"Ma ..? In—ini ... kenapa tiba-tiba baju-baju ku semuanya di keluarkan??" Tanya Ara dengan nada tercekat serta perasaan tak menentu begitu tiba di rumah kontrakan.
Baju-baju Ara nampak teronggok berserakan di area ruang tamu dalam keadaan acak-acakan. "Duduk! Tidak usah banyak protes, Ra! Mama minta tinggalkan rumah kontrakan ini saat ini juga, dan jangan lupa segera putuskan hubungan mu dengan Kenzi. Putuskan dia demi adikmu. Sebagai kakak kamu harus mengalah dengan adik kamu sendiri. Pergilah dari rumah ini agar Kenzi tidak terus menerus datang kemari hanya untuk mempertahankan hubungan kalian. Itu sangat menyakiti adik kamu, Ra," cerocos mama Ara dengan tanpa perasaan iba sedikit pun terhadap putri sulungnya. "Apa maksud mama?? Mengusirku?? Mama tidak lupa kan jika kontrakan ini yang membayar setiap tahun nya itu aku! Kenapa aku harus pergi, ma?? Aku harus pergi kemana?? Mama juga tahu sendiri kan jika Kenzi itu kekasihku?? Lantas mengapa mama berkata jika aku harus merelakan Kenzi untuk Hana?? Mama kenapa tega sekali kepadaku ma?! Aku selama ini sudah berkorban untuk kalian namun kenapa seperti ini balasan harus aku terima dari kalian?!" Teriak Ara yang sudah sangat marah dengan perlakuan mama nya tersebut. "Halah, tidak usah terlalu mendramatisir keadaan kamu! Sudah sepantasnya kamu berbakti kepada orang tua! Jadi jangan pernah kamu sekalipun mengungkit apa yang pernah kamu beri terhadap ku! Apa kamu ingin mama cap sebagai anak durhaka yang perhitungan dengan mama nya sendiri?!" Jawab mama Ara dengan raut wajah masam serta nada bicara yang semakin meninggi. Tega! Satu kata yang tersemat di dalam hati Ara untuk mama nya tersebut. Baru saja Ara pulang dari kerja dengan kondisi yang sudah sangat lelah. Yang seharusnya di sambut oleh mamanya dengan perlakuan hangat seperti di minta untuk segera mandi, makan, namun bukan itu semua yang Ara dapat. Amarah, caci maki, tuduhan yang tidak berdasar, dan kota-kota kasar lah yang sering Ara dapatkan. Bukan kah dia juga anak kandung mama nya? Kenapa sering sekali berbuat tidak adil jika berkaitan dengan adiknya Hana? Ara sendiri terkadang sering bertanya-tanya kenapa mama nya setega itu dengan nya. Sedari kecil dirinya bahkan sudah di paksa mandiri oleh keadaan. Bahkan untuk biaya sekolah dan makan sehari-hari sedari kecil pun Ara sudah mulai bekerja di sebuah warung yang lumayan cukup ramai di desanya dulu. Bahkan sedari kelas satu SD Ara sudah bekerja serabutan di warung makan milik bude nya Ibra. Awalnya bude nya Ibra menolak untuk mempekerjakan anak kecil. Namun karena desakan dari keponakan satu-satunya agar menerima Ara sebagai tukang cuci piring dan melihat bagaimana kondisi Ara yang memprihatinkan itulah yang membuat bude nya Ibra itu merasa kasihan dan akhirnya menerima Ara mengerjakan pekerjaan warung yang bisa di lakukan oleh anak sekecil itu. Ara kecil yang setiap hari terlihat memprihatinkan mencoba terlihat ceria dan tidak pernah menunjukkan rasa sakitnya. Sedari kecil hampir setiap hari bahkan Ara sudah mendapatkan perlakuan kasar serta pukulan bertubi-tubi yang membuat tubuhnya sering terlihat lebam membiru keunguan. "Kamu di pukuli mama kamu lagi, Ra?" Begitulah setiap hari Ibra bertanya dan mengobati seluruh luka-luka di tubuh Ara. Bahkan Bude Ibra yang melihat Ara nampak memar setiap harinya merasa sangat ingin memukul kembali mama Ara yang tega sekali membuat