"Sudah cukup, Adrian. Aku mencintai Noah. Berhenti melakukan ini," jelas Akira dengan tegas. Namun, sebelum Adrian sempat berkata apa-apa lagi, Noah sudah muncul di ujung lorong, ekspresinya gelap dan penuh ancaman. "Jauhkan tanganmu darinya," suara Noah dalam, nyaris geraman. Adrian tersenyum tipis, seolah sudah menunggu konfrontasi ini, "Akhirnya kau datang juga…" Tanpa membuang waktu, Noah melangkah maju dan memukul Adrian dengan keras hingga pria itu terjatuh. "Kamu sudah cukup membuat hidup kami berantakan," Noah menatap Adrian yang terkapar, suaranya bergetar menahan amarah, "Jika kamu mendekatinya lagi… aku tidak akan sebaik ini." Adrian menatap Noah dengan penuh kebencian, tetapi kali ini, dia tahu bahwa dia telah kalah. Malam itu, saat mereka kembali ke rumah sederhana milik Akira, Akira duduk di sofa, menarik Noah ke pelukannya. "Aku takut kamu akan terluka karenaku…" bisik Akira, suaranya nyaris pecah. Noah mengangkat wajahnya, menatap Akira dengan penuh c
Akira yang panik hanya bisa memeluk lututnya sendiri di bawah sofa, saat Noah datang penampilan Akira sudah seperti orang yang ketakutan. Noah merengkuh tubuh kekasihnya dengan lembut, "Aku sudah datang, Sayang kamu aman sekarang," ujar Noah kepada Akira yang kini menatap pemuda itu dengan erat. "Dia datang, Noah, dia juga masuk rumahku, dia......" Akira terisak karena ketakutannya yang besar, "Dia sudah pergi sayang, aku akan menjaga kamu tetapi kamu juga harus ikutin saran aku, lebih baik pulang ke rumah orang tua kamu saja, di sana kamu akan aman." Akira mengangguk dengan ucapan Noah. Pemuda itu melihat kotak kado yang sama dengan kado waktu Akira ulang tahun. "Dia memberikan aku itu lagi, aku takut Noah." Kamu pulang ya sayang, biar Gabriel yang antar kamu pulang, dia dalam perjalanan. Noah melepaskan pelukan Akira dan beralih dengan kotak tersebut, Di dalamnya, ada kalung berliontin safir biru, tatapan mata Noah langsung gelap saat melihat kotak itu. "Ini sudah keterlal
Malam di apartemen Noah begitu sunyi, tetapi ketegangan terasa kental di udara. Akira tertidur dengan gelisah di pelukan Noah, sementara pemuda itu menatap langit-langit kamar dengan mata yang tak bisa terpejam. Pikiran Noah berputar, penuh kemarahan dan kekhawatiran. Adrian sudah melewati batas. Mengirim hadiah ke rumah Akira, masuk tanpa izin, dan kini berani muncul di gala amal dengan wajah penuh ejekan. Itu bukan sekadar peringatan. Itu tantangan. Keesokan paginya, Noah bangun lebih dulu. Dia membiarkan Akira tidur lebih lama, tetapi pikirannya sudah dipenuhi rencana. Dengan langkah pelan, dia turun ke ruang kerja pribadinya, membuka laci meja, dan mengeluarkan sebuah ponsel lain—ponsel yang hanya digunakan untuk urusan yang lebih… gelap. Noah menekan nomor yang sudah lama tidak dia hubungi. Suara di ujung telepon menjawab dengan singkat. "Aku butuh bantuan," ujar Noah tanpa basa-basi. Suara itu tertawa pelan, "Akhirnya kau meneleponku juga. Apa yang kau inginkan, Noah?" "Ca
Pagi itu, sinar matahari samar menelusup melalui tirai apartemen Noah, menghangatkan ruangan yang sunyi. Akira masih terlelap di sofa, sementara Noah duduk di meja dapur, menyesap kopi hitam dengan tatapan kosong.Ketegangan semalam masih membekas di benaknya. Pikirannya terus berputar pada satu nama: Adrian Lawson. Pria itu sudah melampaui batas, dan Noah yakin, ini baru permulaan.Namun, suasana yang nyaris tenang itu terusik ketika ponsel Akira yang tergeletak di meja ruang tamu tiba-tiba berdering. Layar ponsel menyala, menampilkan satu inisial yang membuat Noah langsung waspada:A.Noah memicingkan mata. Rahangnya mengeras, tatapannya gelap. Dia tahu siapa yang menelepon. Tanpa berpikir panjang, Noah meraih ponsel itu dan melihat panggilan tak terjawab yang bertubi-tubi.Tepat saat Noah akan menekan tombol tolak, Akira terbangun. Rambutnya berantakan, wajahnya masih terlihat lelah, tetapi begitu melihat ponselnya di tangan Noah, dia langsung tersadar."Noah… siapa yang menelepon?
