Rania tak berkutik, ketika Tama menggenggam erat kedua bahunya dan menyuruhnya untuk menyingkir. Arif berdiri di samping Rania, tak bergeming meski Rania bisa merasakan bahwa pria itu juga sama tegang sepertinya.
"Ada yang ingin kamu jelaskan padaku?" tanya Tama dengan nada berat, kepada Vinko. Tama sengaja membusungkan dada, demi memberi efek intimidasi pada Vinko.Namun sepertinya dia salah sangka. Vinko dan dirinya berbagi darah yang sama, sehingga bisa saja Vinko memiliki sifat yang sedikit banyak sama saja dengan Tama. Karena lelaki muda itu tampak tak gentar meski terus ditindas."Penjelasan seperti apa yang kamu mau?" tantang Vinko, dengan dagu diangkat.Tama menyunggingkan sebelah senyum. Merasa cukup tertarik dengan keberanian Vinko. Dia pun memasukkan satu tangan ke dalam saku celana, sembari berdehem."Apapun. Tentangmu–" Dia lalu menoleh ke arah Rania. "Dan tentang istriku,"Vinko balas tersenyum. Senyuman licik, dimaTubuh Rania masih gemetaran, dengan kulit sedingin lantai marmer rumah mewahnya. Tama mulai bangkit berdiri, meraih piyama panjang yang telah dipersiapkan, dengan bola mata ke bawah–menghadap Rania. Segala pergerakan yang dia lakukan, seakan tak berarti karena fokus pikirannya hanya pada Rania yang ketakutan.Bibir Tama terkatup rapat, sedikit melengkung dengan wajah kejam yang selalu dia pasang ketika berhadapan dengan para pengutang kelas kakap. Kelas kakap dalam artian, berani meminjam dana besar namun enggan membayar bunga."Istirahatlah," pinta Tama. "Aku masih banyak urusan yang harus kuselesaikan,"Sembari memeluk erat tubuhnya, lamat-lamat Rania mendongakkan kepala. Wajah putusnya tampak sangat jelas, saling berhadapan dengan kekejaman Tama."Kenapa?""Apa?" sahut Tama tak paham."Kenapa kamu menikahiku? Kalau pada akhirnya aku hanya kamu siksa seperti ini?"Tama terus memandang lurus ke bawah, pada Rania yang ma
"Apakah Nona Laura datang hari ini?" tegur Arif, setelah Rania masuk ke dalam mobil."Bagaimana kamu bisa tahu?" Kemudian Arif terdiam, dan memilih segera menyalakan mobilnya. "Tuan Tama memintanya datang untuk menemanimu,""Jangan bohong!" Rania tertawa sarkas. "Laura datang atas perintah ayahnya,""Dia tidak akan datang jika tahu Tuan Tama yang menyuruhnya," sambar Arif cepat.Giliran Rania yang diam. Benar kata Arif. Hubungan Tama dan Laura sudah lama tidak baik, apalagi semenjak Tuan Hadi memberikan seluruh warisan pada Tama. Segalanya menjadi lebih buruk ketika Tama menyarankan sang ayah untuk membawa Laura ke pusat rehabilitasi demi menyembuhkan kecanduannya pada alkohol. Laura berpikir, Tama sengaja ingin menyingkirkannya sejauh mungkin dan menjadi satu-satunya anak dari Tuan Hadi. Maka dari itu, kemunculan Vinko membawa angin segar bagi Laura.Menurut Laura, Vinko bisa menjadi pesaing berat untuk Tama. Membayangkan Tama
"Hanya aku yang boleh membunuhmu–" Rania mendadak tersadar telah salah bicara. "Jika memang itu pilihannya," tambah Rania, demi tidak membuat Tama curiga.Awalnya Tama kaget dengan ucapan Rania yang pertama, namun saat istrinya itu bisa dengan cepat menambahi, dia bisa bernafas lega."Semua baik-baik saja, Tuan?" ujar Arif, masuk tergesa-gesa ke dalam ruangan pribadi Tama.Tama mengangguk, lalu melempar pandangan pada Rania yang lemas. "Bawa dia pulang," pintanya.Arif menurut dan dengan cepat membawa Rania pergi dari tempat itu. Namun saat berada di ambang pintu, Rania menghentikan langkahnya."Kamu tidak ikut pulang bersamaku?" tanya Rania pada Tama.Tama melepas paksa dasi yang melilit lehernya. "Aku ingin menghabiskan waktu bersama Dona malam ini," jawab Tama terus terang.Leher Rania serasa dicekik dengan amat kencang hingga dia merasa sesak, saat sang suami itu bisa dengan santainya jujur akan menghabiskan malam be
Regina Darmawan, teman sejurusan sekaligus teman masa kecil Vinko. Gadis yang cantik, pintar dan selalu menjadi nomor dua setelah Vinko sedari masa sekolah. Kini dia berhasil masuk di jurusan paling unggulan, yang mana dia mau tak mau harus kembali berteman dengan Vinko."Aku yakin kamu belum mengerjakan tugas," tebak Regina.Tatapan Vinko masih sedih setelah mendapatkan penolakan ketus dari Rania. Namun meski begitu, nyatanya dia terus berjalan beriringan dengan Regina menuju kelas mereka."Pinjam catatanmu, ya?"Regina memicingkan mata. "Dan harus rela jadi nomor dua lagi? Maaf, tidak bisa!" tolak Regina sigap."Kamu tidak lihat aku sedang patah hati?" Vinko memasang wajah melas ke arah Regina. "Apa kamu tidak kasihan padaku?"Regina mengerjapkan mata. Setelah mengenal Vinko hampir seumur hidupnya, baru kali ini Regina mendengar Vinko membicarakan soal percintaan. Bahkan Regina bisa menjamin, Vinko tidak pernah tampak menjalin
