Share

Istri Yang Dijual Suami
Istri Yang Dijual Suami
Penulis: NONA_DELANIE

1. Selalu Salah

“Ayo buruan cek! Palingan juga negatif lagi! Wanita mandul aja sok pake cek kehamilan segala!” seru Mama Tami mendorong punggung Melisa supaya segera mengecek kehamilan.

Melisa menatap sekilas dan membela diri dengan lembut. “Mama jangan suudzon dulu, Ma! Ya siapa tahu kali ini hasilnya positif!” ucapnya. Bukankah ucapan adalah doa? Ia harus mengucap yang baik-baik.

“Alah, kalau mandul ya mandul aja! Jangan sok bilang suudzon suudzon. Udah berapa kali kamu beli testpack, tapi nggak guna? Noh lihat, Mel! Ratusan di kardus itu. Berapa duit Rehan yang kamu buang? Berapa? Udah tahu mandul, eh malah bolak balik cek!” Mama Tami membentak Melisa sampai wanita berusia delapan bellas tahun itu berjingkit kaget.

“Mana beli yang mahal lagi. Nggak ngotak kamu ya? Harusnya tuh beli yang lima ribuan, jadi nggak kebuang percuma. Buat nyelup air kencing aja gaya pake yang mahal. Orang mandul aja kok sok beli tes kehamilan segala. Nggak malu apa ama Mbak-Mbak apotekernya, beli test pack mulu tapi nggak ada hasilnya?” cibir Mama Tami dengan bersedekap di bawah dada.

"Aku beli online, Ma. Diskon," kata Melisa membela diri.

“Nah, itu Mama juga tahu kan. Dia emang horos banget! Jadi, dia kemaren minta uang cuma buat beli ini? Astaga!” Rehan menyahut Pagi ini dengan tatapan suntuk pada Melisa.

Tak ada pembelaan lagi dari sang suami yang semakin membuat Melisa sangat rapuh serta merasa dikucilkan. Ingin pergi, namun Melisa tak bisa kabur.

Tak ada pegangan uang sama sekali. Jatah bulanan hanya diberikan 300 ribu. Semua gaji suaminya, Mama Tami yang pegang dan mengaturnya. Melisa tak berhak sama sekali.

“Padahal, aku udah nyuruh Melisa beli yang murah. Dasarnya si dia aja gengsi. Udah buruan cek, awas kamu ya kalau negatif lagi! Kau harus aku hukum!” ujar Rehan menunjuk wajah sang istri.

“I— iya, Mas.” Melisa hanya menggeleng lemah, ia menggigit bibir bawah dan menjawab tergagu. Ucapan ibu mertuanya yang menggelegar seperti sambaran petir itu kian menyayat hati.

“Buruan! Buang-buang waktu aja! Kamu belum masak, belum ngerjain tugas rumah. Suami kamu ini mau berangkat kerja! Jangan lelet! Ini udah bangun kesiangan, malah pake sok ngatain telat seminggu. Pake acara tes kehamilan segala! Hasilnya tuh udah pasti negatif!” sungut Mama Tami menatap sinis.

“Iya, iya. Aku cek dulu, Ma.” Dia segera mencelupkan test pack ke arah urine yang sudah ditampung dalam sebuah wadah kecil bening di kamar mandi dapur.

Dengan jantung yang berdebar, Melisa dan juga Rehan menunggu hasil test pack yang baru saja dicelupkan selama beberapa detik.

Setelahnya, Melisa mengangkat dan menyembunyikan di balik tubuh. Sambil harap harap cemas, dia melangitkan doa tulus.

“Ya Allah, berilah hamba amanah tahun ini. Hamba juga ingin mempunyai keturunan.”

Melisa menatap wajah-wajah menakutkan di hadapannya yang mulai tak ramah. Takut saja jika hasilnya tak sesuai harapan.

Satu detik, satu menit hingga lima menit menunggu, Rehan yang tak sabar lantas merebut hasil tes pack Melisa.

