Feyana tidak bisa tidur semalaman seusai obrolannya dengan David yang berakhir mengambang. Feyana memilih diam meninggalkan David di dapur, lalu masuk kamar.
Pagi ini, Feyana keluar kamarnya dengan wajah kuyu karena kurang tidur. Ia duduk di sebelah ayahnya yang sedang sarapan pagi.
“Bagaimana tidurmu?” tanya ayahnya menyapa ringan.
Feyana tersenyum sebentar lalu menyahut, “Cukup nyenyak. Oh iya, aku ingin bicarakan soal perjodohanku dengan David...,”
Erik langsung meletakkan sendoknya ke piring dan menatap sepenuhnya ke Feyana yang ada di sampingnya. “Lanjutkan! Apa kamu mau terima atau menolaknya, Fey? Ayah janji takkan masalah dengan apapun keputusan yang kamu buat,” ucapnya memberikan keyakinan agar Feyana tidak takut mengutarakan pendapatnya.
Feyana meneguk ludahnya susah payah. Lalu, sebelum dia kembali buka suara, seseorang lebih dulu menginterupsinya.
“Halo, apa kabar? Sudah lama tidak berjumpa denganmu, Feyana. Apa kamu tidak rindu dengan ibumu ini?” sapa orang itu yang sudah mengambil tempat di depan Feyana dan ayahnya.
Nafas Feyana tercekat melihat ibu tirinya yang sama sekali tak disukainya. Karena ibu tirinya menjadi alasan kenapa dirinya memutuskan pergi dari rumah. Karena perempuan licik itu berhasil memperdaya dan merebut atensi ayahnya Feyana, sehingga membuatnya muak.
Emily—ibu tiri—tersenyum smirk ketika melihat tatapan Feyana yang berpendar gelisah ketika melihatnya. Emily lebih cocok menjadi kakaknya, ketimbang ibu tiri Feyana.
Berusaha terlihat perhatian pada putrinya, Emily mengambilkan nasi dan lauk ke piring Feyana yang masih kosong. Dengan wajah yang memperlihatkan senyum kepalsuan, Emily sempatkan mengusap kepala Feyana.
“Aku senang dapat kabar bahwa dirimu kembali lagi ke rumah ini. Tapi, aku juga ikut prihatin mendengar bahwa kamu dan Randy sudah bercerai. Kalian dulu terlihat sangat harmonis, bahkan demi cintamu pada Randy, kamu rela pergi meninggalkan rumah, Feyana,” ucap Emily disertai isakan sedih yang dibuat-buat.
Feyana hanya mampu meringis saja menanggapinya. Ia tak terlalu senang Emily sok ikut campur perihal kehidupannya.
Melihat suasana berubah tidak mengenakkan, Erik berinisiatif memulai obrolan ringan bersama dua wanita yang sangat penting di hidupnya.
“Feyana, bagaimana dengan keputusanmu soal perjodohan dengan David? Tadi dirimu ingin bicarakan hal itu, tapi terhenti,” celetuk Erik kembali memakan makanannya.
Emily yang mendengar hal itu langsung dibuat terhenyak, tak menyangka bahwa putri tirinya sudah dapat pengganti pria lain. Ia langsung saja menyerbu Feyana dengan pertanyaan-pertanyaan perihal siapa David dan bagaimana mereka bisa bertemu. Tentu saja bukan karena kepeduliannya akan hidup Feyana, tapi rasa penasarannya semata.
“Aku sudah bisa tebak bahwa, David pastilah pria tampan dan mapan. Karena tidak mungkin seorang pria dalam kasta rendah akan berani melamarmu, terlebih melihat dari kekayaan keluarga kita. Dan satu lagi, apa yang kamu miliki sampai pria macam David bisa mengincarmu? Apa karena harta juga, sama seperti Randy?” umbar Emily terdengar renyah dan bersemangat berkomentar.
Feyana langsung menggebrak meja dan berdiri dari tepatnya, menatap nyalang ke arah ibu tirinya yang tampak santai menyantap makanan.
“Jangan pernah urusi hidupku! Sudah kuperingatkan sejak dulu, bahwa aku tidak akan pernah menerimamu jadi pengganti ibuku.”
Pekikan Feyana menggelegar di ruang makan, hingga membuat beberapa pembantu ikut mendengarnya. Erik yang melihat Emily menahan malu dibuat geram dengan tingkah putrinya.
“Kembali ke kamarmu sekarang, Feyana!” bentaknya murka membuat Feyana tersentak.
Dengan langkah menghentak dan tanpa pembelaan apapun, Feyana masuk ke kamarnya. Ia langsung mengunci dirinya di dalam dan merutuki ibu tirinya. Kejadian ini, sudah sering ia rasakan dulu, dan sekarang ia akan kembali merasakannya lagi.
Ia marah karena ayahnya tak pernah mau mendengarkannya. Ayahnya selalu saja membela Emily, ketimbang dirinya. Padahal, tidak semuanya salah Feyana, melainkan Emily yang juga sering memprovokasinya, membuatnya kehilangan kesabaran dan berakhir menghujatnya di depan ayahnya.
