"Papaaa..."
Lalita sangat frustasi. Tidak setuju di saat seperti ini sama dengan membuat Lalita malu. Mengapa sebelumnya dia setuju? Dan kenapa harus keberatan lagi di saat keluarga Brian datang untuk melamar?
"Seharusnya, restu sudah tidak menjadi masalah ya om," jawab Brian sembari tersenyum.
Terasa jelas sekali bahwa senyum itu dipaksakan.
Darren sudah mengepalkan tangan, ia benar-benar geram. Hanya saja, Deri mencegahnya dan mengisyaratkan agar Brian pasti bisa mengatasi masalahnya sendiri.
"Dan juga seharusnya kalau tidak setuju, disampaikan sebelum hari ini tiba. Kalau saya boleh tahu, apa pertimbangan om tidak merestui kami?"
Lagi, Brian tersenyum.
"Baiklah kalau begitu. Om terima lamaran kamu, Brian. Lita, kamu bersedia kan menikah dengan Brian?" tanya Hadi.
Diterima? Tadi tidak setuju, Lalita tambah bingung. Ini apa dia tidak salah dengar?
"Y... Ya, aku mau nikah sama Brian pa."
Helaan nafas lega terdenga
"Kak Litaaaa, bawa puding kan hari ini?" tanya Olivia dengan mata berbinar penuh harap, tangannya sudah terjulur seolah hendak menerima mangkuk puding yang belum ada.Lalita menoleh sambil tersenyum kecil, meski sorot matanya terlihat sedikit lelah. "Nanti aku buatin ya. Kemarin ternyata nggak sempet..."Brian, yang sejak tadi duduk tak jauh dari mereka, langsung ikut menyahut. "Mau gue orderin puding lain aja nggak?""Gak mauuu…" sahut Olivia cepat, bibirnya manyun. "Kan maunya cobain puding buatan kak Lita..."Brian hanya bisa mengangkat bahu dan menghela nafas pendek. "Okeee...""Kalau nanti sempet, jangan lupa dibuatin kaaakkk," tambah Fina dengan suara manja. "Soalnya nasi bakar kemarin enak banget, jadi pengen coba makanan lain lagi..."Tawa kecil menyebar di antara mereka, namun belum sempat Lalita menjawab, suara berat Ivan terdengar dari arah pintu masuk."Memang Lita mama atau koki pribadi kalian, apa? Minta dimasakin
David memandangi Lalita lekat-lekat, seolah mencoba menangkap makna dari kata-katanya. Meski situasi ini terasa janggal baginya, ekspresi Lalita begitu serius, tak ada tanda keraguan sedikit pun."Baiklah kalau itu keputusan kamu," ucap David pelan, lalu menghela napas. "Tapi, aku tetap pengen dapet nomor kamu."Lalita mengernyitkan dahi, kebingungan. Sebelum ia sempat memberi jawaban, David buru-buru melanjutkan kalimatnya."Sebagai teman, tentunya..." tambahnya, sedikit gugup.Lalita menatapnya tajam, tak yakin dengan alasan yang baru saja didengarnya. "Why? Aku rasa gak ada untungnya buat kamu," tanya Lalita, suaranya ragu.David tersenyum tipis, mencoba menjelaskan dengan cara yang lebih santai. "Memang gak ada sih, tapi aku suka aja ngobrol sama kamu. Lagian, aku juga gak terlalu punya temen di sini. Kalau ada kamu, kayaknya akan lebih seru.""Pffftttt, hahaha. Alesan macam apa itu..." Lalita tertawa geli, merasa agak aneh deng
