Share

DI BAWAH TATAPAN IBU

Author: Benduls
last update Last Updated: 2025-12-15 05:20:07

Mobil berhenti tepat di depan rumah utama keluarga Ravindra.

Bangunannya megah, lebih menyerupai vila tua daripada rumah tinggal. Lampu-lampu taman menyala lembut, tapi tidak ada kesan hangat di sana. Justru terasa dingin. Resmi. Seperti tempat di mana setiap kesalahan kecil akan terlihat jelas.

Aku menarik napas pelan sebelum turun.

Ravindra keluar lebih dulu, lalu menoleh ke arahku. “Pegang lenganku,” katanya singkat.

Aku menurut.

Begitu pintu utama terbuka, seorang wanita paruh baya berdiri di ambang. Rambutnya disanggul rapi, gaun gelapnya sederhana namun elegan. Tatapannya tajam, jenis tatapan yang tidak melewatkan detail sekecil apa pun.

“Ibu,” sapa Ravindra.

Wanita itu mengangguk tipis, lalu matanya beralih padaku.

“Inilah istrimu?” tanyanya tanpa basa-basi.

Aku menunduk sedikit. “Selamat malam, Bu.”

Ia menatapku lama. Terlalu lama. Seolah aku barang antik yang sedang dinilai keasliannya.

“Masuk,” katanya akhirnya.

Kami duduk di meja makan panjang. Beberapa anggota keluarga lain hadir, tapi perhatian jelas terpusat padaku. Setiap gerakanku terasa diawasi. Cara aku duduk. Cara aku tersenyum. Cara aku menatap Ravindra.

“Kamu terlihat… tenang,” kata ibu Ravindra sambil mengaduk supnya. “Padahal menikah dengan anakku bukan hal mudah.”

Aku tersenyum kecil. “Saya berusaha.”

“Berusaha atau terbiasa?” tanyanya cepat.

Aku menegang, tapi Ravindra langsung menyela, “Ibu.”

Wanita itu tersenyum tipis. “Aku hanya ingin mengenalnya.”

Hidangan demi hidangan disajikan. Anggur mulai dituangkan. Ravindra menerima gelas pertamanya tanpa komentar.

“Sejak kapan kalian dekat?” tanya salah satu kerabat.

“Tiga bulan,” jawab Ravindra mantap.

“Kamu bekerja di mana sebelumnya?” tanya ibunya lagi.

Aku sudah menyiapkan jawaban. “Di bidang kreatif.”

“Spesifik.”

Aku tersenyum. “Penulisan.”

Alisnya terangkat. “Menarik. Kamu tidak terlihat seperti penulis.”

Aku menahan diri untuk tidak bereaksi. “Mungkin karena tulisan tidak selalu terlihat dari luar.”

Hening sesaat. Lalu Ravindra mengangkat gelasnya dan meneguk anggur cukup banyak.

Aku meliriknya sekilas. Ini gelas kedua.

“Ravindra jarang minum,” kata ibunya sambil memperhatikannya. “Kamu pengecualian?”

“Ini acara keluarga,” jawab Ravindra datar.

Percakapan berlanjut, tapi pertanyaan-pertanyaan terus mengarah padaku. Tentang masa kecil. Tentang keluarga. Tentang kebiasaan. Aku menjawab hati-hati, selalu satu langkah di depan kemungkinan jebakan.

Ravindra minum lagi.

Gelas ketiga.

Saat makan malam hampir selesai, ibunya meletakkan sendoknya dan menatap kami bergantian. “Pernikahan bukan hanya tentang citra. Aku ingin cucu.”

Kata itu menggantung di udara.

Aku menegang. Ravindra menghela napas pelan. “Ibu”

“Kapan?” tanyanya tegas.

“Kami belum membicarakannya,” jawab Ravindra.

“Kenapa?” Tatapannya kini tajam ke arahku.

Aku memaksa diri tenang. “Kami ingin saling menyesuaikan diri dulu.”

Ibunya tersenyum dingin. “Waktu tidak selalu menunggu.”

Ravindra meneguk anggurnya lagi. Lebih cepat. Aku bisa melihat rahangnya mengeras.

“Aku cukup,” katanya tiba-tiba, lalu berdiri. “Kami pamit.”

Ibunya menatapnya lama, lalu mengangguk. “Baik. Tapi ingat, Ravindra, aku tidak suka ketidakpastian.”

Kami pergi tanpa banyak kata.

Di dalam mobil, Ravindra diam. Wajahnya tegang. Ia membuka kancing jasnya, lalu menyandarkan kepala ke sandaran kursi.

“Kamu minum terlalu banyak,” kataku pelan.

“Aku tahu,” jawabnya singkat.

Lampu jalan memantul di wajahnya. Matanya terlihat lebih gelap dari biasanya.

“Maaf soal ibu,” katanya tiba-tiba.

Aku menoleh. “Tidak perlu.”

“Dia tidak mudah percaya.”

“Aku sudah merasakannya.”

