Sepeda motor yang ditumpangi Ines baru saja berhenti di halaman rumah ketika dari arah jalan terdengar deru mobil yang mendekat. Tampak mobil yang ditumpangi Ibu mertua dan kakak iparnya datang. Ines segera membayar tukang ojek itu agar buru-buru pergi. Dia tak mau jika tukang ojek itu harus menyaksikan keributan.
Mobil itu berhenti di depan garasi yang masih tertutup. Ibu mertua dan dan para kakak iparnya turun. Mereka tampak saling melirik. Ines sudah bersiap untuk menyerang jika sumpah serapah serta makian dia dapatkan. Namun salah dugaan Ines, Retno menghampiri dan memeluknya. “Maafin Ibu, Nes! Maafin Ibu! Tadi itu, Ibu hanya tak punya pilihan,” bisiknya. Mirna dan Erna pun turut menepuk lembut bahunya yang sedang dalam pelukan Retno. Sementara itu, Gugun dan Erda---suami Mirna dan Erna langsung membuka kunci pintu dan masuk ke dalam. Ines mematung, padahal dia sudah bersiap membela diri ketika ibu mertua dan para kakak iparnya menyerang. Namun semua dugaannya salah. Mereka malah begitu lembut dan baik memperlakukannya. “Ayo ke dalam, Bu, Nes! Kita istirahat!” seru Erna seraya melangkah lebih dulu. “Iya, Nes! Nanti kita bicarakan kalau semua sudah tenang!” tambah Mirna seraya mengikuti langkah Erna menjauh dari Ines yang masih berpelukan dengan Retno---sang ibu. “Ayo, Ines! Sudah malam gak baik kita berlama-lama di luar! Maafin tadi ibu, ya! Ibu bener-bener gak punya pilihan! Nanti Ibu jelaskan siapa perempuan tadi! Kami berhutang pada keluarga Aniska, Nes!” tukas Ibu seraya menarik lengan Ines. “Baik, Bu! Aku tunggu penjelasannya! Tapi aku gak mau besok, aku mau … ibu menjelaskannya sekarang!” tukas Ines seraya membuang napas kasar. Dirinya mencoba meredam emosi yang sejak tadi sudah meletup-letup. Namun melihat tatap lembut dari Ibu mertuanya, Ines mencoba menunggu semuanya terbuka. Setelah itu, dia bisa menimbang seperti apa langkah seterusnya yang harus dia lakukan. “Baik, Ibu akan ceritakan semuanya padamu! Kita masuk dulu, yuk!” tuturnya lembut. Dia menggiring Ines untuk segera masuk. Ines pun mengikuti langkah Ibu mertuanya hingga tiba di ruang tengah, Retno menoleh padanya. “Kamu tunggu ibu saja di sini, ya! Ibu mau bersih-bersih dan ganti baju dulu, ya!” tukasnya seraya tersenyum lembut. Mau tak mau, Ines mengangguk. Lalu dia memilih duduk di sofa seraya menyandarkan tubuhnya. Kedua kakak iparnya sudah menaiki tangga sejak tadi dan masuk ke dalam kamarnya masing-masing. Kini Retno pun menuju ke kamarnya yang ada di lantai atas.Ines duduk di ruang tengah seraya tepekur. Menunggu Retno---ibu mertuanya yang tadi berjanji akan menceritakan semuanya datang kembali. Namun dua puluh menit sudah berlalu, tak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Ines menjadi geram, dia berjalan mengikuti uliran tangga dan mendekati kamar ibu mertuanya.Tak sopan sebetulnya, tetapi rasa penasaran dan kesal kembali berlarian. Ketukan bertalu pada daun pintu, tak lekas membuat pintu itu terbuka. Tak ada lagi sahutan, hingga akhirnya Ines harus mengakhiri malam ini dengan kecewa. Akhirnya dia menuju kamarnya yang terletak di dekat tangga. Hanya dia yang tidur di kamar bawah, sedangkan ibu dan kakak mertuanya semua berada di lantai dua. Ines membersihkan diri, meskipun kamarnya di bawah tetapi tetap memiliki kamar mandi didalam. Mengguyur tubuhnya dengan air shower yang hangat. Pikirannya yang terlampau fokus sehingga membuatnya tak sadar, ketika dia membuka pintu kamar mandi dengan