"Rein sialan! Untuk apa dia balik lagi ke rumah itu? Dari mana dia tau kalau aku datang kembali ke sana? Apa jangan-jangan ada salah satu orang di rumah itu yang mengkhianatiku?" Raka terus mengumpat sambil mengobati luka-luka di wajahnya. Pagi tadi ia diantar pulang oleh salah satu security ke apartemennya. Ia menolak di bawa ke rumah sakit. Akan panjang urusannya jika ada yang mengenalinya dalam keadaan babak belur seperti itu. Ia hanya meminta Mang Ujang mampir ke apotik untuk membeli kassa, perban dan obat luka. "Sial! Hasratku pada Maira hampir saja terpenuhi. Aku yakin, jika saja bule sialan itu tidak datang, sedikit lagi Maira pasti akan menikmati permainanku. Aawww ...!!" Raka mengerang kesakitan. Sepertinya tangannya juga memar. Hingga ia kesulitan mengobati lukanya sendiri. "Harus ada seseorang yang membantuku mengobati luka-luka ini," gumamnya. Raka merogoh saku celananya untuk meraih ponselnya, lalu mencoba menghubungi seseorang. "Kayla, apa kamu bisa datang ke ap
"Ternyata Pria ini lebih kaya dari pada Raka. Selama ini Aku nggak pernah tau," gumam Aina. Sejak hari itu Aina dan Maminya-Yulia tinggal di rumah mewah milik Paul. Sudah lebih dari seminggu mereka di sana. Dua wanita yang merupakan ibu dan anak itu menikmati hidup mewah tanpa harus bekerja di rumah tiga lantai itu. Selama itu pula Paul masih belum kembali ke Jakarta. "Andai saja papi kamu kemarin buru-buru mengambil alih salah satu hotel Raka, kita pasti tidak sebingung ini, Aina. Si tua bangka itu malah kepincut dengan janda kaya." Yulia tak henti-hentinya meratapi nasibnya. Sejak awal dua ibu dan anak itu tak punya keahlian apapun. Mereka sudah terbiasa tinggal minta apa yang mereka inginkan. Hingga sekarang mereka bingung karena tak punya tempat hidup untuk bergantung. "Aina, kenapa kamu nggak nikah aja sama Paul. Kelihatannya dia sangat kaya. Kita bisa tinggal di sini sesuka kita. Rumah segini besarnya cuma dihuni para pelayan aja." Aina yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya
"M-maaf, Bu. T-tapi.ini masih jam tujuh pagi." Aina membalas dengan gugup. Wanita itu melotot dan bicara dengan nada tinggi. "Apa? Jam segini kamu bilang masih pagi? Perempuan macam apa kalian. Ayo bangun! Tinggal di sini nggak gratis! Kalian harus kerja!" "Hah? Apa? Kerja?" protes Aina tentunya dalam hati. "Aina, siapa sih pagi-pagi begini sudah berisik. Ganggu orang tidur aja!" Yulia yang merasa sangat terganggu sontak bangkit dan melangkah ke pintu dengan wajah kesal. "Mami ... !" Panggil Aina berbisik sambil menggelengkan kepalanya pada sang Mami.. "Ibu dan anak sama saja..Pantas aja kalian jatuh miskin. Dasar pemalas!" Yulia terkejut melihat wanita cantik dengan tubuh tinggi semampai, dengan usia mungkin tak beda jauh darinya. Hanya saja kulit wanita itu sangat terawat. "Hei, kamu ini siapa, sih? Marah-marah nggak jelas!" Yulia maju dan berdiri tepat di depan wanita itu. "Mau tau siapa Aku? Aku adalah pemilik rumah ini! Paham kalian?" Yulia ternganga mendengarnya. "L
"Hallo, Paul! Kamu kapan pulang ke Bandung?" "Mama sudah sampai rumah? Sudah bertemu Aina?" tanya Paul antusias saat menerima panggilan dari Mamanya. "Sudah," sahut Laura singkat. "Trus gimana, Ma? Aina nggak Mama apa-apain, kan?" tanya pria bule itu sedikit curiga. Ia tau seperti apa Mamanya itu. Tawa renyah terdengar dari seberang sana. Namun itu justru membuat Paul semakin curiga. "Maaa, jangan bilang kalau Mama udah ngerjain Aina dan Maminya." Paul terus mencecar dengan pertanyaan-pertanyaan. Sementara Maminya hanya tertawa saja mendengarnya. "Sudah kamu nggak usah khawatir. Mereka baik-baik aja. Mama cuma kasih tau sedikit aturan di rumah ini. Agar mereka terbiasa jika nanti tinggal di sini," sahut Laura tenang.. "Oh gitu. Terimakasih Mama udah bisa menerima Aina dan Maminya tinggal di sana. Kerjaanku banyak banget di sini." Paul menjawab lega. Terdengar hembusan napas panjang Laura dari ponsel. "Andai dari dulu kamu mau melanjutkan bisnis papamu di Amerika, kamu tidak
