“Hm. Bagi aku juga begitu.” Jingga tersenyum manis, hatinya sedang merasa bahagia, jadi ia tak berpikir dua kali saat ia berjinjit lalu mengecup bibir Davin sesaat. “Terima kasih, ya. Oliver pasti bahagia.” Davin mengerjap. Ia menatap Oliver yang masih terlelap nyaman, lalu melihat angka di atas tombol panel yang terus berubah. Restoran yang mereka tuju ada di lantai sebelas. “Jangan memancingku di tempat seperti ini, Sayang,” ucap Davin seraya menundukkan kepala ke arah Jingga. “Karena aku nggak bisa menahan diri kalau itu sesuatu yang berhubungan dengan kamu.” Jingga mengerjapkan matanya berkali-kali, ia mundur dengan waspada. “Dave, jangan berpikir mau menciumku di sini. Ini tempat umum, oke? Kamu bisa melakukannya di—“ Jingga menghela napas pasrah karena ia terlambat menghindari Davin. Bibir pria itu bergerak lembut di atas bibirnya. Jingga tak bisa menahan jantungnya untuk tidak berdebar-debar kencang. Pada akhirnya Jingga terbuai, ia memilih untuk memejamkan mata dan mem
Davin William: Sayang, aku tunggu di kantor jam 12 ya. Kita makan siang bersama di sini. Aku sudah pesan makanan untuk kita. Wife: Astaga. Kenapa baru bilang sekarang? Aku belum ngapa-ngapain ini. Davin William: Masih ada waktu satu jam, Sayang. Jangan terburu-buru. Wife: Baiklah... aku mandi dulu deh. Oliver bawa? Davin William: Iya, bawa. Aku rindu kalian berdua. Wife: ckck gombal teruus. Davin William: Ini bukan gombal, ya. Aku serius. Tadinya aku mau pulang, tapi pekerjaanku belum bisa ditinggal. Wife: Oke, oke. Tunggu kalau begitu. Aku siap-siap dulu. Davin William: Iya. I love you, Sayang. Wife: Love you too. Senyuman Davin mengembang semakin lebar saat Jingga mengirim pesan terakhir itu yang dibubuhi emoticon hati berwarna merah dan ciuman, di akhir kalimat. Menaruh ponsel ke meja, Davin lantas menekan interkom di sebelahnya dan langsung terhubung dengan Mia. “Mia, makan siang yang saya pesan sudah sampai mana?” “Sedang diantar kemari, Pak. Kemungkinan
“Apa... ibuku yang memintamu datang ke sini?” Rachel mengerutkan kening, lalu tertawa renyah sambil menggeleng. “Aku kebetulan sedang menemani ibuku ke acara ini, lalu tanpa sengaja kami bertemu Tante Lucy,” ujarnya seraya menyelipkan rambut ke belakang telinga. “Kami mengobrol cukup banyak tadi, dan Tante Lucy juga sempat membahas kamu.” Sial. Davin menggeram dalam hati. Ibunya berhasil menjebaknya datang kemari dan mempertemukannya dengan wanita ini. Ya, Davin yakin sekali, ibunya benar-benar berniat menjodohkannya dengan wanita lain. “Lalu di mana ibuku sekarang?” tanya Davin seraya melihat ke sekeliling restoran sekali lagi. “Tante Lucy sudah pulang, tadi sepertinya dia buru-buru sekali. Kalau Mama aku, dia lagi ada pertemuan sama teman-temannya di lantai atas,” ujar Rachel, lalu ia menunjuk ke arah meja yang terletak tak jauh dari mereka. “Kita minum dulu di sana? Bagaimana?” “Maaf.” Davin melirik arloji seraya mengembuskan napas kasar. “Aku harus pulang sekarang. Terima k
“Light Gallery? Di sana lagi ada pameran, ‘kan?” “Mm-hm. Kamu mau lihat pamerannya?” Mata Jingga seketika berbinar-binar seraya menganggukkan kepala. “Iya, aku mau.” Davin tersenyum, ia tak sampai hati menghilangkan binar di mata istrinya. Jadi Davin memilih untuk tidak mengatakannya sekarang mengenai rencana Lucy. “Baiklah. Besok aku akan menemanimu ke sana.” “Terima kasih!” seru Jingga sambil tersenyum lebar dan mengecup hidung Davin, membuat pria itu seketika menegang. Jingga tertawa melihat ekspresi suaminya. “Sayang...,” panggil Davin dengan suara yang mendadak berat. “Jangan berpikir yang aneh-aneh.” Sekali lagi Jingga mengecup Davin, kali ini di bibirnya. Lalu turun dari pangkuannya. “Karena kita harus makan siang sekarang, perut aku sudah lapar. Dan yang paling penting, handphone kamu bunyi itu. Angkat dulu, deh.” Davin mengerjap. Ciuman Jingga membuat perhatiannya terserap habis pada wanita itu, hingga Davin baru sadar ponselnya berbunyi. Panggilan dari Lucy. Davin