Langit malam di apartemen Noah tampak tenang, tetapi atmosfer di dalamnya begitu tegang. Akira duduk di sofa, memeluk lututnya sendiri, menatap layar ponselnya yang baru saja bergetar untuk kesekian kalinya. Sebuah pesan tanpa nama kembali muncul.["Kamu pikir sudah aman? Aku akan membuat semuanya hancur. Bahkan Noah tidak akan bisa melindungi orang-orang yang kamu cintai…"]Tangan Akira gemetar, wajahnya pucat. Noah yang baru keluar dari kamar mandi langsung menyadari perubahan ekspresi kekasihnya."Ada apa, Sayang?" tanya Noah, mendekati Akira dengan cepat.Akira menyerahkan ponselnya tanpa kata. Noah membaca pesan itu, rahangnya langsung mengeras, mata hitamnya dipenuhi kemarahan yang menakutkan."Dia sudah melarikan diri," gumam Noah, lebih kepada dirinya sendiri."Apa maksudmu?" suara Akira terdengar gemetar.Noah menatapnya, mencoba menenangkan, tetapi kali ini, ketegangan di wajahnya sulit disembunyikan. "Adrian… Dia berhasil melarikan diri. Aku sudah menjebak bisnis gelapnya,
Suasana malam di apartemen Noah dan Akira begitu tenang. Lampu kamar yang temaram menciptakan kesan hangat, sementara suara angin yang berbisik lembut di balik jendela seolah menjadi melodi pengantar tidur. Noah memeluk Akira erat, seperti enggan melepaskannya barang sejenak. Namun, di balik ketenangan itu, jiwa Akira justru terombang-ambing dalam kekacauan. Dia terjebak dalam mimpi yang begitu nyata, begitu menakutkan… Dalam mimpi itu… Akira berdiri di tengah ruang megah yang dipenuhi mawar merah, namun wangi bunga itu terasa menusuk, seperti racun yang merayap perlahan. Dia mengenakan gaun pengantin putih, tetapi wajahnya pucat, mata sembab, dan bibir gemetar. Dia hadapannya berdiri seorang pria yang dulu pernah menghantui masa lalunya--Adrian. Adrian, pria yang pernah dijodohkan dengan Akira oleh ayahnya semasa Akira masih muda, dulu adalah sosok yang penuh pesona, hingga membuat Pak Hermawan mau menjodohkan putrinya. Namun, di balik senyumnya yang menawan, tersembunyi ambisi k
Malam setelah Akira bermimpi buruk, Noah izin untuk ke London karena urusan pekerjaan, dia ke London bersama dengan Gabriel yang merupakan sepupu sekaligus rekan kerjanya."Sayang, kamu aku tinggal beberapa hari ya, jika ada apa-apa hubungi aku, aku akan datang untuk membantu kamu," ujar Noah kepada kekasihnya.Akira mengangguk dengan senyum manis, "Tentu, aku akan baik saja selama ada di apartemen kamu ini, jaga diri kamu ya, Noah!""Iya, aku akan cepat pulang jika urusan pekerjaan selesai.""Aku menunggu kamu sayang."Pagi itu, suasana di apartemen milik Noah terasa begitu sunyi. Noah sudah berangkat ke London untuk mengurus proyek besar yang tak bisa ditinggalkan. Meskipun mereka sempat berjanji akan tetap saling menghubungi, kekosongan tanpa Noah di sisinya membuat Akira merasa tidak tenang.Dia masih terbayang mimpi buruk beberapa malam lalu--tentang Adrian, Noah yang terluka, dan dirinya yang dipaksa menikah dengan pria yang seharusnya sudah menjadi masa lalu. Akira berusaha mey
