Share

MALAM YANG TAK SEHARUSNYA TERJADI

Author: Benduls
last update Last Updated: 2025-12-15 05:20:50

Malam terasa lebih sunyi dari biasanya.

Lampu taman menyala redup, memantulkan bayangan panjang di lantai teras. Ravindra masih bersandar di pagar, satu tangan menggenggam gelas anggur yang hampir kosong. Aku berdiri beberapa langkah di belakangnya, ragu untuk mendekat, ragu untuk pergi.

“Aku jarang minum sebanyak ini,” katanya pelan, tanpa menoleh.

“Kelihatan,” jawabku.

Ia tersenyum kecil. “Ibu selalu berhasil membuatku lupa batas.”

Aku tidak menanggapi. Angin malam berembus, membawa aroma tanah basah. Keheningan itu tidak canggung, justru berat, seperti ada sesuatu yang menggantung di antara kami, menunggu untuk diakui.

“Kamu tidak takut?” tanyanya tiba-tiba.

“Takut apa?”

“Padaku. Pada situasi ini.” Ia akhirnya menoleh. Tatapannya tidak setajam biasanya. Ada kelelahan di sana. Jujur.

Aku menghela napas. “Takut tidak selalu berarti harus lari.”

Ia menatapku lama. “Kamu selalu menjawab seperti orang yang sudah belajar kehilangan.”

Kata-katanya menusuk terlalu dekat.

“Kita semua punya masa lalu,” kataku pelan.

“Punya,” katanya. “Tapi tidak semua orang bisa menyembunyikannya sebaik kamu.”

Aku menelan ludah. Jarak di antara kami menyempit, bukan karena langkah, tapi karena keberanian yang tiba-tiba muncul. Ravindra menurunkan gelasnya ke lantai teras, lalu mengusap wajahnya dengan satu tangan.

“Aku tidak ingin membongkar apa pun malam ini,” katanya. “Aku hanya… lelah.”

Aku ragu sejenak, lalu berkata, “Kamu sebaiknya istirahat.”

Ia mengangguk. “Temani aku sebentar.”

Permintaan itu sederhana. Namun maknanya tidak.

Kami masuk kembali ke dalam rumah. Lampu ruang keluarga masih menyala, menciptakan cahaya hangat yang kontras dengan ketegangan tadi. Ravindra duduk di sofa, menyandarkan kepala. Aku berdiri di depannya, canggung, tak tahu harus melakukan apa.

“Kamu bisa duduk,” katanya.

Aku duduk di ujung sofa, menjaga jarak. Ia menoleh, lalu tersenyum samar. “Kamu selalu menjaga jarak.”

“Itu aman.”

“Aman,” ulangnya pelan. “Tapi tidak selalu jujur.”

Aku menatapnya. “Apa yang kamu inginkan, Ravindra?”

Ia terdiam cukup lama. Lalu berkata, “Kejujuran.”

Aku tertawa kecil tanpa humor. “Itu permintaan yang berbahaya.”

“Semua yang berharga berbahaya,” balasnya.

Ia menggeser duduknya sedikit lebih dekat. Aku bisa mencium aroma anggur yang samar, tidak menyengat, tapi cukup untuk mengingatkanku bahwa ia tidak sepenuhnya sadar, namun juga tidak kehilangan kendali.

“Kalau aku melangkah terlalu jauh,” katanya pelan, “katakan.”

Aku mengangguk.

Ia mengangkat tangannya, ragu sejenak, lalu menyentuh punggung tanganku. Sentuhan itu ringan, hampir tidak ada, namun cukup untuk membuat dadaku menghangat. Aku tidak menarik diri.

“Kamu dingin,” katanya.

“Aku gugup,” jawabku jujur.

Ia tersenyum tipis. “Aku juga.”

Keheningan kembali turun, kali ini lebih rapat. Tatapannya turun ke wajahku, lalu ke bibirku, lalu kembali ke mataku, seakan meminta izin tanpa kata. Aku tahu aku seharusnya berdiri. Menjauh. Mengingat semua alasan kenapa ini salah.

Namun aku tidak melakukannya.

Sentuhan di tanganku menguat, berubah menjadi genggaman yang lembut. Aku bisa merasakan napasnya sedikit berat. Ia mendekat, berhenti beberapa senti dari wajahku.

“Katakan tidak,” bisiknya.

Aku menelan ludah.

Kata itu tidak keluar.

Ia menghela napas pelan, seolah menerima jawabanku. Dahi kami bersentuhan. Tidak ada ciuman. Tidak ada gerakan tergesa. Hanya keheningan yang diisi napas dan detak jantung yang tidak sinkron.

“Aku tidak ingin kamu menyesal,” katanya.

“Aku akan menyesal jika berpura-pura,” jawabku.

Itu cukup.

Ia menarikku pelan, tidak memaksa, memberiku waktu untuk mundur. Aku tidak. Tubuhku mengikuti tarikan itu, dan jarak yang tersisa akhirnya menghilang. Pelukannya hangat, menenangkan, terlalu menenangkan untuk situasi yang seharusnya dihindari.

