Share

Hanyalah Pelarian Belaka

“Mbak Zara, ada yang nyari.” Seorang pelayan pria memberitau.

“Siapa yang nyari?” Angga yang saat itu sedang mengecek persediaan bahan pun bertanya demikian.

“I ... itu, Pak ... emm, Kakak iparnya Bu Arsha yang sering ke sini itu loh ... temennya Bapak juga.”

“Arkana?” Angga balas bertanya dan sang pelayan pria muda itu mengangguk membenarkan.

Mendengar nama Arkana membuat jantung Zara berdebar kencang.

Untuk apa pria itu datang lagi menemuinya di tempat kerja yang susah payah ia dapatkan.

Padahal Zara sedang dalam masa percobaan. Ia tidak ingin membuat Angga sang Manager kecewa.

“Kamu kenal sama dia, Zara?” Sekarang Angga bertanya kepada Zara dengan tatapan skeptis.

Pria itu sampai menyimpan tabnya di atas meja menunggu penjelasan Zara, sementara Zara pura-pura sibuk membersihkan dapur sambil menunggu pesanan selesai dibuat oleh koki.

“Kak Arkana ... Kakak kelas waktu SMA, Pak.” Zara menjawab jujur, karena terakhir kali membohongi Angga mengenai pendidikan terakhirnya—pria itu langsung mengetahuinya dari Arsha.

“Saya heran, kamu melamar kerja sebagai pegawai rendahan dengan ijazah SMA padahal kenalan kamu orang kaya semua ... Kamu temen kuliah Caca sedangkan Caca kuliah di Singapura di universitas bergengsi di sana dan kamu juga temen SMA Arkana ... Arkana itu bersekolah di SMA termahal di Negri ini ... kamu bukan mata-mata pesaing, kan?” desak Angga penuh rasa curiga.

“Bu ... bukan Pak, sa ... saya hanya ... .” Ucapan Zara menggantung, ia bingung bagaimana menjelaskannya.

“Kamu enggak saya ijinin ketemu Arkana sampai jam kerja selesai, ya ... biar saya yang nemuin Arkana,” putus Angga lalu pergi tanpa menunggu jawaban Zara.

“Mbak ... mbak mantan orang kaya ya?” Pertanyaan dari pelayan pria yang baru saja lulus SMA itu lebih masuk akal dibanding dugaan Angga tadi.

Tapi Zara enggan menjelaskan dirinya kepada siapapun jadi ia hanya menggelengkan kepala dengan senyum tipis sebagai jawaban.

Dika tau jika Zara tidak nyaman dengan pertanyaannya, ia pun pergi meninggalkan Zara.

“Ra! Untuk meja nomor tujuh belas,” ujar sang Koki sambil membunyikan bel.

“Baik, Pak!” Zara langsung memburunya.

“Semoga bukan meja Kak Ar ...,” batin Zara berdoa.

Di luar sana, Arkana kecewa karena yang menghampirinya adalah Angga dan bukanlah Zara.

Pasti pria itu tidak mengijinkan Zara bertemu dengannya.

“Tumben sore gini udah ke sini ... biasanya malem.” Angga pura-pura tidak mengetahui maksud kedatangan Arkana.

Pria itu duduk di kursi tepat di depan Arkana.

“Gue mau jemput Zara ... kita mau ke rumah sakit nengokin Caca.”

“Dia masih kerja, baru selesai kira-kira dua jam lagi.” Angga melirik arlojinya ketika berkata demikian.

“Bukannya dia udah kerja dari pagi? jam kerja dia itu delapan jam dan seharusnya sekarang udah selesai ... jangan sampe gue laporin serikat pekerja,” ancam Arkana santai.

“Dia lagi dalam masa percobaan ... jadi gue suruh gantiin temennya yang telat dateng karena ada urusan.”

Arkana memindai sekitar, di sana tidak terlalu banyak pengunjung jadi sepertinya caffe akan baik-baik saja bila harus kekurangan satu pegawai.

“Caffe juga enggak terlalu rame ... jadi enggak apa-apa kali kalau di pergi sama gue sekarang.”

