Melati langsung masuk ke kamar ibu mertuanya, karena kebetulan pintu tersebut tidak terkunci. Dilihatnya ibu mertuanya itu tengah terbaring dengan mata yang terpejam. Seketika Melati tampak cemas saat melihat wajah ibu mertuanya yang sangat pucat."Bu..." ujar Melati sembari menggoyangkan tangan ibu mertuanya.Tak ada jawaban, hingga membuat Melati berpikiran negatif. Akhirnya ia memutuskan untuk mendengarkan detak jantungnya."Ibu masih hidup, kok, Melati," ujar Bu Wiranti lirih hingga membuat Melati seketika terhenyak."Ibu gak apa-apa, kan? Aku khawatir banget sama Ibu.""Ibu cuma pusing aja.""Dari tadi pagi loh, Ibu mengatakan sakit kepala, kita periksa ke dokter, ya?""Sepertinya ibu cuma butuh istirahat.""Tapi aku gak akan tenang kalau Ibu gak diperiksa sama dokter, apalagi ibu juga gak mau minum obat.""Ibu gak apa-apa, kok. Oh, ya besok akan ada pengacara yang datang ke rumah ini, dia akan mencairkan dana untuk kamu dan Andre masing-masing satu M.""Apa Ibu bilang, masing-ma
"Kenapa Nenek tidur terus, Bu? Apa Nenek Sakit, kenapa tidak dibawa ke rumah sakit?""Nenek masih sakit ya, jadi gak bisa antar Elsa ke sekolah.""Nek, bukankah semalam Nenek bilang akan mengajak Aurora beli mainan masak-masakan?"Mendengar ucapan anak-anaknya air mata Melati tak bisa berhenti mengalir. Ia benar-benar masih tak percaya jika ibu mertuanya itu kini telah pergi untuk selamanya."Kalian semua jangan mengganggu Nenek, karena Nenek sebentar lagi akan pergi ke surga," ujar Melati sembari memeluk anak-anaknya.Mendengar ucapan ibunya, Arka dan Aldi seketika menangis histeris, sementara Melati dan Aurora hanya saling berpandangan karena belum terlalu mengerti apa yang dikatakan ibunya. Hingga saat jenazah Bu Wiranti dikebumikan, barulah tangis Elsa dan Aurora pecah."Kenapa Nenek dimasukan kesana?" tanya mereka sembari menangis meraung-raung."Elsa dan Aurora jangan seperti itu. Sekarang Nenek akan menuju surga, jadi kalian jangan berteriak-teriak seperti itu, ya, biar Nenek g
"Ya wajar saja jika kami mengatakan hal tersebut, karena miskin tapi memiliki banyak anak merupakan sebuah kebodohan," ujar Bu Ratna."Jangan seperti itu. Karena bisa saja semua yang saya miliki saat ini adalah rejeki anak-anak saya.""Ya udah, deh, Melati, kalau begitu saya minta maaf," ujar Bu Ratna disusul Bu Susi dan lainnya."Iya, saya sudah memaafkan kalian, kok.""Ngomong-ngomong, rumah peninggalan ibu mertuamu dimana? Kali aja kami kebetulan lewat lalu sekalian mampir.""Blossom Residence," jawab Melati."Ya ampun, keren banget. Boleh, dong, kapan-kapan main kesana?""Iya, silahkan," jawab Melati lalu pamit.Lalu setelah itu Melati masuk ke rumah kontrakannya. Saat rumah itu dibuka, tiba-tiba bayangan ibu mertuanya melintas di pikirannya. Terbayang olehnya wajah ibu mertuanya yang selalu tersenyum apapun kondisi mereka. Sesulit apapun kehidupan mereka dulu, tapi ibu mertuanya tampak selalu ceria dan berpikiran positif."Bu, Melati kangen," ujarnya sembari masuk ke kamar yang b
"Aldi, ibu turut berduka cita atas meninggalnya nenek Aldi," ucap Bu Guru sebelum memulai pelajaran."Terimakasih, Bu," jawab Aldi.Setelah Bu Guru, teman-teman lainnya bergantian menyalami Aldi dan mengucapkan bela sungkawa."Aldi, sebenarnya aku masih penasaran sama kamu, mengapa tiba-tiba kamu bisa membeli sepatu dan tas yang sangat mahal?" tanya Kevin dan teman-teman lainnya saat jam istirahat.Kevin adalah anak seorang pengusaha kaya, ia sering memamerkan kekayaannya, tapi dia tidak sejahat Hendrik yang suka membully Aldi hingga akhirnya dikeluarkan pihak sekolah atas campur tangan Bu Wiranti, Nenek Aldi."Iya, alhamdulilah sekarang kehidupan keluargaku sudah banyak berubah.""Bagaimana bisa?""Jadi ternyata nenekku adalah orang yang kaya, tapi Nenek menyembunyikan hartanya agar kami hidup prihatin dan bisa lebih menghargai uang.""Kamu gak bohong, kan, Di?" tanya Yoga, seseorang yang pernah menjadi teman akrab Hendrik, tapi kini ia memilih untuk berteman dengan Kevin sejak Hendr