Kami tidak berbicara lagi.

Segalanya berjalan lambat, seolah malam sengaja memperpanjang detiknya. Ketika akhirnya kami beranjak dari ruang keluarga, tidak ada keputusan yang diucapkan. Hanya langkah-langkah yang mengarah ke kamar, hanya pintu yang tertutup perlahan, seolah rumah ini ikut menjaga rahasia.

Malam itu, batas-batas yang selama ini kami jaga mulai kabur.

Dan ketika fajar menyingsing.

Aku terbangun dengan cahaya pagi yang terlalu terang.

Seprai putih. Aroma sabun yang bukan milikku. Dan keheningan yang terasa berbeda, lebih berat dari sebelumnya.

Ravindra tidak ada di sisiku.

Aku duduk perlahan, menarik napas panjang. Ingatanku tentang malam tadi tidak terputus, namun terasa seperti potongan-potongan yang sengaja disamarkan oleh rasa lelah dan alkohol. Yang tersisa hanyalah perasaan hangat, takut, dan bersalah, semuanya bercampur.

Pintu kamar terbuka pelan.

Ravindra berdiri di sana, kemejanya sudah rapi, wajahnya kembali dingin, terlalu dingin untuk pagi setelah malam seperti itu.

Tatapan kami bertemu.

Beberapa detik berlalu tanpa kata.

“Aku minta maaf,” katanya akhirnya. Suaranya datar, profesional. “Aku seharusnya tidak membiarkan itu terjadi.”

Dadaku mengencang.

“Aku juga ada di sana,” jawabku pelan.

Ia mengangguk. “Kita anggap ini kesalahan.”

Kata itu jatuh seperti palu.

“Kesalahan?” ulangku.

“Ya,” katanya singkat. “Kita lanjutkan seperti biasa.”

Ia berbalik pergi, meninggalkanku sendirian di kamar yang kini terasa asing.

Aku menatap tanganku sendiri, masih terasa hangat oleh sesuatu yang tidak bisa kujelaskan.

Malam itu seharusnya tidak terjadi.

Namun ia sudah terjadi.

Aku tahu,

tidak ada satu pun dari kami yang akan benar-benar melupakannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kontrak CEO yang Menyembunyikan Anak Kandungnya   ATURAN BARU

    Aturan pertama datang tanpa tertulis. Kami tidak saling bertanya ke mana, selama pulang tepat waktu. Tidak ada interogasi, tidak ada laporan. Ravindra menyebutnya “kepercayaan fungsional", cukup untuk berjalan, tidak cukup untuk berlari. Aturan kedua: makan malam bersama, minimal tiga kali seminggu. Tanpa ponsel. Tanpa dokumen. Hanya kami dan percakapan yang tidak menyinggung masa lalu. Aturan ketiga yang tidak ia ucapkan, tapi kurasakan adalah jarak. Jarak yang terukur, dijaga, namun tak sepenuhnya dingin. Pagi itu, kami sarapan dalam diam yang tidak canggung. Ravindra menuangkan kopi untukku tanpa bertanya, menambahkan gula dua sendok seperti yang selalu kulakukan. Aku menatap cangkir itu sejenak. “Kamu ingat,” kataku. Ia mengangkat bahu. “Aku memperhatikan.” Itu bukan pengakuan, tapi cukup. Hari berjalan cepat. Aku menghabiskan waktu di rumah, menata ulang ruang

  • Istri Kontrak CEO yang Menyembunyikan Anak Kandungnya   SETENGAH KEBENARAN

    Malam datang tanpa aba-aba. Lampu ruang keluarga menyala terang, terlalu terang untuk percakapan yang akan terjadi. Aku duduk di sofa dengan punggung tegak, telapak tangan dingin. Jam dinding berdetak seperti palu kecil yang memukul kesabaranku. Pintu terbuka tepat pukul delapan. Ravindra masuk tanpa kata. Jasnya tergantung rapi, rambutnya masih basah oleh hujan. Ia menutup pintu, menguncinya, lalu berdiri beberapa langkah dariku. “Sekarang,” katanya. Aku mengangguk. Ia tidak duduk. Ia berdiri seperti hakim yang belum memutuskan apakah ia akan menghukum atau membebaskan. Di tangannya ada map yang sama, kini lebih tebal. “Kamu berjanji,” katanya. “Aku menepati bagianku. Ini hasil lengkap.” Ia meletakkan map di meja. Aku tidak langsung membukanya. “Aku ingin kamu dengar dulu,” kataku. Ia mengangkat alis. “Aku mendengar sejak awal. Sekara

  • Istri Kontrak CEO yang Menyembunyikan Anak Kandungnya   BUKTI YANG TIDAK BISA DIABAIKAN