“Ck!” Angga berdecak lidah.

“Enggak bisa, Kana ... kalau tiba-tiba rame gimana? Gue Managernya di sini ... gue yang bertanggung jawab atas keseluruhan caffe ... lo kalau mau nengok Caca, pergi aja duluan aja ... nanti Zara gue anter sekalian gue juga mau ke sana.”

Arkana tertawa pelan sambil menyandarkan punggung pada sofa. “Gue tungguin aja di sini!” putus pria itu kemudian.

Ia tidak akan pernah membiarkan Zara bersama pria manapun.

“Ya udah, lo mau pesen apa sambil nunggu Zara?” Angga berbaik hati menawarkan minuman, ia masih menghargai Arkana yang merupakan Kakak ipar Arsha.

“Buatin gue kopi yang kemaren donk! Tapi gue pengen racikan lo, terakhir gue minum kopi racikan baristanya enggak seenak buatan lo.” Arkana beralasan padahal ia ingin Angga pergi.

“Oke, tunggu di sini ya! Gue temenin lo nungguin Zara.”

Angga pergi untuk meracik kopi dan setelah kepergiannya, Arkana mulai sibuk menghubungi beberapa orang.

Setengah jam berlalu, Zara beberapa kali melewati meja Arkana yang sesekali tersenyum kepadanya meski tidak sekalipun Zara mau membalas malah memberikan delikan kesal yang dianggap Arkana sebagai delikan manja.

Zara menganggap bila Angga mampu menyelesaikan masalahnya sehingga ia bisa bekerja dengan tenang untuk menyelesaikan masa percobaan hari ini.

Namun, semua pikiran Zara itu salah besar ketika seorang perempuan datang melewati pintu caffe dan menghampiri meja Arkana.

Kening Zara berkerut melihat perempuan itu tampak patuh dan segan kepada Arkana yang seperti sedang memberi pengarahan.

Sayangnya jarak mereka sedikit jauh sehingga Zara tidak dapat mendengar apa yang dikatakan Arkana kepada perempuan itu.

Kenapa dirinya jadi ingin tau apa hubungan Arkana dengan sang perempuan?

Zara mengetuk-ngetuk keningnya dengan buku jari.

Kling.

“Untuk meja nomor sepuluh, Ra!” seru koki dari area kompor sambil membunyikan bel.

Zara bergegas mengantar pesanan, berbarengan dengan Angga yang baru saja selesai meracik kopi untuk Arkana.

“Ini kopi, lo!” Angga menggeser satu cangkir kopi ke depan Arkana.

“Thanks, Bro! Oh ya, ini Ratih ... dia pegawai senior di restoran gue dan gue perbantukan di sini untuk gantiin Zara ... jadi gue udah bisa bawa Zara, kan?”

Angga tercenung sesaat menatap perempuan di samping Arkana yang tersenyum sambil menggangguk sopan kepadanya.

“Tapi enggak bisa git—“ Ucapan Angga terjeda oleh telapak tangan Arkana yang terangkat.

“Sebentar,” kata pria itu kemudian.

“Hallo, Ca ... nih, ngomong sama Angga.” Arkana lantas memberikan ponselnya kepada Angga.

“Iya, Ca?” Angga tampak malas berbicara dengan sang pemilik caffe yang merupakan adik dari sahabatnya itu karena ia sudah bisa menduga apa yang akan Arsha katakan.

“Hai cantik, ayo kita pergi!” Arkana berseru demikian saat Zara melewati mejanya membuat gadis itu menghentikan langkah dan melongo bingung.

“Zara, kamu boleh pergi sama Arkana ... tadi Caca minta kamu datang ke rumah sakit katanya ada Rachel di sana,” ujar Angga dengan nada sedikit kesal setelah memutus sambungan telepon dengan Arsha lalu mengembalikan ponsel kepada Arkana.

“Sorry, Bro! Gue bukan enggak ngehargain lo tapi gue butuh cewek gue sekarang.” Arkana sudah berada di depan Zara ketika berkata demikian lalu melingkarkan kedua lengannya di pinggang Zara untuk membuka apron berwarna coklat yang merupakan seragam karyawan di caffe itu.

