Kian sedang berbicara dengan pegawainya yang sedang melaporkan tentang filter air. Lalu seseorang mengetuk pintu ruangannya dari luar.“Masuk!”Clara membuka pintu ruangan. Napasnya agak tersengal-sengal.“Ada apa, Clara? Kamu seperti yang habis lari,” ujar Kian.“Saya permisi dulu ya, Pak,” kata petugas aquarium itu. Lalu Kian dan Clara pun hanya berdua di ruangan itu.Clara menarik napas dalam-dalam sambil menenangkan dirinya. Kian jadi penasaran, ada apa dengan sekretarisnya itu.“Pak, maaf. Saya mau memberitahu kalau Ibu Laureta pergi,” lapor Clara.“Pergi ke mana?”“Saya tidak tahu, Pak. Ibu Laureta pergi naik angkot.”Kian melebarkan matanya. “Angkot kamu bilang? Kenapa dia pergi?”“Sepertinya Ibu Laureta sedang marah.”“Padaku? Kamu tidak mencegahnya supaya tidak pergi? Apa yang kamu lakukan, Clara? Kamu hanya menontonnya pergi, begitu?”“Maafkan saya, Pak.”Clara meringis. Ia tidak bisa melampiaskan amarahnya pada sekretarisnya itu karena wanita itu hanya melapor saja.“Uhm, l
Laureta menatap Kian seperti yang ketakutan. Sebenarnya, Kian tahu jika wanita itu pasti terkejut karena kedatangan Kian yang tiba-tiba.“Aku akan selalu menemukanmu,” ujar Kian pelan.Laureta menatap Kian sambil mengerjapkan matanya, sesekali melihat ke arah lain. Ia tampak tidak nyaman.“Apa yang kamu makan?” tanya Kian sambil mengedik ke arah bungkusan yang sangat ia kenal.“Aku makan seafood sisa tadi siang,” jawab Laureta tanpa ekspresi.“Untuk apa kamu membungkusnya?” Kian nyaris membentak Laureta, tapi ia menahan diri.Laureta merapikan bungkusan itu dengan sebelah tangannya seolah kegiatan itu bisa menutupi kesalahannya. Kian hanya memperhatikan tangannya sebentar, lalu kembali menatap matanya.“Uhm, apa aku salah? Apa kamu jadi tidak bisa makan gara-gara aku membungkus semua sisa makanannya?”Pertanyaan Laureta sungguh tidak terduga. Kian cukup terdiam selama beberapa detik sampai ia menjawab, “Aku tidak mungkin kelaparan hanya karena hal itu.”“Ah, ya tentu saja. Kamu kan ti
Laureta tak bisa berkata apa-apa. Kian telah membekam mulutnya dengan ciuman yang mendominasi. Pria itu menunjukkan betapa ia sangat berkuasa atas hidup Laureta. Dengan bodohnya, Laureta malah menawarkan diri untuk mengganti pakaiannya dengan gaun yang baru. Laureta tidak menyangka jika Kian akan ikut masuk ke dalam ruang ganti. Sejujurnya, ia takut sekali jika sampai ada petugas toko yang memergoki mereka sedang di sini. Ia malu sekali. Napasnya semakin tercekat ketika pria itu menurunkan gaun Laureta, lalu tangannya masuk ke dalam gaunnya, meremas payudaranya. Laureta mendesah karena rasanya sangat geli, juga nikmat. Debar jantungnya terasa hingga ke tenggorokannya. Kian menunduk sambil menggeser bra Laureta. Mulutnya mencium, lalu mengemut pucuk Laureta hingga sesuatu berkedut-kedut di bagian bawah tubuhnya. Laureta menggesek pahanya karena tak tahan lagi. Sebelah tangan Kian menarik rok Laureta, lalu tangannya masuk ke dalam sana. Ia membuka kaki Laureta, supaya tangannya bisa
Kian terkesiap mendengar ucapan Laureta. Ia ingin tertawa, tapi ia pun heran. Sungguh ia tidak ingat akan hal itu.“Apa aku yang sudah mengambilnya?” tanya Kian.Laureta mengangguk. “Tolong kembalikan. Dari tadi kakiku terasa dingin.”Senyum Kian pun akhirnya mengembang dan tawanya pecah. Ia tertawa begitu lepas hingga perutnya terasa sakit sekali. Ia sampai harus berpegangan pada pintu mobil.“Benda itu tidak akan menghangatkan kakimu, Laura.”Wanita itu pun cemberut. “Pokoknya kembalikan sekarang juga!” teriaknya.“Wow, wow, wow. Tidak perlu berteriak.” Kian masih terkekeh. “Aku akan mengembalikannya.”Laureta mengulurkan tangannya. “Kembalikan sekarang!”“Di sini? Kamu ingin agar aku mengembalikan benda itu di sini, sekarang? Bagaimana jika ada orang lain yang melihatnya? Apa kamu tidak akan malu?”Mau tak mau, Kian jadi melihat ke arah sana. Gaun itu memang mengepas bentuk tubuh Laureta, tapi tidak terlalu ketat di bagian roknya. Ia jadi ingin meraba bagian itu untuk memastikan ji
