Aku melangkah mendekati ranjang, lalu merebahkan diri di atasnya.Kutatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong.Kadang aku sering bertanya di pikiran, benarkah yang kurasakan saat aku memikirkannya itu adalah cinta?Aku kadang tak bisa membedakan antara cinta dan juga hanya rasa simpati saja.Tapi jika hanya bersimpati, mengapa saat dia pergi terasa ada ruang hampa yang singgah di dalam sana.Ada sesuatu yang menghilang begitu saja.Bahkan sekarang aku takut, takut tiba-tiba rasaku kian mendalam. Sedangkan yang di sana perlahan semakin menghilang. Hingga membuatku hancur berkeping-keping tak dapat lagi tertahankan.Mimpi itu.Mimpi itu juga sering singgah menghampiri. Menambah suasana negatif dalam setia rasa. Mengacaukan pikiran yang sempat kubaluri dengan rasa percaya, bahwa dia pasti berada dalam keadaan yang baik-baik saja.Mimpi itu benar-benar mengganggu jalan pikirku. Dan aku berharap semua itu hanya bunga tidur saja, tak lebih.Aku memejamkan mata sejenak, lalu teringat s
****"Ruangannya di mana?" tanya Putri mengikutiku.Kami baru saja sampai di rumah. Ternyata Mpok Wati juga sudah sampai di rumah ini. Aku lalu menyapanya terlebih dahulu."Mpok!" sapaku padanya.Mpok Wati menatap Putri dari atas hingga bawah."Ini Putri, Mpok. Sahabatnya Nita," ucapku padanya sebelum dia berpikir negatif."Owalah, baru lihat saya. Maaf ya, Neng," ucap Mpok Wati pada Putri."Eh, iya, nggak papa. Saya orangnya nggak baperan kok," jawab Putri sopan sambil terkekeh pelan."Mpok saya ada urusan dengan mereka, minta tolong buatkan minuman untuk kami ya. Taruh saja nanti di atas meja," pintaku padanya."Baik, Tuan," jawab Mpok Wati. Aku lalu mengajak mereka berdua untuk mengikuti langkah kaki ini.Setelah beberapa menit, akhirnya kami sampai di depan ruangan yang kumaksudkan."Lu punya ruangan tersembunyi, Mar," ucap Aryo padaku."Bukan, ini mah ruangan udah lama. Cuman jarang dipake, " ucapku sambil membuka pintu ruangan ini."Oh gitu, hebat ya, bahkan gue yang dekat bang
Sedangkan Putri, dia masih menangis sambil terduduk lemas di kursi sebelahku."Sudahlah, Put. Kau pikir hanya kau yang khawatir di sini! Tidak! Aku juga khawatir dengan keadaan istriku. Bahkan aku sangat-sangat mengkhawatirkannya." Aku berusaha menenangkannya.Isak tangis Putri perlahan mulai mereda. Ia lalu menatapku tajam."Ini semua salah lu!" teriaknya setelah berdiri dan menunjuk wajahku."Kok jadi salah gue?" tanyaku tak terima."Seandainya lu jadi suami yang peka, nggak nyakitin dia. Nggak bentak-bentak dia! Mungkin kejadian ini nggak bakalan terjadi!" teriak Putri lagi penuh emosi."Gue juga nggak tau bakal kayak gini! Lu pikir, ini semua kehendak gue. Gue yang nyiptain alurnya, hah!" bentakku padanya.Hilang sudah rasa sabarku saat Putri tiba-tiba menyalahkan aku atas kepergian Nita."Sudah jangan saling menyalahkan! Semuanya berjalan karena takdir yang mengaturnya, toh semua sudah terjadi apalagi yang perlu disalahkan. Lebih baik sekarang fokus saja terhadap Nita, jangan sa
***"Damar, kita harus tetap waspada. Sepertinya jumlah mereka lebih banyak." Aryo berbisik. Kuperhatikan mereka yang berada di deanp dari jarak jauh. Ya, memenag benar jumlah mereka lebih banyak dari kami, tapi itu tak akan menyurutkan rasa emosiku yang sudah membakar jiwa. Rasa keberanianku begitu tinggi, melihat wajah mereka hanyalah sampahnkecil yang harus segera dimusnahkan menurutku."Ya, gue tau. Anak buah lu udah di mana?" tanyaku padanya. Kulihat-lihat dari tadi, tak ada anak buah Aryo di belakangku."Masih dalam perjalanan, sebaiknya kita undur waktu perlahan!" perintah Aryo. Aku hanya mengangguk sambil berjalan mengendap-endap."Baiklah, kalo begitu cukup kau siap-siap saja dengan apa yang akan kita lakukan selanjutnya." Aku memberikan perintah pada Aryo."Lelaki itu bagianku, akanku buat dia tersiksa perlahan," gumamku sambil menatap dari jauh pria yang masih tertawa tanpa merasa berdosa."Suruh orang-orangmu bertindak lebih cepat. Aku sudah tak sabar untuk memberikan pela
