"Ibu nggak pergi ke pesta?" tanyaku pada Bu Rena yang sedang membaca novel. Sebenarnya aku sedang mencari tahu jam berapa pestanya dimulai.
Perempuan itu menoleh, memandangku dari balik kacamatanya. "Pesta apa, Sinar?"
"Oh, itu kemarin, saya dengar ada teman Ibu yang menikah," jawabku, lalu menyunggingkan senyum kaku.
Pandangan Bu Rena kembali pada buku. "Malas," ujarnya singkat.
"Oh, karena malam ya, Bu?" Aku mengelap kaca dengan cepat. Berharap ada informasi.
"Pestanya siang ini. Aku lebih baik tidur, daripada datang ke pesta .... Aku tidak suka Hendi, dia agak arogan," ungkap Bu Rena. "Lagi pula kami tidak berteman."
Aku tidak bertanya lagi. Menatap kaca jendela di hadapanku. Aku penasaran dengan sosok istri Hendi dan aku harus mendatangi pesta.
"Sinar, ada beras lima kilo dan gula pasir di kantong plastik ungu. Ada di dapur, bawa saja kalau pulang," ucap Bu Rena.
"Saya bawa besok saja, Bu. Soalnya hari ini saya disuruh Bude saya mampir ke pasar, beli terigu." Aku berbohong, tidak mungkin membawa sekantong beras ke tempat pesta.
"Terserah kamu, Sinar."
"Saya pulang dulu, Bu."
"Hati-hati di jalan."
Aku mencuci kedua tangan di wastafel. Merapikan rambut yang berantakan. Dan, terpaksa aku memesan ojek online karena tempat yang aku tuju lumayan jauh.
Sepanjang perjalanan, perasaan ini sangat gelisah. Teringat perkataan Randu, supaya tidak berharap lagi pada Ibu. Tetapi, aku hanya penasaran. Bukan berharap.
Motor ojek yang aku tumpangi berhenti tepat di depan rumah bercat putih, bergaya ala rumah amerika seperti yang pernah aku lihat di film.
Aku turun dari motor, menarik pengikat tali helm, tapi tidak bisa. Aku mencoba menarik melewati dagu, tetap tidak bisa.
"Maaf, Mas ... ini kok nggak bisa dilepas ya? Apa ini klipnya ya?" Aku bergeser sedikit, berdiri di samping tukang ojol. Dengan wajah yang mungkin terlihat konyol.
"Ck. Menyusahkan saja," gerutunya. Tanpa berdiri, kedua tangannya terjulur mencoba melepaskan tali pengait helm. "Astaga, kenapa macet begini ...."
Dia akhirnya turun dari motor. Aku sedikit terkesiap saat dia menarik masker wajahnya.
"Dipta? Kamu ngojek?"
Dipta tidak menjawab, dia sedang berusaha melepas tali pengait. Dipta anak orang kaya, tidak mungkin kekurangan uang.
Akhirnya Dipta menarik helm dari kepalaku. Setelah itu dia langsung pergi, padahal aku belum membayar ongkos ojek. Ya, sudahlah.
Sebelum melangkah, aku menarik napas dalam-dalam. Beruntung sekali tidak ada satpam dan pintu pagar terbuka lebar. Aku pun dengan percaya diri memasuki area halaman rumah. Mengikuti salah satu tamu.
Rupanya pesta berada di halaman belakang rumah. Meja-meja katering berderet rapi, orang-orang terlihat memukau dengan baju mahal. Mataku tertuju pada perempuan bergaun putih sederhana tapi elegan, yang menggandeng lengan lelaki berkemeja batik.
Dia pasti pengantinnya, karena hanya dia yang mengenakan pakaian berwarna putih. Aku berjalan mendekatinya.
"Bu Yuni," panggilku.
Perempuan itu menoleh. Wajahnya memang sedikit berbeda, tetapi sorot matanya menunjukkan keterkejutan.
"Si-siapa kamu?" Dia tergagap.
