LOGINAku terbangun sebelum alarm berbunyi.
Cahaya pagi menyelinap masuk melalui celah tirai tipis, membentuk garis lembut di dinding kamar. Udara terasa tenang, terlalu tenang, seolah rumah ini sedang menahan napas bersamaku. Aku menatap langit-langit cukup lama sebelum akhirnya bangkit, mencoba menyingkirkan rasa asing yang masih melekat sejak semalam. Ini bukan kamarku. Ini rumah Ravindra. Dan aku adalah istrinya, setidaknya di atas kertas. Aku mandi dengan cepat, lalu berdiri di depan lemari beberapa saat. Terlalu mencolok akan mengundang perhatian. Terlalu santai akan terlihat tidak pantas. Akhirnya aku memilih dress krem sederhana dengan potongan rapi. Rambutku kukepang longgar, wajahku kubiarkan polos dengan sedikit lip balm. Penampilan aman. Netral. Tidak memberi celah untuk dinilai berlebihan. Saat aku keluar kamar, aroma kopi langsung menyambut dari arah dapur. Langkah kakiku melambat tanpa sadar. Ravindra sudah duduk di meja makan. Kemeja biru mudanya tergulung hingga siku, jam tangannya terpasang rapi. Sebuah tablet ada di tangannya, wajahnya fokus dan dingin, seperti pria yang selalu memegang kendali atas hidupnya. “Pagi,” sapaku pelan. Ia mengangkat wajah. Tatapannya berhenti di wajahku, tidak lama, tapi cukup untuk membuatku merasa sedang ditimbang. Seperti sebuah dokumen yang sedang ia nilai kelayakannya. “Pagi,” jawabnya singkat. “Duduk.” Aku duduk berseberangan dengannya. Seorang wanita paruh baya, pengurus rumah, datang membawa sarapan. Ia tersenyum sopan, tapi sorot matanya penuh rasa ingin tahu ketika menatap kami. “Silakan, Tuan. Ibu Ravindra,” katanya sambil meletakkan piring. Aku menegang mendengar panggilan itu, tapi memaksakan senyum. “Terima kasih, Bu.” Ia mengangguk, lalu pergi, tapi tidak sebelum melirik kami sekali lagi. “Kita harus membiasakan diri,” kata Ravindra tanpa menatapku. “Staf akan melihat kita setiap hari.” “Aku mengerti,” jawabku. Kami mulai makan. Keheningan menyelimuti meja, hanya diisi suara alat makan dan detak jam dinding. Aku berusaha terlihat wajar, meski setiap gerakanku terasa diperhatikan. “Kamu tidak minum kopi?” tanyanya tiba-tiba. Aku berhenti mengangkat cangkir tehku. “Tidak terlalu suka.” Ia menatap cangkirku. “Kenapa?” “Lambungku tidak cocok,” jawabku singkat. Ia mengangguk pelan, tapi ekspresinya berubah, sedikit lebih waspada. “Kebanyakan orang seusiamu bergantung pada kopi.” Aku tersenyum tipis. “Aku bukan kebanyakan orang.” Tatapannya mengeras sesaat. “Kamu bangun pagi.” Itu bukan pertanyaan. “Aku terbiasa,” jawabku. Ia meletakkan sendoknya. “Caramu memotong roti… rapi.” Tanganku berhenti sepersekian detik. “Hanya kebiasaan,” kataku cepat. “Kebiasaan lama,” katanya. “Seperti orang yang terbiasa hidup dengan aturan.” Jantungku berdegup lebih cepat. Aku memaksa diri tersenyum kecil. “Mungkin karena aku dibesarkan dengan disiplin.” Ia menatapku lama, seolah mencoba membaca sesuatu di balik wajahku. Aku bertahan, menatap balik tanpa berkedip. Pengurus rumah kembali mendekat. “Nyonya Ravindra, apakah nanti siang akan keluar?” Aku mengangguk. “Mungkin sebentar.” Ravindra langsung mengangkat wajah. “Ke mana?” Nada suaranya datar, tapi ada tekanan halus di dalamnya. “Hanya berjalan-jalan,” jawabku. “Menyesuaikan diri.” Ia menatapku beberapa detik sebelum berkata, “Pastikan sopir tahu ke mana kamu pergi.” Aku mengangguk. “Baik.” Pengurus rumah pergi. Keheningan kembali turun, tapi kali ini terasa lebih berat. “Kita harus satu suara,” kata Ravindra kemudian. “Kalau ada yang bertanya, kita