Pagi pun tiba. Setelah mandi dan makan, aku tiduran di sofa tengah. Orang pengangguran ya gini. Sambil sesekali melihat ponsel. Wallpaper ponselku adalah fotoku dangan kucingku.
Arghhhh!!!.. dasar Aiden pelit. Mulai benci aku sama dia.
Aku duduk dan liat kolam renang, kayaknya enak nih renang. Lagi gerah gini liat air jadi pengen nyemplung aja kan. Cocok banget cuacanya, tidak hujan tapi tidak terlalu puanas banget juga. Aku ke kamar dan mencari baju renang, ternyata adanya bikini.
Hm.. mertuaku ini sedikit kurang pengertian. Masak adanya bikini. Kalo kayak gini gak bisa selfie. Ahh sudahlah.. pake aja.
Aku memakai bikini itu dan tak lupa juga memakai handuk kimoni yang ada di kamar mandi biar nggak malu kalo tiba-tiba ada Bik Asih atau Pak Tono suami Bik Asih. Sebelum ke kolam, aku chat Bik Asih.
Dea : Bik habis ini aku mau renang, tolong siapapun jangan boleh masuk ya. Tolong siapin snack sama jus jeruk ya Bik. Thanks.
Bik Asih : siap non.
Aku tersenyum dan aku memakai sunblok dan sunscreen biar gak gosong nanti. Tak lupa bawa kacamata juga.
Aku menuju kolam renang. Sebelum itu aku ketaman dan menyuruh si white untuk berpindah tempat dengan teman-temannya. Dan aku menuju kolam renang ternyata snack dan jus jeruknya sudah disiapkan sama mbak asih.
Aku berenang kesana kemari suka-suka hati aku yang penting bikin mood ku membaik dulu. Setelah capek aku naik ke pelampung berbentuk flamingo, sambil membawa jus jeruk aku menikmati siang bolong ini dengan berenang. Untung ada kacamata ini aku jadi tidak terlalu silau kena sinar matahari. Ketika pelampung ini berbutar karena kena angina dan air kolam yang membuat gelombang air kecil-kecil an, aku bisa melihat Aiden yang sedang berada di candela kamarnya. Setelah dia menyadari aku melihatnya dia buru-buru menutup cendelanya dengan tirai.
What!? Bukannya dia kerja? Haduh.. lagi pakai bikini kayak gini juga, arghhhhh mesum! Dasar Aiden koplak!! Padahal baru aja goodmood sekarang balik lagi ke badmood.. ahh sudahlah, bodoamat. Kan dia juga udah jadi suami, meskipun aku make gini aku juga gak dapet dosa kan, iyakan ? iya pasti dong. Malah dapet pahala kan..? Argghhh pengen gila rasanya. Hm.. keep calm De.. yok balikin mood lagi.
Setelah moodku terasa sedikit membaik, aku balik kamar. Dan membersihkan diri. Setelah itu aku tiduran.
Enaknya ngapain ya? Baca buku? Hm.. pengen pulang, tapi takut ortu khawatir soalnya baru beberapa hari masak udah pulang, jauh juga beda provinsi nih, aku jadi anak rantau sekarang, kangen blackie.. blackie ku sayang sekarang gimana yaa.. . Bosen banget disini. Apa kerumah mertua aja ya? Tapi ngapain juga kesana, tante dirumah gak ya. Tante sering banget keluar sama om.. tapi kalo disana nanti kalo ketemu kakak Ipar gimana, aku punya firasat kalo dia bukan kakak ipar yang baik, bukan kakak iparnya sih tapi lebih ke istrinya. Haduhhh.. apa ke oma aja? Kayaknya kesana aja deh. Tapi naik apa? Aku juga gak pernah kesana, pernah sih, tapi diantar tante sama om. Eh.. tapi ada sepeda motor kan digarasi. Ahhh.. kuy lah gas, siapa tau oma jadi omaku yang baik. Yokk..
Aku telpon Oma. Dan ternyata langsung diangkat.
“Halo assalamualaikum oma.”