Suaranya sangat aku kenali. "Ibu?"
"Heh, aku bukan ibumu," elaknya. "Satpam!"
Aku tahu, perempuan itu adalah ibuku. Dia mungkin telah melakukan bedah plastik, sehingga ada perubahan di wajahnya terutama pada bagian hidung dan dagu. Aku memutari tubuh Ibu.
"Satpam!" Lelaki di sampingnya ikut berteriak.
Akan tetapi, Ibu lupa tidak membuang tanda lahir yang ada di bahu kanannya. Bercak hitam yang mirip mawar. Sekilas seperti tato.
"Ibu, kau kejam sekali. Menelantarkan anak-anakmu demi kesenangan sendiri. Selamat atas pernikahanmu yang kelima? Atau keenam?" Aku mencengkeram kuat kedua lengan Ibu. "Mengapa kamu tega sekali!"
"Seret gadis ini keluar. Cepat!" perintah Ibu. "Aku bukan ibumu, kamu salah orang."
Tubuhku diseret oleh seorang satpam berbadan tegap. Aku tidak melawan sama sekali. Karena perasaan sakit hati sedang mendominasi. Sungguh perih. Air mata jatuh begitu saja tanpa bisa aku tahan lagi.
Satpam itu mendorong tubuhku dengan kasar, sehingga aku terjatuh di trotoar. Menyebabkan sikuku terluka.
"Ayo, aku antar pulang!"
Aku mendongak, melihat Dipta mengulurkan helm. Apa dia melihatku diseret kemudian didorong? Buru-buru aku mengusap sisa air mata di pipi.
"Buruan." Dipta tidak sabaran.
Dengan perlahan aku berdiri, menahan nyeri pada lengan. Aku menerima saja tawaran Dipta mengantarku pulang. Karena rasanya tubuh dan jiwaku sudah hancur dan tidak bertenaga atas sikap Ibu.
***
"Makasih, Dipta," ucapku.
"Rawat lukamu," kata Dipta, kemudian meluncur pergi bersama motornya. Dia tidak bertanya apa yang aku lakukan tadi.
Dengan langkah gontai aku masuk ke rumah. Tidak menghiraukan sapaan Dewa. Pikiranku seruwet benang kusut.
"Mbak Sinar, kok pulang telat?" tanya Randu--yang sedang libur sekolah jadi bisa mengasuh Dewa di rumah. "Lho, itu kok luka sikunya."
"Aku tadi terjatuh," jawabku singkat. "Aku ingin tidur sebentar, kurang enak badan."
"Istirahat saja, Mbak ...."
Aku masuk ke kamar, rebah di atas kasur. Menatap langit-langit kamar yang kusam. Aku tidak akan mengatakan pada Randu dan Rahma bahwa aku bertemu Ibu. Tidak ingin melukai perasaan kedua adikku.
Karena saking lelahnya, aku pun terlelap. Terbangun ketika hari sudah malam.
"Mbak Sinar, sudah baikan?" tanya Rahma saat aku keluar kamar.
Aku hanya mengangguk. Mendadak mataku menghangat melihat Rahma. Dia masih mengharapkan kepulangan Ibu.
Suara ketukan pintu menghentikan langkahku yang hendak ke dapur. Aku berbalik arah membukakan pintu.
"Ibu?" Kedua mataku mengerjap melihat perempuan dengan sepatu hak tinggi. Rambutnya tergelung rapi dan wangi parfum yang terendus di hidungku.
"Siapa, Mbak?" Rahma penasaran dengan tamu yang datang. Sedetik kemudian dia berteriak dan memeluk Ibu.
"Ibu pulang, Mbak. Doaku terkabul," ucap Rahma, bahagia.
Akan tetapi, perasaanku tidak enak. Karena Ibu sama sekali tidak menunjukkan kebahagiaan, kedua tangannya tetap berada di sisi tubuhnya. Kedua tangan itu tidak merengkuh tubuh Rahma. Raut wajahnya dingin.