Langit Jakarta sore itu mendung, seakan menggambarkan suasana hati Akira yang gelisah. Sudah seminggu sejak Noah berangkat ke London, dan selama itu pula Adrian terus menghantui kehidupannya. Pria itu tidak pernah berhenti menunjukkan kekuasaannya, membuat Akira merasa seperti hidup dalam sangkar emas yang sewaktu-waktu bisa runtuh. Setiap kali dia ingin menghubungi Noah, Akira ragu. Noah pasti sibuk, dan dia tak ingin terlihat lemah. Terakhir Akira chat dengan Noah, laki-laki itu juga tidak merespon chatnya. Tapi tanpa Akira sadari, Noah selalu memantau setiap gerak-gerik Adrian dari jauh. Dan kini, setelah menyelesaikan proyek besarnya, Noah akhirnya kembali ke Indonesia--berniat mengakhiri permainan kotor Adrian sekali untuk selamanya. Noah turun dari pesawat dengan langkah tegap. Setelan kasual hitamnya, lengkap dengan mantel panjang, membuatnya tampak seperti seseorang yang baru saja pulang dari pertempuran, bukannya perjalanan bisnis. Tatapan matanya dingin dan tajam, penuh d
Langit senja di atas markas bawah tanah Phoenix of Gold tampak membara keemasan, seolah mencerminkan semangat baru yang menggelegak di dalamnya. Arka Mahendra, kini berusia tujuh belas tahun, berdiri gagah di hadapan peta digital raksasa yang menampilkan pola satelit global. Di belakangnya, puluhan anggota Operasi Prometheus menunggu komando dengan mata penuh keyakinan.“Dragunov belum benar-benar mati,” ujar Arka tegas. “Mereka hanya berganti wajah.”Seseorang dari barisan depan mengangkat tangan. “Apa maksudmu, Kapten?”Arka menoleh. Di layar, muncullah simbol aneh yang baru-baru ini muncul dalam komunikasi terenkripsi di dark web: lingkaran berputar dengan huruf ‘H’ menyala merah. Helix.“Program Helix adalah warisan terakhir mereka. Sebuah AI global yang mereka bentuk selama bertahun-tahun, tersembunyi dalam jaringan satelit, lembaga keuangan, bahkan institusi pemerintahan,” jelas Arka. “Jika mereka berhasil mengaktifkannya sepenuhnya, seluruh dunia akan tunduk pada kendali ekonom
Malam itu, markas utama Phoenix of Gold diselimuti aura kesiagaan tinggi. Core Site Zero yang berada di bawah tanah Pegunungan Alpen kini menjadi jantung pertempuran baru dunia teknologi dan kekuasaan. Arka Mahendra, putra sulung Noah dan Akira, berdiri di ruang strategi yang diterangi cahaya holografik biru. Usianya baru enam belas tahun, namun pandangannya tajam dan penuh ketegasan seperti ayahnya."Target utama kita adalah menghancurkan jaringan sisa Dragunov yang bersembunyi di bawah organisasi Black Vortex," ujarnya tegas kepada tim elit Prometheus—unit rahasia Phoenix of Gold yang dipimpinnya.Di sisi lain dunia, para pemimpin negara-negara besar berkumpul dalam sidang darurat Dewan Keamanan Global. Mereka resah. Perusahaan yang dulu bernama Mahendra Corp kini telah berevolusi menjadi kekuatan negara digital bernama Phoenix of Gold. Dengan armada teknologi canggih, mata-mata AI, dan sistem pertahanan luar biasa, Phoenix bukan lagi sekadar korporasi—ia telah menjadi entitas berda
Subuh belum sepenuhnya menggantikan kegelapan saat pasukan muda Phoenix bersiap di pelabuhan udara utama. Di langit, zeppelin raksasa berbentuk phoenix—Aurora Prime—sudah menyala, siap membawa mereka ke bawah laut Atlantik, menuju Core Site Zero.Arka Mahendra berdiri di depan pasukannya, mengenakan seragam taktis berlapis serat Helium-9, ringan tapi kuat sekeras titanium. Lambang Phoenix of Gold bersinar lembut di dadanya.