“Waalaikumsalam anak cantik, ada apa nduk?”
“Aku kerumah oma ya, aku laper pengen oseng-oseng pare,” jawabku.
Waktu habis akad, aku disuruh oma kerumahnya. Katanya nanti aku mau dimasakin oseng-oseng pare. Aku memang suka banget sama oseng-oseng pare, oma juga suka banget oseng-oseng pare, sedikit ada keklop-an kan.
“Lah.. gak dikasih makan Aiden ta kamu? oh dasar anak bandel.”
“Hehe.. dikasih makan kok Oma tapi pengen oseng-oseng parenya Oma.”
“Hoalah iyaa.. ayo gapapa kamu kesini aja, nanti Oma masakin oseng-oseng pare. Oma tunggu ya nduk.. hati-hati di jalan ya Sayang.”
“Hehe iya oma. Makasih Oma, habis ini berangkat. Assalamualaikum Oma.”
“waalaikumsalam.”
Tutt.. sambungan panggilan terputus. Aku memasukkan beberapa lembar uang ke tas ku. Dan bergegas keluar.
Eh tapi.. harus ijin Aiden dulu nih. Haahhh males, tapi dia masih suami aku. Etika jadi istri salah satunya adalah ijin kesuami ketika mau keluar. Tapi kan.. udah ada kesepakatan urusin hidup masing-masing. Gapaplah ijin, bisa dapet pahala kan...
Aku menuju kamar Aiden.
Tok tok tok..
“Aiden.”
“Masuk aja.”
Aku pun masuk ke kamarnya, oh.. ada Arion.
Eh.. wait dia gak liat aku di kolam renang kan?
“Hai De,” dia menyapaku sambil tersenyum. Aku hanya membalas dengan senyuman.
“Ada apa?”
“Aku mau kerumah Oma. Boleh?”
Alis suamiku berkerut. “Ngapain?”
“Pengen aja, makan oseng-oseng parenya oma,” jawabku
“Gaboleh.”
“Trus bolehnya ngapain?” aku bicara dengan sedikit nada tinggi sambil tatap tajam matanya.
“Dirumah aja lah, kamu ini ngerepotin aja, kan bisa minta Bik Asih masakin.”
“Aku pengennya dimasakin Oma.”
“Kamu ini kalo dibilangin ya.”
“Aku ke sana sendiri.”
“Tetep gaboleh, malah bahaya bego.”
“Ih.. apaan sih, bodoamat. Penting aku udah ijin kalo mau ke Oma. Bye!”
aku keluar sambil banting pintu kamarnya. Langsung ke kamarku dan ambil tas dan hp.
“Dea!” Aiden memanggilku. Gak aku gubris, aku langsung pergi tanpa melihat dia sedikit pun. Dia mengejarku, dan menarik tanganku dengan kasar.
“Apaan sih!”
“Dengerin aku! Apa-apaan kamu ini.”
“Kamu yang apa-apaan. Gak inget kesepakatan kita ?”
“Hehhh!” dia menghembuskan nafas dengan kasar.
”Oke.. kita pergi sama-sama ke rumah Oma, sebentar aja,gak sampek nginep. Tunggu disini.” Aiden balik kekamarnya. Aku duduk di ruang tamu. Kesel banget aku sama dia. Katanya gak saling ganggu tapi dia ganggu banget buat aku. Beberapa menit aku melihat Aiden dan Airon.
“Ayo De. Airon sorry ya Bro, lanjut besok aja.”
“Siap Bro, gamasalah, kayaknya Dea lagi ngidam nih,” jawab airon sambil cengengesan. Aku cuma mengerutkan alis. Apa-apaan nih si Airon
“Yaudah ya Bro gua balik ke kantor aja, berarti gak jadi makan malam sama Dena ya Bro.”
“Enggak, lu bilangin Wendy kalo gak jadi ya Ron.”
“Siap, gua balik dulu ya De,” dia pamit sama aku. Aku Cuma ngangguk in kepala ku.