“Alah! Lama banget! Nungguin beginian aku jadi nggak mandi. Membuang waktu sepuluh menit. Siniin!” sergah Rehan merebut paksa terst pack itu dari tangan Melisa.

Segera dia membawa ke dekat meja makan, menyalakan lampu di atas dan melihat dengan seksama. Takut saja jika hasilnya tak jelas.

Satu, dua, dan ... tiga!

Melisa menutup mulutnya. "Allah, kenapa hanya satu garis?" keluhnya merepih. Hatinya sakit sekali. Dia melirik gurat kekecewaan dari wajah suami serta ibu mertuanya.

“Nah kan, negatif lagi. Apa Mama bilang? Kamu itu wanita mandul! Udah jelas hasilnya negatif lagi, pake tes tes segala! Udah, ini pokoknya yang terakhir! Awas kamu tes tes lagi nggak guna!” seru Mama Tami mengejek dan memukul belakang kepala menantunya.

“Aku bukan mandul, Ma. Cuma belum dikasih keturunan aja. Intinya Allah masih nyuruh kami berusaha dan berdoa. Allah belum mempercayai kami mempunyai anak. Karena Allah ngerasa jika kami belum mampu merawatnya,” sanggah Melisa.

Melisa masih berpositif thinking. Toh, keduanya juga belum pernah melakukan program apa pun. Jadi, tak ada salahnya mencoba dulu, bukan? Bukankah semua bisa diusahakan. Meski Melisa lulusan eSeMPe, tetapi dia juga tak kudet.

Melihat raut wajah murung dari Rehan, Melisa kemudian menatap wajah suaminya, bergelayut manja dan berkata, “Mas, bagaimana kalau nanti kita coba program hamil dulu. Kita bisa lakukan bayi tabung dan—”

“Nggak perlu, Mel!” sentak Rehan kasar sambil menghempas tangan Melisa dari pundak kirinya.

“Itu hanya buang-buang uang dan waktu tahu, nggak? Biaya program hamil itu juga nggak sedikit. Kalau sampai udah nyebur, nggak cuma dua ratus juta sekali program. Iya kalau berhasil, kalau enggak? Buang-buang duit dan hasilnya malah nggak ada. Rugi bandar, you know?” Rehan menyentak kasar lagi tangan istrinya yang berada di lengan.

“Belum juga cuti kerjaku yang sering diambil. Uang gajiku nanti juga dipotong terus. Kamu tahu kan jika sering absen nanti aku akan dipecat? Kamu lupa, gajiku sebulan itu cuma berapa, ha?!” imbuh Rehan lagi. Dia sudah buntu ide kali ini.

Melisa masih berusaha meluluhkan hati sang ibu mertua. “Tapi, Mas. Setidaknya sekali aja kita periksa dulu sama-sama, dan coba—”

“Sama aja. Kalau kamu yang mandul, mana bisa hamil? Ya bener kata Rehan, buang-buang waktu dan uang!” sahut Mama Tami dengan ketua.

Melisa menyanggah lagi. “Tapi kalau bukan aku yang—”

“Kamu meragukanku, Mel? Aku nggak mungkin mandul, lah!” sangkal Rehan agak tersinggung. Dia menatap Melisa dengan tatapan tak suka.

“Udah deh, Han. Mama nggak mau nunggu lama lagi. Kita sepertinya harus memberitahu Melisa hari ini!” bisik Mama Tami tepat di dekat telinga sang anak sulung.

Rehan tampak menimang sesuatu, sebelum akhirnya memutuskan, “Mama benar. Dan untuk kamu, Mel. Kamu pokoknya harus rela dimadu! Aku pengen punya keturunan dari wanita lain,” terangnya dengan telak.

Rehan terdiam sejenak. Ia juga bimbang, haruskah mengatakan ini pada Melisa? Tetapi kalau tidak, maka Rehan tak akan mempunyai keturunan sama sekali.