Ibu pulang bukan untuk menebar kasih sayang dan melabuhkan rindu, melainkan menyemai badai lain.
Aku tidak melihat Dipta di sisa acara pesta ulang tahun. Mungkin dia sudah pulang terlebih dahulu. Ada sedikit rasa kecewa merambah di sanubari. "Hei, Jomlo. Main ke rumahku aja," ajak Rhea yang berjalan di belakangku. Bian sudah pulang terlebih dahulu bersama pengasuhnya."Males. Capek. Aku mau tidur ...." sahutku seraya melepas ikatan rambut. "Pukul delapan sudah mau tidur?""Hemm, ya. Sampai jumpa." Tanpa melihat ke arah Rhea, aku melambaikan tangan kanan dan terus berjalan ke arah mobil yang terparkir.Pak Wanto lekas membuka pintu mobil. Tubuh ini pun langsung duduk di kursi belakang. "Langsung pulang, Mbak Sinar?" tanya Pak Wanto yang menyalakan mesin kendaraan."Iya, Pak."Sampai di rumah, niat hati ingin langsung rebah. Kakek Atma sudah menungguku di ruang keluarga. Katanya ingin bicara hal yang penting."Duduklah."Aku melepas sepatu, lantas menggenyakkan tubuh di atas sofa. Mungkin wajahku terlihat agak muram, karena sebenarnya sedang tidak ingin bicara tentang apa pun."
Tepukan hangat mendarat di punggungku. Air hujan tidak membasahi tubuh ini, karena ada payung yang mengembang. Aku mengusap air mata dengan cepat, lalu berdiri. Ibu meraih kantong plastik yang tergeletak di bawah. Tanpa bicara kami berdua masuk ke dalam rumah.Aku langsung masuk ke kamar, baru tersadar, jaket milik Dipta masih melekat di tubuh. Perlahan aku melepas jaket tersebut, lalu menyampirkan di kursi. Kemudian rebah di atas tempat tidur, menatap langit-langit berwarna putih.Ibu masuk membawa secangkir teh. Menaruhnya di meja lampu."Apa yang terjadi?" Ibu duduk di sisi ranjang."Dipta pergi. Entah pergi ke mana ...." sahutku lirih, mengembuskan napas panjang."Mungkin memang lebih baik kalian berpisah," komentar Ibu. "Seperti katamu, bukan hanya kamu yang merasakan ganjalan. Dipta mungkin juga merasakan hal yang sama."Aku memiringkan tubuhku, rasanya aku ingin tidur. Karena dengan begitu, akan lebih mudah melupakan perasaan sedih."Semoga kalian berdua bahagia walaupun menem
[Dipta, aku terlambat datang.] Aku mengirim pesan, kemudian membimbing Ibu masuk ke taksi.Aku meminta sopir taksi supaya kembali ke rumah terlebih dahulu. Si sopir sempat protes, tetapi dia kemudian setuju setelah aku menawarkan tip lebih banyak.Setelah menempuh perjalanan lima belas menit, kami berdua sampai di rumah. Tanganku mengetuk pintu kayu beberapa kali."Lho, Mbak Sinar kok pulang lagi?" tanya Rahma begitu membuka pintu.Aku menggeser tubuhku ke kiri. Supaya Rahma bisa melihat Ibu yang berdiri di belakangku."Ibuk?" Kedua bola mata Rahma berbinar."Mulai hari ini Ibu tinggal bersama kita lagi," jelasku. "Ayo, masuk, Bu."Di dalam rumah ternyata ada Bude Yani, perempuan itu langsung memapas langkah Ibu serta mencengkeram kuat kedua bahu Ibu. "Kamu beneran sadar atau cuma pura-pura? Setelah susah akhirnya kembali ke anak-anakmu, kan?!""Mbak, aku benar-benar menyesal. Aku nggak akan mengulangi kesalahan lagi," sahut Ibu."Aku pegang kata-katamu, Yuni. Penderitaan yang telah k
