Sukma memasuki pekarangan rumah ibu mertuanya sambil menenteng dua kotak berisi makanan matang yang lebih berat dari biasanya. Setiap hari dia selalu datang untuk memastikan ibu mertuanya tidak kekurangan. Kemarin wanita itu minta dibelikan banyak bahan-bahan mentah dan lauk, tapi tidak memberi ua4ng sepeser pun. Bukannya pelit, namun ibu mertuanya mendapat jatah belanja bulanan dari Yudi, suami Sukma, lebih banyak, namun habis entah ke mana. Walau kesal, dia tetap berusaha menjalankan kewajibannya sebagai menantu. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar suara dari ruang tamu. Sukma mendengar suara keras pria membent4k ibu mertuanya.
"Buk, saya sudah kasih waktu cukup lama! Jangan bilang Anda tidak tahu menahu, padahal sertifikat rumah atas nama Anda dan Anda sendiri yang tanda-tangan sebagai penanggung jawab." "Benar, Pak, bukan saya yang ngutang, tapi anak saya. " "Saya tidak mau tahu, Buk. Angsuran sudah telat empat bulan!" suara seorang pria semakin keras, penuh amarah. Sukma mematung. Jantungnya berdegup lebih cepat. Sertifikat rumah? Apa maksudnya? Dia membatin. "Pak, tolonglah beri waktu. Anak saya pasti bayar, dia sedang keluar kota." Suara ibu mertua Sukma terdengar gemetar. "Keluar kota? Saya ini sudah bosan dengar alasan itu, Buk. Kalau tidak ada yang bayar bulan ini, rumah ini akan disita!" Sukma berjalan masuk ke dalam rumah. Dia melihat seorang pria berkemeja biru muda memasang wajah garang duduk di sofa, sementara di atas meja terlihat map berisi kertas-kertas. Di depan pria itu, ibu mertua Sukma duduk dengan wajah pucat. "Buk, apa yang terjadi?" Sukma bertanya, mencoba menjaga suaranya tetap tenang meski dadanya berdegup kencang. Ibu mertuanya mengangkat wajah, terlihat kaget melihat Sukma. Namun, sebelum dia menjawab, pria tadi memotong, "Anda siapa? Kalau bukan orang yang mau bayar utang, nggak usah ikut campur!" "Saya menantunya, Pak," jawab Sukma tegas. Dia tidak suka mendengar nada bicara si pria yang terdengar kas4r. "Bisa jelaskan apa yang sebenarnya terjadi?" Pria itu mendengkus lalu mengangkat sertifikat di tangannya. "Adik ipar Anda, Romi, menggadaikan sertifikat rumah ini. Totalnya enam puluh juta dia baru bayar satu kali. Sekarang angsurannya sudah nunggak empat bulan. Saya datang untuk menagih. Kalau tidak dibayar minggu ini, rumah ini bakal kami ambil!" Sukma menatap ibu mertuanya yang langsung menundukkan kepala. Wajahnya memerah menahan emosi. "Bu, kenapa saya dan Mas Yudi tidak tahu apa-apa soal ini?" Ibu mertuanya melengos, dia tidak suka mendengar pertanyaan Sukma. "Romi bilang dia butuh uang mendesak. Dia janji akan melunasi sendiri. Lagipula, Ibu tidak mau merepotkan Yudi." Sukma berdecih, tidak mau merepotkan? Padahal selama ini mertua dan adik iparnya menjadi parasit yang menggerogoti keuangan suaminya. "Trus sekarang gimana? Siapa yang tanggung jawab?" Suara Sukma meninggi. "Apa Mas Yudi lagi? Ibu tahu nggak, Mas Yudi sudah kerja sampai nggak peduli kesehatannya buat menutup semua utang-utang Romi sebelumnya? Kenapa Ibu biarkan dia melakukan ini lagi?" "Sudah, sudah! Saya tidak peduli urusan keluarga kalian," potong pria itu. "Pokoknya, bayar sebelum minggu depan atau rumah ini di sita bank!" Pria itu berbalik pergi, meninggalkan Sukma dan ibu mertuanya. Sukma berdiri mematung, menghela napas dalam untuk meredam letupan amarah di dadanya. Bagaimanapun wanita di hadapannya adalah mertua yang harus dihormati, tetapi sikap beliau sendiri yang membuatnya hilang respek. Setelah pria itu menghilang dari pandangan, Sukma menatap ibu mertuanya dengan wajah memelas. "Bu, kenapa tidak cerita? Kenapa tidak minta pendapat Mas Yudi sebelum memberikan sertifikat rumah?" "Kalau Yudi tahu pasti nggak ngijinin," jawab ibu mertuanya pelan. Lagi-lagi Sukma mendengkus pelan, dia lelah mendengar