“Semua sistem cek!” seru Arka.Para anggota tim muda itu segera melaporkan. Ini bukan latihan. Ini adalah operasi nyata—dan seluruh dunia mengintip.Noah dan Akira berdiri tidak jauh, mengawasi."Noah," bisik Akira, "apa kita tidak terlalu membebani Arka?"Noah menggeleng pelan, matanya tetap tertuju pada putra sulung mereka."Dia harus belajar, Akira. Dunia ini bukan lagi tempat yang ramah. Kita tidak bisa melindunginya selamanya."Akira menggenggam tangan suaminya erat.Di atas panggung kecil, Arka mengangkat komunikatornya."Operasi Prometheus—Start!"Zeppelin r
Malam itu, markas besar Phoenix of Gold masih bermandikan cahaya holografik, seolah bintang-bintang turun dari langit untuk menyaksikan kebangkitan era baru. Namun, di balik euforia itu, ketegangan mulai mengendap di bawah permukaan.Di ruang rapat utama, Noah duduk di depan meja bundar raksasa. Layar di sekeliling menampilkan gambar-gambar yang berubah cepat: berita dunia, pesan diplomatik, hingga laporan ancaman.Phoenix baru saja lahir sebagai negara digital, tetapi dunia lama tidak tinggal diam."Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, dan Uni Eropa sudah mengeluarkan pernyataan resmi," lapor Gabriel, kepala intelijen. "Mereka tidak mengakui kedaulatan Phoenix. Mereka menganggap ini pemberontakan teknologi."Noah mengetukkan jarinya di meja. "Seperti yang kita duga.""Lebih buruk lagi," tambah Vanya, berdiri di sudut ruangan. "Beberapa negara berusaha menyusup lewat dunia maya. Mereka meluncurkan virus generasi baru—dirancang khusus untuk menghancurkan Helios dari dalam."Akira, yang du
Angin dingin Balkan menggigit kulit saat tim ekspedisi Phoenix mendarat di dataran tinggi berlapis salju. Di antara kabut pekat, berdiri benteng tua yang kini menjadi markas Dragunov—pusat operasi rahasia musuh.Arka mengenakan seragam tempur khusus Phoenix: serat karbon ringan, dilapisi nano-armor. Di pundaknya, emblem Phoenix bersinar redup.Vanya di sampingnya, membawa konsol portable. Di belakang mereka, regu elit Orion Unit bergerak tanpa suara."Target kita ada di ruang bawah tanah kompleks itu," bisik Vanya. "Mereka mencoba memanipulasi sinyal Helios menggunakan Resonator—sebuah alat frekuensi balik yang bisa membuat Helios meledak."Arka mengangguk. "Waktu kita sedikit. Serang cepat, akurat, dan bersih."Mereka bergerak menyusuri lereng curam, menembus hutan gelap, hingga akhirnya mencapai perimeter luar benteng.Arka memberi isyarat.Tiga... Dua... Satu.Bom EMP mini diledakkan, memutus semua listrik di area luar. Dalam hitungan detik, mereka menyusup masuk ke dalam.Koridor
Seminggu telah berlalu sejak penyelamatan Talia. Meskipun luka-lukanya mulai membaik, trauma yang ditinggalkan oleh para penculik masih melekat. Akira memutuskan untuk memberinya waktu istirahat penuh, menghindarkannya dari segala rapat strategis.Namun di balik dinding kaca Phoenix Headquarters, badai tengah mengumpul.Sejumlah negara, dipimpin oleh Eropa Timur dan beberapa pihak dari Asia Tengah, membentuk koalisi darurat—menuntut audit terbuka terhadap teknologi Phoenix of Gold. Mereka menganggap perusahaan yang dulunya adalah Mahendra Corp itu telah berubah menjadi kekuatan supranasional yang tak bisa diawasi.“Kita menjadi trending topic bukan karena pujian saja,” kata Noah dalam rapat utama. “Tapi juga karena rasa takut. Dunia melihat kita sebagai ancaman baru.”Arka duduk tak jauh dari ayahnya, ekspresinya kaku. Ia telah mempelajari reaksi publik, membaca lebih dari dua ratus artikel opini dalam empat hari terakhir. Kesimpulannya hanya satu—Phoenix mulai kehilangan kendali atas