anak sendiri nampak babak belur. "Mama kamu itu sudah gila, Ara! Tinggalkan mama kamu dan tidurlah di rumah bude bersama Ibra!" Begitulah Bude Ibra setiap hari yang berusaha membujuk Ara agar mau meninggal kan mama gila nya untuk tinggal bersamanya. "Aku tidak apa-apa, Budhe. Nanti luka Ara juga pasti akan sembuh sendiri," Jawaban seperti itulah yang setiap hari Ara berikan. "Tapi kamu bisa-bisa tidak lagi bernafas jika tubuhmu tidak lagi kuat menghadapi siksaan mama gila mu itu. Lebih gila dari Ibu Tiri aku rasa!" omel Budhe Abra yang telaten ikut menyeka darah yang terkadang keluar dari area tubuh Ara. Hanya sebuah senyuman lah yang dapat Ara berikan sebagai jawaban atas desakan yang Ibra serta Budhe nya tersebut berikan. Hingga saat dewasa Ara pun masih tetap bekerja serabutan di warung makan tersebut dan tetap berteman baik dengan keluarga Ibra hingga lulus SMA. Ara yang cukup gigih dan berprestasi pada akhirnya mendapatkan beasiswa kuliah di sebuah universitas terkenal. Namun lagi-lagi cobaan terus datang bertubi-tubi hingga ternyata mama Ara nya tersebut kedapatan tengah terlilit banyak hutang kepada seorang lintah darat yang membuat rumah mereka terpaksa harus di sita oleh pihak penagih hutang. Dengan raut wajah yang semakin bingung pada akhirnya Ara memutuskan untuk merantau di tempat dimana dirinya terima kuliah dengan jalur beasiswa brestasi. "Hati-hati jika merantau di kota, Ara! Kembali lah ke desa ini jika terjadi sesuatu. Budhe akan selalu menerima mu disini," Itulah kata perpisahan terakhir Ara dengan Ibra beserta Budhe nya. "Belajar lah dengan sungguh-sungguh" teriak Ibra yang memandang kepergian Ara dengan sorot mata sendu. Disisi itu setelah nya Ara juga segera memboyong mama beserta adiknya untuk tinggal di perantauan dengan mengontrak di sebuah rumah kecil yang dirinya tempati hingga saat ini. Lagi-lagi hujan terus mengguyur tubuh Ara dengan sebuah tas ransel di punggung nya beserta sekotak kardus bekas mie instan yang berisikan beberapa helai pakaian yang tersisa. Setelah di usir oleh mama nya dari kontrakan hanya perihal karena adiknya menyukai kekasih yang sudah di putuskan nya tersebut sang mama tega sekali membuang dirinya. Hiks .. hiks .. Ara terus menangis di depan sebuah bangunan ruko yang telah tutup. "Kenapa mama tega sekali kepadaku," gumam Ara di sela-sela isak tangis nya. Di dompet Ara kini hanya tersisa beberapa lembar uang sepuluh ribuan saja. Itu artinya uangnya sudah tidak lagi cukup untuk menyewa sebuah kos. "Ara, kan??" Tanya seseorang dengan suara setengah berteriak karena bertepatan dengan suara gemuruh petir yang saling bersahutan. "Ib—ibra?" Jawab Ara dengan suara yang terdengar parau. Dengan cepat Ara segera menyeka sisa-sisa air mata yang masih terlihat begitu jelas di sudut matanya. "Hujan dan malam telah larut begini kenapa kamu masih berada di depan toko yang sudah tutup?" Tanya Ibra dengan cepat memberikan jaketnya kepada Ara. "Ak—aku, sedang duduk-duduk saja. Na—nanti kalau hujan reda aku akan kembali," jawab Ara dengan terbata dan sesenggukan. Ibra yang melihat keadaan Ara pun segera meraih kardus beserta tas ransel yang tengah di dekap oleh Ara. "Kamu pasti sedang bertengkar dengan mama kamu kan? Jangan bilang kalau kamu di usirnya?!" Tanya Ibra dengan setengah geram. Lagi-lagi Ibra seperti dejavu kembali melihat Ara kecil yang selalu mendapatkan perundungan dari