"Ayah? Kapan Ayah datang?" Shinta terkejut saat baru saja tiba di teras. Pratama, Hafiz dan Hikmah sudah berada di terasnya. Ia heran pagi-pagi sekali mereka sudah berada di rumahnya. Semalam Shinta mengirim pesan pada Hafiz tentang keberadaan Bu Nuri di rumahnya. Ia menduga mereka datang pasti karena hal itu. Pratama memandang putrinya dengan tatapan merasa bersalah. Lalu pria paruh baya itu mendekat. "Sayang, maafkan Ayah!" Pratama sontak meraih putrinya ke dalam pelukannya. Suara Pratama bergetar. Seakan ada kesedihan dan penyesalan di sana.. Shinta kebingungan. Dalam hatinya bertanya-tanya, Ada apa sebenarnya? Apa yang sudah terjadi? Namun ia urung untuk bertanya. Shinta hanya menikmati pelukan sang Ayah yang rasanya sudah cukup lama tidak ia rasakan. Shinta pun rindu saat-saat seperti ini. Perselisihan dengan Pratama beberapa waktu lalu membuatnya seakan jauh dari Ayahnya. "Ayo kita masuk. Ayah pasti belum sarapan. Yuk Kak Hafiz, Hikmah!" ajak Shinta. Wanita cantik deng
" Sebentar, bagaimana jika nanti Ayah marah lagi? Kamu nggak apa-apa?"Tiba-tiba Rein berhenti dan meraih jemari Shinta. Shinta menoleh pada Rein. Mereka berdua saling tatap dalam beberapa detik. "Aku nggak apa-apa. Bukankah kamu bilang kita harus berjuang sama-sama?" Shinta berbicara pelan. Genggaman tangan Rein begitu erat. Seakan ingin saling memberi kekuatan. "Terima kasih, Sayang!" Rein mengecup singkat jemari Shinta. Hingga ada rona kemerahan di wajah cantik itu. "Yuk, ke dalam!" Perlahan Shinta melepaskan jemarinya dan melangkah lebih dulu menuju ruang makan. Rein tersenyum kagum pada Shinta. Walau wanita itu pernah menikah, tapi dia sangat pandai menjaga diri. Pria bule super tampan itu merasa gemas melihat Shinta kadang masih malu-malu seperti seorang remaja. Langkah mereka telah sampai di ruang makan yang cukup luas. "Ayah, Ibu, kak Hafiz dan Hikmah. Aku ngajak Rein sekalian sarapan di sini, ya!" "Ayo, Rein sini gabung!" sapa Hafiz Hangat. Hikmah ikut tersenyum pada S
"Non ... Non Shinta! Ada ribut-ribut di luar, Non!" Seorang pelayan datang tergopoh-gopoh menghampiri Shinta yang berada di ruang kerjanya. "Ada apa? Ribut-ribut apa?" Wanita cantik yang sudah bersiap-siap hendak berangkat ke kantor itu tiba-tiba bangkit dari kursi kebesarannya.. Shinta sedang mempersiapkan bahan untuk rapat pagi ini. Karena Rein akan ikut serta dalam rapat, pria itu berjanji akan menjemputnya pagi ini. Sejak setengah jam yang lalu Shinta memutuskan menyelesaikan pekerjaannya sambil menunggu Rein. "Non, ada beberapa preman menyerobot hendak masuk. Mereka mencari Tuan Raka." Mang Ujang berlari ketakutan menghampiri Shinta. "Ya bilang aja kalau yang namanya Raka sudah nggak tinggal di sini!" ujar Shinta sedikit panik. Mendengar kata preman, dirinya mulai bergidik."Mereka tidak percaya, Non. Mereka bilang Tuan Raka memberi alamat ini pada mereka. Seketika wajah cantik itu menggelap. Shinta tidak habis pikir dengan mantan suaminya itu. "Ya sudah. Ayo kita temui m
"Ampun, Bos. Saya Sapto. Raka menghamili anak saya-Kayla. Saya sudah pernah menemui Raka di club. Tapi waktu itu dia terburu-buru dan memberikan alamat rumah ini pada Saya." Pria yang mengaku bernama Sapto itu bercerita dengan kepala tertunduk. Rein menghempas napas kasar. Dia menoleh pada Shinta. "Tapi Raka tidak ada di sini, Rein." ujar Shinta. Ia merasa tatapan Rein sedang menanyakan hal itu padanya. Rein kembali menoleh pada pria bernama Sapto itu. "Kamu dengar, kan? Raka sudah tidak tinggal.di sini lagi," ulang Rein tegas. Sapto terlihat sedih. "Lalu ke mana lagi Saya harus mencarinya, Bos?" Pria paruh baya itu terdengar putus asa. Mereka terdiam sesaat. "Bapak bisa mencari Raka di apartemennya atau tempat biasa mereka berkencan. Putri Bapak pasti tau." Shinta berusaha bicara dengan tenang. "Kayla tidak mau bicara. Ia tertekan. Kayla menyebut nama Raka berkali-kali." Wajah Sapto sedih. "Saya ... minta tolong ...!" lanjut Sapto lagi pelan. Rein dan Shinta saling memanda