Feyana memukuli bantal di genggamannya dan sesekali mencakarnya, melampiaskan amarahnya yang membuncah.
‘Tok, tok, tok’
Suara ketukan di pintu kamarnya, tidak diindahkan oleh Feyana. Ia pikir itu ayahnya yang berusaha menenangkan dirinya, namun akan berakhir dengan dirinya yang harus mengalah pada ibu tirinya. Untuk itulah, ia malas untuk membukanya.
“Feyana, mau sampai kapan kamu membiarkanku mengetuk pintu? Tanganku sudah pegal-pegal ini,” celetuk suara dari luar.
Feyana langsung bangun dari kasurnya, sedikit berlari untuk segera mendekati pintunya. Menempelkan daun telinganya ke arah pintu, meyakinkan bahwa itu suaranya David.
“David? Kamukah itu?” tanyanya tak yakin.
“Menurutmu?—Kamu memangnya berharap siapa?” sahut suara di luar.
Feyana tertawa tanpa sadar. Ia membukakan pintu kamarnya, mempersilakan David untuk masuk. Tak lupa mengunci kembali pintunya, sebab tak ingin siapapun menerobos masuk ke kamarnya tanpa izin.
David menyelonong dan mengambil duduk di sofa yang ada di kamar itu. Memberikan tatapan datar ke arah Feyana yang malah salah tingkah karena sikapnya.
“Ada apa?” tanya Feyana yang duduk di sofa sebelah David.
Feyana berusaha tidak bertatapan mata dengan David. Ia yakin pria itu pasti tengah menjuruskan tatapan intimidasinya pada dirinya.
David mendekatkan tubuhnya pada Feyana, mengelus sensual pipi kanan Feyana yang tentu saja langsung membuat empunya meremang. Feyana lekas menoleh padanya, barulah setelah itu David menghentikan aktivitasnya dan mendapatkan atensi Feyana.
“Ketika aku bicara, maka tatap diriku! Jangan memalingkan wajahmu dariku, mengerti?” ujarnya tersenyum tipis lalu duduk kembali seperti semula.
Feyana hanya diam mengulum bibirnya. Memberikan tatapan dan atensinya pada David agar pria itu puas.
“Ada apa ke mari?” tanya Feyana untuk ke sekian kalinya. Jika David masih tidak menjawab, ia akan mengusir pria itu pergi dari kamarnya.
Namun jawaban dari David malah membuatnya tercenung beberapa saat. Ia tak sangka pria ini akan berkata demikian.
“Ingin menemanimu bertemu ibumu. Sekaligus, aku juga mau meminta izinnya untuk meminang putri tercintanya ini. Bukankah kamu menginginkan aku melakukan hal itu lebih awal?”
“Sean, ayo cepat keluar! Nanti terlambat ke sekolah, loh,” panggil Feyana yang sudah rapi berdiri di samping mobilnya. Ia beberapa kali melihat jam tangannya sambil berdecak resah karena rapat di kantornya akan dimulai sebentar lagi.Sean tampak keluar dari rumah dengan tas ransel yang hanya disampirkan di satu lengannya seraya berlari tergesa-gesa mendekati ibunya yang tampak kesal.Feyana melipat kedua tangan di dada sambil memicingkan mata ketika putranya itu berdiri di hadapannya. Bukannya merasa bersalah, Sean malah meringis menunjukkan deretan gigi rapinya itu, bermaksud membuat ibunya terbuai. Namun Feyana hanya diam melihatinya yang kemudian tampak salah tingkah.“Iya, maafkan aku, Mah. Tadi Sean bangunnya telat jadi terlambat begini. Sekarang, ayo berangkat keburu mamah ikutan telat ke kantornya!” elak Sean terdengar jujur.Feyana menjitak pelan kepala Sean sambil mendengus, “Makanya jangan begadang cuman untuk main game terus! Kamu pikir mamah gak tau kalau tiap malam kamu it
“Maaf, tapi kami sepakat untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut. Bisakah, Anda menghargai privasi keluarga kami?!” sahut David menatap lurus dengan rahang yang mengeras pada wartawan itu.Wartawan yang mengajukan pertanyaan tampak gugup. Ia menatap ke arah teman-temannya yang sesama wartawan untuk minta bantuan, tapi tak ada satupun yang menghiraukannya. Mereka semua tentu tak mau berurusan dengan keluarga David yang akan merusak karier mereka dalam bidang ini. Tamat sudah riwayat wartawan wanita ini.David menyuruh seorang sekuriti yang berdiri tak jauh darinya. Hanya dengan jari telunjuknya, sekuriti itu mendekatinya dan mendengar bisikan David dengan baik. Sesuai perintah yang baru saja ia dapat dari atasannya, sekuriti itu berjalan mengendap lewat pintu belakang untuk membawa wartawan wanita tadi pergi meninggalkan ruangan.David kemudian memandang Feyana lalu memberinya anggukan meyakinkan bahwa semuanya akan aman.“Aku harap ini jadi pembelajaran bagi kalian semua untuk berhat