Ia tertawa kecil, tawa tanpa humor. “Dia selalu benar tentang orang.”

Kalimat itu membuat dadaku menegang.

Sesampainya di rumah, Ravindra langsung menuju dapur, menuang segelas air, lalu berhenti. Ia menggeleng, menggantinya dengan anggur yang tadi dibawanya pulang.

“Ravindra,” panggilku pelan.

Ia menoleh. “Sedikit lagi.”

Aku ragu, tapi tidak menghentikannya.

Kami duduk di ruang keluarga. Jarak di antara kami terasa lebih dekat dari biasanya, bukan karena fisik, tapi karena suasana.

“Kamu tidak seperti yang ibu bayangkan,” katanya tiba-tiba.

“Lalu seperti apa bayangannya?”

“Lebih… gugup.” Ia menatapku lama. “Kamu terlalu tenang.”

Aku menahan napas. “Aku belajar bertahan.”

Ia tersenyum samar. “Itu jawaban yang aneh.”

Keheningan turun. Anggur di tangannya hampir habis.

“Apa kamu pernah menyesal?” tanyanya pelan.

“Menyesal apa?”

“Menikah denganku.”

Aku menatapnya. Untuk pertama kalinya, aku melihat sesuatu yang lain di wajahnya, bukan kontrol, bukan curiga. Lelah.

“Belum,” jawabku jujur.

Ia mengangguk pelan, lalu berdiri. Langkahnya sedikit goyah. “Aku butuh udara.”

Ia berjalan ke arah teras. Aku ragu sejenak, lalu mengikutinya.

Malam itu dingin. Lampu taman menyinari wajahnya dari samping. Ia bersandar di pagar, memejamkan mata.

“Kamu boleh benci aku,” katanya pelan. “Tapi jangan pura-pura.”

Aku menatapnya. “Aku tidak membencimu.”

Ia tertawa kecil. “Itu lebih berbahaya.”

Angin berembus pelan. Jarak kami semakin dekat tanpa kami sadari.

Untuk pertama kalinya sejak pernikahan ini dimulai, aku merasa,

malam ini belum selesai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kontrak CEO yang Menyembunyikan Anak Kandungnya   DI BALIK LANGKAH CEPAT

    Pagi itu terasa terlalu cerah untuk hari yang seharusnya tenang. Aku berdiri di depan cermin, merapikan rambut dengan tangan yang sedikit gemetar. Sejak pertemuan di kafe kemarin, perasaanku tidak benar-benar turun. Seolah ada bayangan yang mengikuti dari sudut pandang mata, lalu menghilang ketika kutoleh. Ravindra menungguku di ruang tamu. Ia mengenakan kemeja gelap dan jaket tipis. Tidak formal, tapi siap. Cara berdirinya tegak, waspada membuatku sadar betapa berbeda hari-hari kami sekarang. “Kita langsung ke sana,” katanya. “Tidak mampir.” Aku mengangguk. Di mobil, ia mengemudi tanpa banyak bicara. Jalanan pagi cukup padat. Aku menatap keluar jendela, menghitung napas, mencoba menenangkan degup jantung. “Kamu tidur?” tanyanya singkat. “Sebentar,” jawabku. “Kamu?” “Tidak,” katanya jujur. Kami berhenti di lampu merah. Aku melihat bayangan mobil hitam di kaca spion, terlalu dekat, terlalu lama. Saat lampu hijau, mobil itu ikut melaju. “Ravindra,” kataku pelan.

  • Istri Kontrak CEO yang Menyembunyikan Anak Kandungnya   ATURAN BARU

    Aturan pertama datang tanpa tertulis. Kami tidak saling bertanya ke mana, selama pulang tepat waktu. Tidak ada interogasi, tidak ada laporan. Ravindra menyebutnya “kepercayaan fungsional", cukup untuk berjalan, tidak cukup untuk berlari. Aturan kedua: makan malam bersama, minimal tiga kali seminggu. Tanpa ponsel. Tanpa dokumen. Hanya kami dan percakapan yang tidak menyinggung masa lalu. Aturan ketiga yang tidak ia ucapkan, tapi kurasakan adalah jarak. Jarak yang terukur, dijaga, namun tak sepenuhnya dingin. Pagi itu, kami sarapan dalam diam yang tidak canggung. Ravindra menuangkan kopi untukku tanpa bertanya, menambahkan gula dua sendok seperti yang selalu kulakukan. Aku menatap cangkir itu sejenak. “Kamu ingat,” kataku. Ia mengangkat bahu. “Aku memperhatikan.” Itu bukan pengakuan, tapi cukup. Hari berjalan cepat. Aku menghabiskan waktu di rumah, menata ulang ruang