Mama Tami sudah tak bisa menahan rahasia ini lebih lama lagi. “Dan asal kamu tahu, Melisa. Rehan harus mempunyai anak. Meski dari rahim wanita lain!"

Melisa terbelalak. “Apa? Nggak mau, Mas! Kamu nggak bisa giniin aku! Kamu janji mau setia, kan? Kita nikah juga baru dua tahun, Mas! Ayolah, jangan patah semangat dulu. Seenggaknya kita bisa mencoba untuk—”

“Apa katamu? Baru dua tahun?” sela Rehan dengan tatapan murka. Ia menggebrak meja dan membuat Melisa melonjak kaget.

“Iya memang baru dua tahun! Tapi aku butuh anak secepatnya, Mel! Aku butuh anak untuk penerusku! Aku ini anak pertama, pemegang kekuasaan di rumah ini! Kalau aku nggak segera punya anak, tahta anak emasku itu bisa direbut sama Revan, adikku! Revan kerjanya cuma begajulan nggak jelas, otak atik motor dan nggak tahu kerja yang bener. Kamu paham nggak sih? Aku nggak bisa sesabar orang-orang yang harus nunggu belasan tahun, Mel! Enggak! Kamu itu kalau mandul, ya harus terima dong kalau di madu! Atau, kamu mau kita cerai aja?” sentak Rehan dengan kasar.

Deg!

Melisa menangis dengan dada yang berdebar bak dihantam godam. Kenapa mereka sudah memutuskan seperti itu? Padahal, cek kesehatan si Rehan nya saja belum pernah dilakukan selama ini.

Melisa menggeleng. Kalau pun dicerai, lantas Melisa harus tinggal di mana? Sementara ia tak mungkin kembali ke panti asuhan. Tak enak jika merepotkan, serta membuat ibu panti kepikiran lagi akan rumah tangganya yang tak sehat.

Melisa hanya lulusan SMP, mencari pekerjaan pun juga sulit dengan ijazah rendah. Dan selama ini, Melisa hanya diberikan uang terbatas oleh Rehan. Belum ada pegangan uang jika nantinya diceraikan.

Saat Rehan hendak beranjak, Melisa berinisiatif memegangi kengan dan mencegah Rehan supaya tak pergi dari hadapan. Berusaha memperbaiki semuanya dan berusaha lebih lagi supaya dapat mempunyai keturunan.

Melisa berusaha menyergah. Dia tak mau gagal berumah tangga. “Mas, dengerin aku lebih dulu. Bicarakan ini dengan kepala dingin, Mas,” kata Melisa.

“Tidak ada yang perlu dibicarakan, Mel! Kita sudah tidak bisa diselamatkan! Kamu tidak bisa memberiku keturunan. Lalu, apa yang kuharapkan darimu? Harapan semu? Mimpi saja, tanpa kenyataannya apa? Sampai kapan, Mel?" Rehan melempar gelas yang ada di hadapan.

Melisa tak menyerah. Dia tetap berusaha mempertahankan rumah tangganya saat ini. "Mas, dengerin aku dulu. Kita baru dua tahun menikah, dan kamu malah mau nikah lagi, Mas? Kenapa kamu nggak sabar aja dulu. Siapa tahu dengan sabar lagi, kita bisa—”

“Siapa tahu kamu yang mandul selamanya dan nggak bisa punya anak?” potong Mama Tami sengit. Ia enggan melirik Melisa lagi kali ini.

“Jadi, rugi dong Rehan mempertahankan kamu? Lebih baik terima aja, madumu akan datang sebentar lagi. Kamu masih bisa tinggal di sini nanti seperti biasa. Kalau cerai, kamu mau tinggal di mana? Ibu pantimu aja ngebuang kamu sejak dulu!” Mama Tami membeberkan semuanya.