Feyana memandang nanar pada timbunan tanah yang ber-nisankan nama Sabrina. Air matanya terus bergulir meski sudah berulang kali diusap oleh suaminya yang berada di sampingnya. Kedua tangan Feyana sibuk menggendong Sean yang sedari tadi menangis. Sepertinya, bocah kecil ini menyadari bahwa ibunya sudah takkan lagi ada di dunia ini untuk menemaninya.Sayangnya Norma dan Imelda tidak bisa ikut ke pemakaman karena situasi mereka yang masih menjadi tahanan. Tentu saja ketika mendengar kabar kematian Sabrina dan kenyataan soal penyakitnya itu dari Feyana, mereka berdua sangat terpukul. Keduanya tak menyangka Sabrina tega menutupi kebenaran yang amat menyakitkan itu hanya agar tak membuat mereka khawatir.“Fey, ayo pulang. Kasihan Sean jika terus di sini, apalagi langit mulai mendung.” David mengajak Feyana pulang karena mereka sudah sangat lama di sana. Dirinya kasihan melihat wajah sembab istrinya dan tangisan pilu Sean yang tak kunjung reda.Feyana inginnya masih tetap di sana, namun meli
“Aku tak tahu pada siapa harus menitipkan Sean. Aku hanya percaya padamu, Fey.”Ucapan Sabrina itu terus-menerus terlintas di kepala Feyana. Ia pun berjalan tanpa minat ketika keluar dari rumah sakit, bahkan dia tak mengacuhkan David yang sedari tadi menatapnya penasaran. David ingin bertanya apa yang Feyana bicarakan dengan Sabrina sampai membuatnya tak fokus seperti sekarang, tapi melihat ratapan suram di mata Feyana membuatnya mengurungkan niat bertanya.“Fey, biar aku antar ke kantor aja, gak usah bawa mobil. Biar nanti si Joshua aku suruh ambil mobilmu di sini,” sergah David tidak yakin dengan Feyana yang kurang fokus ketika nanti menyetir di jalan.Feyana menggeleng dan ingin tetap menyetir sendiri, namun David mencegahnya dengan mengambil kunci mobilnya lalu menggandengnya agar masuk ke mobil David.“Aku tidak mau ambil risiko kamu kenapa-napa kalau tetap memaksa menyetir sendiri. Kita langsung menuju kantormu saja, aku antar,” tegas David tanpa boleh dibantah.Ketika sudah dud
Sabrina menatap nanar pada Feyana yang diam kaku tak berkutik setelah mendengar permintaannya yang terdengar gila. Sabrina akui dia tak memiliki siapapun yang bisa dipercayainya, bahkan keluarga saja sudah tak punya. Dirinya hanya memiliki Sean yang terpaksa dititipkannya di panti asuhan selama ia menjalani proses hukuman penjara.“Hanya kamu yang terlintas di pikiranku, Fey. Aku tentu takkan rela berikan hak asuh Sean pada ayahnya, si Leon. Bahkan pria itu saja tak tahu bahwa dia memiliki putra.”“Apa kamu sudah memikirkan keputusanmu itu matang-matang? Aku bukan beralasan mau menolak, tapi tanggung-jawab ini terlalu besar. Apa kamu seyakin ini padaku? Dan mau sampai kapan kamu menutupi kebenaran bahwa Sean adalah darah dagingnya Leon? Tidak ada yang bisa menutupi rahasia selamanya, Na.”Feyana mengusap air mata yang merembes di pipi Sabrina dengan sebelah tangan yang tidak digenggam oleh Sabrina. Baru kali ini ia melihat kesedihan teramat dalam di wajah Sabrina yang tergambar jelas.
Feyana pagi-pagi sudah gaduh tak karuan, membuat suaminya yang masih nyenyak bergelung di selimut merasa terusik. Sambil memperhatikan Feyana bolak-balik di kamar, David menegurnya perlahan.“Ada apa panik banget, sih? Gak biasanya kamu begini.’”Feyana hanya menoleh sekilas pada suaminya yang masih bersantai di kasur. Ia menjelaskan dengan sekedarnya kalau mendapat kabar jika Sabrina, salah satu temannya yang ada di sel penjara waktu itu sekarang sedang menjalani perawatan di rumah sakit, bahkan sampai harus opname.“Kalau sampai opname begitu, berarti sakitnya serius. Aku mau ke sana untuk melihat kondisinya. Semoga saja Sabrina tidak apa-apa,” lontar Feyana lalu menyabet tasnya yang ada gantungan.“Aku berangkat dulu, ya. Bye!” ujarnya sambil menyempatkan diri memberikan ciuman selamat pagi untuk David.David menghela napas salut pada Feyana yang tampak sangat peduli pada temannya yang satu sel dengannya itu. Bahkan sejak keluar dari penjara dirinya membuat jadwal rutin untuk menje