“Aku masih mencintaimu.”Laureta menggelengkan kepalanya saat Erwin mengutarakan perasaannya yang mana sungguh tidak ingin ia dengar saat ini. Erwin telah menyakitinya, menghancurkan hatinya hingga berkeping-keping. Ia tidak akan lupa seperti apa saat Erwin mengusirnya dari kamar hotel waktu ia memergokinya berselingkuh dengan Valentina.Harga diri Laureta bagai diinjak-injak. Lalu Valentina dengan seenaknya mendorongnya hingga ia terjatuh. Tak sedikit pun Erwin menyalahkan wanita binal itu. Valentina seolah memiliki Erwin dan Laureta datang untuk merusak hubungan mereka.Bagaimana Laureta bisa percaya jika Erwin dan Valentina tidak ada hubungan apa-apa, hanya sebatas teman. Hal itu tidak masuk akal. Laureta bahkan berharap jika Erwin sungguh-sungguh bersama Valentina, supaya hatinya tenang menjadi istri dari pamannya Erwin.“Aku masih mencintaimu, Ta,” ulang Erwin. “Apa kamu mendengarku?”“Ya, aku mendengarmu bicara,” ujar Laureta sambil mengangguk perlahan.“Tatap mataku, Ta.” Erwin
Kian sedang memeluk Laureta dalam dekapannya. Baru saja ia melakukan pelepasan setelah mandi bersama dan bercinta habis-habisan. Ia menghirup aroma sampo di rambut Laureta yang masih basah. Lengannya membelai kulit halus Laureta, menyusurinya dari tangan, turun ke perutnya yang six pack, lalu naik ke atas, ke bulatan empuk yang menggunung.Laureta mendesah sambil menggigit bibirnya. Wanita itu tampak sangat seksi dan menggairahkan. Kian mulai menyukai kegiatan bercinta dengan Laureta. Meski Laureta tidak berpengalaman soal bercinta, tapi ternyata ia hanya perlu diberi sedikit arahan saja dan ia pun langsung menjadi wanita yang liar.Awalnya, Kian pikir, ia hanya melakukan hal ini demi supaya Laureta bisa hamil saja, hanya itu. Namun, nyatanya Kian terlalu menikmati semua ini. Jika Laureta sampai hamil, lalu mual-mual, mungkin Kian harus menghentikan kegiatan ini untuk sementara.Bukankah lebih baik ia nikmati saja dulu menjadi pengantin baru, setelah itu baru ia pikirkan tentang membu
Kian bertanya, “Kenapa? Bukankah rumah ini sangat nyaman?”“Tidak!” seru Laureta. “Aku terkurung di kamar ini dan tidak tahu harus berbuat apa!”Kian jadi merasa bersalah karena telah pergi tadi pagi tanpa mengatakan apa-apa pada Laureta. Wanita itu pasti bingung jadinya. Namun, tetap saja ia kesal dengan kata-kata Laureta.Lalu Laureta duduk dan menatap Kian lurus-lurus. “Kamu kan kaya raya, banyak uangnya. Bisa tidak, kamu beli lagi saja rumah baru? Lalu kita pindah ke sana.”“Untuk apa?” tanya Kian sambil menautkan alisnya, heran.“Aku tidak suka tinggal di sini!” rengek Laureta. “Kamu kan bisa membeli rumah yang dekat dengan The Prince. Jadi, kamu tidak usah jauh-jauh pergi ke sana. Sepertinya ada perumahan elit di dekat sana. Bagaimana? Ide bagus bukan?”Kian menyipitkan matanya curiga. “Apa itu karena Elisa?”Laureta terdiam sejenak sambil menurunkan pandangannya. “Anggap saja begitu.”“Kamu serius? Apa yang sudah dia lakukan padamu? Apa kamu bertemu dengannya lagi hari ini? Apa
Malam itu, Laureta sudah tertidur pulas. Suara dengkurnya terdengar pelan di sebelah Kian. Lalu Kian memiringkan badannya supaya ia bisa melihat wajah Laureta dengan jelas.Wanita itu tampak cantik meski sedang tertidur. Kian mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Laureta, tapi ia mengurungkan niatnya. Ia tidak ingin mengganggu tidur Laureta.Semakin ia perhatikan, Laureta jadi terlihat semakin manis. Ia teringat saat tadi siang wanita itu datang ke The Prince sambil mengenakan kaus dan celana jeans. Sungguh hal itu di luar perkiraannya. Bagaimana bisa Laureta membantah perintahnya? Tak ada satu pun orang yang berani melakukannya.Lalu ingatan saat Laureta melemparinya dengan uang hingga terkena matanya saat mereka baru pertama kali bertemu, Kian tidak akan pernah lupa akan hal itu. Laureta memang bukan jenis wanita yang bisa ia atur seenaknya.Mungkin ia harus memperlakukan Laureta dengan lebih manis lagi supaya wanita itu mau rela saat bercinta dengannya, turut menikmati setiap