"Halo, Dipta?""Aku akan menjemputmu. Kita ada janji dengan WO. Kamu nggak--""Aku sedang nggak enak badan. Lain hari saja.""Kamu sakit?""Iya. Aku tutup dulu, ya."Tanpa menunggu jawaban dari Dipta, aku mematikan panggilan ponsel. Menghirup udara banyak-banyak. Nyatanya tetap sesak.Saat berjalan melewati halaman belakang, aku melihat Pak Bagas yang baru datang. Alat perekam aku jejalkan di saku celana. Aku kembali ke kamar Kakek Atma. Lelaki sepuh itu sudah bangun dan duduk di kursi rodanya. Sementara Bu Wina sedang mengupas buah jeruk."Bagaimana kondisi Papa hari ini?" tanya Pak Bagas begitu memasuki kamar."Baik, tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Kakek Atma tersenyum.Kedua mataku mengamati Pak Bagas yang duduk di samping Bu Wina. Kedua tanganku terkepal erat, ingin sekali menyerang Pak Bagas. Karena ulahnya aku kehilangan sosok Ayah."Sinar, kenapa berdiri saja di situ?" tegur Bu Wina."Aku sedang mengintai serigala kelaparan," sahutku.Pak Bagas tampak sedikit terkejut, te
Kakek Atma sudah siuman, menurut dokter keluarga yang memeriksa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Karena mengkhawatirkan Kakek, aku sampai tidak sadar bahwa Ibu sudah pergi dari rumah."Pergi kalian ...." usir Kakek Atma. "Aku tidak ingin melihat kalian berdua."Pak Bagas bersimpuh di sisi tempat tidur, memegang kaki Kakek Atma. "Yang dikatakan Yuni tidak benar, Pa. Aku bahkan tidak tahu tentang Sinar," ucap Bagas membela diri."Yuni tidak punya bukti, Pa." Bu Wina ikut bicara. "Aku yakin, Yuni disuruh Hendi menuduh suamiku. Papa harus bersikap objektif.""Pergilah, aku tidak ingin diganggu." Kakek Atma memalingkan wajahnya. "Aku menyayangimu, Pa. Papa yang membesarkanku dengan penuh kasih." Pak Bagas mencium punggung tangan Kakek Atma."Sinar, kalau ada apa-apa hubungi kami, ya," pinta Bu Wina."Iya." Aku menganggukkan kepala pelan.Aku kemudian duduk di kursi, dekat dengan tempat tidur. "Sinar, aku ingin bertemu dengan Randu. Aku takut waktuku tidak lama lagi," ucap Kakek Atma.
Aku kembali memastikan, di belakangku hanya ada Pak Wanto. Dan, Pak Atma masih saja menatapku dengan senyum yang merekah dan kedua matanya berkaca-kaca."Sinar, akulah keluarga ayahmu," kata Pak Atma.Rasanya sulit dipercaya. Aku benar-benar tidak dapat berkata apa pun. Semua sorot mata tertuju padaku. Hingga teriakan Pak Hendi membuatku terkaget."Papa, kamu ditipu gadis itu! Gadis miskin yang hanya suka harta!" Tangan Pak Hendi menudingku. "Dia telah mengelabui Papa.""Kamu yang mengelabuiku, Hendi! Kamu dari awal sudah mengetahui siapa Sinar. Iya, kan?!" Pak Atma juga beteriak. "Kamu tahu Yuni adalah ibu kandungnya Sinar. Kalian berdua telah bersekongkol!""Tidak! Bukan seperti itu, Pa--""Tutup mulutmu, Yuni!" Pak Atma memotong ucapan Ibu. "Kamu Ibu yang kejam, menelantarkan anak-anakmu demi harta dan laki-laki!""Dengarkan penjelasanku, Papa." Ibu memohon.Di saat drama sedang berlangsung, Pak Bagas meminta tamu supaya pulang. "Mohon maaf, pestanya sudah berakhir. Silakan pulang.
