Setibanya di rumah, sudah ada dua orang berpakaian serba hitam yang berdiri di depan rumahku. Seram dan menakutkan. Aku tidak pernah melihat mereka sebelumnya. Dari gaya berpakaiannya, aku yakin mereka adalah para penagih hutang."Selamat pagi, Bu!" sapa seseorang yang wajahnya paling menakutkan."Pagi. Ada apa, ya, Pak?" tanyaku heran. Sepanjang ingatanku, aku sudah mendatangi semua orang-orang tempat Mas Akmal meminjam uang. Aku sampaikan pada mereka bahwa semua sangkutan Mas Akmal bukan lagi menjadi tanggung jawabku sejak dilontarkannya kata talak tempo hari. Tapi mereka? Aku sama sekali tidak tahu siapa kedua lelaki bertubuh tegap ini."Perkenalkan, Bu. Saya Romi. Kami DC dari Koperasi Dompet Hitam, datang ke sini untuk menagih cicilan Pak Akmal yang sudah tertunggak selama empat bulan. Kami sudah memberi peringatan dan tempo baginya untuk menyicil, namun sepertinya yang bersangkutan sengaja lari dan tidak ingin bertanggung jawab. Ia bahkan memblokir kontak kami," papar lelaki itu
"Rum, lihat ke belakang. Dari tadi, ada yang gak berkedip melihat kamu," bisik Bu Fitri tersenyum geli. Karena penasaran dengan yang dikatakannya, aku lantas menoleh ke arah yang ditunjuk wanita itu dengan matanya."Deg." Denyut jantungku seolah terhenti detik itu juga ketika mata ini menangkap sosok yang tidak kuharapkan.Di bawah sana, berdiri seseorang yang dulu pernah bertahta di hati ini. Ia lelaki yang pernah menanam ribuan bunga asmara di taman hatiku. Sayangnya, ia pula yang merusaknya sehingga bunga yang terlanjur mekar berubah layu seiring kelopak yang gugur bertebaran.Matanya nanar memperhatikanku. Aku yang merasa tak nyaman, lantas berpaling detik itu juga."Maaf, Rum. Abisnya Ibu kasihan, takutnya sampai kebawa mimpi, hehe" sesal Bu Fitri yang langsung menyadari perubahan raut wajahku. Aku tidak marah, hanya saja merasa sial karena berjumpa dengannya. Padahal aku sengaja datang lebih sore agar menghindari pertemuan macam ini."Ya sudah, Bu. Arum turun, ya," ucapku karena
'Ih ... benar- benar kelewatan kalian, ya. Untunglah Arum sudah bukan menantu di rumah itu. Kalau tidak, bisa gil* dia jika seumur hidup terus berurusan dengan keluarga macam kalian, benalu!" teriak Bu Salamah seraya memencongkan bibirnya. Saking geramnya wanita itu tidak lagi menunjukkan wibawanya sebagai seorang istri kepala desa.Mbak Rima berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Bu Salamah, namun tenaganya tidak cukup kuat karena terhalang oleh sepatu high heels ukuran sepuluh centi yang dipakainya. Wanita itu hanya mampu menggoyang-goyang tubuh bagian atasnya sementara tumit sepatunya tertancap kuat di tanah yang agak gembur."Aaaaaaaa ... gubrak!" Mbak Rima terjatuh saat tanpa aba-aba, Bu Salamah melepas cengkeramannya dari bahu wanita itu. Tubuhnya ambruk ke tanah sedang pergelangan kakinya tertekuk paksa karena tumit sepatunya hampir terpendam seluruhnya."Aduuuh sakiittt ...." ucapnya seraya memejamkan kedua mata karena mungkin tungkainya terasa keseleo. Ia mengelus-elus ka
POV Akmal"Kenapa kakimu, Mal?" tanya Ibu sore itu saat melihatku berjalan dalam keadaan pincang sebelah. Saat itu Ibu sedang duduk di ruang tamu dengan wajah yang ditekuk."Eumm, gak apa- apa, Bu. Tadi kakiku kesandung batu, jadi cedera sedikit," ucapku menutupi penyebab sebenarnya. Aku tidak mungkin memberitahukan Ibu tentang penyebab sesungguhnya. Selain gengsi, aku juga tak ingin memperlihatkan pada Ibu, bahwa diri ini masih belum bisa move on dari mantan istriku -- Arum.Perlahan, kulepaskan sepatu hitam kebanggaanku karena harganya yang mahal. Lalu terlihatlah memar di kaki kiriku akibat terlindas ban motor Arum tadi. Kupikir mantan istriku itu tidak akan bernyali untuk menabrakku, rupanya ia betul-betul nekat padahal aku belum memasang aba-aba untuk menghindar."Mal, tadi kamu lihat Arum, gak?" tanya Ibu seraya menatap kosong ke arah dinding rumah yang catnya mulai mengelupas. Ada pula seekor laba-laba yang sedang membuat jaringnya di samping jaring laba-laba lain. Sepertinya r