"Kok lu bisa kerja di kantoran?" tanya teman-temannya yang tak mengetahui sama sekali latar belakang pendidikan Andre juga masa lalunya."Udahlah, gak usah banyak omong. Mau gak, gue traktir makan di restoran?""Boleh, deh, tapi ini semua bukan prank, kan?""Bukan, lah."Setelah itu mereka semua bergegas menuju restoran dengan menggunakan angkot. Saat tiba di halaman restoran, tiba-tiba Andre melihat Gladis berjalan terburu-buru hingga menjatuhkan dompetnya."Mbaaak!" teriak Andre.Gladis langsung menoleh, lalu ia bergegas pergi dan menganggap Andre berniat menggoda. Ia hanya melihat penampilan kucel Andre tanpa memperhatikan wajahnya."Mbak, tunggu, Mbak!" teriak Andre sembari mengejarnya."Mas tolong jangan ganggu saya, karena saya sudah punya suami," ujar Gladis tanpa menoleh."Bukan, Mbak, ini saya mau..""Mau nomor HP? Maaf saya sudah punya suami.""Bukan, Mbak..""Mas! Saya bilang saya ini udah punya suami, jadi jangan ganggu saya!" bentak Gladis.Andre langsung membuka topi yan
"Aku tadi gak sengaja ketemu sama Fahri di supermarket, jadi dia nganter aku pulang," ujar Melati."Kak Andre gak mungkin jealous kan sama gue? Kita ini saudara, loh," ujar Fahri."Jujur aja gue gak nyaman dengan kedekatan kalian.""Gue menganggap Melati seperti saudara sendiri, wajar banget jika gue mengantar dia pulang karena gak mungkin gue membiarkan dia pulang sendiri setelah beberapa kali dia selalu dalam bahaya.""Ucapan lo terdengar seperti sindiran, seolah-olah gue gak peduli dengan istri gue.""Udahlah, Mas, jangan berlebihan. Aku dan Fahri itu gak ada apa-apa. Menurutku dia bersikap layaknya saudara yang baik.""Entahlah, tapi gue merasa tatapan lo ke Melati terlihat berbeda."Mendengar itu Fahri hanya tersenyum."Dari dulu lo gak berubah, Kak. Masih saja childish.""Apa lo bilang?" Andre tampak mengepalkan tangannya."Fahri, lebih baik kamu pulang saja, tolong maafkan sikap Mas Andre yang gak pernah bisa bersikap dewasa.""Oke, gue pamit ya, Kak," ujar Fahri lalu bergegas
"Hai, Melati, apa kabar? Lama tak jumpa," ujar lelaki bertubuh besar itu."J..Joni? Ngapain kamu membawaku kesini?"Melati tampak terhenyak saat melihat lelaki yang saat SMA beberapa kali menyatakan cinta padanya. Saat itu Melati selalu menolaknya karena di hatinya hanya ada Arthur. Meski pada akhirnya Arthur lebih memilih Gladis untuk menjadi kekasihnya, tapi Melati tetap mengabaikan perasaan Joni."Melati, setelah sekian lama aku mencarimu, akhirnya aku bisa menemukanmu.""Kamu mau ngapain? Aku sudah punya suami juga anak.""Sejak lama aku mencintaimu, tapi kamu selalu mengabaikanku, hari ini akan kupastikan kamu menjadi milikku," ujarnya sembari menatap Melati dengan tatapan aneh bagaikan seekor singa yang hendak memangsa buruannya."Toloooooooong!" teriak Melati."Jangan berisik, Sayang, aku akan memperlakukanmu dengan lembut.""Tolooooooong!" teriak Melati dengan wajah ketakutan.Melati meraih ponsel dari tasnya, lalu secepat kilat lelaki itu meraihnya lalu menon aktifkan ponsel
"Gimana tadi acara reuninya, seru gak?" tanya Andre yang baru pulang dari kantor, sementara Melati hanya berbaring di tempat tidur memikirkan kejadian buruk yang nyaris menimpanya."Kamu kenapa, kok wajahmu pucat begitu?" Andre kembali bertanya.Melati menatap wajah suaminya dengan perasaan bingung. Jika berbohong ia tak tega, jika jujur ia takut suaminya salah paham, karena ia tahu bahwa suaminya itu sangat pencemburu terutama kepada Fahri."Kenapa diam aja? Oh, ya tadi kamu menelpon beberapa kali, maaf ya tadi mas lagi sibuk banget, lalu pas mas mau telpon balik malah lowbate.""Mas.." Melati menatap suaminya dengan wajah was-was."Kamu kenapa, sih? Kok kayak takut giti sama mas?"Melati menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan secara perlahan."Mas tahu kan kalau Pak Yono hari ini minta izin untuk ke rumah sakit karena anaknya keracunan?""Iya, lalu?""Aku terpaksa naik taksi online. Lalu setibanya di sekolah SMAku dulu, tempat itu sepi, bahkan tampaknya sudah terbengkalai.""L