan tetap berada di rumah, Arum nyaris tak berkata apa-apa pada Saka. Di tengah amarahnya yang masih menumpuk pada Saka, Arum tetap menyempatkan untuk menyiapkan sarapan serta keperluan Saka di pagi hari. Meski dengan wajah ketus, ia tetap mencium punggung tangan Saka sebelum lelaki itu berangkat ke kantor.Sore ini, Saka yang baru saja tiba di rumah berjalan cepat menuju pintu utama. Begitu menginjakkan kaki di rumahnya, ia berjalan cepat sembari menoleh ke sana kemari mencari sosok Arum. Langkahnya terhenti di dapur ketika melihat sosok yang ia cari sedang mencuci piring-piring kotor. Saka menatap punggung istrinya yang sibuk mencuci piring dengan tatapan yang perlahan melembut, ada kesedihan dari raut wajah lelaki itu. Ia kembali menegakkan tubuhnya ketika Arum mulai menyadari kehadirannya dan perlahan berbalik menatap dirinya.Saka menggaruk tengkuknya dan menyengir dengan
Nico berdiri kaku dalam suasana hening yang tak mengenakkan itu. Tegangan antara dirinya dan Saka terasa begitu menyesakkan. "Kamu suka sama istri saya?" Pertanyaan itu terlontar tajam, suara Saka meninggi membuat Nico tersentak.Nico menghela napas perlahan, lalu menggeleng. "Engga, Sa. Jangan salah paham. Maaf, aku minta maaf karena udah lancang pegang tangan Arum.""Itu tau lancang, kenapa masih kamu lakuin? Awas ya, kalau sampai saya liat lagi kamu pegang-pegang istri saya, saya pecat kamu!" hardik Saka seraya menatap garang pada Nico, napasnya memburu menahan emosi.Berbeda dengan Nico yang menurut dan menganggukkan kepalanya, Arum kini menatap Saka dengan tatapan sangat kesal. "Kenapa sih selalu kayak gitu? Kenapa selalu seenaknya sama orang? Punya hati ga sih?!" Usah mengatakan itu dengan lantang, Arum berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Saka memijat pelipisnya yang terasa sakit lalu berdecak kesal, pandangannya beralih menatap genangan air kolam sembari memikirkan apa yang
Saka diam, sesekali menatap arah lain dan memikirkan jawaban apa yang harus ia berikan pada Arum. Pandangannya kembali tertuju pada Arum ketika perempuan itu memegang lengannya dan mengulangi pertanyaan yang sama. "Tuan, jawab saya! Apa maksudnya perkataan tuan tadi?!" Saka mengembuskan napas berat, lalu dengan ragu menjawab pertanyaan Arum. ".. Semua yang kamu dengar barusan, itu benar." ".. Maksud tuan, tuan yang menyebabkan masalah yang menimpa ayah saya sampai ayah saya masuk ke rumah sakit jiwa? Dan tuan juga berencana untuk menghancurkan hidup Sarah??" Saka diam sebentar, lalu mengangguk mengiyakan dugaan Arum. Arum menggigit bibirnya, jantungnya berdegup kencang. Saka yang mulai bisa ia percayai, Saka yang mulai bisa mengambil perhatian serta hatinya, serta Saka yang ia anggap sebagai orang yang bisa melindunginya, ternyata adalah orang yang telah menghancurkan keluarganya. Rasanya seperti dunia tiba-tiba runtuh di hadapannya. "Kenapa?? Kenapa tuan ngelakuin itu sama kel
"Dokter, istri saya?? Istri saya ga papa, kan??" Saka hampir berlari mendekati dokter, bertanya dengan penuh harap. Dokter itu mengangguk pelan, lalu memberikan senyuman tipis. "Syukurlah operasi berjalan dengan lancar. Luka tusukan ibu sangat dalam, namun kami berhasil mengatasi semuanya. Ibu sekarang sudah bisa dipindahkan ke ruang rawat intensif. Namun, karena anestesi dan kondisi tubuhnya yang masih lemah, ibu mungkin akan membutuhkan waktu untuk sepenuhnya sadar." Meski rasa cemas belum sepenuhnya menghilang, Saka dan Nico menghela napas lega, merasa akhirnya semua akan baik-baik saja. "Terima kasih, Dokter. Tolong pastikan istri saya baik-baik saja." "Tenang, kami akan terus memantau kondisi pasien. Yang terpenting adalah ibu sudah melewati masa kritis. Sebentar lagi ibu akan dibawa menuju ruang rawat intensif, dan bapak sudah boleh untuk membesuk ibu," jawab dokter itu sambil memberi anggukan, lalu berjalan pergi. Setelah menunggu sebentar, Saka kembali memandang Arum yang
Nico tiba di hadapan Saka, wajahnya panik menatap kondisi Arum yang tak baik-baik saja. "Kamu cari orang yang udah berani nusuk istri saya, Nic! Dia lari ke arah sana!" Titah Saka seraya menunjuk arah lari pelaku. Segera, Nico mengangguk dan berlari ke arah yang Saka tunjuk. Saka mengangkat tubuh Arum yang terhuyung lemah dan berlari menuju jalan utama. Ia berlari menuju kumpulan taksi yang menunggu pelanggan, lalu segera masuk ke dalam salah satu taksi. "Rumah sakit, cepet!" teriaknya panik. Di dalam taksi, Saka menggenggam tangan Arum yang semakin dingin dengan cemas, ia tak tahu harus berbuat apa. Semua perasaan takut, khawatir, dan panik bercampur menjadi satu ketika memandang wajah Arum yang semakin pucat. Sesampainya di rumah sakit, Saka segera membawa Arum menuju ruang gawat darurat. Dengan napasnya yang masih terengah-engah, Saka berdiri di luar ruangan dengan wajah penuh kecemasan. Lelaki itu berjalan mondar-mandir sembari sesekali melirik ke arah pintu ruangan deng
Saka menggeleng-gelengkan kepalanya seraya tersenyum simpul, tak habis pikir dengan tingkah Sarah yang jauh berbeda dengan kakaknya, Arum. Sudah beberapa hari ini, Sarah terus-menerus mengirim pesan padanya, berharap bisa bertemu lagi, berharap bisa melanjutkan apa yang sudah mereka mulai. Senyum itu perlahan memudar, tergantikan tatapan datar yang saat ini tengah menatap layar ponsel. Perasaannya mulai lelah dengan permainan ini. Di layar itu, tertera nama Sarah yang tercatat di daftar kontaknya. Dengan mantap, jari-jarinya bergerak, dengan sekali ketukan ia memblokir nomor Sarah. Ponsel di tangannya kini terasa lebih ringan, seolah sebuah beban telah hilang begitu saja. Saka menghela napas, menatap layar ponselnya yang gelap. Tidak ada lagi pesan masuk dari Sarah yang mengganggu. Pandangan Saka kini tertuju pada Arum yang terbangun, perempuan itu mengucek matanya lalu menguap dengan tangan yang menutupi mulutnya. Matanya yang masih setengah terbuka melirik ke arah Saka dan te