alasan yang sama setiap kali Romi berulah. "Ibu tahu alasannya kenapa Mas Yudi nggak ngijinin, tapi masih nekat juga. Apa ibu nggak kasian? Mas Yudi itu anak kandung Ibu bukan sapi perah! Setiap adik-adik bikin masalah Mas Yudi yang harus menyelesaikan semuanya. Padahal ini bukan tanggung jawab dia!" Wajah ibu mertuanya mulai cemberut, dia menatap sinis ke arah Sukma. "Ibu nggak tahu Romi akan kabur ke Jakarta. Ibu cuma percaya sama anak sendiri. Apa salahnya kalau Ibu berharap pada Yudi? Dia kan anak tertua, sudah kewajibannya bantu adik-adik. Dari dulu sudah begitu, Yudi nggak pernah protes." Kata-kata itu membuat d4rah Sukma mendidih. "Ibu sadar nggak? Mas Yudi bukan cuma anak tertua. Dia juga suami saya. Dia punya keluarga yang harus dia pikirkan. Adik-adik bukan anak kecil lagi, bukannya mandiri malah terus-terusan jadi bebannya. Sampai kapan, Bu?" Napas Sukma tersengal, rasanya jantungnya hendak meled4k saking kesal dengan pola pikir ibu mertuanya. Ibu mertuanya terdiam, lalu bangkit dari kursi meninggalkan Sukma masuk ke dalam kamar dengan langkah menghentak. Sukma menggeleng dengan raut kesal. Kelakuan ibu mertuanya ajaib, dia yang salah dia pula yang nyolot. Sukma meletakkan barang bawaannya ke atas meja lalu meraih ponsel di saku gamisnya. Dia memencet nomor Yudi sambil menenangkan detak jantung agar tidak terbawa emosi. "Ya, Sayang, ada apa?" Terdengar suara Yudi diantara riuhnya suara mesin pabrik. "Mas, kamu harus pulang sekarang juga. Sertifikat rumah Ibu digadaikan," ucap Sukma cepat begitu panggilannya tersambung. Di ujung sana, Yudi terdiam beberapa detik sebelum menjawab, suaranya terdengar lelah. "Romi lagi?" "Iya, Mas. Utangnya sudah nunggak empat bulan. Kalau nggak dibayar, rumah Ibu akan disita." Sukma bisa mendengar Yudi lagi-lagi menghela napas panjang. "Aku akan cari cara." "Mas," Sukma berusaha menjaga suaranya tetap tenang, dia tahu bagaimana kacaunya pikiran suaminya sekarang. "Kamu benar kalau milih abai sekarang. Jangan jadi tumb4l keluargamu lagi, aku nggak ikhlas. Kamu mau kan?" Yudi tidak menjawab. Sukma menunggu, berharap ada kata-kata yang meyakinkannya. Namun yang terdengar embusan napas berat. Ketika akhirnya Yudi bicara, suaranya terdengar datar. "Aku akan pulang nanti malam. Kita bicarakan ini di rumah." Sukma ingin membalas, memaksa Yudi untuk menjawab pertanyaannya, tetapi pria itu sudah memutuskan panggilan, meninggalkannya dengan kekesalan yang campur-aduk di dada.Setelah dua hari menghilang, Yudi akhirnya pulang ke rumah dengan langkah gontai. Pikirannya masih dipenuhi oleh peristiwa yang mengguncang hatinya. Dia meletakkan sembarang sepeda motornya. Dahinya berkerut ketika melihat mobil yang biasa dipakai Sella terparkir di pekarangan rumah. Saat membuka pintu, ia disambut oleh ibunya yang berdiri dengan wajah marah. "Ke mana saja kamu dua hari ini, Yudi? Menghilang tanpa kabar, membuat kami semua khawatir!" Ibunya bertolak pinggang menatap Yudi tajam. Yudi hanya terdiam, tak ingin menjawab pertanyaan ibunya. Lagipula dia bukan an4k kecil yang harus berkabar. Harusnya ibunya mengerti perasaannya, tapi wanita itu seolah-olah menutup mata. Yudi merasa miris, inilah keluarga yang dia agung-agungkan dulu. Saat melewati kamar Juno, matanya tertuju pada Sella dan Juno yang tiba-tiba muncul dari kamar. "Setelah kamu pergi begitu saja, kami terpaksa menikahkan Sella dengan Juno untuk menghindari malu." Ibunya menjelaskan tanpa diminta. Yudi menat