bertemu tiga bulan lalu. Kamu pindah ke sini minggu lalu. Tidak ada cerita lain.” “Aku paham.” “Dan satu hal lagi,” lanjutnya, menatapku langsung. “Aku tidak suka kejutan.” Aku mengangkat wajah. “Dan aku tidak suka diinterogasi.” Sorot matanya tajam, lalu ia tersenyum tipis, senyum tanpa kehangatan. “Berarti kita seimbang.” Sarapan hampir selesai ketika ia berdiri dan meraih jasnya. “Malam ini ada makan malam keluarga.” Aku tertegun. “Malam ini?” “Iya.” Nadanya tegas. “Ibuku ingin bertemu.” Perutku mengencang. “Baik.” Ia melangkah ke arah pintu, lalu berhenti. “Oh, satu hal lagi.” Aku menahan napas. “Kamu menyebut namaku dengan cara yang aneh tadi malam,” katanya perlahan. “Bukan seperti orang yang baru mengenal.” Darahku terasa surut. “Apa maksudmu?” tanyaku, menjaga suara tetap stabil. Ia menatapku lama, seolah mencari celah. “Entahlah. Mungkin hanya perasaanku.” Ia pergi, meninggalkanku sendirian di meja makan. Aku menatap cangkir tehku yang sudah dingin. Tanganku gemetar pelan. Kecurigaannya sudah muncul, lebih cepat dari yang kuduga. Aku menghela napas panjang. Jika Ravindra terus memperhatikanku seperti ini… jika ia mulai menyusun potongan-potongan kecil yang terasa terlalu familiar… maka kebohongan ini tidak akan bertahan lama. Sarapan sederhana ini adalah peringatan pertama, bahwa permainan ini sudah dimulai.Pagi itu terasa terlalu cerah untuk hari yang seharusnya tenang. Aku berdiri di depan cermin, merapikan rambut dengan tangan yang sedikit gemetar. Sejak pertemuan di kafe kemarin, perasaanku tidak benar-benar turun. Seolah ada bayangan yang mengikuti dari sudut pandang mata, lalu menghilang ketika kutoleh. Ravindra menungguku di ruang tamu. Ia mengenakan kemeja gelap dan jaket tipis. Tidak formal, tapi siap. Cara berdirinya tegak, waspada membuatku sadar betapa berbeda hari-hari kami sekarang. “Kita langsung ke sana,” katanya. “Tidak mampir.” Aku mengangguk. Di mobil, ia mengemudi tanpa banyak bicara. Jalanan pagi cukup padat. Aku menatap keluar jendela, menghitung napas, mencoba menenangkan degup jantung. “Kamu tidur?” tanyanya singkat. “Sebentar,” jawabku. “Kamu?” “Tidak,” katanya jujur. Kami berhenti di lampu merah. Aku melihat bayangan mobil hitam di kaca spion, terlalu dekat, terlalu lama. Saat lampu hijau, mobil itu ikut melaju. “Ravindra,” kataku pelan.
Aturan pertama datang tanpa tertulis. Kami tidak saling bertanya ke mana, selama pulang tepat waktu. Tidak ada interogasi, tidak ada laporan. Ravindra menyebutnya “kepercayaan fungsional", cukup untuk berjalan, tidak cukup untuk berlari. Aturan kedua: makan malam bersama, minimal tiga kali seminggu. Tanpa ponsel. Tanpa dokumen. Hanya kami dan percakapan yang tidak menyinggung masa lalu. Aturan ketiga yang tidak ia ucapkan, tapi kurasakan adalah jarak. Jarak yang terukur, dijaga, namun tak sepenuhnya dingin. Pagi itu, kami sarapan dalam diam yang tidak canggung. Ravindra menuangkan kopi untukku tanpa bertanya, menambahkan gula dua sendok seperti yang selalu kulakukan. Aku menatap cangkir itu sejenak. “Kamu ingat,” kataku. Ia mengangkat bahu. “Aku memperhatikan.” Itu bukan pengakuan, tapi cukup. Hari berjalan cepat. Aku menghabiskan waktu di rumah, menata ulang ruang
