BRAK
Satu suara disusul dengan bunyi keras membuat Ayuda yang baru saja memejamkan mata terbangun. Ia mendengar suara ribut lantas bangkit dari atas kasur. Ayuda mendekat, tapi tanpa sengaja kakinya menginjak sisa pecahan vas bunga, dia pun meringis dan kakinya nampak mengeluarkan darah.
“Brengsek! berani-beraninya kalian menyekap putriku!”
Mendengar suara itu, wajah kuyu Ayuda berubah. Ada binar harapan di matanya mendengar suara garang pria yang sangat memanjakannya. Dengan sisa tenaga, Ayuda menggedor pintu sambil berteriak.
“Papa, apa itu Papa? Papa tolong!”
Tak lama setelah dia berteriak, suara ribut-ribut itu terdengar semakin dekat, hingga Ayuda mundur ke belakang karena melihat bayangan beberapa orang dari celah bawah pintu. Air mata gadis itu berlinang membasahi pipi, tapi seketika dia hapus karena tidak ingin terlihat lemah di depan orang lain. Ya, begitulah Ayuda, tidak ingin menunjukkan sisi rapuhnya sebagai seorang wanita.
“Ayuda!” teriak Affandi setelah pintu didobrak paksa oleh para pengawal yang dia bawa. Pria itu terkejut melihat putrinya sangat berantakan hingga meminta Hari melepas jas untuk dikenakan pada Ayuda.
Bukannya langsung memeluk atau menceritakan apa yang terjadi ke sang papa, Ayuda malah mendekat ke pria yang kemarin melempar clutch mahalnya saat dia diculik. Pria yang nampak kepayahan karena terkena pukulan dari orang-orang Affandi itu, menatap iba Ayuda yang berjalan ke arahnya.
“Di mana kamu menyimpan tas tanganku? dasar bedebah sialan!” amuk Ayuda. Ia melayangkan tamparan ke pipi pria itu.
Beberapa menit kemudian, Ayuda nampak berjalan memegang Clutch di tangan menuju mobil yang sudah disiapkan Aldi. Tingkahnya membuat Affandi geleng-geleng kepala, dia bahkan bisa melihat dengan jelas bahwa Ayuda sedang menahan rasa sakit, gadis itu berjalan terpincang-pincang akibat menginjak serpihan vas tadi.
Selama perjalanan pergi dari sana, Ayuda memilih untuk diam menatap keluar jendela, sedangkan Affandi yang duduk di sebelahnya sama sekali tidak mengeluarkan suara, hingga Hari memberanikan diri bertanya-
“Nona, apa Anda mau pergi ke rumah sakit?”
Ayuda diam seribu bahasa, hingga beberapa menit kemudian dia menoleh menatap Hari yang duduk di depan Affandi. “Aku mau visum,” ucapnya dengan sorot mata tajam.
“Visum?” Affandi terkejut, dia pindai wajah putrinya lalu beralih ke kaki. “Mungkinkah karena luka itu Ayuda ingin melakukan visum,” begitu pikirnya.
Namun, setelah sampai rumah sakit Ayuda malah terlibat pertengkaran dengan petugas di bagian pendaftaran karena keinginannya melakukan visum ditolak mentah-mentah.
“Mohon Maaf, Anda harus menujukkan surat dari kepolisian, karena jika tidak menyertakan maka permintaan Anda tidak akan diproses oleh dokter. Dokter tidak bisa membuat laporan visum jika tidak memiliki surat dari pihak kepolisian untuk dilakukan visum,” ucap perawat itu menjelaskan.
Sementara putrinya sedang sibuk berdebat, Affandi buru-buru menghubungi Rosi, seorang wanita kenalannya yang berprofesi sebagai dokter. Ia bingung karena Ayuda meminta visum dan marah-marah saat dijelaskan.
Rosi pun menjawab dengan tenang, hingga meminta Affandi memberikan ponsel itu kepada putrinya agar dia bisa berbicara. Awalnya Ayuda menolak, sampai Affandi sedikit memaksa.
“Ayuda, hei … ini Rosi. Aku teman papamu. Maaf ya, apa ada masalah? kenapa kamu bersikeras meminta visum?”
Suara Rosi terdengar sangat lembut dan keibuaan, membuat amarah Ayuda tiba-tiba saja sedikit teredam. Gadis itu menarik napas lalu mengembuskannya kasar. Ia memang terbawa emosi sampai bertindak bodoh meminta visum tanpa lapor polisi, dia memang tidak tahu menahu soal prosedur yang benar. Dari pada semakin malu Ayuda pun meminta bertemu dengan Rosi dan bergegas pergi dari rumah sakit itu.
_
_
“Diperkosa?”
Suara Affandi menggelegar, pria itu bahkan tidak bisa menyembunyikan luapan emosi saat dia, Ayuda juga Rosi bertemu di rumah sakit tempat Rosi bekerja.
“Katakan siapa yang melakukan itu padamu?” bentak Affandi yang terlanjur naik pitam hingga tak sadar bahwa putrinya adalah korban.