Wendy?siapa? apa jangan-jangan! ah.. bodoamat lah
Airon pergi duluan.
“Masuk lu,” perintah Aiden kepadaku.
“Aku gak suka naik mobil.”
“Masuk!”Dengan hati yang sangat dongkol. Aku masuk ke mobilnya Aiden.
“Pake sabuk pengamannya,” perintahnya sewot.
Ahh.. lupa. Nih anak anak sewot banget. Ehh.. tapi gimana?
“Lelet banget sih, gak berangkat-berangkat nih!” bentak Aiden bikin dongkol banget, pengen nagis rasanya.
“Gak bisa bego! Bisa gak sih gak usah sewot!” Aku bentak dia dengan mataku yang panas. Aku ini memang cengeng anaknya. Apalagi dibentak orang gak kenal kayak gini. Aku langsung turun dari mobil. Dan ke garasi, ambil sepeda motor yang dibeliin ibu mertua.
Dokter itu tertawa lembut, seolah ingin menenangkan kami. "Dea, hasil tes menunjukkan bahwa kamu hamil. Kamu berada dalam kondisi yang sangat baik, meskipun sempat mengalami mual dan kelelahan. Namun, jangan khawatir. Kondisi ini sangat normal, terutama jika ada perubahan fisik atau emosional."Aku terdiam, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Hamil? Aku hamil? Pikiranku terasa berputar. Tidak ada yang pernah menyebutkan ini sebelumnya, dan tentu saja, aku tidak pernah memikirkan hal ini."Aiden." aku berbisik, suaraku gemetar. "Aku hamil?"Aiden menggenggam tanganku lebih erat. "Iya, Sayang. Kamu hamil. Ini berita yang luar biasa, kamu jangan cemas. Kita akan menghadapinya bersama-sama."Aku terdiam, merasakan campuran perasaan yang sangat dalam. Di satu sisi, ada kebahagiaan yang tak terlukiskan, namun di sisi lain, aku merasa cemas. Bagaimana kami akan menjalani semua ini? Apa arti semua ini untuk kami? Dan yang terpenting, apakah kami siap dengan segala perubah
Dengan langkah yang berat, Aiden menarikku pergi dari pinggir sungai yang seakan berusaha menahan kami. Aku bisa merasakan kekuatan Alam Pusaka yang menahan kami, seolah tempat ini tidak ingin kami pergi begitu saja. Suasana yang tadinya penuh keindahan kini terasa penuh dengan ancaman yang tak terduga. Namun aku percaya pada suamiku, dan aku tahu, ia tidak akan membiarkan aku terluka.Akhirnya, setelah perjuangan panjang, kami tiba di batas Alam Pusaka, tempat yang menjadi pemisah antara dua dunia. Keindahan yang dulu kurasakan kini perlahan memudar, digantikan oleh rasa lega yang datang saat kami kembali ke dunia manusia.Tiba-tiba, aku merasakan tubuhku sedikit lebih baik. Rasa mual yang semula mengguncang perlahan mulai hilang, dan aku bisa merasakan kembali kekuatan dalam tubuhku. Aiden melepaskan pelukannya, meskipun aku bisa merasakan ketegangan yang masih ada di tubuhnya."Kita sudah kembali," katanya dengan suara yang lebih tenang, namun masih terdengar kelelahan. "Tapi aku r
Selama di Alam Pusaka. Aku bisa melihat keindahan yang tidak bisa kulihat selama di dunia manusia. Meskipun aku tidak bisa melihat Aiden secara jelas, setidaknya aku bisa melihatnya dalam bentuk bayangan. "Aku senang sekali melihatmu berlari dan menari seperti ini, Sayang. Ada perasaan sedih juga karena biasanya aku yang membantumu melakukan aktivitas sehari-hari. Di sini, kamu bisa melakukannya sendiri," ucap suamiku lembut, suaranya mengalir seperti aliran sungai yang jernih di depan kami, menenangkan sekaligus menghangatkan.Kami duduk di pinggir sungai yang indah, airnya yang jernih mengalir begitu tenang. Suasana ini begitu damai, dan aku merasa seolah dunia ini hanya milik kami berdua. Di sini, aku tidak merasa terbebani oleh keterbatasan penglihatanku. Alam Pusaka, dengan segala keajaibannya, memberiku kebebasan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Aku bisa merasakan udara yang lebih segar, aroma bunga yang jarang ditemukan di dunia manusia, dan setiap detik terasa begitu b