Malam datang tanpa aba-aba. Lampu ruang keluarga menyala terang, terlalu terang untuk percakapan yang akan terjadi. Aku duduk di sofa dengan punggung tegak, telapak tangan dingin. Jam dinding berdetak seperti palu kecil yang memukul kesabaranku. Pintu terbuka tepat pukul delapan. Ravindra masuk tanpa kata. Jasnya tergantung rapi, rambutnya masih basah oleh hujan. Ia menutup pintu, menguncinya, lalu berdiri beberapa langkah dariku. “Sekarang,” katanya. Aku mengangguk. Ia tidak duduk. Ia berdiri seperti hakim yang belum memutuskan apakah ia akan menghukum atau membebaskan. Di tangannya ada map yang sama, kini lebih tebal. “Kamu berjanji,” katanya. “Aku menepati bagianku. Ini hasil lengkap.” Ia meletakkan map di meja. Aku tidak langsung membukanya. “Aku ingin kamu dengar dulu,” kataku. Ia mengangkat alis. “Aku mendengar sejak awal. Sekara
Hujan berhenti menjelang subuh. Aku terbangun dengan perasaan tidak enak, jenis perasaan yang datang sebelum sesuatu runtuh. Rumah masih sunyi. Tidak ada suara langkah Ravindra, tidak ada aroma kopi dari dapur. Aku tahu ia bangun lebih awal. Ia selalu begitu saat pikirannya bekerja terlalu keras. Aku bersiap tanpa terburu-buru, memilih pakaian yang rapi dan netral. Ketika keluar kamar, pintu ruang kerjanya tertutup rapat. Lampu di dalam menyala. Ia sudah mulai. Aku membuat teh dan duduk di meja makan, mencoba mengatur napas. Jam dinding berdetak pelan. Setiap detik terasa seperti langkah mendekat ke tepi jurang. Pukul tujuh lewat lima, pintu ruang kerja terbuka. Ravindra keluar dengan kemeja abu-abu, lengan digulung, ekspresinya tenang, tenang yang berbahaya. Ia meletakkan sebuah map tipis di meja, tepat di hadapanku. “Kita bicara sekarang,” katanya. Aku mengangguk. Ia duduk berseberangan. “Aku tidak akan berputar-putar.” “Baik.” “Aku menemukan dua catatan yang t
Aku menatap layar ponsel terlalu lama. Pesan itu masih terbuka, seolah menunggu keberanianku untuk menjawab. Tanganku dingin. Dadaku terasa sempit. Ravindra sudah mulai menyelidiki dan pesan ini berarti satu hal: lingkaran aman yang selama ini kujaga mulai runtuh. Aku membalas singkat. > Di mana? Balasan datang cepat. > Kafe lama di Jalan Seruni. Satu jam lagi. Jangan bawa siapa pun. Aku menutup mata sejenak. Jalan Seruni terlalu dekat dengan pusat kota. Terlalu berisiko. Tapi menunda bukan pilihan. Aku bersiap tanpa menarik perhatian. Gaun sederhana, sepatu datar, rambut dibiarkan terurai. Aku meminta sopir mengantar ke toko buku, lalu turun dua blok sebelum tujuan. Sisanya kutempuh dengan berjalan kaki di bawah gerimis tipis. Kafe itu kecil dan redup, nyaris tak berubah sejak terakhir kali aku mengingatnya. Aroma kopi tua dan kayu basah menyambutku. Aku memilih meja di sudut, membelakangi jendela. Ia datang lima menit kemudian. Wajahnya lebih tirus dari ingatanku
Pagi datang tanpa suara. Aku bangun dengan perasaan diawasi, meski kamar terasa kosong. Tirai tertutup rapi, ranjang di sisi Ravindra tak tersentuh. Jarak yang ia ciptakan semalam masih terasa, seperti garis tak kasatmata yang memisahkan kami, jelas, tegas, dan dingin. Aku bersiap dalam diam. Memilih pakaian sederhana, mengikat rambut seadanya. Setiap gerakan terasa terukur. Aku harus berhati-hati. Terlalu hati-hati. Di dapur, pengurus rumah menyapaku dengan senyum kecil. “Tuan Ravindra sudah berangkat.” Aku mengangguk. “Terima kasih.” “Beliau minta berkas dikirim ke ruang kerjanya,” tambahnya, seolah itu informasi biasa. Ruang kerja. Jantungku berdetak sedikit lebih cepat. Aku tidak pernah masuk ke sana tanpa diundang. Hari itu berjalan lambat. Aku mencoba mengalihkan pikiran, membaca, menata bunga, berjalan di taman, namun setiap langkah terasa seperti di atas kaca. Ravindra sudah mulai menyelidiki. Aku tahu caranya bekerja: tenang, sistematis, dan tak pernah bergera







