"Rein? Kamu ... kok ada di sini?" Shinta menatap Rein bingung. Kaisar masih tertidur pulas digendongannya. Bocah itu sangat nyaman menyandarkan kepalanya pada pahu Rein. "Kamu belum.jawab pertanyaanku." Tatapan Rein masih belum berubah. Sorot matanya tajam menyelidik pada Shinta. Wajahnya tegang. "Pertanyaan apa? Oh, itu. Pria tadi ..." "Jawab aja, Sayang. Jangan bertele-tele!" pungkas Rein tak sabar "Ck, siapa yang bertele-tele? Ini Aku mau jawab, kok." Shinta cemberut. Ia kesal dengan sikap Rein seakan mencurigainya. Melihat wajah Shinta berubah, Rein tersadar kalau dia terbawa emosi, dan melihat Shinta tersenyum dengan seorang pria tampan sudah membuatnya cemburu. "Maaf ...!" Pria berjambang cukup lebat itu membuang pandangannya. Ada rasa menyesal dihatinya. "Namanya Paul. Sepertinya teman dekat Aina." "Tadi Nina bilang ada wanita yang menyerangmu. Apa itu Aina?" Shinta menghempas napas kasar. Ternyata Nina yang membuat Rein menghampirinya. "Iyaa. Enggak perlu khawatir
"Nuri, bikinkan Aku kopi!" Pratama sedang berada di dalam ruang kerjanya. Sudah sejak lama Ayah kandung Shinta itu mengelola sebuah perusahaan kecil di bidang pembuatan dan pendustribusian tas ke kota-kota besar di indonesia. Perusahaan itu berdiri dibantu oleh Raka, dan hingga saat ini Raka masih sering mendampingi Pratama jika mengalami beberapa kendala."Nuri, kamu kenapa? Sakit? Sejak kemarin kamu banyak diam." Pratama bangkit dan menghampiri istrinya yang melangkah ke dapur untuk membuat kopi. "Aku nggak apa-apa." Nuri menjawab pelan namun penuh penekanan. Wajahnya sama sekali tak menoleh pada Pratama. Pria tinggi dengan tubuh berisi itu mengingat-ingat kesalahan apa yang telah dia lakukan. Nuri bukan wanita yang memiliki emosi yang meledak-ledak atau mudah mengungkapkan kemarahannya. Namun, wanita itu akan banyak diam jika ada sesuatu yang membuatnya kecewa, dan sikap diamnya itu sangat membuat pratama tersiksa. "Katakan apa kesalahanku." bisik Pratama, Pria gagah yang me
"Menikahlah denganku!" Paul mengenggam tangan Aina yang berada di atas meja di dalam club. Malam itu mereka sedang menikmati suasana club yang belum terlalu ramai karena masih sore. Sejak pertemuannya dengan Shinta beberapa hari yang lalu, Aina sering uring-uringan. Ia kesal Paul membela wanita itu dihadapannya. Sejak diceraikan oleh Raka, entah yang keberapa kalinya pria tampan berwajah bule itu melamar Aina. Pria itu tak kenal menyerah. Ia akan berjuang terus demi mendapatkan cintanya. Aina menghella napas panjang. Ia membiarkan tangannya digenggam erat bahkan diremas oleh Paul dengan hangat. Sesekali jemarinya menyelipkan anak rambut Aina ke balik telinga. Wanita itu selalu tampak cantik di matanya. "Kenapa kamu tidak pernah menyerah? Padahal Aku sudah berkali-kali menolakmu." Netra wanita cantik itu menatap bosan pada Paul. Ia sendiri sudah jenuh mendengar ungkapan cinta bahkan ajakan menikah dari pria berambut coklat itu. "Aku tidak akan pernah menyerah sampai kapanpun," ba
"K-kamu bukannya gadis yang di ..." Diantara rasa nyeri yang dia rasakan, Aina berusaha mengingat-ingat wajah gadis itu.. "Kayla! Kamu Kayla, kan?" Tiba-tiba Paul melangkah maju menunjuk-nunjuk Kayla dan berdiri di samping Aina. Pria itu tentu saja sangat mengenal Kayla. Wanita penghibur yang bekerja di night club miliknya. Aina sesaat melirik pada Paul..Sejurus kemudian dia langsumg ingat di mana ia pernah bertemu wanita itu. "Mana Raka?" Aina menatap nyalang pada Kayla..Wanita itu hanya terkejut sesaat memandamg Aina, lalu kembali tenang dengan wajah datarnya. "Raka masih tidur." "Maira ..., siapa yang datang, Sayang?" Kayla menoleh ke dalam merdengar teriakan Raka dari dalam. Sementara Aina dan Paul saling pandang saat mendengar Raka memanggil Kayla dengan sebutan Maira. "Dasar Gila!" gumam Paul. "Tunggi disini!" Kayla melangkah masuk. Aina tak menghiraukan Kayla yang memintanya menunggu. Wanita itu tak sabar dan langsung menerobos masuk ke dalam. Paul melihat Aina yang s
