“Aku sudah meminta seseorang menjemputmu.” ucap Isabelle lewat sambungan telepon pada Valerie. “Zach juga sudah ku hubungi. Karena dia sekalian ada urusan di luar, dia menolak untuk dijemput. Dia akan datang sendiri dan aku sudah memberi alamatku.”
Valerie tidak menyahut saat mendengar suara Isabelle lewat speaker yang dinyalakannya. Dia menatap isi lemarinya, memilah-milah mana pakaian yang tepat yang bisa digunakannya ke jamuan khusus keluarga Lysander. Namun kapan dia membeli gaun terakhir kalinya? Mungkin sekitar tiga atau empat tahun yang lalu, dan semua isi lemarinya hanyalah pakaian kasual yang jelas tidak pantas digunakannya.Kehabisan ide, Valerie membawa ponselnya ke kamar Lissa. Senja seperti ini, Lissa sudah keluar menuju cafe. Itu sebabnya Valerie bisa masuk ke kamarnya dan mengecek isi lemari Lissa, siapa tahu dia menemukan pakaian yang bisa digunakannya.“Hei, apa kamu mendengarku?”Valerie mendengar suara teriakan Isabelle. Dia tersenyum, lalu menggumam pelan.“Aku sedang sibuk dan aku sudah mengerti pesanmu. Seseorang akan menjemputku, oke.” Sahut Valerie seraya menyibak satu per satu pakaian yang tergantung di lemari Lissa.“Tidak perlu berpakaian mewah. Kedatangan kalian yang lebih penting.” Ujar Isabelle seolah-olah dia tahu apa yang dilakukan Valerie.“Apa kamu mengawasiku?” sungut Valerie.“Aku tidak mengawasimu, tapi aku tahu apa yang tengah kamu lakukan.” Isabelle terdengar tertawa.“Baiklah. Sampai bertemu nanti di rumahmu.” Valerie menutup sambungan teleponnya.Dia memilah-milah gaun Lissa yang masih bagus. Saat dia melihat sebuah gaun berwarna biru langit tergantung di antara gaun-gaunnya yang lain, mata Valerie langsung tertuju ke sana. Dia mengeluarkannya, menatap gaun dengan potongan rok asimetris selutut dan bentuk leher sabrina. Bordiran bunga-bunga kecil yang melekat di bawahan gaun itu membuatnya semakin menarik dan mewah.“Bagus sekali.” gumam Valerie, nyaris menangis. “Kenapa aku tidak pernah melihat Mom memakainya?”Valerie membawanya ke depan cermin. Dia melekatkannya di tubuh dan melihat pantulan dirinya ketika dia sedang mencobanya.“Bagus sekali ...” ujar Valerie sekali lagi. “Gaun ini masih terlihat baru.” Dia melihat label tag pakaian yang belum dilepas. “Tapi kenapa Mom tidak pernah memakainya? Untuk apa Mom membelinya?” gumam Valerie.Dia menatap gaun di tangannya sekali lagi. “Apa Mom akan marah jika aku memakainya? Ah, sudahlah. Mom tidak akan tahu. Aku akan kembali sebelum tengah malam dan biasanya Mom pulang pagi-pagi. Jadi aku tidak akan ketahuan.”Valerie bergegas membawa gaun itu ke dalam kamarnya. Dia memutuskan untuk tidak melepas label tag karena tidak mau ketahuan. Karena dia sudah mandi dan merias dirinya sebisa mungkin, maka sekarang waktunya mengenakan gaun mewah itu.Valerie tertegun melihat pantulan dirinya sendiri. Dia tersenyum karena gaun milik Lissa begitu pas di tubuhnya, seolah-olah gaun itu memang dibelikan untuknya. Tapi itu mustahil. Lissa tidak akan pernah membelikannya apa pun, terlebih gaun mahal seperti ini.Sebuah sedan berhenti di depan rumah Valerie. Dia sudah selesai dan langsung keluar setelah menyambar sebuah sling bag kecil berwarna senada dengan gaunnya. Dengan ramah dia disambut oleh laki-laki menggunakan jas hitam dan tanpa ragu Valerie langsung masuk ke dalam mobil.Mobil bergerak pelan membelah jalanan sempit di antara gang lalu keluar menuju jalan besar. Valerie mengeluarkan ponselnya, mengirim pesan di grup yang diberi nama Destiny oleh Isabelle.