Share

4

‘’Syukurlah kamu masih di luar. Aku kira kamu sudah masuk,’’ seru Mbak Ros seraya mengelus dada. Dia tampak begitu lega karena aku belum menanyakan tentang hal yang Mbak Ros adukan padaku tadi pada Mas Ega.

‘’Kalian?’’ Mas Ega mengintip dari jendela. Lalu membuka pintu lebar-lebar penuh raut curiga. ‘’Selin? Ros? Ada apa ini?’’ tanyanya dengan nada tinggi. Pasti Mas Ega mengira kalau aku dan Mbak Ros menguping. Aku perhatikan, suamiku ini sangat sensitif terkait pembicaraan yang tidak melibatkanku namun tak sengaja aku tau.

Mbak Ros menatapku gugup. 

‘’Mas, aku mau tanya tentang baju yang harus aku pakai. Kenapa kamu kasih aku model begitu? Aku tidak suka desainnya.’’ Terpaksa mengelabui karena aku melihat Mbak Ros begitu pucat. Tapi aku memang tidak suka pakaian tersebut.

‘’Oh, kirain apa.’’ 

‘’Aku pakai baju pilihanku sendiri boleh, ya?’’

‘’Terserah. Yang jelas kamu harus tampil cantik.’’ Mas Ega berkata sambil menahan kedua pundakku. Tidak lupa mencium pipi sebelah kiri menganggap pembicaraan kami telah selesai.

‘’Huh, Sel. Kamu jangan bikin aku jantungan dong,’’ bisiknya ketika Mas Ega sudah kembali ke dalam dan pintu di depan kami telah tertutup kembali. 

Aku kian dibuat bingung. Mengapa Mbak Ros seperti orang ketakutan begitu? Apa ada yang aku tidak tau?

‘’Sel, aku mohon. Kamu jangan ceritakan apapun pada Ega kalau aku cerita kayak tadi. Ini cukup aku dan kamu saja yang tau.’’

Aku tidak ingin Mbak Ros merasa tidak nyaman. Jadi mengangguk, terpaksa aku lakukan.

***

Di dalam mobil, hanya ada aku dan Mas Ega saja. Rencananya kami akan bertemu dengan klien di sebuah hotel di bilangan pusat kota.  

Aku mengenakan pakaian sopan dan juga tertutup. Jauh sekali dengan pakaian yang sebelumnya Mas Ega pilihkan. Namun demikian, Mas Ega tidak banyak protes. Bahkan beliau memuji kecantikanku.

‘’Aku yakin klien pasti langsung terkesima begitu melihatmu, Sel.’’

‘’Kali ini produknya apa, Mas?’’ Karena kemarin kan iklan sabun.

‘’Kali ini handbody,’’ jawabnya tanpa mengindahkanku yang menatapnya. ‘’Makanya mas minta kamu pakai pakaian sebelumnya agar klien bisa melihat betapa mulus dan bersihnya tubuh kamu.’’

‘’Maaf ya, Mas. Tapi mudah-mudahan klien tidak menjadikan itu sebagai tolak ukur mereka untuk memakaiku menjadi model mereka.’’

‘’Ya, semoga saja.’’ Tanpa permisi, tangan Mas Ega menelusup ke dalam rokku. 

‘’Mas!’’ Aku protes sekaligus menepis karena rasanya geli. 

‘’Kenapa malu? Kita kan sudah suami istri?’’

Memang benar kami sudah sah. Tapi aku baru melihat sikap genit Mas Ega yang seperti ini. Tanpa bisa dijelaskan, aku rasa risih yang menghantui.

‘’Oh, ya. Kamu jangan terlalu dekat, ya, sama Rosdiana. Bekerja secara profesional saja,’’ lanjutnya sembari menyalip dua mobil di depan kami.

‘’Memangnya kenapa?’’

‘’Aku khawatir dia menjadi provokator. Menjelek-jelekkanku dan karyawan lain. Khawatir saja kamu berpikiran yang tidak-tidak.’’

Tampaknya, Mas Ega menyimpan kerisauan kalau aku berteman dekat dengan Mbak Ros. Menurutku, dia sangat baik dan sangat-sangat membantu.

‘’Tapi, bukankah kamu yang nyuruh dia agar aku cepat beradaptasi dengan pekerjaan dan lingkungan?’’

‘’Memang. Tapi hanya sebatas itu. Aku tidak mau kamu bernasib sama seperti model-modelku yang lain, Sel.’’

‘’Maksudnya, mantan-mantan, Mas?’’

Drrriiiiitttttttt!

Tubuhku maju ke depan karena Mas Ega melakukan rem mendadak. Beruntung aku memakai seatbelt dan kami berada di tepi jalan sepi. Jika tidak, entahlah.

Wajah Mas Ega berubah garang ketika aku menoleh ingin mempertanyakan aksinya barusan.

‘’Apa yang sudah kamu dengar dari Rosdiana?’’ Bukan lagi marah, tapi suara Mas Ega seperti menyentak. 

Jantungku sampai berpacu heboh sangking kagetnya.