    Hujan berhenti menjelang subuh. Aku terbangun dengan perasaan tidak enak, jenis perasaan yang datang sebelum sesuatu runtuh. Rumah masih sunyi. Tidak ada suara langkah Ravindra, tidak ada aroma kopi dari dapur. Aku tahu ia bangun lebih awal. Ia selalu begitu saat pikirannya bekerja terlalu keras. Aku bersiap tanpa terburu-buru, memilih pakaian yang rapi dan netral. Ketika keluar kamar, pintu ruang kerjanya tertutup rapat. Lampu di dalam menyala. Ia sudah mulai. Aku membuat teh dan duduk di meja makan, mencoba mengatur napas. Jam dinding berdetak pelan. Setiap detik terasa seperti langkah mendekat ke tepi jurang. Pukul tujuh lewat lima, pintu ruang kerja terbuka. Ravindra keluar dengan kemeja abu-abu, lengan digulung, ekspresinya tenang, tenang yang berbahaya. Ia meletakkan sebuah map tipis di meja, tepat di hadapanku. “Kita bicara sekarang,” katanya. Aku mengangguk. Ia duduk berseberangan. “Aku tidak akan berputar-putar.” “Baik.” “Aku menemukan dua catatan yang t

  • Istri Kontrak CEO yang Menyembunyikan Anak Kandungnya   PERTEMUAN YANG TAK BOLEH TERLIHAT

    Aku menatap layar ponsel terlalu lama. Pesan itu masih terbuka, seolah menunggu keberanianku untuk menjawab. Tanganku dingin. Dadaku terasa sempit. Ravindra sudah mulai menyelidiki dan pesan ini berarti satu hal: lingkaran aman yang selama ini kujaga mulai runtuh. Aku membalas singkat. > Di mana? Balasan datang cepat. > Kafe lama di Jalan Seruni. Satu jam lagi. Jangan bawa siapa pun. Aku menutup mata sejenak. Jalan Seruni terlalu dekat dengan pusat kota. Terlalu berisiko. Tapi menunda bukan pilihan. Aku bersiap tanpa menarik perhatian. Gaun sederhana, sepatu datar, rambut dibiarkan terurai. Aku meminta sopir mengantar ke toko buku, lalu turun dua blok sebelum tujuan. Sisanya kutempuh dengan berjalan kaki di bawah gerimis tipis. Kafe itu kecil dan redup, nyaris tak berubah sejak terakhir kali aku mengingatnya. Aroma kopi tua dan kayu basah menyambutku. Aku memilih meja di sudut, membelakangi jendela. Ia datang lima menit kemudian. Wajahnya lebih tirus dari ingatanku

  • Istri Kontrak CEO yang Menyembunyikan Anak Kandungnya   JEJAK YANG TERTINGGAL

    Pagi datang tanpa suara. Aku bangun dengan perasaan diawasi, meski kamar terasa kosong. Tirai tertutup rapi, ranjang di sisi Ravindra tak tersentuh. Jarak yang ia ciptakan semalam masih terasa, seperti garis tak kasatmata yang memisahkan kami, jelas, tegas, dan dingin. Aku bersiap dalam diam. Memilih pakaian sederhana, mengikat rambut seadanya. Setiap gerakan terasa terukur. Aku harus berhati-hati. Terlalu hati-hati. Di dapur, pengurus rumah menyapaku dengan senyum kecil. “Tuan Ravindra sudah berangkat.” Aku mengangguk. “Terima kasih.” “Beliau minta berkas dikirim ke ruang kerjanya,” tambahnya, seolah itu informasi biasa. Ruang kerja. Jantungku berdetak sedikit lebih cepat. Aku tidak pernah masuk ke sana tanpa diundang. Hari itu berjalan lambat. Aku mencoba mengalihkan pikiran, membaca, menata bunga, berjalan di taman, namun setiap langkah terasa seperti di atas kaca. Ravindra sudah mulai menyelidiki. Aku tahu caranya bekerja: tenang, sistematis, dan tak pernah bergera

  • Istri Kontrak CEO yang Menyembunyikan Anak Kandungnya   PAGI YANG TERLALU SUNYI

    Pagi itu terasa terlalu terang. Cahaya matahari menembus tirai tanpa izin, seolah ingin membuka semua hal yang seharusnya tetap tersembunyi. Aku duduk di tepi ranjang, menatap lantai marmer yang dingin, mencoba menyusun napas agar terdengar normal. Rumah ini kembali sunyi, sunyi yang berbeda dari pagi kemarin. Lebih kosong. Lebih jujur. Ravindra sudah pergi. Aku tahu dari sisi ranjang yang rapi, dari aroma parfumnya yang masih tertinggal samar, dari keheningan yang terasa seperti keputusan. Ia memilih jarak. Memilih kendali. Aku bangkit dan mandi lebih lama dari biasanya, berharap air hangat bisa menghapus sisa-sisa perasaan yang terlalu rumit untuk dinamai. Ketika keluar, aku memilih pakaian yang lebih tertutup. Seolah lapisan kain bisa mengembalikan batas yang semalam runtuh. Di dapur, pengurus rumah menyiapkan sarapan. Ia tersenyum seperti biasa, tapi matanya meneliti wajahku lebih lama. “Tuan Ravindra berangkat pagi sekali,” katanya ringan. “Oh,” jawabku singkat. “Kopi ata

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status