Bunga perlahan menujukan mata menatap wajah Haidan. Lalu, pandangan beralih menatap Zuan, melihat raut wajah bingung pada kedua pria itu. Wajah bingung Haidan membuat Bunga ragu dengan rasa kagetnya, ia merasa salah orang. "Kakak kenapa?" tanya Zuan. "Iya? Apa ada yang salah? Kamu melihat hantu?" tanya Haidan, sedikit melucu. "Tidak. Maaf, jika sikapku membuat kalian bingung," ucap Bunga. Jelita keluar dari kamar sambil menggendong Raisa yang tertawa dalam kebahagiaan. Bunga tidak bisa menahan perasaan untuk menggendong anak itu karena geram. Ia mengambil Raisa dari gendongan Jelita dan memangkunya. Haidan dan Zuan memperhatikan anak itu, mereka ikut mengagah bocah itu. "Waktu itu kita pernah membuat kesepakatan kalau kakak akan mengajariku di taman pada hari Jum'at dan Sabtu sore. Jadi, kalau kita rubah tempatnya di rumahku, bagaimana?" tanya Zuan. Bunga menoleh ke kanan, mengarahkan pandangan kepada Jelita. Ia ingin melihat reaksi ibu mertuanya itu setelah mendengar permintaa
Bunga menggendong Raisa dari kamar mandi dan membaringkan di atas kasur, ia memasangkan pakaian anak itu setelah memandikannya. Mulutnya tidak berhenti berceloteh mengagah anak itu sampai tertawa. Suara Bunga membangunkan Kafkha. Pria itu perlahan membuka mata dan menangkap wujud Bunga yang terlihat seperti Marissa. Tidak kaget, Kafkha malah tersenyum dan menikmati situasi itu dengan perasaan yang mengatakan semua itu nyata. Bibirnya melengkung tersenyum lebar melihat adegan itu, rasanya seperti berada di puncak kebahagiaan. "Sudah bangun?" tanya Bunga, menoleh ke kiri, menatapnya. Senyuman di bibir Kafkha memudar. Seketika ia merasa bodoh karena dijajah oleh khayalan indah bersama Marissa. Hatinya merasa sedikit kesal kepada Marissa karena mimpi semalam, ia tidak suka wanita yang paling dicintainya itu menyuruh menjauh. Setelah memasangkan pakaian Raisa, Bunga menaruh anak itu ke keranjang bayi. Kemudian, ia mendekati Kafkha, duduk di samping pria itu dengan bibir tersenyum ringa
Bunga menunggu Kafkha mengambil obat di apotek rumah sakit karena Raisa rewel dalam gendongannya. Sesekali Bunga memperhatikan Kafkha yang tengah berinteraksi dengan perawat yang bertugas memberikan obat sambil memikirkan perkataan Jelita yang masih memenuhi benaknya dengan rasa penasaran. Kafkha menghampirinya sambil menenteng kantong obat dan mengajaknya keluar dari rumah sakit. "Tunggu. Aku ingin buang air kecil. Kamu bisa tunggu aku sebentar? Tolong pegang Raisa," kata Bunga sambil memberikan Raisa ke tangan Kafkha sebelum pria itu membalas perkataannya. Bunga bergegas menuju toilet yang dengan Kafkah yang memandangi kepergiannya. Tapi, setelah itu ia menyimpang menuju ruangan Sarah. Bunga mengetuk pintu ruangan dokter kandungan itu dan masuk setelah mendengar suara Sarah menyuruhnya masuk. Raut wajah Sarah berubah datar setelah melihat wujudnya. "Dokter. Apa ada sesuatu yang disuruh Mama untuk aku bawa? Aku benar-benar tidak tahu kenapa dia menyuruhku menemui dokter," kata Bu
Bunga kembali ke kamar dalam suasana hati tegang karena Kafkha masih salah paham padanya. Kakinya berhenti di pintu kamar setelah melihat suaminya itu duduk di tepi kasur sambil melepaskan atasannya. Bunga mendekatinya dan membantunya, tapi Kafkha menolak bantunya. "Kamu marah?" tanya Bunga, sedikit takut."Marah? Untuk apa? Itu keputusan yang bagus. Anakku hanya Raisa, tidak ada yang lain. Selain itu, jangan berharap aku akan menyentuhmu. Kejadian di malam pernikahan hanya sebuah kecelakaan, itu tidak aku inginkan," kata Kafkha, berbicara dingin. "Aku tahu. Maaf," ucap Bunga, kecewa. "Bagus kalau kamu tahu. Jangan berusaha untuk menempatkan dirimu di hidupku karena itu tidak akan bisa terwujud," lanjut Kafkha. "Kalau begitu, kita batalkan saja tiket itu. Bukannya aku marah, aku paham dengan perasaanmu karena aku tahu kamu mencintai Marissa melebihi dirimu sendiri." Bunga berusaha tenang saat berbicara dan menunjukkan senyuman simpul. "Jika kamu ingin membuat Mama pusing memikirk