lilitan handuk di dadanya, Ines terlonjak keget karena Arlan sudah membaringkan tubuh di atas ranjang. “Astaghfirulloh, Mas!” pekik Ines seraya menutup bagian tubuh atasnya yang terbuka dengan kedua tangannya. Arlan yang kagetpun menoleh. Seminggu menikah dengan Ines bahkan baru kali ini melihatnya setengah telanjang. Sontak dia menelan saliva ketika melihat tetesan air yang berjatuhan dari rambut basah istrinya masuk ke sela-sela handuk yang membalut tubuhnya. “Kamu ngapain mandi malam-malam, sih?” Arlan membuang muka, tetapi tetap saja bayangan tubuh seksi Ines yang kini menarik selimut untuk menutup tubuh bagian atasnya berlarian. “Kamu pulang, Mas? Bukannya nginep di rumah perempuan simpanan kamu?” Ines menatap sinis pada Arlan. Dia bergegas meraih pakaiannya dari dalam lemari dan hendak melarikan diri kembali ke kamar mandi. Namun tanpa disangka, Arlan menarik selimut yang menutup bagian atas tubuhnya hingga langkahnya terhenti. “Jaga bicaramu, Nes! Kamu gak tahu siapa dia? Jangan berani-beraninya merendahkan dia?!” Arlan menatap Ines. Kilat matanya bercampur baur antara nafsu dan amarah yang berbaur. “Mana aku tahu, Mas?! Apa kamu pernah ngasih tahu aku siapa dia?! Enggak ‘kan?!” Ines menepis tangan Arlan yang kini menyampir pada pundaknya dan mundur beberapa langkah. “Kamu gak perlu tahu apapun tentang dia, tapi sekali lagi kamu bicara merendahkan dia, aku tak akan segan-segan untuk,-” “Untuk apa, Mas? Bilang? Untuk apa? Kamu mau ceraikan aku? Ayo ceraikan, aku gak takut! Lebih baik aku menjadi janda, dari pada harus berbagi dengan perempuan rendahan seperti dia!” pekik Ines yang sudah menahan kesal sejak tadi. Bicaranya semakin tak terkendali membuat Arlan semakin murka. “Ines!” Arlan merangsek maju dan mengayunkan telapak tangan hendak menampar Ines, tetapi Ines menepisnya. Rasa kesal dan marahnya sudah berbaur. Sakit hatinya sudah menghujam hingga ke dalam. Namun sial, handuk yang dipakainya hampir terlepas. Ines terkejut lalu membetulkannya, memaksa sepasang mata Arlan mengikuti gerakan tubuhnya. Berulang kali dia menelan saliva hingga akhirnya dia merangsek dan mengkungkung tubuh sang istri yang sudah hampir tersandar pada tembok. “Apa kamu marah-marah seperti ini karena kita belum melakukan malam pertama? Apa kamu ingin melakukannya sekarang, Sayang?!” Arlan menyeringai. Otaknya sudah berlarian dengan fantasi liar.Wajah Ines memucat ketika Arlan mendekat. Bahkan wajah mereka nyaris tak berjarak. Hembusan napas Arlan yang mulai memburu dipenuhi birahi menghembus menyapu wajahnya. Ines sekuat tenaga mendorongnya agar suaminya itu menjauh. “Mas, aku masih halangan! Jangan sentuh aku!” Ines berkilah. Padahal baru saja dia bersuci. “Oh, gitu! Biar aku periksa sendiri!” bisik Arlan seraya menyentuh hujung handuknya yang menjuntai. Namun Ines menepis tangan itu kasar. Sudah tak peduli lagi tentang dosa, tentang laknat malaikat ketika menolak keinginan sang suami. Otak Ines sudah dipenuhi kebencian pada sosok yang kini mengkungkungnya itu. “Kamu itu harus nurut. Aku ini suamimu, Sayang!” tekan Arlan. “Iya aku akan nurut tapi pada suami yang seperti apa dulu? Bahkan kamu tak menghargaiku sebagai istrimu!” pekik Ines. Kedua tangannya sekuat tenaga mendorong dada Arlan. Namun lelaki itu malah menangkapnya. Lalu tanpa Ines sangka, Arlan membopong tubuhnya dan membawanya ke atas tempat tidur. “Lepas