mama nya sendiri. Ara yang sudah lelah tidak lagi bisa mengelak ataupun menjawab pertanyaan yang Ibra lontarkan. "Ayo ikut aku. Masih kuat jalan atau mau aku gendong?" tawar Ibra dengan cepat hendak menggendong tubuh Ara. "Jangan! Aku bisa berjalan sendiri," tolak Ara. Ara yang merasa malu dengan keadaan nya hanya mampu berjalan sembari mengekor langkah Ibra. Hingga kedua nya tiba di sebuah apartemen yang tak jauh dari tempat terakhir Ara berteduh. "Tinggal lah disini, Ra. Ini milik teman ku yang sudah lama tinggal di luar negri. Aku yang di minta untuk menjaga dan merawat apartemen nya ini. Aku sudah meminta izin dan kamu di izinkan untuk menempati apartemen nya. Segeralah istirahat dan tidur. Besok aku akan kembali kemari," pamit Ibra dengan tak lupa memberi tahu angka yang di gunakan sebagai kunci pasword apartemen tersebut.Mirna nampak keluar dari club malam tersebut dengan wajah lesu. Rupanya dirinya di tolak mentah-mentah oleh pemilik nya alias atasannya bekerja terdahulu. "Kamu sudah terlalu tua untuk bekerja kembali di club milik ku, Mirna. Tidak akan ada yang mau menggunakan jasamu!" Tekan pemilik club malam yang berumur seusia Mirna namun wajahnya masih nampak muda. "Kecuali ..." Ucap wanita yang acap di panggil mami Sintia dengan nada terpotong seolah memberikan kesempatan kepada Mirna. "Kecuali apa? Tolong beri kan aku kesempatan untuk kembali bekerja disini, Mam. Aku mengaku salah karena dulu pernah mengecewakan mu. Aku terlalu lelah untuk hidup menjadi wanita miskin. Bukan kah banyak berondong yang juga membutuhkan wanita paruh baya seperti ku?" Cerocos Mirna dengan berusaha meyakinkan wanita di hadapan nya. Setelah mendengar bujuk rayu Mirna, Sintia tetap menggelengkan kepalanya. "Aku bisa mempekerjakan mu kembali dengan syarat, kamu harus mencari target anak-anak muda yang cantik,
Ara nampak menunduk begitu mendapatkan surat peringatan serta skorsing dari atasan nya. Lebih tepatnya menager HR nya tersebut tengah memarahinya yang membuat dirinya terus menahan diri dari segala amarah karena sedari awal memang dirinya tidak memiliki pegangan apa pun untuk membela diri di perusahaan tersebut. "Untung kali ini Pak Aron tidak memecat mu dan hanya menskorsingmu selama satu minggu! Makanya cantik jangan cuma di pakai untuk menggoda atasan! Yasudah sana kemasi barangmu!" bentak manager HRnya tersebut dengan wajah sinis. Setelah nya manager HRnya tersebut segera mengambil kaca di dalam aci meja nya serta memoles bibirnya kembali dengan lipstik yang semakin menyala terang tanpa memperdulikan perasaan Ara yang tampak memberikan hormat sebelum keluar dari ruangan tersebut. "Salah sendiri berbuat ulah. Aku tambahin saja skorsing nya menjadi satu minggu. Mana mungkin Pak Aron tahu jika aku memperpanjang hukuman nya. Itu lah kuasa manager HR!" ucap sang manager dengan
"Ternyata Tom belum cocok untuk menjabat sebagai asisten pribadi pengganti mu pak tua," Ucap Aron secara langsung begitu Asisten Johan menghadap dirinya. "Maafkan putra saya, Tuan. Biarkan dirinya saya didik kembali agar putra saya bisa bekerja dengan lebih benar," jawab asisten Johan dengan wajah yang berubah menjadi pias akibat teguran yang Aron berikan. "Dia terlalu banyak bicara yang bukan menjadi ranah tugasnya. Latih kembali di barak tim pengawal. Dia harus bisa menjinakkan singa peliharaan ku serta buaya yang ada di kolam penangkaran belakang mansion," "Kau tau untuk apa itu semua pak tua?" Tanya Aron dengan mengetuk-ketuk kan meja kerjanya dengan jari jemarinya. Asisten Johan hanya mampu menggeleng samar tanpa berani menatap wajah atasan nya tersebut. "Agar putramu segera bisa memahami kesalahan nya. Aku lebih menyukai seseorang yang lebih mengedepankan tindakan dari pada banyak kata-kata. Pergilah kerjakan tugasmu," ucap Aron kemudian. Asisten Johan pun bergeg
