Bara terus menjelaskan dan berharap Seila percaya padanya, sekalipun dia mulai sedikit khawatir karena meninggalkan Air sendirian di mall. Padahal beberapa saat sebelumnya, hubungan diantara mereka sedikit mencair, Bara bisa melihat senyuman dari wajah polos itu, dia juga bisa tertawa lepas walau hanya dengan lelucon yang konyol."Aku tidak percaya padamu Bara! Kau pasti bohong!"Bara menyandarkan punggungnya disandaran jok. Fikirannya kini terpecah menjadi dua, disisi lain dia tidak ingin kehilangan Seila karena dia sangat mencintainya. Tapi dia juga terus mengingat Air, gadis itu pasti terluka saat ini dengan semua tuduhan yang tidak benar."Aku tidak bohong Seila, aku tidak berselingkuh seperti yang kau tuduhkan, dan aku tidak mau kita putus, ada banyak rencana yang sudah aku rancang untuk masa depan kita Seila," lirihnya dengan fikiran yang semakin tidak menentu, 'Bagaimana Air disana sekarang? Apa dia bisa pulang sendiri? Dia pasti sedih,' Bara terus bermonolog dalam hati.Seila
"Bagaimana kalau kamu menginap dirumah Ibu, pamanmu tidak keberatan bukan?" "Hah ... aku? Emmpphh ...!" Air masih berfikir keras, apa itu hal bagus atau tidak, bagaimana kalau Bara tahu, 'Ahk udahlah, buat malem ini doang!' ucapnya dalam hati.Tak lama Sri langsung menyodorkan ponsel kepadanya, "Hubungi pamanmu, bilang kalau kamu tidak pulang malam ini."Air menelan saliva, sejak awal dia dan Bara sudah berbohong, dan harus terus menutupi kebohongan-kebohongannya sampai saat ini."Kenapa, oh Ibu tahu ...!" Sri menggiring Air sampai masuk kedalam mobil. "Ibu hubungi Bara, biar dia bicara dengan pamanmu ya," ujarnya lagi dan menyuruh supirnya langsung melanjutkan perjalanan.Gadis itu sudah tentu kaget, dia langsung menahan tangan Sri yang hendak menghubungi Bara, gawat jadinya kalau Bara tahu dia ada dirumah Ibu, bisa-bisa Bara berfikir dia mengadukannya. "Jangan. Biar Air sendiri yang ngomong sama Om Air nanti." cegahnya dengan cepat.Sri mengangguk saja, memasukkan kembali ponsel ke
Bara tidak punya pilihan selain membawa Seila ke apartemen miliknya, ia tidak ingin beranjak sedikitpun dari klub jika Bara tidak menurutinya. Meskipun Bara kesal dan meninggalkannya namun Seila justru mencari keributan."Kita ke tempatmu saja!""Tidak, aku tidak mau ... aku sudah bilang aku tidak akan pulang kalau tidak ke apartemenmu!" Seila melepaskan tangan Bara dan berjalan sempoyongan, namun Bara kembali memeganginya lagi.'Bagaimana ini, Air pasti sudah pulang! Aku harus mencari cara agar mereka tidak bertemu,' batin Bara bicara.Sepanjang perjalanan, Bara hanya diam saja, dia tidak menanggapi apapun ocehan dari Seila yang tengah mabuk itu, hingga mobil melesat menuju apartemen.Perasaan was-was semakin hinggap dibenak Bara, bagaimana ia tidak mampu menolak permintaan kekasihnya yang keras kepala. Lalu bagaimana dengan Air.Lampu-lampu di apartemen miliknya masih gelap, itu artinya belum ada orang yang menyalakannya, Bara memapah tubuh Seila yang masih dikuasai alkohol itu dan
Tapi rasa kantuk yang sejak awal mendera Air tiba-tiba saja menghilang, menguap bersama semilir angin malam yang menyisir masuk lewat celah jendela, pun denting jam seakan berhenti. Begitupun juga dengan Bara, pria yang pergi tergesa-gesa dari rumahnya itu tidak sabar untuk melihat Air dan memastikan semuanya baik-baik saja. Tatapan yang kini saling beradu pun hanya membuat keduanya canggung saja."Kau belum mengantuk?""Gak tahu ... tiba- tiba gak ngantuk lagi,""Mau kubuatkan cokelat hangat? Itu akan membuat tubuhmu relaks." kata Bara, mencoba membuat suasana kembali kembali normal.Air mengangguk kecil, entahlah apa yang dilakukannya, tapi kepalanya kadung bergerak naik turun. "Baiklah, tunggu disini!" Bara bangkit dan berjalan keluar dari kamarnya yang kini ditempati Air. Pria itu berjalan ke arah dapur dan menyalakan kompor, mengambil gelas dan mengisinya dengan Air. Tapi dia tidak dapat menemukan bubuk Cokelat yang telah ia janjikan itu. Didalam lemari penyimpanan, didalam top