Seperti terkena sihir, Zara tidak mampu melakukan apapun hanya bisa mengerjapkan matanya beberapa kali sampai tidak bisa membantah saat Arkana kembali mengakuinya sebagai kekasih pria itu.

Arkana menyerahkan apron beserta nampan kepada Ratih yang langsung perempuan itu terima.

“Gue duluan ya!” Arkana merangkul pundak Zara untuk pergi dari sana.

Zara seperti gagu, raut wajah cantik itu sangat jelas menunjukan betapa tidak enak hati dirinya kepada Angga.

Ia menoleh ke belakang dengan sering saat Arkana menyeretnya keluar dari caffe.

Angga dapat menangkap apa yang sedang dirasakan Zara dari matanya, ia pun menganggukan kepala sebagai tanda bila telah benar-benar mengijinkan Zara pergi tanpa merusak penilaian kinerjanya.

“Kak Ar, apa-apaan sih? Aku lagi kerja tau! Kalau Pak Angga mecat aku gimana? Kakak enggak denger permintaan aku kemarin? Aku harus pake bahasa apa sih biar Kak Ar ngerti?” Zara menghentakan kakinya beberapa kali di paving block pelataran parkir karena kesal dengan tindakan semena-semena Arkana.

Zara sudah menduga jika Arkana menghubungi Arsha untuk membantu pria itu agar dapat membawanya pergi.

“Jangan marah-marah donk sayang, gue lagi bahagia nih ... .” Jelas saja Arkana bahagia, ia baru saja bertemu kembali dengan Zara, gadis yang telah mengutuknya hingga ia seperti orang gila mencari Zara saat sang gadis menghilang.

“Yuk kita pergi yuk, berantemnya di mobil aja ... syukur-syukur kalau lo mau berantemnya di atas ranjang kamar hotel,” sambung Arkana lantas tersenyum lebar setelah berkata nyeleneh.

“Apa?” Nada suara Zara meninggi, bola di mata indah Zara juga nyaris keluar dari rongganya.

“Enggaaaak ... becanda, eh ... beneran denk!” Arkana mendorong Zara agar masuk ke dalam mobil.

“Ngomong apa sih ni cowok, nyebelin banget!” gumam Zara saat dirinya sudah duduk di kursi penumpang depan, memperhatikan Arkana melangkah cepat memutari setengah bagian mobil.

Zara tidak bersuara sepanjang perjalanan yang telah di lewati, menatap ke depan dengan raut cemberut.

“Kamu udah makan belum, sayang?” Pertanyaan dengan panggilan yang bagi Zara menjijikan itu terdengar lembut di telinganya.

“Berhenti panggil aku sayang dan berhenti ngaku-ngaku jadi pacar aku ... aku bukan pacar Kakak, kapan juga kita jadian?”

“Sekarang, mulai sekarang lo jadi pacar gue!”

Zara mengembuskan napas kasar. “Cape ah ngomong sama Kak Ar ... kaya ngomong sama Alien, enggak pernah nyambung!”

Zara melipat tangannya di depan dada membuat dua bagian yang paling menonjol di dadanya tampak nyata dan Arkana menelan saliva membayangkan salah satu bagian itu ada di mulutnya.

“Ya udah, kalau cape lo diem aja ... biar gue yang gerak,” kata pria itu membuat Zara menoleh.

“Apa sih? Ngomongnya dari tadi ngaco banget!”

Semakin Zara marah semakin wajahnya memberengut dan semakin Arkana senang melihatnya.

Selang berapa lama, tibalah mereka di salah satu pusat perbelanjaan termewah di Kota itu.

Arkana menghentikan laju mobil sportnya tepat di depan loby lalu turun dan melempar kunci mobil kepada petugas valet.

Di dalam mobil Zara baru tersadar bila tujuan mereka seharusnya rumah sakit dan bukan lah mall di mana dirinya berada saat ini.