“Aku tidak tahu, orang-orangnya menyeretku ke dalam mobil dan membawaku ke villa itu,” jawab Ayuda dengan tatapan tertuju pada meja kerja Rosi. “Tapi, aku tahu siapa namanya, pria itu bernama Jiwa,” imbuh Ayuda.
Affandi bersungut-sungut, dia keluar dari ruangan Rosi lalu berteriak memanggil Hari dan Aldi. Dua pria bawahannya itu pun mendekat. Melihat kemarahan di wajah pria itu, mereka pun yakin sesuatu yang buruk pasti terjadi.
“Cari tahu siapa pemilik villa tempat Ayuda disekap, berikan informasinya padaku secepatnya, aku tidak bisa menunggu sampai besok,” amuk Affandi.
Sementara itu, Ayuda masih terdiam di depan Rosi. Ia benar-benar berniat menghacurkan pria bernama Jiwa itu karena sudah merenggut paksa kehormatannya.
“Apa kamu kenal siapa pria itu?” tanya Rosi, di saat yang bersamaan Affandi kembali masuk ke dalam ruangannya.
“Aku hanya dengar dia bernama Jiwa, dan anehnya dia memanggilku dengan nama Arra,” ucap Ayuda dengan pandangan mata masih tertuju pada meja.
Affandi yang mendengar ucapan putrinya pun menelan saliva, dia mendekat ke arah kursi Ayuda, dan gadis itu menoleh dengan sorot mata tajam seolah ingin memakinya.
“Papa, apa mungkin dugaanku benar. Apa mungkin aku memiliki saudara kembar di sini?”
Pertanyaan Ayuda membuat Affandi tergagap, pria keras dan tegas itu bahkan tidak bisa langsung menjawab pertanyaan sang putri. Melihat gelagat mencurigakan dari papanya, Ayuda malah semakin terpacu untuk mencecar Affandi.
“Aku ingat pernah menemukan dua gelang yang sama saat sekolah dasar, dan saat itu Papa bilang semuanya adalah milikku, Papa juga tidak pernah mengizinkan aku tahu siapa ibu kandungku, dan selalu mengatakan bahwa dia sudah hidup bahagia, ibu melupakan kita,” kata Ayuda mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. “Tapi sekarang aku berpikir, mungkin Papa merampasku darinya.”
“Ayuda, sebenarnya itu …. “ Affandi bingung, sedangkan sorot mata Ayuda semakin tajam menatap.
“Katakan padaku Pa! tidak mungkin ‘kan mereka salah orang lalu menculikku? Apa lagi pria bernamaa Jiwa itu berkata kalau dia sudah membeliku, tandanya dia sudah pernah bertemu dengan gadis yang dipanggil dengan nama Arra itu. Bagaimana dia bisa salah mengenali?”
“Ayuda, Papa bingung dengan situasi ini, tapi jika harus jujur .... " Affandi menjeda kata, matanya sejenak terpejam lalu terbuka kembali. "Kamu memang memiliki saudara kembar."
Pelukan, kasih sayang dan senyuman tulus kini bisa Jiwa rasakan setiap hari. Hidupnya sudah lengkap dengan kehadiran istri yang sangat dia cintai, juga putri cantik yang semakin hari semakin pintar. Jiwa berdiri sambil memegang cangkir kopi di tangan, dia memandang ke arah Nala yang sudah mulai belajar berjalan bersama bik Nini. Sementara itu, Ayuda bertelanjang kaki menemani dengan perut yang nampak membuncit. Nala, dia pasti terlihat seperti saudara kembar dengan adiknya nanti. “Nala pintarnya!” puji Ayuda, putrinya itu tertawa dan memeluk kakinya. Dia sedikit kesusahan untuk mengusap punggung sang putri karena terganjal perutnya yang sudah besar. Dengan bantuan bik Nini, Ayuda akhirnya bisa menggendong Nala. Namun, tak diduga Jiwa langsung berlari dan meminta Ayuda untuk tidak melakukan itu. “Sayang, kasihan adik Nala nanti,”ucap Jiwa. Bik Nini yang melihat tuannya sangat posesif pun tersenyum. Ia bahkan dibuat malu sendiri dengan tingkah Jiwa yang over protective. “Dari pada
Aura pengantin baru terpancar jelas dari wajah Dira. Kembaran Ayuda itu nampak sedang duduk bersama mertua dan saudara-saudara Aldi di teras sambil bercanda. Ibunda Aldi menceritakan bagaimana masa kecil pria itu, sampai aibnya yang masih suka minum susu menggunakan dot meski sudah kelas 5 SD.“Besok kalau kamu hamil banyak-banyak sugesti calon bayimu, jangan sampai kayak bapaknya.”Dira tertawa, dia tak sadar Aldi sedang memandanginya. Pria yang sudah resmi mempersuntingnya itu sibuk membantu merapikan kursi yang dipinjam dari RT untuk acara pengajian.“Lha … gimana nggak kayak bapaknya, Bu? Kalau aku hamil ‘kan memang anak mas Aldi, kalau nggak mirip nanti bisa-bisa malah menimbulkan fitnah,”kata Dira.“Maksudnya sifatnya yang jelek-jelek itu lho, Ra!”“Mas Aldi nggak punya sifat jelek, Bu. Mas Aldi itu sempurna buatku.”Aldi yang mendengar pujian sang istri seketika malu. Pipinya bahkan merona merah sedangkan Dira terlihat sangat santai meski orang-orang bersorak menggoda.“Ya begi