"Malam ini Saya makan malam di luar. Mbok Sum boleh pulang lebih cepat." Rein baru saja tiba di rumah. Selepas dari kantor tadi dia langsung pulang karena malam ini akan mengajak Shinta makan malam. "Baik, Tuan. Saya permisi pulang!" Mbok Sum melangkah keluar. Sejak tertangkapnya Ayu, Mbok Sum yang beberapa waktu lalu sempat berdiam diri di rumahnya, kembali bekerja di rumah Rein. Pria itu telah mengetahui semua rencana Ayu dan berhasil menjebaknya. Asisten rumah tangga Rein yang sudah berumur itu dipaksa berhenti oleh Ayu dan Alif dengan imbalan sejumlah uang. Mbok Sum yang sudah bertahun-tahun bekerja dengan Rein menceritakan semuanya pada majikannya.Rein mematut dirinya di depan cermin. Pria tampan itu memakai switer berbahan rajut berwarna coklat susu dan celana panjang jeans hitam yang begitu pas di tubuhnya yang tinggi tegap. Rein sedikit mencukur rambut-rambut halus di sekitar pipi dan dagunya, hingga menciptakan ketampanan yang begitu sempurna. Sudah hampir satu minggu ia
"Ayo, kita turun!" ajak Rein. Shinta yang sedang memandang wanita di kursi roda itu seketika menoleh. Mereka lalu keluar dari mobil. Seorang security membukakan pintu untuk Rein dan Shinta secara bergantian. Sambil melangkah menuju rumah besar itu, Shinta kembali menatap wajah wanita di kursi roda. Hatinya sempat bergetar melihat wajah yang terlihat tirus itu. . "Apa aku mengenalnya? Atau mungkin aku pernah melihatnya. Tapi dimana?" Shinta bertanya dalam hati. Pakaian wanita itu sangat sederhana. Hanya daster panjang rumahan. Rambutnya digulung menyerupai cepol, wajahnya sama sekali tak memakai riasan. Lagi-lagi Shinta bertanya-tanya dalam hati. Siapa wanita itu? Mengapa dia ada di rumah ini? Kenapa dia menunggu kedatangan Rein? Rumah siapa yang mereka datangi ini? Begitu banyak pertanyaan yang muncul di benak putri Pratama itu. Shinta kembali merasakan sesuatu saat wanita itu tersenyum padanya. Entah kenapa dia merasa pernah melihat senyuman itu. Namun entah dimana. "Bu ...,
"Ternyata banyak misteri yang belum terungkap. Masih ada rahasia yang belum aku tahu di masa kecilku," gumam Shinta. Tatapannya intens pada Rein dan Bu Tari secara bergantian. Tidak sabar menunggu apa yang akan dikatakan oleh pria tampan bermata elang itu. Rein menarik napas panjang." Begini ... "Waktu itu umur kamu kurang lebih tujuh tahun. Maaf, aku juga tidak terlalu ingat tepatnya berapa tahun. Kamu diculik oleh Ayahku dan dibawa ke rumah. Saat itu Bu Tari sedang bersamamu. Kamu disekap dalam keadaan tak sadarkan diri di sebuah kamar. Aku pernah berusaha untuk.melepaskanmu. Tapi waktu itu Aku masih beranjak remaja. Belum sanggup melawan para tukang pukul Ayahku yang hampir semua badanya dua kali lipat lebih besar dariku. Bu Tari juga disekap di ruang yang berbeda . Kemudian Ayahku memerintah para tukang pukulnya untuk membawa Kamu pergi entah kemana. Sementara Bu Tari masih berada di rumahku dan diancam akan dibunuh jika coba-coba untuk melarikan diri atau melaporkan semua ke
"Non ..., Non Shinta! Maaf Non, ada Ayah Non dan Tuan Raka datang." "Hah? Apaa?" Shinta yang merasa belum lama tertidur terkejut mendengar salah satu pelayan membangunkannya" Nina masih tertidur di sofa tak jauh darinya. Shinta sengaja minta babysitter itu untuk menemaninya di kamar Kaisar agar tak terjadi fitnah. Pintu kamar pun sejak tadi dibuka lebar-lebar. Sementara Rein masih tertidur dengan posisi semula. Sepertinya pria itu tidak benar-benar tidur. Dia hanya tak mau Kaisar terbangun. "Non, ada Tuan Pratama dan Tuan Raka. Mereka baru aja parkir mobil," ulang pelayan itu. Shinta melihat jam di dinding menunjukkan pukul tiga pagi. "Untuk apa mereka datang malam-malam begini?" pikir Shinta gusar. Ia melirik sekali lagi pada Rein. Dia semakin cemas akan ada keributan di rumah ini. Shinta membangunkan Nina, lalu beranjak menuju kamarnya melewati pintu yang terhubung dengan kamar Kaisar. Shinta membasuh wajahnya sesaat sebelum keluar dari kamarnya. Sementara di luar, Pratama d