[Aku sudah di jalan. Sampai bertemu nanti.][Zach: Aku masih ada sedikit urusan. Akan ku usahakan aku tidak terlambat.][Belle: Sampai bertemu nanti di rumahku Vale. Hati-hati di jalan Zach.][Vale: Baiklah.]Valerie tersenyum, mengembalikan ponselnya kembali ke dalam tas. Dia menyandarkan tubuhnya dan menatap jalanan di luar. Pohon-pohon tampak seolah berlari mengikuti kendaraan yang ditumpangi Valerie.Dia menarik nafasnya panjang, sedikit gugup. Sebentar lagi dia akan bertemu Emrys, laki-laki yang tampil begitu memukau itu. Sejak bertemu dia di stasiun, Valerie tidak bisa melupakannya sedetikpun. Bagaimana rahang tegasnya membingkai wajah, bagaimana caranya melangkah, bagaimana caranya memeluk Isabelle, bagaimana raut wajah khawatirnya.Semua sudah tergambar dalam ingatan Valerie.Namun tentu saja Valerie sadar siapa dirinya. Dia tidak berani mengatakan jika dia menyukai Emrys karena dia tidak ada apa-apanya di hadapan Emrys. Laki-laki sepertinya pasti dikelilingi oleh wanita dewasa yang lebih matang dan tentu saja lebih memukau dibanding dirinya.Alih-alih menyukai Emrys sebagai seorang laki-laki, Valerie menegaskan dalam dirinya berkali-kali jika menyukai Emrys sebagai Kakak jauh lebih baik.Dan sepertinya itu pilihan yang paling tepat.Valerie menghela nafas, lalu menyadari jika kendaraannya yang membawanya keluar dari jalan kota menuju jalur tol yang membawanya ke luar kota. Dia mengernyit, membuka kembali ponselnya dan mengecek alamat rumah Isabelle yang dikirim Isabelle di grup.Aneh. Jelas-jelas di sini dibuat dia tinggal di daerah Armore dan masih di dalam Kota Glacial. Tapi kenapa dia membawaku ke luar kota?“Maaf Tuan. Apakah Tuan tidak salah mengemudi? Jalan ini bukan jalan menuju ....”Valerie mengerjap. Dia menyadari jika tidak ada bros sulur putih yang tersemat di pakaian laki-laki ini. Jelas sekali semua orang-orang keluarga Lysander mengenakannya. Itu artinya ....Mata Valerie membelalak, selanjutnya kengerian menyergap tubuhnya hingga membuatnya sesak nafas karena panik. Laki-laki yang membawanya terlihat tersenyum menyeringai dari balik kemudi. Valerie baru menyadari jika ternyata dia dibawa oleh orang asing, mungkin orang-orang yang menculik Isabelle.“Tu-turunkan aku ...”Valerie bicara terbata-bata. Keringat memenuhi wajahnya dan turun hingga ke lehernya. Laki-laki itu kembali tersenyum dan senyumannya sungguh membuat Valerie nyaris terkulai. Valerie gusar. Dia berusaha membuka pintu mobil yang melaju kencang.“Turunkan aku ...” Valarie berteriak.Dia panik dan berusaha meraih setir sementara tas dan ponselnya terjatuh. Valerie tidak terlalu memperhatikannya. Yang dia inginkan adalah bagaimana caranya keluar dari mobil ini, mumpung dia masih di area tol yang dilalui banyak kendaraan.Malam sudah tiba, dan dia harus segera melarikan diri.Namun melarikan diri tidak semudah yang dibayangkannya. Laki-laki itu mendorong Valerie hingga dia terjungkal ke balakang. Valerie jatuh, kepalanya terantuk ke sisi mobil namun dia tidak menyerah. Dia mencari-cari sesuatu, dan kemudian dia melihat sebuah botol minum. Valerie meraihnya dan berusaha memukulkan botol minum itu ke kaca mobil, namun tentu saja itu tidak menciptakan efek apa pun.Dalam air mata yang memenuhi wajah dan ketakutan yang amat sangat, Valerie kembali mencondongkan tubuhnya. Kali ini dia meraih dasi yang dikenakan laki-laki itu dan berusaha melilit lehernya, lalu Valerie menariknya sekuat tenaga.Laki-laki itu