“Ayo, sayang ... kita udah sampe!” Arkana mengejutkan Zara yang sedang celingukan melihat ke arah luar jendela.

“Ngapain ke sini?” Zara bertanya seraya turun dari mobil.

“Bantuin gue pilihin hadiah buat si kembar.”

Zara pun akhirnya mengikuti Arkana, ia mengerti kenapa pria itu membawanya ke sini karena sedang membutuhkan bantuannya.

“Ish ... jangan peluk-peluk ah, kebiasaan deh!”

Zara menepis tangan Arkana yang berada di pundaknya dan pria itu hanya tertawa menanggapi.

“Pilihin yang bagus ya, gue enggak mau kalah sama sodara-sodara gue yang lain,” ujar Arkana yang wajahnya berada tepat di samping Zara.

“Ih ... enggak usah deket-deket gitu, ngomong aja biasa ... aku belum tuli!” protes Zara sambil menyikut perut Arkana.

Tanpa Zara duga, bukannya menjauh—Arkana malah mencuri kecup di pipinya.

Cup.

“Iiiiihhh ... enggak sopan!” Zara menggeram tertahan agar tidak menjadi pusat perhatian pelayan dan pengunjung di butik perlengkapan bayi tersebut.

Meski begitu, karena terlanjur sudah berada di sana—Zara membantu memilihkan kado untuk si kembar keponakan Arkana yang baru saja lahir ke dunia.

Tidak membutuhkan waktu lama karena Zara mendapatkan bantuan pelayan sementara Arkana berdiri di samping kasir tidak mengganggunya lagi.

Pria itu kemudian membayar semua barang pilihan Zara yang dibawa pelayan butik.

Lalu keluar sambil menenteng paperbag besar di tangannya dan menghampiri Zara yang menunggu di luar butik.

“Yuk!” ajak pria itu ke arah yang menjauhi eskalator turun menuju pintu loby mall.

“Lewat sini, Kak!” kata Zara memberitau.

“Ra, bantuin gue donk!”

“Bantuin apa lagi?”

“Gue mau beliin cewek gue sesuatu ... lo bantu pilihan ya, soalnya gue enggak ngerti selera cewek.”

Tatapan Arkana tampak memohon dengan suara lembut mendayu.

“Trus kalau lo punya cewek, ngapain ngajakin gue jadian? Ngapain peduli sama gue? Ngapain ngerangkul-rangkul gue? Dasar kampret, curut, play boy cap soang ... nyebeliiiiinnn!!” jerit batin Zara.

Tapi yang ia tampakan adalah senyum tipis sebagai jawaban “Ya” untuk menutupi perasaannya.

Zara gengsi memperlihatkan kekesalannya yang bisa jadi dianggap Arkana sebagai bentuk kecemburan kepada pria itu.

“Ya udah ayo cepetan, keburu malem ... .” Zara pura-pura semangat.

“Mau beliin apa buat ceweknya, Kak Ar?” Zara bertanya agar ia tidak perlu berpikir harus membelikan apa untuk kekasih pria itu jadi tinggal ambil saja sesuai seleranya.

“Karena dia lagi ngambek sama gue, gue mau beliin semuanya, Ra ... baju ... sepatu, sendal, tas ... trus bajunya juga yang banyak sama tasnya juga, Ra ... pokoknya gue pengen dia seneng dan enggak marah lagi sama gue.”

“Emang ceweknya Kak Ar, orangnya kaya apa? Berapa nomor sepatunya trus badannya tinggi? Kurus? Atau Gemuk?” Zara bertanya lagi sambil memilih pakaian yang tergantung di salah satu area butik yang baru saja mereka masuki.

“Jadi cewek gue ini orangnya mirip-mirip lo, ukuran sepatunya juga kayanya sama kaya lo ... makanya gue pepet lo terus dari kemarin karena lo tuh mirip cewek gue, tipe-tipe gue gitu.”

Begitu santainya si pria menyebalkan itu berkata demikian.

“Pantesan, ternyata dari kemaren gue jadi pelariannya doank,” gerutu Zara yang hanya bisa ia ungkapkan di dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status