Share

Bab 6 Badai

"Ibu nggak pergi ke pesta?" tanyaku pada Bu Rena yang sedang membaca novel. Sebenarnya aku sedang mencari tahu jam berapa pestanya dimulai.

Perempuan itu menoleh, memandangku dari balik kacamatanya. "Pesta apa, Sinar?"

"Oh, itu kemarin, saya dengar ada teman Ibu yang menikah," jawabku, lalu menyunggingkan senyum kaku. 

Pandangan Bu Rena kembali pada buku. "Malas," ujarnya singkat.

"Oh, karena malam ya, Bu?" Aku mengelap kaca dengan cepat. Berharap ada informasi.

"Pestanya siang ini. Aku lebih baik tidur, daripada datang ke pesta .... Aku tidak suka Hendi, dia agak arogan," ungkap Bu Rena. "Lagi pula kami tidak berteman."

Aku tidak bertanya lagi. Menatap kaca jendela di hadapanku. Aku penasaran dengan sosok istri Hendi dan aku harus mendatangi pesta. 

"Sinar, ada beras lima kilo dan gula pasir di kantong plastik ungu. Ada di dapur, bawa saja kalau pulang," ucap Bu Rena.

"Saya bawa besok saja, Bu. Soalnya hari ini saya disuruh Bude saya mampir ke pasar, beli terigu." Aku berbohong, tidak mungkin membawa sekantong beras ke tempat pesta.

"Terserah kamu, Sinar."

"Saya pulang dulu, Bu."

"Hati-hati di jalan."

Aku mencuci kedua tangan di wastafel. Merapikan rambut yang berantakan. Dan, terpaksa aku memesan ojek online karena tempat yang aku tuju lumayan jauh.

Sepanjang perjalanan, perasaan ini sangat gelisah. Teringat perkataan Randu, supaya tidak berharap lagi pada Ibu. Tetapi, aku hanya penasaran. Bukan berharap.

Motor ojek yang aku tumpangi berhenti tepat di depan rumah bercat putih, bergaya ala rumah amerika seperti yang pernah aku lihat di film.

Aku turun dari motor, menarik pengikat tali helm, tapi tidak bisa. Aku mencoba menarik melewati dagu, tetap tidak bisa.

"Maaf, Mas ... ini kok nggak bisa dilepas ya? Apa ini klipnya ya?" Aku bergeser sedikit, berdiri di samping tukang ojol. Dengan wajah yang mungkin terlihat konyol.

"Ck. Menyusahkan saja," gerutunya. Tanpa berdiri, kedua tangannya terjulur mencoba melepaskan tali pengait helm. "Astaga, kenapa macet begini ...."

Dia akhirnya turun dari motor. Aku sedikit terkesiap saat dia menarik masker wajahnya.

"Dipta? Kamu ngojek?"

Dipta tidak menjawab, dia sedang berusaha melepas tali pengait. Dipta anak orang kaya, tidak mungkin kekurangan uang. 

Akhirnya Dipta menarik helm dari kepalaku. Setelah itu dia langsung pergi, padahal aku belum membayar ongkos ojek. Ya, sudahlah.

Sebelum melangkah, aku menarik napas dalam-dalam. Beruntung sekali tidak ada satpam dan pintu pagar terbuka lebar. Aku pun dengan percaya diri memasuki area halaman rumah. Mengikuti salah satu tamu.

Rupanya pesta berada di halaman belakang rumah. Meja-meja katering berderet rapi, orang-orang terlihat memukau dengan baju mahal. Mataku tertuju pada perempuan bergaun putih sederhana tapi elegan, yang menggandeng lengan lelaki berkemeja batik.

 Dia pasti pengantinnya, karena hanya dia yang mengenakan pakaian berwarna putih. Aku berjalan mendekatinya.

"Bu Yuni," panggilku.

Perempuan itu menoleh. Wajahnya memang sedikit berbeda, tetapi sorot matanya menunjukkan keterkejutan.

"Si-siapa kamu?" Dia tergagap.

Suaranya sangat aku kenali. "Ibu?"