Air hanya bisa diam, dia masih mencoba mencerna apa yang terjadi baru saja pada mereka berdua. Ditambah kejadian ini justru terjadi setelah ia mengetahui kalau Bara memiliki kekasih hati.Setelah Bara keluar dari kamarnya, gadis itu menenggelamkan kepalanya ke dalam bantal, ingin rasanya sembunyi karena apa yang dilakukannya tadi, ditambah pernyataan konyolnya. 'Ciuman artinya pacaran? Ahk ... bego juga gue,' Batinnya.Begitu pula dengan Bara, dia berjalan ke arah dapur dengan bayangan Air dibenaknya, ruangan dapur yang menjadi saksi atas apa yang dilakukannya dengan kesadaran penuh. Suara lenguhan, dan desahan Air seketika terdengar memenuhi fikirannya."Astaga ...!" gumamnya dengan sedikit senyum yang tiba-tiba muncul begitu saja di wajahnya. Pria itu lantas membasuh wajahnya diwastafel dan berpegangan di tepi wastafel dengan tetesan air turun dari wajahnya. "Aku harus membersihkan fikiranku ini!" ucapnya lagi.Setelah itu Bara memilih tidur disofa panjang yang berada di ruang tamu,
"Aaa---apa maksudnya?"Suara Air terdengar lirih, kedua tangannya melingkar ragu pada leher Bara.Pria itu tidak menjawabnya, dia justru kembali menyusupkan benda tanpa tulang dan terus mencecapnya lembut. Keduanya terus saling merasai hingga akhirnya Bara membawanya masuk ke dalam kamar dan membaringkannya di atas ranjang tanpa menghentikan aktifitasnya."Ada Ibu lho ..." bisik Air."Ibu sudah tidur, jadi jangan berisik. hm! Besok kau ikut pulang denganku," suara serak Bara menggema di telinga Air."Gak mau, enakan disini!""Aku tidak bisa terus mencari alasan pada Ibu, Air.""Ya terus gimana dong? Apa kita jujur aja sama Ibu? Tapi kalau jujur, aku gak siap ... aku takut Ibu kecewa dan marah, terus gak ngebolehin aku tinggal di sini. Terus aku nanti gimana?" seloroh Air terus bicara sedangkan Bara hanya menatapnya saja.Bara pun sebenarnya belum siap mengatakan hal yang sebenarnya pada sang Ibu, persis seperti apa yang dirasakan Air. Tidak mudah bagi seorang Ibu menerima keadaan yang
Bara beralih menatap langit-langit kamar, mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu dimana dia bertemu dengan Air, bagaimana kagetnya saat disidang warga, akhirnya berakhir dengan pernikahan di hari yang sama. Setelah itu ia tahu bagaimana repotnya mengurusi Air yang keras kepala dan juga nakal di sekolah hingga akhirnya perasaanya tumbuh tanpa ia sadari.Bara menoleh pada Air, menatap wajahnya yang teduh dan juga bercahaya walau tanpa memakai skincare maupun perawatan. Bibir tipisnya yang menjadi candu baginya sekarang, suaranya, tingkah lakunya yang polos dan menggemaskan tapi juga bisa sangat dewasa dalam hal-hal tertentu.Contohnya saat ini, Air yang masih 16 tahun itu terlihat dewasa terlebih saat mereka berduaan, berciuman bahkan hampir saja melakukannya. Bara mengulas senyuman, mengelus kepala Air dengan lembut lalu mengangkatnya sedikit dan menaruhnya dilengannya. Bara menghirup udara sebanyak mungkin saat mencium aroma vanila dari kulit Air saat mendekapnya erat, aroma van
Panggilan sayang pada wanita yang memang dia sayang tidak ada salahnya, baik Seila yang memang menjadi pengisi hatinya, juga Air yang baru saja hadir dalam hidupnya dan mengisi hatinya saat ini.Tapi bagi Air, panggilan itu cukup penting. Layaknya seorang anak yang tidak ingin berbagi mainan, begitupun dia juga yang tidak ingin Bara memanggilnya dengan sebutan yang sama dengan panggilannya pada wanita lain. Semenjak Bara menciumnya, semenjak itu pula Bara adalah miliknya, bukan milik orang lain.Air memicingkan kedua matanya, protes kan tidak mengenal waktu yang tepat atau tidak, tidak penting bagi Bara tapi penting baginya. Fikirnya. Air tidak bergeming, ia masih enggan keluar dari mobil walaupun Bara sudah membuka kuncinya secara otomatis, duduk terdiam dan terus menatapnya, menunggu jawaban dari pria yang lebih dewasa itu."Iya, baiklah. Aku tidak akan memanggilmu sayang kalau kau tidak mau!""Bukannya tidak mau, tapi aku....""Aku akan menggantinya. Tapi nanti setelah urusan kita