Beranda / Romansa / Istriku Tak Bodoh / 6. Pembelaan Ibu

Share

6. Pembelaan Ibu

Penulis: Nur Hikmah
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-25 23:17:04

Bagian 6

Pov: Mila

"Assalamualaikum ...."

Suara pintu dibuka dan seseorang mengucap salam terdengar. Aku yang sedang menemani Radit bermain, berdiri dan melangkah ke sumber suara. Sosok wanita paruh baya menenteng rantang susun tengah melangkah dengan mata seperti mencari penghuni rumah ini. Dia Ibu dari Mas Ben, Ibu mertuaku, Neneknya Radit.

"Waalaikumsalam!" ucapku menimpali.

Aku segera berdiri. Menghampirinya dan meraih jemarinya yang kemudian kukecup lembut.

"Ibu kenapa tidak bilang dulu kalau mau ke sini? 'Kan bisa aku jemput. Ke sini naik apa, Bu? Bawa mobil sendiri?" kataku lalu segera menenteng rantang yang Ibu bawa, kemudian menggandeng tangan ibu dan melangkah mendekati Radit yang tengah asik bermain.

"Ibu masih trauma kalau bawa mobil sendiri. Sekarang 'kan mudah, pesan taksi online, langsung naik dari depan rumah. Jadi tidak perlu dijemput lagi. Ibu yang mau main ke sini kok, malah kamu yang repot jemput!" ujar Ibu menepuk pelan lenganku dengan tersenyum.

Radit sangat senang ketika tahu Ibu datang. Dilepasnya mainan yang ia pegang dan berlari memeluk erat tubuh Ibu yang sengaja ia bungkukan.

"Nenek ...."

"Radit lagi main apa, sih? Nenek lihat, sepertinya tadi seru sekali mainnya."

"Mobil, Nek."

Kini Radit sudah digendong Ibu. Wajahnya riang. matanya berbinar dan bibirnya merekah, tak henti menyunggingkan senyum. Kuajak Ibu yang tengah menggendong Radit mengikutiku ke ruang depan untuk duduk.

"Ibu bawakan capcay baso udang, omelet isi makaroni dan sosis, juga semur ayam kesukaan Radit. Nanti suruh makan dengan itu saja, ya, Mila!"

"Iya, nanti aku suapin Raditnya. Bagaimana dengan rumah makan Ibu? Makin ramai?"

"Alhamdulillah, Mil! Rencana, minggu depan Ibu mau buka cabang baru lagi. Doakan agar lancar, ya!"

Mendengar Ibu yang terlihat bahagia saat bicara soal rumah makannya, aku ikut tersenyum, merasakan kebahagiaan yang saat ini ibu rasakan.

"Alhamdulillah ...."

Ibu memang hobi memasak. Ia sangat suka membuat apapun yang bisa dimakan. Bukan hanya hobi, tapi Ibu ahli dalam hal memasak. Apapun masakan, makanan, dan kue yang Ibu buat, pasti selalu enak dan lezat.

Dari hobi dan keahliannya itulah, satu minggu sebelum Radit lahir, Ibu memberanikan diri membuka rumah makan yang lumayan besar dengan dirinya sendiri menjadi koki. Baru satu bulan rumah makan diresmikan, rumah makan selalu penuh pada jam makan siang dan malam. Di luar jam makan pun, selalu saja ada pembeli. Tak pernah sepi.

Hingga dalam empat tahun ini, Ibu sudah berhasil membuka tiga cabang rumah makan yang ia kelola dari hasil kerja keras dan jerih payahnya.

Ibu seorang janda yang memilih perceraian daripada harus mengizinkan suaminya menikah lagi. Ibu berpisah dengan Bapak ketika Mas Ben masih berusia sepuluh tahun. Tapi karena semangat dan perjuangan Ibu yang ingin melihat Mas Ben sukses, Ia berusaha mati-matian menghidupi keluarga dengan bekerja sebagai juru masak di kantin salah satu perusahaan yang menyediakan makan untuk para karyawannya.