Pria yang mengejar Bunga berhasil mencegatnya berlari. Pria itu memeluknya dari belakang dan perlahan mengendus lehernya.Bunga menyikut perut pria itu dan mendorongnya sampai terjatuh. Bunga kembali berlari dan ikut terjatuh setelah kaki kirinya tidak sengaja menyandung kaki kanannya. Pria itu tertawa ringan dan merangkak mendekatinya. Lalu, menarik kakinya dan membaringkannya dengan niat yang masih sama, ingin menodainya. Bunga mengarahkan mata kepada dua orang yang duduk tidak jauh dari posisi mereka dengan bibir ingin berucap minta tolong. Tapi, pria itu membekap mulutnya sebelum kalimat minta tolong itu keluar. Dua orang itu tidak sadar dengan situasi yang dialami Bunga, mereka mengira mereka sepasang kekasih yang sedang bercanda. Pada akhirnya, mereka meninggalkan tempat itu yang membuat Bunga memupuskan harapan untuk mendapatkan pertolongan."Siapa yang akan membantumu? Mereka sudah pergi. Kamu ingin meminta bantuan suamimu? Dia tidak akan datang karena saat ini dia sedang ber
Suasana canggung mengisi kamar. Mereka masih dengan posisi seperti sebelumnya, di mana Bunga berada di bawah dan kedua tangan Kafkha mengurung tubuhnya, mengungkung tubuh kecil Bunga yang berbaring dengan salah tingkah sampai tidak sanggup menatap wajah pria yang ada di atasnya itu. Kafkha menghela napas dalam dan panjang. Setelah itu, secara pelan bibirnya semakin menurun ke arah wajah Bunga sampai mendarat di dahi wanita itu. Kelembutan yang ditunjukkan ikut dirasakan Bunga. Pria itu beralih mengecup kedua matanya, hidung, kedua pipi, dan berakhir di bibirnya. Tangan Kafkha secara pelan menarik selimut dan menutupi tubuh mereka sampai yang tersisa hanya kepala mereka. Satu demi satu pakaian yang menempel di tubuh mereka keluar dari tepi selimut dan jatuh ke lantai. "Kamu takut?" tanya Kafkha setelah melihat Bunga memejamkan mata dengan dahi mengernyit. "Hanya gugup," balas Bunga, tersenyum ringan."Jika kamu gugup, tutup saja matamu. Kalau sakit, bilang, aku akan lebih lembut la
Kafkha menurunkan Bunga setelah mereka sampai di depan pintu kamar hotel. Raut wajahnya masih sama, dingin. Pria itu berjalan masuk setelah pintu dibuka dan duduk di sofa di mana ada beberapa menu makanan tersaji di dalam kotak makanan. "Ganti pakaianmu dan duduk. Kali ini dengarkan aku," kaya Kafkha sambil memainkan ponsel.Bunga menganggukkan kepala meskipun Kafkha tidak menatapnya. Ia mendekati koper dan mengambil pakaiannya dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Sejenak tangannya berhenti mengenakan pakaian saat mengingat pria bertopeng itu, jiwanya dilanda ketakutan dan menjongkok sambil menutup wajah."Tidak. Jangan dekati aku!" teriaknya, histeris seperti orang gila. Kafkha meletakkan ponsel di atas meja dan berlari masuk ke kamar mandi. Ia membantu Bunga berdiri dan membetulkan pakaian istri. Setelah, itu ia mengajaknya dengan rangkulan bahu keluar dari kamar mandi. "Tenang. Tidak akan ada yang menyakitimu. Aku di sini." Kafkha memeluknya dengan erat dan sesekali mengecup
Kafkha memasuki kamar setelah berbicara bersama Haidan. Raut wajahnya menunjukkan kelesuan, tidak ada rasa senang. Bunga meletakkan majalah yang ada di tangannya ke atas meja sambil membetulkan posisi duduk yang tadi bersandar ke bantal yang tersandar ke kepala kasur. "Kenapa?" tanya Bunga setelah Kafkha duduk di sampingnya. "Tidak ada. Hmm ... malam ini ada pesta kecil-kecilan di tepi pantai. Kamu mau ikut?" tanya Kafkha, tersenyum."Boleh. Tapi ...." Keberadaan pria bertopeng yang diwaspadai membuatnya takut kejadian malam itu akan terulang lagi."Tenang saja, pria itu tidak akan datang," ucap Kafkha, sadar akan hal yang dipikirkan istrinya itu. Bunga tersenyum dan menganggukkan kepala, setuju dan penuh keyakinan tidak akan terjadi sesuatu padanya nanti. Kafkha memeluknya dan bibir yang tersenyum memudar, menunjukkan rasa sedih berbalut keraguan akan rencana yang sudah dibuatnya. Sikap itu membuat Bunga bingung, tidak biasanya pria itu bersikap begitu dekat tanpa ada alasan. "Ki