Malam itu Sully dan Wira berbaring saling memunggungi. Keduanya memikirkan hal yang berbeda. Sully memikirkan soal rencana kontennya esok hari. Berapa banyak viewers-nya, seberapa cantik tampilannya dalam makeup busana tradisional, juga bagaimana tanggapan para haters sesama beauty vlogger yang sudah mengendus soal pelariannya. Pikirannya menerawang. Perlahan meninggalkan kesadaran hari itu untuk beristirahat. Sebuah kain sarung ia gunakan sebagai penutup setengah tubuhnya ke kepala. Cahaya lampu kamar itu terlalu terang. Saat itulah Sully merasa tubuhnya yang meringkuk memeluk guling, pelan-pelan ditutupi selimut lembut dan hangat. Matanya tak sanggup lagi membuka. Mungkin itu Wira, pikirnya. Mungkin juga itu hanya mimpi. Wira berbaring membelakangi Sully. Jarang sekali ia tidur miring. Sejak kecil memiliki kamar sendiri, ia terbiasa dengan tidur telentang menghadap lampu yang terang. Semasa kecil, itulah cara ibunya membujuk agar ia mau tidur sendirian. Cahaya lampu harus terang
Setelah menyampirkan selimut ke tubuh Sully, Wira masih jauh dari kata mengantuk. Pukul satu dini hari baru ia bisa jatuh tertidur. Tiga jam kemudian ia sudah kembali bangun. Rasanya sudah tidur terlalu lama. Dari luar ia bisa mendengar suara deham pintu dan obrolan samar-samar dua orang pria.Merasa kalau keramaian di rumah hari itu untuk kepentingan dirinya, Wira bangkit dan merapikan ranjang. Ia berdiri sebantar untuk mengamati kamar yang kurang ia perhatikan. Ternyata ia dan Sully tidur di kamar bertabur bunga plastik. Hanya beberapa kuntum mawar dan roncean melati di kepala tempat tidur yang bisa ia pastikan keasliannya. Ia meringis.Kalau nantinya Sully menikah sungguhan dengan pria yang berasal dari kota, kamarnya pasti lebih indah. Penuh dengan bermacam-macam bunga segar. Bukan bunga palsu seperti di kamar itu. Wira menggeleng samar dan meninggalkan kamar setelah menarik sedikit ujung selimut untuk menutupi telapak kaki Sully.Hal pertama yang harus dilakukannya pagi itu adala
“Kamu berdiri di sebelah kiri, Gus. Pegangi bagian belakang, atasnya. Budhe kancing bagian pinggangnya ini. Pinggangnya kecil, ya Gus. Pas seukuran dua tanganmu aja ini. Makanya kalau enggak dipeniti, bentuk badannya enggak bakal kelihatan. Tapi, susunya gede. Ini, sih, Bagus yang pinter.” Budhe Lina sepertinya tidak peduli dengan sepasang anak manusia yang membisu dan gaduh dengan pikiran masing-masing karena perkataannya. Wira berdiri tak tahu harus membuang pandangannya ke mana. Sebelah kirinya hanya ada dinding yang tak jauh dari jendela. Sebelah kanannya, Budhe Lina sedang menunduk mengancing long torso Sully dimulai dari bawah. Dan di depannya ada cermin tinggi yang bisa membuatnya beradu pandang dengan Sully. “Ini pengantinnya, kok, diam aja? Pak Gagah ngomong kalau Bagus baru dua bulan menikah. Harusnya masih hangat-hangatnya. Pengantin laki-laki lain kalau Budhe minta bantu begini ... pasti senyum-senyum terus. Sepertinya langsung terbayang acara malam.” Budhe Lina terkikik.