Rasanya Vinko dan Rania saling pandang hingga keduanya sama-sama tidak berkedip. Ucapan Vinko terasa amat meyakinkan, hingga untuk beberapa saat Rania lupa bahwa dia sedang berhadapan dengan mahasiswanya yang notabene lebih muda. Meskipun posisi Rania hanyalah asisten dosen yang dipilih karena kepintarannya, namun status Rania tetaplah seorang pengajar bagi Vinko."Sebaiknya kamu memikirkan masa depanmu," tandas Rania, memberi kesimpulan. "Aku yakin, kamu akan lupa tentang ini semua, tentangku, setelah kamu sukses nantinya," Ucapan Rania terdengar seperti seorang kakak yang menasehati adiknya.Ada setitik raut kecewa di wajah Vinko, namun dia memilih diam dan tak melakukan pembelaan. Dia cukup sadar, posisinya saat ini tidaklah menguntungkan. Hanya seorang mahasiswa, tanpa pekerjaan dan tanpa uang. Jelas saja Rania tidak bisa mempercayai segala ucapannya."Boleh aku bertanya lagi?" tanya Vinko–setelah lama diam. "Kenapa selalu ada mobil hitam yang mengikut
Karena kondisi sudah mulai tidak kondusif, Rania menyentuh pergelangan tangan Tama untuk diajak pergi dari butik Nita. Namun pria itu tidak peduli. Dia masih berdiri tegap di tempatnya, memandang Nita dengan tatapan menantang. Sementara Nita yang masih syok dengan hujanan perkataan sadis dari Tama, hanya bisa terdiam dengan bola mata bergetar menahan amarah."Mama!" Tiba-tiba suara keras Vinko membuyarkan ketegangan itu.Dia berdiri tepat di tengah pintu butik, dengan mata melotot tak senang saat melihat kehadiran Tama. Kemudian Vinko berjalan sangat cepat, menarik tubuh sang ibu untuk berdiri di belakangnya. "Apa yang kau lakukan disini?" tanya Vinko pada Tama cukup ketus.Tama berlagak tenang. "Aku hanya ingin mengunjungi butik murahan tempat istriku pernah berbelanja,""Sekarang sudah tahu, kan?" sahut Vinko. "Jadi, silahkan pergi dari sini," usirnya tanpa segan."Ayo, Sayang … " bisik Rania, berusaha keras membujuk suaminya
Selain melancarkan aksi licik dengan memasang CCTV di kamar mandi tamu, Rania juga menyiapkan makanan dan minuman khusus yang dapat merangsang keinginan untuk ke kamar kecil. Semuanya sudah berjalan dengan sempurna dan sesuai rencananya."Maafkan aku, Rif. Tapi aku harus melakukan ini agar kamu sadar siapa Tama," gumam Rania pada dirinya sendiri, sebelum dia menutup pintu kamar mandi.Rania mematut diri agar bisa bersikap senormal mungkin sembari berjalan penuh percaya diri kembali ke ruang tamu rumah besar itu. Disana dia bisa melihat ketiganya sedang mengobrol, dan ketika dia mengamati Tama lebih dalam, tampak jika pria itu sangat tertarik dengan Lea.Rania tersenyum getir. Dia merasa sebagai orang tak normal, karena bisa bahagia melihat suaminya menunjukkan ketertarikan pada wanita lain. Namun demi bertahan hidup dan demi bisa meloloskan diri dari belenggu Tama, Rania akan melakukan apa saja."Maaf sudah lama menunggu," tukas Rania, tersenyum l
Rona muka Rania seketika cerah saat mendengar ucapan Arif. Sebentar lagi dia akan punya sekutu yang mau bekerjasama dengannya dalam menghancurkan Tama. Dan Arif adalah satu-satunya calon sekutu paling potensial menurut Rania, karena Arif adalah orang yang paling dekat dengan Tama. Pasti Arif tahu apapun kelemahan dari tuannya itu."Maaf menunggu lama," tukas Lea, buru-buru duduk di samping Arif. Dia melingkarkan tangannya di lengan pria itu. "Lama ya?" tanyanya penuh sesal.Arif hanya mengangkat bahu. "Pulang sekarang, yuk?""Ayo!" Lea bersemangat menyahut. Tersirat sikap gugup seakan sedang menutupi sesuatu. Dan sebagai sesama wanita, Rania bahkan tahu ada sedikit noda lipstik yang tak beraturan di sudut bibir Lea."Kalian mau pergi?" Tama tiba-tiba datang. Kini dia sudah berganti pakaian dengan yang lebih santai."Kamu kemana saja, Sayang?" tanya Rania berpura-pura sedikit kesal. "Kita semua menunggumu,""Aku ada urus