Pagi itu, di ruang tamu yang hangat, suasana terasa berbeda. Aiden, suamiku duduk di depan keluarga besarnya, seakan hendak mengungkapkan sesuatu yang penting. Aku berada di sampingnya dengan tenang, meski tampak sedikit cemas. Keluarga sudah berkumpul, mendengar dengan penuh perhatian."Aiden, kamu tampaknya tidak seperti biasanya," kata Oma menyelidik situasi. "Ada apa? Kamu biasanya lebih ceria kalau bicara soal perusahaan."Aiden menarik napas dalam-dalam. "Aku dan Dea akan pergi berbulan madu," ucapnya dengan nada yang mantap, tetapi ada keraguan yang samar terbersit. Semalam kami sudah mengobrol, dan ia sempat mengungkapkan keresahan. Takut kalau tempat itu akan menstimulus traumaku. Namun, aku meyakinkannya. karena di sana aku bisa melihat pemandangan banyak hal karena diselimuti alam gaib. "Ke mana?" tanya Mama Rita, tertarik. "Ada tujuan spesial, Nak?""Alam Pusaka," jawab suamiku, membuat suasana hening seketika. Dea menundukkan kepala, berusaha menahan perasaan yang datang
Malam itu, suasana ruang makan sudah penuh kehangatan. Aroma makanan khas keluarga memenuhi udara, membuat perutku yang tadinya gelisah kini mulai terasa lapar. Semua orang sudah duduk di tempatnya masing-masing, berbincang dengan riang. Aku dan Aiden datang terakhir, menambahkan kursi di sisi meja untuk kami berdua. Mama Rita langsung tersenyum hangat melihat kami. “Akhirnya kalian datang. Kami sudah hampir mulai, loh.” Aiden membantu menarik kursiku dengan lembut, memastikan aku duduk dengan nyaman sebelum ia duduk di sebelahku. “Maaf, kami agak terlambat,” katanya dengan nada santai. “Dea tadi masih butuh waktu untuk bersiap.” Andre yang duduk di ujung meja, bercanda sambil tertawa kecil. “Ah, Aiden. Kamu makin romantis saja.” Semua orang di meja tertawa, kecuali aku yang hanya bisa tersenyum gugup. Rasanya sulit menyesuaikan diri dengan perhatian sebanyak ini. Namun, Aiden, yang sejak tadi menggenggam tanganku di bawah meja, memberiku rasa percaya diri. Setelah semua mak
Aku terdiam sejenak, merasakan pipiku mulai memanas mendengar ajakan Aiden. Suaranya begitu lembut dan menggoda, tetapi ada sesuatu di dalamnya yang membuat jantungku berdebar lebih cepat.“Aiden,” panggilku pelan, berusaha menyembunyikan rasa gugupku. “Kamu tahu aku tidak terlalu suka dengan ide itu. Lagipula, aku belum terbiasa dengan semua ini.”Aiden tertawa kecil, lalu duduk di sampingku. “Sayang, aku tidak memaksamu. Aku hanya ingin membuatmu nyaman. Setelah semua yang kita lalui, aku merasa kita pantas menikmati momen yang tenang bersama.”Aku merasakan tangannya menggenggam jemariku dengan lembut, seakan memberikan kehangatan yang menenangkan. “Kita tidak harus buru-buru, Dea. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, sepenuhnya untukmu.”Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk merespons. “Kamu terlalu manis, Aiden. Kamu bisa gendong aku?”Aiden terdiam sejenak, lalu aku mendengar tawanya yang lembut dan penuh kehangatan. “Tentu saja, Sayang