Situasi pagi itu sulit diperdebatkan. Sully merasa protes hanya akan menyia-nyiakan waktu. Ia sudah menganggap dirinya sedang clubbing dan memakai atasan berjenis tube top yang mirip kemben dan berpotongan di atas pusar. Sudah biasa untuk pakaian masuk ke club, pikir Sully. Jadi ia tak perlu menganggap Wira melakukan kejahatan jika memandangnya sekilas-sekilas.Perkataan Budhe Lina soal ‘sebentar lagi langit terang’ memang bukan tanpa alasan. Suara orang-orang di luar semakin lama semakin bertambah ramah. Suara langkah kaki, pintu kamar belakang yang dibuka tutup berulang kali, juga suara furniture yang digeser. Malah sempat terdengar suara Pak Gagah berbicara pada seseorang, “Ya sudah kalau memang bagusnya di sini. Kursinya dikeluarkan semua. Susun ke sebelah kiri rumah. Untung banyak tikar.” Entah letak apa yang berubah. Dengan dekorasi sederhana yang dilihatnya di teras dan halaman, Sully hanya memperkirakan bahwa acara itu hanya akan dihadiri segelintir orang saja. Pak Gagah jug
“Tapi … makeup kamu juga belum selesai, Sul,” kata Oky yang baru mematikan kameranya. “Pokoknya saya enggak mau kalau Mas Wira jadi begini. Ini namanya kamu merusak yang sudah bagus. Sebenarnya Mas Wira enggak perlu dipakein segala macam sampai setebal ini. Tadinya saya kira bakal tahu takarannya. Nyatanya enggak. Ayo, cepat dihapus. Saya selesaikan dulu makeup sama Budhe Lina.” Sully berdiri sejenak melihat tangan Ningsih yang gugup berpindah antara kapas dan pembersih makeup. Ningsih menatap Budhe Lina dengan sorot takut-takut. “Budhe….” “Ya sudah, hapus. Memang enggak ada bagus-bagusnya, kok,” ujar Budhe Lina. Sully dan Oky bertukar pandang. Tidak ada bagus-bagusnya, tapi Ningsih dibawa untuk membantunya sebagai asisten. Sungguh atasan yang tidak bertanggung jawab, pikir Sully. Ia lalu kembali duduk dan memejamkan matanya. Wajahnya sudah berubah masam. Dan suasana hatinya mulai terganggu eh satu insiden itu. Ningsih lanjut membersihkan wajah Wira. Dan Sully sudah memejamkan ma
Suara Pak Gagah membawa pengaruh luar biasa di kamar itu. Budhe Lina langsung terbang meraih hanger berisi kebaya. Tubuh Sully dijejalkan dengan paksa. Dan Ningsih yang sejak tadi tidak berguna, kali itu bisa bergerak cepat mengancingkan kebaya putih yang membungkus tubuh Sully dengan sempurna. “Tuh, kan. Untung kemarin masih sempat diukur. Kalau pas gini semakin ayu,” kata Budhe Lina. Wanita itu lalu menoleh pada Wira yang berdiam sejenak di ambang pintu. “Nunggu apa lagi? Sana, Gus. Keluar duluan. Istrimu sebentar lagi nyusul,” pinta Budhe Lina. Wira mengangguk dan sempat melemparkan tatapan pada Sully sebelum keluar kamar. Sepuluh menit kemudian, Oky sudah menjepretkan kameranya beberapa kali untuk mengabadikan tampilan Sully. “Ini udah oke banget,” kata Oky, menunjukkan hasil jepretannya di ponsel. “Nanti foto berdua sama Mas itu, ya .... Buat kenang-kenangan,” tambahnya lagi. Sully tak menyahuti perkataan sahabatnya. Oky yang keluar kamar lebih dulu dibanding Sully, menghentik
Wira melangkah lebih dulu keluar kamar dan melihat pagi itu ternyata dihadiri orang tiga kali lipat banyaknya dari yang ia perkirakan. Bapaknya duduk di dekat Pak Mangun yang seperti biasa hadir dengan dandanan nyentrik menyerupai dukun. Saat melihat kehadirannya di sana, bapaknya terlihat beringsut menjauhi Pak Mangun. Pasti ada sesuatu yang ingin dikatakan bapaknya.Belum lima menit ia duduk menghadapi meja kecil sebatas dadanya, Sully diantar masuk ke ruangan itu dengan wajah bingung. Budhe Lina dan asistennya terlihat seakan menyeret wanita itu untuk dinikahkan paksa. Detik itu, ia merasa semakin bersalah. Ia sudah memperalat Sully.Dan hal yang paling tak disangkanya pagi itu adalah ketika bapaknya menyodorkan sebuah kotak cincin padanya. Hatinya terenyuh karena menyadari kalau itu adalah cincin pernikahan yang dipakai ibunya sampai wanita yang melahirkannya itu meninggal dunia. Cincin emas murni yang bentuknya tak benar-benar bulat karena tergerus waktu.Lalu hal lain yang membu
“Pak Gagah, Pak Effendi itu...Pakdhe-nya Fariz, kan?” Saptono merapatkan berdirinya dengan Pak Gagah. Pria tua itu setengah tertegun memandang kedatangan keluarga tengkulak nomor satu di sana.“Benar. Pak Effendi dan Pak Fadly adalah kakak beradik yang usahanya sama. Sama-sama tengkulak dan sama-sama bersaing. Dibanding adiknya, Pak Effendi jauh lebih kaya dan berpengaruh. Kenalannya di kota orang-orang penting. Perasaanku agak enggak enak lihat mereka datang. Semoga enggak sampai ngomong apa-apa ke Bagus. Menantuku bisa dengar,” ucap Pak Gagah, meninggalkannya Saptono dan pergi ke dekat pagar menyambut keluarga Pak Effendi.“Pak Gagah ….” Pak Effendi menjabat tangan Pak Gagah sembari mengguncang-guncang dan menepuk lengan pria tua itu cukup lama.“Apa kabar, Pak Effendi?” Pak Gagah berbasa-basi.“Saya tersinggung enggak diundang,” kata Pak Effendi dengan raut cemberut dibuat-buat.Pak Gagah tertawa. “Ini hanya resepsi sederhana. Cuma untuk menyambut Bagus dan istrinya sekalian ngunda