“Istrinya Mas Arlan? Kapan mereka menikah, Ma? Bukankah ketika Mas Arlan menikahiku status di KTP-nya masih lajang?” Ines bertanya dengan suara gemetar. Rupanya perempuan itu istri dari suaminya. Retno tersenyum mencoba tetap bersikap ramah. Dia mengelus punggung Ines yang duduk disisinya. Lalu dia meraih jemari Ines dan menggenggamnya. “Nes, dengarkan Ibu! Kamu adalah menantu kesayangan Ibu di sini! Kamu akan tetap menjadi menantu Ibu seperti janji Ibu pada Ibumu. Kamu akan selamanya di sini dan bahagia bersama Arlan!” ucapnya. Alih-alih menjelaskan, tetapi hanya berputar membuat Ines menghembuskan napas kasar. “Bu, tolong! Ines butuh penjelasannya!” Ines menatap pada kedua manik hitam Ibu mertuanya. “Hmmmm!’ Dia berdehem lalu menunduk sebentar. Setelah itu menarik napas panjang. Kedua bola matanya menatap Ines tajam. “Dia itu istrinya Arlan, maafkan kami yang tak menjelaskan apapun padamu! Namun seharusnya yang marah itu dia kalau tahu Arlan menikahimu karena kamu istri kedua
Otaknya yang tengah kalut tak bisa berpikir jernih. Berada dalam keadaan yang tak menyenangkan membuat Ines semakin merasa tertekan. Dia beranjak berdiri dan berjalan mendekati jendela. Menatap keluar dengan pandangan kosong. Berharap ada pangeran berkuda putih yang datang mengeluarkannya dari penjara itu. Namun semua asa itu hanya taburan harap belaka, pada kenyataannya kini dia tengah terkurung di rumah suaminya sendiri. “Kapan aku bisa hidup dengan kebahagiaan, ya? Rasanya dari kecil hanya pedih, sedih dan luka saja ….” Ines memejamkan mata. Membiarkan hembusan angina menyapu wajahnya. Menyelinap dari jendela yang terbuka. Andai tak ada trails yang menghalanginya, mungkin dia sudah melompat saja. Meninggalkan rumah yang semakin hari semakin membuatnya gerah. Berulang kali dia mengecheck pintu, tetapi masih saja terkunci dari luar. Sepertinya anak kuncinya sengaja tak dilepas, jadinya anak kunci yang dia pegang menjadi tak berguna. Hanya bisa masuk, tapi tak bisa berputar. “Ak
Ines mengerjap. Pengaruh obat bius yang diberikan Arlan padanya sudah lenyap. Namun alangkah kagetnya dia ketika terbangun, dirinya sudah terbaring di atas ranjang dengan tanpa sehelai benangpun. Pakaiannya berserakan di lantai. Selain itu ada rasa sedikit nyeri yang terasa perih di inti tubuhnya dan bercak darah para seprai di sekitar tempatnya terbaring. “Enggak, aku enggak relaaa!!!” Ines memekik seraya menjambak rambutnya yang terurai. Dia menarik selimut menutupi tubuh polosnya. Ines melempar-lemparkan bantal dan apa saja yang ada di dekatnya. Amarah memuncak, dirinya mulai membenci takdir yang tak berpihak. Hatinya hancur berkeping ketika mendapati kesucian yang selama ini dia jaga sudah direnggut paksa oleh lelaki yang bergelar suami, tetapi bukan seorang imam seperti impiannya. “Tuhan, apa aku serendah itu di mata-Mu? Bukankah sejak kecil aku sudah Kauerikan kesusahan, hidup kekurangan, Bapak ditabrak orang lalu sakit-sakitan, hidup aku dikucilkan dan pedih sejak dulu? Ke
“Hah, besok? Kenapa saya kebagian yang pertama, sih, Mbak?” protes Arlan pada sekretaris Airlangga. Bahkan dia belum tahu kondisi Ines sekarang. Semoga besok istrinya itu tak membuat kekacauan. “Bos tahu kalau Pak Arlan tinggal serumah dengan Pak Erda dan Gugun! Jadinya besok mau visit pertama ke sana, biar memangkas waktu. Sebentar lagi dia pergi lagi ke luar negeri lagi soalnya!” tukas Miati. “Iya deh, iya! Makasih ya, Mbak Mia!” Arlan akhirnya mengangguk pasrah. Segera dihampirinya Gugun dan Erda yang memang berbeda bagian. Rupanya dia sudah menelpon Retno dan memberitahunya untuk acara besok, sehingga Erna dan Mirna sudah pergi keluar untuk berbelanja. *** Ines sibuk membereskan satu kamar tamu lagi yang bersebelahan dengan kamar yang biasa ditempati olehnya dan Arlan. Dia tak punya pilihan selain tinggal setidaknya tiga bulan sepuluh hari di rumah itu. Terpaksa dia menepis keinginan untuk pergi meninggalkan rumah yang kini terasa mencekam itu sementara waktu. Ines takut j