‘’A-aku cuma tau itu saja, Mas. Tidak lebih. Katanya, kamu pernah menjalin hubungan dengan mereka.’’ 

‘’Dan kamu sudah tau nasib mereka sekarang bagaimana?’’

Aku mengangguk.

‘’Karena itulah aku tidak mau kamu terlalu dekat dengan Rosdiana. Dia itu wanita penghasut dan tidak betul.’’

Mobil kembali melaju dengan suasana tegang. Mas Ega memberikan larangan keras padaku. Agar tidak berhubungan lagi dengan Mbak Ros. 

Tapi anehnya, kenapa Mas Ega tidak memecat Mbak Ros dari dulu jika tau model-model sebelumnya beralih profesi berkat wanita itu? 

Namun melihat sikon seperti ini, aku jadi membungkam minta untuk mengajukan pertanyaan tersebut.

Belum lagi setelah bertemu dengan klien, tidak ada kesepakatan terjalin dan Mas Ega menyalahkanku karena berpakaian terlalu rapat.

‘’Kamu kalau dikasih tau jangan ngeyel. Lain kali kalau disuruh pakai apa saja, nurut makanya. Lihat, kita sudah kehilangan uang karena kamu bandel dikasih taunya.’’ 

Aku baru tau sifat Mas Ega yang begitu temperamen seperti ini. Sehingga aku pun berusaha menenangkan walau tidak terima disalahkan.

‘’Mungkin belum rezekinya, Mas. Bukankah kita masih punya uang hasil dari pemotretan dengan Pak Abi kemarin?’’

‘’Kamu tidak tau apa-apa, Sel. Karyawan harus di gaji, sewa studio harus dibayar, rumah kita masih dicicil.  Uang yang kita dapat kemarin, mana cukup untuk menutupi kebutuhan bulan ini.’’ 

Aku memang tidak tau berapa jumlah pengeluaran Mas Ega. Termasuk pendapatannya berapa. Tapi, apa iya Mas Ega tidak punya simpanan sama sekali?

Saat itu, keinginan untuk bertanya lagi-lagi pupus sudah. Kali ini karena gawai Mas Ega berdering. Aku yang tengah terduduk di sofa melirik sebentar. 

‘’Halo? Ya? Di mana?’’ Tiga pertanyaan beruntun yang terucap dari bibir suamiku membuatku tak hanya melirik. Namun membekukan pandangan pada Mas Ega.

‘’Baik. Saya akan segera ke sana. Terimakasih.’’ Mas Ega menutup benda pipih itu. 

Aku lihat, ekspresinya sudah berubah seperti baru saja mendapat durian runtuh. 

‘’Ada apa, Mas? Apa kamu sudah dapat klien baru?’’ tanyaku penasaran, sambil berdiri dan menghampirinya yang langsung mencium bibirku sangking girangnya.

‘’Cantik. Kamu jangan kemana-mana, ya? Kamu di sini saja.’’

‘’Kamu mau kemana?’’ Aku tidak masalah ditinggal sendiri. Apalagi tidak jadi pemotretan karena tidak ada klien. Jadi aku bisa bersantai dan tidur lebih awal. Tapi kenapa Mas Ega tidak mengajakku?

‘’Aku mau menemui klien. Kamu tidur saja duluan. Mungkin aku akan pulang larut, jadi jangan menungguku,’’ ucapnya yang ku jawab dengan anggukan kepala.

Mas Ega bergegas meraih jaket yang tergantung di belakang pintu. Kuantar suamiku itu menuju pintu. 

Sejenak perasaanku seperti tidak enak, tapi tidak tau penyebabnya. Firasat mengatakan bahwa akan terjadi sesuatu. Entah itu padaku? Atau pada suamiku. Sesaat sebelum meninggalkanku sendiri, Mas Ega menciumku, penuh dengan hasrat dan gairah.

Perubahan suasana hatinya begitu drastis. Untuk mengusir rasa cemas tanpa sebab, aku pun tak langsung masuk ke kamar. 

Ku datangi dapur karena haus. Membuka kulkas namun yang ku dapati malah minuman keras. Minuman yang akhir-akhir ini sangat aku sukai.

Sel, pintu jangan di kunci. Mas khawatir kamu tidak bangun kalau nanti mas ketuk-ketuk pintu. Oh, ya. Cobain aroma terapi yang mas beli kemarin. Aroma kopi. Cocok dipakai menjelang tidur.

Pesan dari Mas Ega masuk ketika aku meneguk minuman dingin itu. ‘’Uhuk!’’ Tapi bodohnya aku malah mencoba lagi dan lagi hingga habis setengah.

Baiklah.

Ku jawab singkat setelah itu aku kembali ke kamar untuk tidur. Menghidupkan lilin di dalam jar kaca dan menempatkannya di meja kecil di sudut kamar. Mas Ega benar, aromanya sangat enak ketika dihirup.

Berselang beberapa jam, aku mendengar suara langkah kaki berpikir bila Mas Ega sudah pulang. Sayangnya, aku tak kuasa untuk mengecek apakah itu benar suamiku? Karena tak mampu membuka mata sangking mengantuknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status