Pagi itu, rumah Sella telah disulap menjadi tempat yang megah. Dekorasi elegan menghiasi setiap sudut, bunga-bunga segar menebarkan aroma wangi, dan para tamu mulai berdatangan, menantikan momen sakral akad nikah antara Yudi dan Sella. Di sebuah kamar yang disediakan khusus untuknya, Yudi duduk termenung. Pikirannya berkecamuk, bayangan tentang Sukma, mantan istrinya, terus menghantui benaknya. Penyesalan perlahan merayapi hatinya, terutama mengingat anak mereka yang akan segera lahir. Namun, Yudi mencoba menepis perasaan itu, meyakinkan dirinya bahwa keputusan untuk menikahi Sella adalah yang terbaik, terutama setelah banyaknya bantuan yang diberikan Sella kepada keluarganya. Lambat-laun dia yakin perasaan pada Sukma akan hilang dengan sendirinya. Merasa bosan karena terlalu lama menunggu, Yudi memutuskan keluar kamar untuk mencari minuman dan menghisap sebatang rokok, berharap dapat meredakan kegelisahannya. Saat melintasi koridor, telinganya menangkap suara des4han dari salah satu
Empat bulan akhirnya berlalu. Sukma menatap surat cerai di tangannya. Satu bulan yang lalu Yudi mengantarkan surat itu bersama undangan pernikahannya dengan Sella. Senyum kemenangan tampak di wajah wanita itu, dia masih saja berusaha memprovokasi Sukma, seolah-olah tak puas berhasil menghancurkan rumah tangganya. Namun, Sukma memilih tidak menanggapi, karena Sella memang tak penting untuknya. "Aku harap kamu datang ke pernikahan aku dan Mas Yudi. Resepsinya sangat mewah dan meriah." Sella sengaja menggandeng lengan Yudi untuk menunjukkan posisinya. "Aku usahakan, karena akhir-akhir ini aku sibuk sekali." Suara Sukma terdengar tenang. Sella salah kalau berpikir dia akan terpancing trik murahan itu. Hatinya telah mati rasa, jadi mau keduanya bermesra4n pun di depannya tidak berpengaruh apa pun. Sella mencibir. "Ck, gayamu sok sibuk. Paling juga sibuk nyari kerja. Lagian siapa yang mau pekerjakan wanita h4mil sepertimu. Sebentar lagi perutmu bunc1t, kamu pikir nggak ngerepotin?!" L
Sukma duduk tenang di ruang sidang, tangannya terlipat di pangkuan. Perutnya yang mulai membesar sedikit mengganggu posisi duduknya, tapi ia berusaha untuk tidak menunjukkan ketidaknyamanan itu. Hari ini, ia ingin semuanya selesai. Di seberangnya, Yudi duduk dengan wajah tegang. Sella dan ibu Yudi duduk di belakang tampak tersenyum penuh kemenangan. Sukma tidak peduli. Ia hanya ingin berpisah secepat mungkin. Hakim mengetukkan palunya. "Saudara Yudi, saudari Sukma, kita lanjutkan sidang perceraian ini. Saudara Yudi, sebelumnya Anda menyampaikan beberapa tuduhan terhadap saudari Sukma, di antaranya bahwa beliau terlalu mandiri dan tidak mendukung rumah tangga sesuai harapan Anda, serta ada keraguan mengenai kehamilannya. Benarkah?" Yudi mengangguk tegas. "Benar, Yang Mulia." Hakim mengalihkan pandangannya ke Sukma. "Saudari Sukma, apakah Anda membantah tuduhan tersebut?" Sukma mengangkat wajahnya, menatap hakim dengan tenang. "Tidak, Yang Mulia." Ruangan mendadak sunyi. Yudi mena
Sukma berdiri di depan toko pakaian yang siap beroperasi. Matanya berembun menatap papan nama yang baru saja dipasang. Usaha ini adalah impian yang akhirnya menjadi nyata. Meski hidupnya sedang kacau karena perceraiannya dengan Yudi, setidaknya dia masih punya sesuatu yang bisa dibanggakan. Di sampingnya, Arman berdiri dengan tangan di saku, memperhatikan dalam diam. Dia tahu Sukma berusaha tegar, tapi sorot matanya menjelaskan apa yang sedang dirasakannya. “Kalau kamu butuh bantuan untuk mengurus toko ini, aku siap,” kata Arman akhirnya. Sukma tersenyum kecil. “Terima kasih, Man. Aku harus berterima kasih karna kamu udah bantu aku mewujudkan impianku. Walau buka pemilik, tapi dipercaya olehmu sudah sangat luar biasa. Aku nggak mau merepotkan kamu lagi." “Kamu nggak merepotkan aku. Malah aku senang direpotkan kamu terus.” Sukma menoleh, dan saat itu dia melihat binar di mata Arman sangat tulus, tatapannya begitu dalam membuat hatinya bergetar. Ketulusan yang tak pernah dia temukan