Aku tahu para karyawan showroom dan bengkel selalu tertawa di belakangku. Omelan Firda padaku seolah menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Hanya beberapa orang saja yang mau menatap iba padaku. Sekali lagi, ini demi Ibu. Juga dengan harapan agar suatu saat Firda mau berubah dan menghargai aku.Dengan memendam rasa malu aku terus membersihkan kaca berukuran besar di depan bangunan ini. Menggerus noda dan debu yang menempel selama tiga hari belakangan. Dinding kaca ini selalu dibersihkan secara rutin oleh karyawan Firda. Tapi, malah menjadi tugasku hari ini. Mungkin seterusnya.Saat tugasku sudah separuhnya selesai. Tibalah mobil X-Pander berwarna hitam milik mertuaku. Ia berhenti tepat di depan bengkel. Lalu disusul oleh mobil sejenis berwarna putih mengkilap. Kedua mertuaku turun tapi tetap berdiri di sana. Sepertinya ada yang sedang mereka tunggu. Tak lama turunlah dua orang penumpang laki-laki dan tiga perempuan dari mobil di belakangnya tadi. Lalu mama dan papa mertuaku menyambu
Aku sudah berangkat setelah menghabiskan sarapan yang disediakan Ibu. Firda pun sudah tertidur lagi dan tak sempat menemaniku sarapan. Tak apalah, istriku pasti sangat lelah. Karena aku begitu bersemangat tadi malam. Aku ingin agar usahaku kali ini untuk segera memiliki anak membuahkan hasil. Aku tak sabar ingin segera merasakan menjadi seorang ayah, menimang bayi kecil buah cinta pernikahan. Walaupun kesempatan itu sudah pernah kurasakan dari pernikahan sebelumnya, namun karena kecerobohan Arum, aku gagal dan tak sempat melihat anak itu lahir ke dunia.Tak bisa kubayangkan betapa bahagianya aku jika sudah menjadi seorang ayah. Aku akan pamerkan pada Arum bahwa aku memiliki keluarga yang lengkap, bahkan tak sampai menunggu sampai setahun pernikahan. Dia pasti akan menangis menyadari kekalahannya. Aku menang. Ya, aku menang banyak darinya.Aku tiba dengan mengendarai mobil merah milik Firda. Aku sudah leluasa menggunakan mobil ini kapan pun aku mau. Firda tak pernah protes, ia pun sud
Sinar mentari mengintip melalui celah jendela. Dinginnya sisa udara malam masih terasa saat aku mulai membersihkan diri di kamar mandi. Guyuran air yang masuk ke pori-pori tubuh membuat badanku semakin menggigil kedinginan. Aku terpaksa bangun sepagi ini, karena sejak semalam mataku enggan terpejam. Pikiranku seakan menolak untuk diajak ke alam bawah sadar. Bayang-bayang Arum senantiasa mengajakku untuk kembali mengenang masa lalu. Malam ini aku seolah mengulang kembali peristiwa bersejarah itu. Dimana malam terasa sangat panjang dan mentari enggan menyambut gelap. Jantungku berdegup kencang menanti hari esok, hari dimana aku merafalkan Ijab Qabul untuk menjadikan Arum sebagai makmumku.Kali ini, jantungku berdegup seakan berpacu oleh masa. Aku ingin menarik mundur waktu agar tak ada lagi hari esok. Berharap tak ada juga yang merafalkan Ijab Qabul di samping Arum seperti yang kulakukan dulu.Kupacu mobil membelah jalanan kota kemudian masuk ke area perkampungan tempat di mana aku pe
"Kamu turun, aku mau pulang ke rumah Mama!"Hardik Firda yang duduk di belakangku. Itulah kalimat pertama yang tercipta setelah hampir setengah jam kami tenggelam dalam kebisuan.Ia menatapku penuh benci."Apa kau ingin terus tinggal dengan orangtuamu tanpa kembali lagi ke rumah Ibuku?" Aku memulai pertanyaan setelah ia tadi memaksaku masuk untuk bicara. Padahal, tak ada lagi yang harus dibicarakan.Wanita itu menyorotku tajam dengan pandangan yang menghujam tepat ke ulu hati. Bara kemarahan terpancar dari retinanya yang masih basah.Aku pun sungguh tak bisa menyembunyikan mendung yang singgah di hatiku sejak pertama menginjakkan kaki di tempat ramai itu. Ditambah lagi kejadian yang dianggap telah mencoreng nama baik Papa Mahendra serta meruntuhkan harga diriku.Bagaimana aku terus diam, saat diriku dihujam oleh pandangan merendahkan dari berbagai pasang mata, bisa-bisanya Firda malah berpelukan dengan lelaki lain seumuran ku yang baru saja tiba di tempat itu."Waduh, lihat itu istrimu