Senja menyelimuti markas utama Phoenix of Gold. Gedung kaca yang menjulang tinggi itu memantulkan warna jingga dari matahari yang perlahan tenggelam. Di dalam ruang observasi, Arka duduk diam menatap layar hologram, meninjau ulang data-data yang berhasil direbut dari Leo.Di sampingnya, Vanya membungkuk memeriksa pola-pola anomali dalam algoritma yang digunakan Leo untuk menyalin blueprint milik Hydra Star Corp.“Leo bekerja sendiri?” tanya Vanya, masih menatap layar.Arka menggeleng pelan. “Enggak. Pola enkripsinya bukan gaya Leo. Ini lebih kompleks. Lebih... khas Dragunov.”Vanya menegakkan tubuh. “Tapi Dragunov udah dihancurkan, Ka. Kita sendiri yang mengakhiri jaringan mereka.”Arka mengangguk. “Iya. Tapi sisa-sisanya masih berkeliaran. Dan aku curiga... mereka tidak pernah benar-benar hancur. Hanya bersembunyi.”Belum sempat Vanya menjawab, pintu ruang observasi terbuka cepat. Gabriel masuk dengan ekspresi tegang.“Kalian harus lihat ini.”Mereka mengikuti Gabriel menuju ruang ko
Tiga minggu telah berlalu sejak insiden pelabuhan. Dunia mulai menaruh perhatian besar pada dua sosok remaja jenius, Arka Mahendra dan Vanya Laurent. Tak hanya karena keberanian mereka melawan jaringan Black Shadow, tetapi karena simbol baru yang mereka wakili—harapan generasi masa depan.Media internasional menjuluki mereka sebagai Phoenix Twins, mengacu pada nama perusahaan keluarga Arka, Phoenix of Gold, dan kebangkitan mereka dari ancaman masa lalu. Namun, bagi Arka, popularitas bukanlah sesuatu yang ia nikmati. Ia lebih memilih duduk di ruang riset, berkutat dengan sistem keamanan, memantau jejak sisa kelompok Rio yang kini menghilang dari radar.Sementara itu, Vanya, yang mulai tinggal di markas Phoenix sebagai bagian dari program rehabilitasi dan perlindungan, tak kunjung merasa nyaman. Meskipun Arka membelanya di depan seluruh dewan direksi Phoenix, beberapa anggota senior perusahaan—terutama dari pihak investor lama Mahendra Corp—masih mencurigainya.
Pagi itu, langit kota London terlihat kelabu. Kabut menyelimuti kaca-kaca pencakar langit, seolah menyembunyikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar perubahan cuaca. Di salah satu ruangan paling aman di markas Phoenix of Gold, Arka sedang bersiap untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya—keluar dari perlindungan ayahnya.Ia telah meretas jalur khusus di dalam sistem bawah tanah milik Phoenix. Jalur itu dulunya hanya diketahui oleh Noah dan Gabriel, namun kini Arka telah berhasil menciptakan duplikat pintu masuk virtualnya sendiri. Ia tahu, jika ia ingin menyelamatkan Vanya dan menghentikan Rio, ia harus melangkah seorang diri.Dengan mengenakan pakaian khusus berteknologi ringan dan chip identifikasi palsu, Arka menyelinap keluar melalui lorong belakang, diiringi suara langkah robot pengawas yang nyaris tak terdengar. Ia tidak meninggalkan pesan, kecuali surat di bawah bantalnya yang bertuliskan satu kalimat,"Jangan cari aku. Aku akan kembali saat sudah bisa m