tampak kesulitan bernafas. Dia melepas setirnya dan berusaha melepas ikatan dasi yang melilit lehernya. Sesekali tangannya mengontrol setir saat mobil yang dikendarainya oleng ke kiri dan ke kanan. Laki-laki itu menoleh dan meninju wajah Valerie hingga membuat Valerie limbung, namun dia tidak menyerah.Valerie menariknya. Dia mengangkat kakinya dan meletakkan di bangku yang diduduki laki-laki itu lalu menumpukan tubuhnya agar tenaga yang dia kerahkan semakin maksimal. Tetesan darah segar mengalir dari sudut bibirnya, namun Valerie tidak lagi mengacuhkannya.Akhirnya mobil yang dikendarai laki-laki itu berhenti karena menabrak pembatas jalan. Valerie segera berlari keluar, namun dia tiba-tiba berhenti saat puluhan orang mengenakan pakaian yang sama dengan laki-laki yang menculiknya berdiri menghadangnya.“Kalian lama sekali.”Laki-laki yang menculik Valerie keluar dari mobil sembari memegang lehernya. Dia menatap Valerie jijik, lalu menamparnya dengan keras. Valerie jatuh tersungkur. Dia mengalami pusing dan mual ketika tamparan laki-laki itu mengenai wajahnya yang mulus.“Bawa dia.” serunya lagi pada orang-orang yang menghadang Valerie.Valerie yang sudah limbung dan nyaris kehilangan kesadarannya hanya pasrah ketika orang-orang tersebut menyeretnya seperti binatang.Brak!Dia dipindahkan ke dalam sebuah minivan hitam dan dilemparkan begitu saja. Setelah itu, Valerie tidak ingat apa-apa lagi.Hal pertama yang dilakukan Isabelle adalah memeluk erat Valerie ketika dia turun dari sedan yang membawanya kembali ke rumah. Dalam diam, dia menangis sesenggukan, menumpahkan semua rasa sakit hati dan penyesalan yang tak terukur dalam dirinya. Isabelle tidak bisa menggambarkan betapa terlukanya perasaannya dan sedalam apa rasa sakitnya.Rasa sakit itu bukan hanya karena dia berpikir jika dia kehilangan Valerie, namun juga karena rasa cinta yang sudah menggebu-gebu dalam dirinya untuk Rick. Tapi keadaan ini membuat dirinya sendiri tidak mengizinkan cinta itu berbalas. Dia sangat sakit hati hingga dia membatasi dirinya untuk tidak mencintai.“Heh, berikan Grandpa kesempatan.” Isabelle melepas pelukannya. Dia berdiri di sisi Valerie, menyeka air matanya dan membiarkan Grandpa memeluk sosok yang sangat dirindukannya itu.Tangisan Grandpa pecah saat memeluk Valerie. Dia terus mengelus punggung Valerie dan mengatakan maaf, bukan hanya sekali dua kali, namun berkali-kali hingga Valerie pun
“Emrys bunuh diri.” Lucy tergesa-gesa masuk ke dalam rumah Karlis ketika Valerie sedang menonton televisi.Valerie berdiri, kedua bola matanya membulat tak percaya, namun dia kembali duduk dengan santai. "Jangan membohongiku. Aku tidak akan percaya.""Valerie...""Aku tahu kamu selalu memaksaku pulang. Tapi jangan menggunakan cara seperti ini." ujar Valerie."Aku tidak berbohong. Emrys benar-benar bunuh diri." Lucy membuka ponselnya, menunjukkan pesan yang dikirim oleh Ky padanya. “Apa katamu?” desis Valerie.“Setelah mengirim pesan padaku, dia menghubungiku juga. Dia bertanya dimana aku sekarang dan aku berbohong jika aku sedang diluar kota untuk urusan pekerjaan. Dia memintaku untuk menenangkan Isabelle dan memberitahu jika Emrys bunuh diri.”“Ke-kenapa bisa...”“Dia melompat dari tebing yang sama dengan tebing tempatmu nyaris dibunuh. Dalam suratnya yang dia letakkan di meja kamar, dia mengatakan jika dia ingin mengalami sendiri apa yang kamu alami.”“Tapi ini sudah satu setengah