Setelah rasa sesak di hatinya sedikit menghilang, Ara memutuskan untuk melangkah keluar dari bilik toilet. Dirinya mematut pantulan wajahnya di depan cermin. Memperbaiki riasan nya yang sedikit berantakan. Ara menyadari bahwa tidak ada gunanya jika dirinya terus menangis meratapi nasib. Harusnya dirinya sudah kebal dengan sikap mama nya terhadapnya selama ini, semenjak dulu. Bahkan menurut cerita dari tetangga nya di desa, sejak dari kecil memang Ara tidak pernah di urus dengan baik oleh mamanya. Lebih sering dirinya yang berkeliaran berjalan kesana kemari di area lingkup tetangga nya di desa. Dengan baju kumal, rambut lusuh, dan perut keroncongan yang hampir setiap hari Ara rasakan. Bahkan anak-anak kecil seusianya hampir tidak ada yang mau bermain dengan nya. Hanya Ibra lah satu-satu nya anak kecil seusianya yang setia berada di samping Ara. Ibra kecil yang selalu membawakan makanan diam-diam untuknya. Untuk di makan nya berdua bersama nya. Ayah? Bahkan Ara tida
"Dasar anak tidak tahu di untung!" Teriak mama Ara dengan suara menggelegar serta tangan yang sudah bertengger menjambak rambut panjang Ara. Ara begitu terlonjak kaget serta rasa sakit di kepala akibat cengkeraman yang mama nya lakukan membuatnya meringis kesakitan. "Sakitt, ma!!"Beberapa orang di area depan perusahaan nampak terlihat penasaran dengan apa yang tengah terjadi di antara keduanya. Di satu sisi, Ara tengah mencoba melepaskan diri sekuat tenaga agar rambutnya tidak di tarik semakin kuat oleh mamanya. Bahkan terlihat gerakan mama Ara yang semakin brutal menyerang Ara yang membuat keduanya semakin menjadi tontonan banyak orang. "Tante Mirna! Berhenti!" Teriak Ibra dengan cepat menarik tubuh Mama Ara dengan kuat hingga jatuh tersungkur. "Akh! Kurang ajar!" Pekik Mama Ara dengan segera menoleh ke sosok orang yang berani mendorongnya hingga terjatuh. "Heh! Kamu si culun dari kampung! Ternyata kalian berdua masih saling terhubung! Kalian memang cocok! Sama-sama tida
"Syukurlah kalau dokternya baik dan tidak mematok tarif yang di luar nalar," ucap Ara setelah dokter yang memeriksa nya undur diri. Tom yang sudah tiba di apartemen yang kini di tempati oleh Ara nampak mengangguk seolah membenarkan apa yang di katakan oleh Ara. Padahal sejatinya dokter tersebut adalah dokter terbaik dan termahal di rumah sakit internasional milik kolega keluarga Tuan nya."Jadi dokter tadi itu teman nya teman mu itu?" Bisik Ara dengan menunjuk kearah Tom."Iya dokter tadi teman Tomy. Tomy juga teman baik ku. Jadi bisa juga di sebut kita tengah beruntung karena mendapatkan diskon berobat dari dokter tadi karena beliau adalah teman Tomy," jawab Ibra yang kemudian di jawab dengan anggukan kepala oleh Tom lagi dan lagi."Oh iya, Tomy juga baru saja di terima bekerja di perusahaan sama seperti kita. Iya kan, Tom?" Kali ini Ibra nampak melirik ke arah Tom agar Tom menjawab sesuai dengan arah pembicaraan yang tengah di bangun nya di hadapan AraLagi-lagi Tom mengangguk d