"Pelet? Untuk apa, Sinar?""Seperti ilmu hitam untuk mencelakakan orang, Pak," sahutku, karena aku tidak tahu kenapa Pak Atma tiba-tiba meminta rambutku. Pak Atma tersenyum, kemudian dia menjelaskan, "Sepertinya aku tahu keluarga ayahmu.""Oh, ya?" Mataku pasti terlihat sangat berbinar-binar. Mungkin saja, aku masih punya kakek dan nenek. Aku pun meraih gunting, menyerahkan beberapa helai rambut pada Pak Atma."Makanya aku ingin meminta rambutmu untuk tes DNA.""Tapi, ayahku sudah meninggal, Pak.""Dari kerabat ayahmu juga bisa, Sinar. Seperti kakek, nenek, yang masih punya hubungan kekerabatan dengan ayahmu .... Kalau bisa sekalian dengan Randu," kata Pak Atma."Randu berada di Surabaya, Pak." Aku menyahut."Kalau begitu kamu terlebih dahulu. Randu menyusul saja. Sudah sana masuk," ucap Pak Atma.Aku akhirnya menegakkan badan kembali, lalu menutup pintu mobil. Semoga saja Pak Atma tidak membohongi aku. Kendaraan roda empat itu menghilang di ujung jalan yang sempit.Lalu, jip yang ak
Aku sudah bergelung di dalam selimut, saat mendengar ketukan pada pintu. Dengan malas aku beringsut turun dari kasur. Berjalan keluar kamar, menekan sakelar lampu di dinding.Ceklek."Rahma?" Satu alisku terangkat. "Mau ambil barang atau baju?""Nggak." Rahma mendorong tubuhku pelan, dia masuk ke dalam rumah. "Ibu menyuruhku pulang. Katanya harus bantu jaga Dewa. Aku juga disuruh nurut sama Mbak Sinarnya," lanjut Rahma."Kamu sebenarnya nggak mau, kan?" tuduhku, mana mungkin Rahma mau meninggalkan Ibu begitu saja."Mau bagaimana lagi, Ibu memohon terus menerus," sahut Rahma membuatku tercengang.Rasanya sulit dipercaya Ibu sampai memohon pada Rahma. Sikap Ibu memang agak berubah. Aku memperhatikan Rahma yang sedang melepaskan sweternya, sweter yang sama persis yang diberikan Ibu untukku."Ternyata Mbak Sinar kenal dengan putranya Pak Bagas. Kalian pacaran?""Kami berteman. Dipta teman waktu sma," jawabku seraya menutup pintu."Katanya sih, Mas Dipta akan dijodohkan dengan putri seoran
Seperti yang aku janjikan semalam, aku mengirim pesan pada Dipta. [Jam berapa pestanya? Dress code?]Aku menaruh ponsel di meja, kemudian membantu Dewa memasukkan lima kaus, tiga celana pendek, dua celana panjang, dan satu kemeja ke dalam tas ransel. Dewa akan ikut Bude Yani ke Solo selama seminggu. Menjenguk anak pertamanya yang melahirkan.Ini pertama kalinya aku sendirian tanpa adik-adikku. Randu yang bertugas di Surabaya, Rahma yang memilih ikut tinggal bersama Ibu, dan Dewa--walaupun hanya seminggu--rasanya akan terasa lama. Kalau kata tetangga, Dewa itu sudah seperti anak bungsunya Bude Yani. "Sudah siap?" Bude Yani yang sudah berpakaian rapi masuk ke rumah."Sudah, Bude Ibu," sahut Dewa."Kamu nggak bakalan merindukan kami, kan?" goda Bude Yani."Nggak. Jangan lupa oleh-olehnya." Aku menutup ritsleting tas ransel. "Tumben kamu nggak protes Dewa aku ajak pergi?" Bude Yani meraih tas ransel yang aku ulurkan."Percuma protes. Bakalan kalah," ucapku, bersungut-sungut. "Dewa ingat