"Ma, baru dua tahun. Paling nggak beri aku setahun lagi. Aku bisa buktiin kalau aku nggak mandul, Ma, Mas. Please, dengerin aku dulu. Hanya setahun, setelah nggak behasil, kita bisa ...." Melisa tak melanjutkan ucapannya. Ia ingin menikah sekali seumur hidup.

Tapi, kenapa malah seperti ini?

"Setahun terlalu lama digunakan untuk wanita yang salah!" ungkap Rehan yang membuat kepingan lara pada hati Melisa semakin berserak.

Dada Melisa kembang kempis. Kata-kata ‘wanita yang salah’ tadi membuat air matanya mengalir deras.

"Wanita yang salah katamu, Mas? Apa kamu tidak mengerti, aku mengabdi padamu sebagai istri yang patuh dan taat. Inikah balasanmu, Mas?" Melisa memukul dadanya sendiri. Oksigen di sekitarnya direnggut paksa. Ia bagaikan diajak terbang ke awan dan dihempaskan paksa.

"Itu sudah kewajibanmu, Mel!" kata Rehan sambil mencebikkan bibir.

“Lagian, istri keduanya Rehan mungkin udah OTW hamil! Dia juga udah telat seminggu!” imbuh Mama Tami memberitahu yang sontak membuat Melisa melotot tak karuan.

Melisa terkejut bukan main. “Apa? Istri kedua? Ha— hamil? Mas, kamu selingkuh?”

Bagai di sambar petir di pagi hari. Kenyataan yang diungkapkan Mama Tami membuat Melisa terkejut bukan main. Dia menodong suaminya yang hendak beranjak, seolah tak mempunyai salah sedikit pun.

“Mas, jawab aku! Jadi, kamu selingkuh, Mas? Kenapa kamu giniin aku?” tanya Melisa sambil mencegah kepergian sang suami yang hendak bekerja.

Melisa menggeleng dan tak percaya mendengar yang dikatakan ibu mertua serta suami terkasihinya tersebut.

Rehan mendekat sambil menatap istrinya dengan raut wajah marah. Mencengkeram kuat dagu Melisa dengan keji.

Tatapan Rehan membuat sang wanita membeku di tempatnya. Melisa yang saat itu sedang mati-matian menahan luka menganga dalam dada, hanya bisa meringis pelan melihat perlakuan sang suami.

Dulu sangat baik bak malaikat pada Melisa. Tetapi 6 bulan belakangan, Rehan dan Mmaa Tami berubah menjadi iblis mengerikan.

“Jaga bicaramu itu, Mel! Aku tidak berselingkuh!” sanggah Rehan dengan menghempas wajah istrinya sampai Melisa hampir terjerembab jatuh.

“Kamu nggak dengar apa yang dikatakan Mama tadi? Aku sudah menikah! Menikah! Jadi, aku tidak berselingkuh dengan Rina.” Rehan menjelaskan sekali lagi sambil membentak.

“Apa telingamu udah nggak berfungsi sampai kata-kata sekencang tadi nggak dengar, ha?” bentak Rehan sambil melirik sinis istrinya yang masih mengenakan piyama.

“Sejak kapan Mas menikah? Mana sah jika menikah tanpa ijin dari istri pertama, Mas?” selak Melisa lagi menggoyangkan lengan suaminya yang memakai kemeja biru muda.

“Buktinya, kami bisa menikah sah,” kata Rehan yang mengikis jarak ke arah istrinya.

“Dan Rina itu sekarang sudah sah menjadi istri keduaku. Kami sudah menjadi sepasang suami istri. Tahu nggak?” bentaknya lagi lebih menyakitkan. Rehan semakin mengetatkan rahang dan juga membentak Melisa tanpa ampun lagi.

Melisa hanya bisa menciutkan nyali sambil tergugu. Netranya mengabut dan dia tak kuasa menahan air mata. Yang sejak tadi ditahan Melisa supaya tak luluh lantak serta membuatnya lemah.

Haruskah dia pergi sekarang dari rumah ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status