"Heh, aku bukan ibumu," elaknya. "Satpam!"

Aku tahu, perempuan itu adalah ibuku. Dia mungkin telah melakukan bedah plastik, sehingga ada perubahan di wajahnya terutama pada bagian hidung dan dagu. Aku memutari tubuh Ibu.

"Satpam!" Lelaki di sampingnya ikut berteriak.

Akan tetapi, Ibu lupa tidak membuang tanda lahir yang ada di bahu kanannya. Bercak hitam yang mirip mawar. Sekilas seperti tato.

"Ibu, kau kejam sekali. Menelantarkan anak-anakmu demi kesenangan sendiri. Selamat atas pernikahanmu yang kelima? Atau keenam?" Aku mencengkeram kuat kedua lengan Ibu. "Mengapa kamu tega sekali!"

"Seret gadis ini keluar. Cepat!" perintah Ibu. "Aku bukan ibumu, kamu salah orang."

Tubuhku diseret oleh seorang satpam berbadan tegap. Aku tidak melawan sama sekali. Karena perasaan sakit hati sedang mendominasi. Sungguh perih. Air mata jatuh begitu saja tanpa bisa aku tahan lagi.

Satpam itu mendorong tubuhku dengan kasar, sehingga aku terjatuh di trotoar. Menyebabkan sikuku terluka.

"Ayo, aku antar pulang!"

Aku mendongak, melihat Dipta mengulurkan helm. Apa dia melihatku diseret kemudian didorong? Buru-buru aku mengusap sisa air mata di pipi.

"Buruan." Dipta tidak sabaran.

Dengan perlahan aku berdiri, menahan nyeri pada lengan. Aku menerima saja tawaran Dipta mengantarku pulang. Karena rasanya tubuh dan jiwaku sudah hancur dan tidak bertenaga atas sikap Ibu.

***

"Makasih, Dipta," ucapku.

"Rawat lukamu," kata Dipta, kemudian meluncur pergi bersama motornya. Dia tidak bertanya apa yang aku lakukan tadi.

Dengan langkah gontai aku masuk ke rumah. Tidak menghiraukan sapaan Dewa. Pikiranku seruwet benang kusut. 

"Mbak Sinar, kok pulang telat?" tanya Randu--yang sedang libur sekolah jadi bisa mengasuh Dewa di rumah. "Lho, itu kok luka sikunya."

"Aku tadi terjatuh," jawabku singkat. "Aku ingin tidur sebentar, kurang enak badan."

"Istirahat saja, Mbak ...."

Aku masuk ke kamar, rebah di atas kasur. Menatap langit-langit kamar yang kusam. Aku tidak akan mengatakan pada Randu dan Rahma bahwa aku bertemu Ibu. Tidak ingin melukai perasaan kedua adikku. 

Karena saking lelahnya, aku pun terlelap. Terbangun ketika hari sudah malam.

"Mbak Sinar, sudah baikan?" tanya Rahma saat aku keluar kamar.

Aku hanya mengangguk. Mendadak mataku menghangat melihat Rahma. Dia masih mengharapkan kepulangan Ibu.

Suara ketukan pintu menghentikan langkahku yang hendak ke dapur. Aku berbalik arah membukakan pintu.

"Ibu?" Kedua mataku mengerjap melihat perempuan dengan sepatu hak tinggi. Rambutnya tergelung rapi dan wangi parfum yang terendus di hidungku.

"Siapa, Mbak?" Rahma penasaran dengan tamu yang datang. Sedetik kemudian dia berteriak dan memeluk Ibu.

"Ibu pulang, Mbak. Doaku terkabul," ucap Rahma, bahagia. 

Akan tetapi, perasaanku tidak enak. Karena Ibu sama sekali tidak menunjukkan kebahagiaan, kedua tangannya tetap berada di sisi tubuhnya. Kedua tangan itu tidak merengkuh tubuh Rahma. Raut wajahnya dingin. 

Ibu pulang bukan untuk menebar kasih sayang dan melabuhkan rindu, melainkan menyemai badai lain.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status