  • Istri Kontrak CEO yang Menyembunyikan Anak Kandungnya   SETENGAH KEBENARAN

    Malam datang tanpa aba-aba. Lampu ruang keluarga menyala terang, terlalu terang untuk percakapan yang akan terjadi. Aku duduk di sofa dengan punggung tegak, telapak tangan dingin. Jam dinding berdetak seperti palu kecil yang memukul kesabaranku. Pintu terbuka tepat pukul delapan. Ravindra masuk tanpa kata. Jasnya tergantung rapi, rambutnya masih basah oleh hujan. Ia menutup pintu, menguncinya, lalu berdiri beberapa langkah dariku. “Sekarang,” katanya. Aku mengangguk. Ia tidak duduk. Ia berdiri seperti hakim yang belum memutuskan apakah ia akan menghukum atau membebaskan. Di tangannya ada map yang sama, kini lebih tebal. “Kamu berjanji,” katanya. “Aku menepati bagianku. Ini hasil lengkap.” Ia meletakkan map di meja. Aku tidak langsung membukanya. “Aku ingin kamu dengar dulu,” kataku. Ia mengangkat alis. “Aku mendengar sejak awal. Sekara

  • Istri Kontrak CEO yang Menyembunyikan Anak Kandungnya   BUKTI YANG TIDAK BISA DIABAIKAN

    Hujan berhenti menjelang subuh. Aku terbangun dengan perasaan tidak enak, jenis perasaan yang datang sebelum sesuatu runtuh. Rumah masih sunyi. Tidak ada suara langkah Ravindra, tidak ada aroma kopi dari dapur. Aku tahu ia bangun lebih awal. Ia selalu begitu saat pikirannya bekerja terlalu keras. Aku bersiap tanpa terburu-buru, memilih pakaian yang rapi dan netral. Ketika keluar kamar, pintu ruang kerjanya tertutup rapat. Lampu di dalam menyala. Ia sudah mulai. Aku membuat teh dan duduk di meja makan, mencoba mengatur napas. Jam dinding berdetak pelan. Setiap detik terasa seperti langkah mendekat ke tepi jurang. Pukul tujuh lewat lima, pintu ruang kerja terbuka. Ravindra keluar dengan kemeja abu-abu, lengan digulung, ekspresinya tenang, tenang yang berbahaya. Ia meletakkan sebuah map tipis di meja, tepat di hadapanku. “Kita bicara sekarang,” katanya. Aku mengangguk. Ia duduk berseberangan. “Aku tidak akan berputar-putar.” “Baik.” “Aku menemukan dua catatan yang t

  • Istri Kontrak CEO yang Menyembunyikan Anak Kandungnya   PERTEMUAN YANG TAK BOLEH TERLIHAT

    Aku menatap layar ponsel terlalu lama. Pesan itu masih terbuka, seolah menunggu keberanianku untuk menjawab. Tanganku dingin. Dadaku terasa sempit. Ravindra sudah mulai menyelidiki dan pesan ini berarti satu hal: lingkaran aman yang selama ini kujaga mulai runtuh. Aku membalas singkat. > Di mana? Balasan datang cepat. > Kafe lama di Jalan Seruni. Satu jam lagi. Jangan bawa siapa pun. Aku menutup mata sejenak. Jalan Seruni terlalu dekat dengan pusat kota. Terlalu berisiko. Tapi menunda bukan pilihan. Aku bersiap tanpa menarik perhatian. Gaun sederhana, sepatu datar, rambut dibiarkan terurai. Aku meminta sopir mengantar ke toko buku, lalu turun dua blok sebelum tujuan. Sisanya kutempuh dengan berjalan kaki di bawah gerimis tipis. Kafe itu kecil dan redup, nyaris tak berubah sejak terakhir kali aku mengingatnya. Aroma kopi tua dan kayu basah menyambutku. Aku memilih meja di sudut, membelakangi jendela. Ia datang lima menit kemudian. Wajahnya lebih tirus dari ingatanku

  • Istri Kontrak CEO yang Menyembunyikan Anak Kandungnya   JEJAK YANG TERTINGGAL

    Pagi datang tanpa suara. Aku bangun dengan perasaan diawasi, meski kamar terasa kosong. Tirai tertutup rapi, ranjang di sisi Ravindra tak tersentuh. Jarak yang ia ciptakan semalam masih terasa, seperti garis tak kasatmata yang memisahkan kami, jelas, tegas, dan dingin. Aku bersiap dalam diam. Memilih pakaian sederhana, mengikat rambut seadanya. Setiap gerakan terasa terukur. Aku harus berhati-hati. Terlalu hati-hati. Di dapur, pengurus rumah menyapaku dengan senyum kecil. “Tuan Ravindra sudah berangkat.” Aku mengangguk. “Terima kasih.” “Beliau minta berkas dikirim ke ruang kerjanya,” tambahnya, seolah itu informasi biasa. Ruang kerja. Jantungku berdetak sedikit lebih cepat. Aku tidak pernah masuk ke sana tanpa diundang. Hari itu berjalan lambat. Aku mencoba mengalihkan pikiran, membaca, menata bunga, berjalan di taman, namun setiap langkah terasa seperti di atas kaca. Ravindra sudah mulai menyelidiki. Aku tahu caranya bekerja: tenang, sistematis, dan tak pernah bergera

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status