"Dari mana kalian mendapatkannya?!" teriak lelaki itu terlihat khawatir akan terjadi sesuatu pada keluarganya."Jika kau masih tetap tak mau memberitahukan di mana istri temanku, jangan salahkan aku jika terjadi sesuatu pada keluargamu!" ancam Aryo terdengar mematikan.Wajah pria itu terlihat pias, ia lalu bergegas duduk sambil sesekali terbatuk."Bagaimana? Kau mau memberitahukan, atau keluargamu dalam bahaya," ujar Aryo."S-saya ... tolong jangan sakiti keluarga saya!" ucapnya terdengar memohon."Cepatlah katakan! Orang-orangku sudah bersiap menuju rumahmu. Kau tau, aku bisa saja melenyapkan mereka tanpa diketahui sedikitpun.""Iya, Bos! Mereka datang ke sini," Tak sengaja telingaku mendengar suara seseorang yang sedang menelepon.Aku lalu berbalik dan melihat musuhku itu menelepon secara diam-diam.Aku bergerak maju dan langsung merampas handphonenya, lalu kumatikan begitu saja."Cepat katakan, di mana kau sembunyikan istriku! Kau tau istriku saat ini sedang dalam bahaya?!" bentakk
****"Ini tempatnya," ujar Pria itu. Setelah beberapa jam perjalanan menuju ke kontrakan Sarah."Kau tunggu di sini, jangan harap kau akan lepas setelah melakukan hal buruk pada istriku!" tekanku padanya."Tapi saya sudah memberitahukan tempatnya!""Itu tidak akan memastikan bahwa istri dan anakku akan dalam keadaan yang baik-baik saja!" bentakku padanya.Ia langsung terdiam dan tidak menjawab apapun, rencananya setelah itu. Aku akan membawa mereka ke kantor polisi, jika Nita sudah bisa kutemukan.Aku bergegas turun dan berusaha mendobrak kontrakannya.Tempat ini terlihat sepi. Seperti sudah lama tak ada yang menghuninya. Aneh!Dengan rasa gugup, aku terus mencoba membuka pintu kontrakan Sarah.Brak!Pintu terbuka, bergegas aku masuk. Mataku membulat sempurna saat tatapan ini langsung terarah melihat Nita dalam keadaan pingsan dan dengan darah yang ke luar dari kakinya."Nita!" teriakku lantang. Aku langsung buru-buru menggendongnya dan lari membawanya masuk ke dalam mobil."Ada ap
Jantungku rasanya berhenti berdetak. Bicara dokter pun sudah tak jelas terdengar di telingaku."Kamu banyak utang penjelasan sama Papa dan Mama," bisik Mama sebelum masuk ke dalam ruangan Nita.Aku bersandar pada dinding rumah sakit."Sabar, Bro," ucap Aryo menepuk bahuku. "Gue tau apa yang lu rasain sekarang. Gue harap lu tetap semangat melalui cobaan ini.""Anak gue, Yo," ujarku dengan penyesalan penuh."Gimana perasaan Nita kalo dia udah sadar," ucapku pada Aryo. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana hancurnya Nita, anak yang ditunggunya selama beberapa bulan harus tiada begitu saja."Sabar, Bro." Lagi kata itu yang diucapkan Aryo.Aku terduduk dan mengusap wajah dengan kasar. Argh!"Ini semua salah gue!" ucapku penuh penekanan dan memukul kepala berkali-kali."Udah, Mar, ingat ada orang tua lu di sini," tegurnya dan menghentikan kelakuanku yang berada di luar kendali.****Aku duduk di samping brankar milik Nita, menatap wajahnya yang sangat pucat."Apa yang kulakukan, andai aku
"Nita harus banyak sabar, Sayang. Ini bukan kehendak kita, tapi Tuhan yang merencanakan semua." Mama mendekat setelah tak kuasa menahan tangisnya."Nggak! Nggak mungkin!" teriaknya sambil menutup telinga.Aku semakin merasa bersalah dan tak kuat mendengar tangisan Nita yang semakin terdengar menyakitkan.~Nita melamun menatap langit-langit rumah sakit dengan perasaan hampa.Sudah semalaman, sejak kepergian Damar untuk bekerja. Tak ada makanan yang masuk ke perutnya. Setiap di suruh makan, Nita selalu menolak dengan alasan tak berselera. Bahkan yang berada di dalam ruangan pun bingung tak tau bagaimana cara agar Nita mau makan.Katakanlah Damar tega karena meninggalkan Nita yang masih terbaring sakit. Mau bagaimana lagi, jika tak dikendalikan, bisa saja perusahaannya hancur berantakan."Nita, ayo dimakan dulu buburnya, Sayang," ucap Aida, mertua Nita."Nita nggak lapar, Ma. Nita pengen ikut anak Nita aja," ucap Nita tanpa sadar."Nggak boleh, Mama nggak mau menantu kesayangan Mama men