Lalita memperhatikan salad wrap yang ada di tangannya dengan tatapan kosong. Perutnya terasa perih, sudah dari tadi menahan lapar. Hanya saja, situasi ini membuat selera makannya menguap.“Oke, Lita… jangan kayak orang susah. Jalan dikit aja beli lagi,” batinnya mencoba menenangkan diri.Akhirnya, ia menyerahkan salad wrap itu pada Diana. “Ya udah, nih…” ucapnya singkat.Baru melangkah ke arah kamar, suara Diana kembali memanggilnya.“Lit, lo hari ini gak masak? Kata Brian masakan lo enak banget.”Lalita menoleh sebentar, lalu menjawab datar, “Iya, lagi gak sempet.”“Yaaahhh… padahal pengen cobain…”Lalita menarik napas panjang. Ia mencoba tetap sabar. “Buka aja apa yang ada di kulkas, kayaknya masih ada lauk dikit. Itu semua gue yang masak, silakan ambil. Tapi pudding regal jangan, ya. Gue udah janji mau bawa ke kantor buat
Rekaman percakapan itu terdengar cukup jelas. Suara bising di sekitar menandakan tempat itu bukan ruangan tertutup—kemungkinan besar Mike duduk cukup dekat dengan Citra dan Billy, mungkin di sebuah cafe atau restoran.Dari isi rekaman, terbukti bahwa Citra dan Billy memang baru berkenalan. Percakapan mereka mengalir cepat, diawali saling goda ringan yang kemudian bergeser ke arah obrolan yang semakin vulgar."Oke... saya sepertinya bisa percaya," ucap Hadi dengan nada berat. Ia mengenali suara itu—tidak salah lagi, itu suara Citra."Selain itu, Pak, ada hal lain yang harus Bapak lihat," kata Mike, kali ini lebih serius.Mike menyerahkan ponsel pada Hadi, memperlihatkan tangkapan layar hasil penelusurannya. Di layar, tampak pencarian nama kantor detektif swasta yang ternyata nihil hasil.“Kantor detektif swasta ini tidak ada di internet. Mulanya saya berpikir apakah bisnis ini sangat dirahasiakan sehingga orang-orang tertentu saja yang tahu. Tapi sa
Citra, yang selama ini berkali-kali menghindar, akhirnya tak bisa mengelak lagi. Hari itu, ia duduk di meja makan, langsung berhadapan dengan Hadi.Udara siang yang biasanya hangat kini terasa dingin menusuk. Ketegangan terasa menggantung di udara.Ayam teriyaki dan capcay yang tersaji di atas meja tak lagi menimbulkan aroma yang menggugah selera. Rasa makanan turut terasa hambar di lidah, seolah seluruh bumbu ikut larut dalam kekakuan suasana.Tidak ada suara selain dentingan sendok dan garpu yang disentuh seadanya. Hanya tiga orang di sana—Hadi, Wita, dan Citra. Keheningan menyelimuti mereka sepanjang makan siang berlangsung.“Jadi, kamu belum jawab pertanyaan Papa,” suara Hadi memecah keheningan, dalam dan tegas. “Kenapa kamu gak angkat panggilan dari Bu Dina?”Wajah Citra langsung pucat. Tubuhnya menegang, jari-jarinya menggenggam kuat sendok di tangannya. Ia belum menjawab ketika Wita menyikut suaminya pelan, berharap ketegangan bisa diredam.
Lalita berdiri di depan layar proyektor, mempresentasikan materi yang diminta oleh Brian. Suaranya jelas dan tegas, meski ekspresinya tidak mencerminkan antusiasme.Cahaya dari proyektor membuat bayangan wajahnya tampak semakin kaku, seolah menyimpan sesuatu yang tidak ia ucapkan.Sepanjang presentasi, Lalita mencatat setiap masukan dari Brian dengan teliti. Namun, raut wajahnya tetap tertekuk—dingin, tak bersahabat.“Lit…” panggil Brian pelan, nyaris seperti bisikan, takut menyinggung.“Ada apa? Ada poin yang mau kamu tambahin?” Lalita menoleh sekilas, suaranya datar, tanpa intonasi hangat.“Gak ada…” jawab Brian cepat, kaget dengan respon yang diberikan Lalita.“Oke. Aku turun makan siang dulu kalau gitu.”“Tapi…” Brian ragu-ragu, langkah Lalita sudah menjauh.“Ada apa?” tanyanya, menoleh setengah hati.“Soal Diana&