Lucy berguling menghadapkan tubuhnya pada Valerie yang masih terlentang menatap kosong langit-langit kamar. Setiap akhir pekan, Lucy selalu menyempatkan diri untuk melihat Valerie dan bermalam di sana. Valerie selalu mengalami mimpi buruk, berteriak dalam tidurnya untuk diselamatkan. Lucy tahu sahabatnya itu terluka sangat dalam hingga dalam mimpi pun dia masih bergulat. Namun, Lucy juga tidak bisa melakukan apa-apa.“Belum mengantuk?” bisik Lucy.Valerie menggeleng, menarik selimut menutupi dadanya. Dia mendesah panjang. “Bagaimana kondisi perusahaan Emrys?”“Sudah lebih baik.” Lucy memilih duduk. “Sejak aku memutuskan untuk menarik semua produk yang kami luncurkan dan mengembalikan apa yang seharusnya milik Lysander Kingdom berikut hak ciptanya, perusahaan mereka semakin membaik.”“Bagaimana dengan Isabelle?”“Isabelle?” Lucy mengingat-ingat. “Aku tidak terlalu sering bertemu dengannya karena aku sibuk di perusahaan. Tapi Rick mengatakan jika Isabelle masih marah dan menolak dirinya
Sebulan kemudian.Sepasang bola mata yang indah dan teduh itu menatap layar televisi yang ukurannya nyaris seukuran dengan kardus pembungkus mie instan yang biasa dimakannya. Kedua bola mata itu bergerak mengikuti arah gambar yang menayangkan acara komedi. Dia tidak tertawa saat tokoh dalam acara itu menjatuhkan dirinya ke dalam kubangan lumpur. Apapun adegannya, dia tidak tersenyum.Seorang wanita paruh baya masuk ke ruanganya. Dia membawakan semangkuk bubur yang masih mengepul panas dan meletakkannya di atas meja. Dengan lembut wanita itu menarik remote dari tangannya dan mematikan saluran televisi. “Sudah malam, Nak. Makanlah dulu. Kamu perlu tetap hidup demi janin dalam perutmu.”Pemilik mata teduh itu adalah Valerie. Ketika wanita yang menemukannya dan menyelamatkannya itu menyebut janinnya, dia secara naluri memegang perutnya. Di keningnya ada beberapa bekas luka goresan yang belum hilang, begitu pula di tangannya.Dia ingat. Ketika tubuhnya dihempas oleh arus, seseorang tiba-t
“Bagaimana Grandpa, Belle?” Rick dan Zach menghampirinya bersamaan.Isabelle tidak menyahut, pun tidak melirik mereka. Dia melengos begitu saja lalu pergi mengambil beberapa kaleng alkohol dari dalam kulkas dan membawanya ke taman belakang rumahnya. Hati Isabelle benar-benar kacau dan dia masih sakit hati. Semua kebohongan yang mereka lakukan di depannya membuat dia tidak bisa memaksakan diri untuk berbicara pada keduanya.Dia membuka kaleng alkoholnya dan langsung menenggaknya. Dalam sekali tegukan panjang, dia menghabiskan seisi kaleng itu hingga tumpah ke pakaiannya. Isabelle menghela nafas, menyeka sisa alkohol yang membanjiri dagunya. Isabelle mengingat Valerie. Dia menunduk, air matanya jatuh dan dia menangis sesenggukan hingga dadanya terasa sangat sesak. Dia memukul-mukul dadanya yang seolah terhimpit oleh beban berat, berusaha mencari oksigen agar bisa bernafas lebih leluasa. Namun sesak itu bukan karena jantungnya kekurangan oksigen, melainkan karena semua kekacauan dalam h
Angin malam yang kencang membuat tubuh Victoria yang terayun-ayun merasakan kengerian yang teramat besar. Dia berteriak meminta agar Emrys menurunkannya. Rasanya dia nyaris pingsan melihat betapa tingginya posisinya berada hingga benda-benda di bawahnya terasa sangat kecil. Victoria menangis, kembali memohon agar Emrys bermurah hati padanya.Hati Emrys tidak tergugah. Dia sama sekali tidak tergerak. Tekadnya sudah bulat sekalipun dia akan membayar apa yang dilakukannya dengan nyawanya sendiri.Dia akan melakukan apa pun, dia sanggup menukar apa pun, hanya jika Valerie bisa kembali.Ketika Emrys hendak melempar tubuh Victoria dari lantai enam belas bangunan itu, tiba-tiba beberapa anggota kepolisian menghampirinya dan berusaha menahannya.“Emrys, jangan.” Sosok kapten yang ditemuinya di villa tadi malam berdiri di sana. “Jangan kotori tanganmu, ini bukan gayamu.”Air mata Emrys mengalir terus dan dia benar-benar tidak berdaya. Bayang-bayang bagaimana Valerie jatuh menari-nari di kepala