Ines memasak semua bahan yang sudah dibeli oleh kedua kakak iparnya. Keringat sudah mengucur membasahi pelipis ketika semua sudah hampir selesai. “Duh, Mah kok jadi kayak gini, ya?” Terdengar suara Mirna dari arah ruang tengah menuju dapur. Ines tetap fokus pada pekerjaannya yang sebentar lagi akan beres. “Mamah juga sama, Mir! Kamu gak lihat ini leher, tangan sama kaki Mama beruntus semua? Merah-merah, gatal sama pedih banget!” Suara Retno menimpali. Ines tetap bergeming. Hanya sudut matanya sesekali melirik kedua orang yang tampak memeriksa dan mencicipi hasil masakannya. Andai bukan buat tamu, mungkin Ines sudah campurkan dengan obat pencuci perut biar semua kapok memakan makanan yang dimasaknya. Namun Ines masih waras, ada orang lain yang tak bersalah yang akan kena juga. “Mamah sih, mending mukanya enggak! Aku malah malu, Ma! Mukaku bintik-bintik merah seperti ini!” keluh Mirna lagi. “Ya sudah kamu pakai masker saja nanti kalau malu!” Terdengar saran Retno untuk Mirna. “Uda
“Silakan diminum!” Ines menyimpan perlahan gelas-gelas yang dibawanya di atas meja kaca yang sudah diisi oleh tujuh orang itu. Hanya Arlan dan Aniska saja yang belum kembali. Airlangga menoleh pada suara yang baginya familiar, dia menautkan alis dan menatap wajah yang tengah menunduk itu dalam-dalam. “Terima kasih!” ucap Airlangga. Dia menoleh wajah ayu yang menunduk itu, tetapi kemudian abai. Hingga suara Ines kembali membuatnya menoleh dan menatap dengan lekat. “Sama-sama, Tuan!” jawab Ines seraya melempar senyum. Airlangga mengangguk, tetapi ada sesuatu yang tiba-tiba berkecamuk. Ines berdiri dan memutar tubuhnya meninggalkan ruang tamu. Dia tak sadar kedua bola mata itu menatapnya hingga punggungnya menghilang. Obrolan kembali mengalir. Tak berapa lama, Arlan dan Aniska tiba. Wajah perempuan itu ditekuk hingga Arlan membisikkan sesuatu lalu senyum itu menyembul dengan terpaksa. “Selamat siang, Pak Langga! Mohon maaf saya terlambat … tadi ada sedikit insiden!” Arlan yang tampa
Kesamaan nama, rambut kuncir ekor kuda, dan sate kambing yang dibawanya seolah clue yang membuatnya mau tak mau menebak-nebak dalam dada. “Mbak Inesa, maaf boleh tanya … kampung asalnya dari mana, ya?” Baru saja Ines menganga, Arlan mendahuluinya seolah tak rela ada orang lain yang tampak memperhatikan Ines.“Ahm, dia kami ambil dari yayasan pembantu, Pak Langga! Apa Bapak tertarik mencari ART juga?” Arlan menimpali dengan sopan. Meskipun jelas dari caranya sama sekali tak terpuji, menyela pembicaraan orang lain. Ines membuang napas kasar, lalu berjalan lurus saja ke arah belakang. Lagi pula apa yang dia harapkan, jika benar pun itu Airlangga masa kecilnya, status mereka sudah terlalu jauh. Apalagi sekarang Ines merasa dirinya tak pantas lagi karena perbuatan Arlan waktu itu. Sehingga dia pun tak lagi pernah bermimpi untuk memiliki hidup dan rumah tangga yang indah dengan sosok yang sesungguhnya dulu membuatnya bertahan dan digelari perawan tua. Hanya dia yang tahu betul-betul apa