Davin tidak tahu kalau penolakannya siang itu akan berakibat fatal. Davin yang melarang, tapi Davin sendiri yang kena batunya. Ia tersiksa. Rasanya ingin membenturkan kepala ke dinding saja pagi ini. Bagaimana tidak? Sudah dua hari berlalu sejak Jingga menyampaikan keinginannya untuk bermain flyboard, dan selama dua hari itu pula Jingga mengabaikan Davin akibat penolakan itu. Saat sarapan bersama, Jingga sama sekali tidak bicara pada Davin kecuali jika Davin bertanya, itupun jawaban Jingga hanya ala kadarnya. Saat malam hari Davin mencoba tidur sambil memeluknya, tapi Jingga justru malah menjauh dengan ekspresi datar. Jingga sama sekali tidak memberi kesempatan pada Davin untuk dekat-dekat dengannya. Dan sungguh, itu benar-benar membuat Davin merana dan tersiksa! Ya Tuhan.... Namun, mengiakan keinginan Jingga pun tidak akan pernah Davin lakukan. Bagaimana bisa Davin mengizinkan Jingga dipeluk lelaki lain bermain di atas flyboard? Itu sangat mustahil! Dunia akan kiamat jika sa
Davin berjalan menghampiri rumahnya sambil bersiul. Ia sengaja pulang lebih awal siang ini. Davin yakin sekali, malam ini ia bisa tidur memeluk Jingga setelah istrinya itu mendengar bahwa ia akan mengizinkannya bermain flyboard. Davin berdehem dan berdiri di depan pintu, bersiap menekan bel. Jantungnya berdebar-debar kencang, ia merasa seperti seorang pria yang akan datang ke rumah orang tua sang kekasih untuk meminangnya. Sambil menyembunyikan seikat bunga tulip di belakang punggung, tangan kanan Davin menekan bel. Hingga tak lama kemudian pintu terbuka, dan menampilkan sosok Jingga yang tampak tidak terkejut melihat kedatangan Davin. Namun, justru Davin yang dibuat terkejut oleh penampilan sang istri. Mata Davin seketika melebar, mendadak ia kesulitan menelan saliva. Bagaimana tidak? Penampilan Jingga saat ini berhasil mengundang hasratnya yang merana dua hari terakhir ini. Wanita itu mengenakan celana selutut dan thank top yang sama-sama ketat, tubuhnya dibanjiri peluh. Meski
Oliver tampaknya mengerti bahwa kemegahan di sekelilingnya adalah acara yang diperuntukkan tahunnya.Beberapa hari sebelumnya Jingga memang sering membahas hari ulang tahunnya dan melibatkan Oliver dalam persiapannya. Alhasil, hari ini Oliver tampak ceria, mata bulat jernihnya tampak berbinar-binar melihat dekorasi ruangan yang disulap seperti memasuki luar angkasa yang meriah dan mewah.Oliver sama sekali tidak terganggu oleh kehadiran banyak orang di sekitar. Ia tetap ceria di pangkuan sang ayah.Selain mengundang keluarga besar, Davin juga mengundang keluarga dan anak dari para kolega bisnisnya, karyawan New Pacific Group, dan teman-temannya yang tidak begitu banyak.Sementara itu dari pihak Jingga, tidak banyak yang ia undang. Hanya beberapa orang dari Madhava Studio, termasuk Kalil. Dan anak-anak beserta seluruh staf dari baby daycare tempat Oliver dititipkan, dulu.Jingga sempat memberikan undangan kepada ibunya dan Pelangi. Namun, entah mengapa, sepertinya mereka tidak akan had
Jingga keluar dari ballroom yang mulai sepi. Ia mengayunkan langkahnya menghampiri lift dan melihat punggung dua wanita yang cukup dikenalinya. Lucy dan... Rachel. Kedua wanita itu tengah mengobrol dan tertawa bersama sembari menunggu pintu lift terbuka. Jingga bukan orang yang akan merasa nyaman berdiri satu ruangan dengan seseorang yang tidak akrab dengannya—apalagi membencinya—seperti Lucy, meskipun wanita itu adalah mertuanya sendiri. Maka dari itu, Jingga memutuskan untuk berbalik arah, tapi ia terlambat karena Rachel tiba-tiba menengok ke belakang. “Oh, Jingga? Mau naik juga?” tanya Rachel seraya tersenyum ramah. Jingga balas tersenyum, mengangguk. “iya,” jawabnya pada akhirnya. Sudah terlambat untuk menghindar. Lucy menoleh. Jingga sedikit menganggukkan kepala sambil tersenyum untuk menyapa sang ibu mertua. Tak ada senyuman balasan sama sekali di wajah Lucy. Jingga berusaha menahan napas sejenak, merasakan atmosfer yang tiba-tiba menjadi tegang. Lucy hanya menatapnya ta