"Jangan-jangan an4k yang kau kandung bukan berasal dari benihku." Sukma geram mendengar perkataan Yudi. Apakah aku serendah itu di matanya? Jangankan berzin4, berdekatan dengan lelaki lain saja tidak pernah. Sementara dia, sidang cerai belum dimulai dia sudah membawa wanita mur4han itu bersamanya. Lihatlah, dengan tidak tahu malu Sella bergelayut di lengannya. "Terserah kamu mau bicara apa. Lagipula nggak akan merubah apa pun." Sukma melangkah perlahan menuju Pengadilan Agama sambil mengusap perutnya. Meski terlihat tegar, tidak ada yang tahu hatinya ngilu mendengar tudingan Yudi. Tiga tahun pernikahan tak membuat lelaki itu benar-benar mengenalnya. Sangat miris, selama pernikahan hari-hari dia dan Yudi lewati dengan harapan Tuhan mempercayai mereka dengan memiliki an4k, tetapi saat dikabulkan lelaki itu justru menggugat cerai, memilih wanita lain. Di sampingnya, Arman berjalan dalam diam. Sesekali dia melirik Sukma. Mendengar tudingan Suami Sukma membuatnya emosi. Andai tadi Suk
Dua minggu berlalu sejak pertengkaran di rumahnya, Yudi tidak pernah lagi datang atau sekadar bertanya kabar. Ada kesedihan mengendap di dada Sukma, bukan perihal lelaki itu mengabaikannya, tetapi dia sedih an4knya yang belum dilahirkan tidak dipedulikan sang ayah. Padahal di tiga semester pertama sangat berat, terutama morning sickness yang membuat tubuhnya lemas. Belum keinginan memakan sesuatu yang tak pernah dia makan sebelumnya. "Nak, ini rujak pepaya kampung yang kamu minta. Padahal nggak musimnya, tapi kalau emang rezeki pasti ada aja jalannya." Narti, ibu Sukma meletakkan kantong kresek di atas meja. Sukma yang sedang berada di kamar meletakkan ponselnya. Untuk merintang waktu, dia belajar bagaimana mengembangkan bisnis baik secara online atau offline. "Ibu dapat dari mana?" tanya Sukma, dia menatap rujak yang sudah tersaji di atas meja dengan mata berbinar. "Dari Wak Romlah. Katanya, anaknya baru pulang bawa banyak oleh-oleh buah. Saat Ibu lewat di depan rumah dipanggil l
"Dia kenapa?" tanya Juno melihat Yudi uring-uringan masuk ke dalam rumah. Sella yang ditanya mengangkat bahu acuh tak acuh, dia duduk di sebelah Juno dengan raut cemberut. "Masmu dari rumah Sukma. Dia kesal karena wanita itu ada laki-laki lain.""Laki-laki lain?" Dahi Juno berkerut, dia menggeser duduk lebih dekat dengan Sella. "Maksudnya gimana?"Sella tersenyum tipis. "Sukma itu tampilannya aja alim, muslimah taat, aslinya dia doyan selingkuh." "Nggak mungkin dia begitu, kamu pasti salah."Sella berdecak. "Kalau begitu dia juga berhasil menipu kamu. Emang, ya, sekarang nggak bisa menilai orang dari penampilan." Suaranya terdengar sinis."Memangnya ada bukti kalau Mbak Sukma selingkuh?"Sella menatap Juno tajam. "Kamu masih ngebela dia? Jelas-jelas tadi saat aku dan Yudi ke rumahnya, si Sukma itu baru pulang jalan sama laki-laki lain. Bukan hanya itu, laki-laki itu mengatakan akan menikahi Sukma setelah melahirkan nanti. Aku jadi curiga, jangan-jangan an4k yang dia kandung bukan an
Arman berlari menghampiri Sukma yang mencoba bangkit, sementara sepeda motornya dibiarkan begitu saja."Kamu nggak apa-apa?" Arman memapah Sukma membawanya duduk di trotoar."Aku nggak apa-apa, tapi perutku ...." Sukma meringis sambil memegangi perutnya.Wajah Arman pias, dia tahu Sukma sedang mengandung. "Tunggu di sini, aku ambil mobil dulu. Kita ke rumah sakit."Sukma mengangguk. Dia melihat beberapa orang lelaki membawa sepeda motornya ke pinggir. Dia juga melihat Arman berbicara dengan pemilik warung lalu memberikan sesuatu. Sukma terpaksa membanting stang sepeda motor ke kiri untuk menghindari anak kecil yang tiba-tiba berlari ke tengah jalan. Sayangnya, dari belakang sepeda motor langsung menabraknya. Beruntung keduanya tidak terlalu kencang hingga tidak ada luka serius."Ayo, apa kau kuat berjalan?" Arman membantu Sukma bangkit.Sukma mengangguk, tapi baru beberapa langkah dia mengaduh. Arman tak mau berpikir panjang dia membopong si wanita lalu mendudukkan di kursi depan di