Pernikahan adalah impian setiap wanita, apalagi menikah dengan pria yang sangat dicintai. Begitu juga dengan Sienna, dia tidak pernah menyangka hatinya akan tertambat pada pria casanova seperti Raga. Meski tahu bagaimana sepak terjang pria itu, tapi Sienna yakin, suaminya itu kini sudah berubah. Ibarat panci bertemu tutupnya, mereka saling melengkapi. Membangun pernikahan yang sebenarnya mereka sendiri masih belum begitu yakin.Namun, Raga dan Sienna yakin mimpi-mimpi dan rencana akan mereka temukan seiring berjalannya waktu. Seperti saat ini. Mereka harus menunda bulan madu karena Sienna harus menghadapi ujian semester."Boleh aku bicara serius?" tanya Raga saat mereka berada di dalam salah satu kamar villa milik Ramahadi.Raga teringat akan Ayuda yang mual-mual tadi, setelah ditanya kakak iparnya itu menjawab dia memang belum datang bulan sejak melahirkan Nala. Kata Linda, kemungkinan besar Ayuda pasti hamil lagi."Bicara serius? Apa?"Sienna yang memakai paha Raga sebagai bantalan
Tiga bulan kemudianHari yang membahagiakan untuk semua orang akhirnya tiba. Ramahadi mengajak seluruh keluarganya pergi ke villanya yang dulu digunakan Ayuda untuk bersembunyi.Raga baru seminggu menikah dengan Sienna. Bulan madu mereka pun tertunda karena Sienna harus menghadapi ujian semester minggu ini. Raga tidak mau kalau sampai kuliah istrinya itu terganggu hanya karena bulan madu - yang sejatinya sudah sering mereka lakukan sebelum menikah.Affandi juga hadir, dia menerima undangan dari Ramahadi dengan penuh suka cita. Awalnya Affandi ingin mengajak Dira ke sana, tapi putrinya itu lebih dulu menerima ajakan dari sang mertua untuk berkumpul di rumah keluarga besar Aldi.Ayuda nampak memangku Nala, dia menyusui putrinya sambil menatap keluar jendela di mana papanya tengah sibuk mengobrol dengan sang mertua. Ayuda menepuk pantat Nala lembut, dia menoleh kaget kala Jiwa keluar dengan membawa buku - yang dulu selalu menjadi teman saat dirinya merasa kesepian tinggal sendiri di sana
Di saat putra putri mereka sedang berdua dan kembali meleburkan asa, Affandi dan Ramahadi duduk bersama. Ramahadi tak menyangka pria yang seumur hidup terus menganggapnya musuh kini mengajaknya bicara. Affandi bahkan mengeluarkan satu kata yang dia rasa mustahil untuk didengar. “Maaf!” Ramahadi tentu tak bisa percaya begitu saja, setelah hampir berpuluh-puluh tahun menganggapnya musuh, kini Affandi mengucap kata maaf dan terdengar begitu sangat tulus. “Aku tahu perbuatanku salah, dan selama ini aku terlalu malu untuk mengakuinya. Mungkin, pertemuan Ayuda dan Jiwa adalah takdir yang memang sudah ditetapkan, hingga akhirnya aku bisa sadar,”ungkap Affandi panjang lebar. Hening, Ramahadi tak langsung membalas permintaan maaf Affandi. Ia mencoba mencerna dulu, menimbang apakah pria itu tulus atau hanya sekadar meminta maaf agar dirinya tak lagi menaruh prasangka. “Aku sudah lelah bekerja, aku ingin menyerahkan perusahaan ke anak-anakku, dan aku ingin hidup tenang bermain bersama cucu,”
Terkesan nakal, tapi begitulah naluri manusia dewasa. Mereka memiliki birahi yang butuh disalurkan. Ayuda tahu perbuatannya membuat Jiwa semakin ingin menerkamnya. Namun, bukankah itu yang mereka inginkan? Ayuda memindai manik mata Jiwa, di sana terlihat penuh cinta, berbeda dengan tatapan mata pria itu saat pertama kali menyentuhnya. Tak ada perasaan hangat seperti ini, Jiwa bahkan mencekoki dirinya obat perangsang agar nafsunya tersalurkan tanpa perlu ikatan seperti saat ini. Jiwa membelai pipi Ayuda, mencium setiap bagian wajahnya seolah setiap incinya tak ingin terlewatkan untuk dia cicipi. Pria itu menghentikan sapuan bibir di hidung bangir sang istri, sorot matanya seolah meminta izin. “Bisakah aku bisa melakukannya jauh lebih dari ini.” Ayuda tersenyum tipis, tangannya menarik tengkuk Jiwa hingga bibir mereka kembali bertaut. Mereka sama-sama memejamkan mata, menyelami setiap perasaan cinta yang membara. Perlahan tangan Ayuda melonggar dan beralih membuka kancing kemeja Jiw