“Siapa yang mengganggu malam-malam begini?” Victoria menggerutu kesal saat mendengar bunyi bel pintu terus berdering. Dengan malas dan setengah pusing dia melangkah dan membuka pintu. Namun begitu melihat Emrys berdiri dengan murka di sana, dia membelalak dan buru-buru menutup kembali pintu kamarnya. Dengan kasar Emrys menendang pintu hingga membuat Victoria terpelanting. Wanita itu beringsut mundur dengan gugup dan gemetar.“Di mana Valerie?” Emrys menunduk, meraih kerah baju Victoria dengan kasar dan tatapan dingin mematikan. Rick dan Ky ada di belakangnya. Ketika Emrys mengabari Ky, Ky juga langsung memberitahu Rick. Ky hanya berpikir mungkin Rick melihat keberadaan Valerie, namun karena Rick juga tidak tahu dimana Valerie, dia memutuskan ikut.“Ada apa, Vic?” Cassiel berseru dari dalam kamar mandi ketika dia mendengar saura ribut-ribut.Victoria hendak berteriak, namun dengan cepat Emrys meninju mulutnya hingga berdarah. Victoria tergeletak di lantai, kesakitan dan berlumuran dar
Lembaran hitam putih itu membuat jantung Emrys memacu. Tangannya gemetar, wajahnya memutih, dan sekujur tubuhnya gemetar luar biasa. Dia melihat nama Valerie tertera di foto USG itu dan hal itu membuktikan jika kertas foto itu adalah benar milik Valerie. Buru-buru Emrys membuka buku harian Valerie dilembaran dimana kertas foto itu jatuh.Air matanya langsung mengalir begitu membacanya, merasakan kepedihan yang teramat besar dan juga rasa penyesalan. Emrys menggeleng, menolak jika Valerie menyiratkan jika dia sudah menyerah dalam tulisan itu. Dan ketika dia membaca tulisan Valerie yang mengatakan dia hamil, buku harian di tangannya langsung jatuh.“Ha-hamil?” Gumam Emrys kaget. “Anakku? Dia hamil anakku?”Emrys berdiri, memegang kepalanya yang berdenyut karena bingung. Foto USG dan tulisan di buku Valerie sangat mempengaruhinya. Dia tidak menyangka bahwa dalam tubuh Valerie ada janin dimana darahnya mengalir. Janin itu adalah bukti pencapaian tertinggi rasa cinta diantara mereka. Tang
“Dia akan mencariku segera ketika mengetahui aku tidak ada di rumah. Apa kamu tidak takut?”Cassiel tertawa. “Takut? apa yang harus ditakuti?”“Jika kamu tidak takut, kenapa kamu bersembunyi selama ini?”Valerie terus bicara, berharap Cassiel kehilangan hasrat untuk membunuhnya. Hanya itu yang bisa dia lakukan saat ini. Dia harus memancing Cassiel terus bicara dan sebisa mungkin tidak menyinggungnya. Jika tidak, meski dengan kekuatan kecil, tubuhnya akan langsung meluncur ke bawah jika Cassiel mendorongnya.“Itu karena perintah pria itu, tahu?” jawab Cassiel santai.“Maksudmu, Dex?” tebak Valerie.Cassiel mengangguk. “Aku harus menuruti ayahku, bukan?”Angin menerbangkan rambut Valerie. Kuncirannya berantakan diterpa angin dan dia kedinginan. Kakinya kaku saat dia menginjak sebuah batu dan batu itu langsung longsor jatuh ke bawah. Valerie memberanikan diri menengok ke bawah. Buih-buih putih terlihat memecah dinding jurang hingga membuat Valerie menelan ludahnya.“Aku tidak ingin mengh