"Sebentar lagi Radit ulang tahun ya, Mil?"

"Iya, Bu. Dua belas hari lagi."

"Ben, gimana? Pas waktunya pulang?"

"Iya," kataku datar.

Dari sikapnya yang biasa-biasa saja, Ibu pasti belum tahu masalah aku dan Mas Ben. Tapi, biar bagaimanapun juga, Ibu harus tahu. Karena Ibu, orangtua Mas Ben. Dia harus tahu semuanya. Termasuk aku yang ingin meminta cerai karena Mas Ben sudah mengkhianatiku, menikah lagi dengan wanita lain secara diam-diam.

"Bu ...," kataku hati-hati.

"Ya?"

Ibu yang tengah memangku dan mengajak main Radit langsung menoleh ketika mendengar aku memanggilnya.

"Bisa titipkan Radit dulu ke Mbak Siti? Aku mau bicara berdua saja dengan Ibu."

"Sepertinya penting sekali. Ya sudah, panggil Mbak Siti nya!"

Aku bangkit, beranjak dari dudukku. Melangkah ke belakang, mencari Mbak Siti. Biasanya sehabis masak untuk makan siang, Mbak Siti pasti langsung menyetrika pakaian yang kemarin dijemur. Sementara Ibu masih terus mengajak Radit bermain di pangkuannya.

Benar saja, Mbak Siti tengah asik memaju-mundurkan setrika di atas pakaian.

"Mbak," kataku ketika sudah di hadapannya.

"Eh ... Ibu? Ada apa, Bu? Sampai disusul ke sini?"

Mbak Siti menghentikan gerakan tangannya saat tahu aku sudah di depannya.

"Itu ditunda dulu. Diteruskan nanti saja. Mbak ajak main Radit dulu ya, di kamarnya! Saya ada keperluan dengan Neneknya Radit."

"Oh ... Maksudnya, Ibu mau ke rumah Bu Ida?"

"Bukan, Mbak. Ibu ada di sini. Saya mau mengobrol penting dengan Ibu tanpa melibatkan Radit."

"Owalah! Jadi ada Bu Ida datang? Dari kapan, Bu? Kenapa Ibu tidak panggil saya? Sampai tidak di siapkan minum 'kan jadinya untuk Bu Ida!" kata Mbak Siti yang merasa bersalah.

"Aman, Mbak! Soal minum, mah, aman! Sudah, yuk. Bawa Radit ke kamarnya!"

Aku tersenyum melihat sikap Mbak Siti yang seperti ketakutan. Ia takut kena marah dengan Ibu, karena tidak siaga dengan tamu yang datang. Padahal, Ibu tak segalak yang ia takutkan.

***

Setelah Radit diajak Mbak Siti ke kamarnya. Aku dan Ibu pindah ke halaman belakang rumah. Tepat di bawah pepohonan yang rindang dan di kelilingi bunga yang sengaja kutanam, aku dan Ibu duduk di kursi yang biasa berjejer di taman-taman.

"Ada apa, Mil?" kata Ibu dengan wajah kulihat sangat ingin tahu.

Aku menghela nafas. Rasanya sangat sulit menceritakan hal yang pahit ini pada Ibu. Aku tahu, Ibu pasti akan sangat kecewa mendengarnya. Tapi aku harus tetap memberitahukan hal ini pada Ibu. Aku tak mau sewaktu-waktu aku yang akan disalahkan nantinya karena mencoba diam.

"Mila?" kata Ibu lagi.

"Mas Ben, Bu."

"Kenapa dengan Ben?"

"Mas Ben sudah menyakiti hatiku. Dia mengkhianatiku dan menikah dengan wanita lain tanpa sepengetahuanku. Aku dan Mas Ben akan segera bercerai."

Air mataku benar-benar tak bisa kutahan. Aku bicara sambil menatap wajah Ibu di hadapanku, yang membuat hati ini semakin sakit. Buru-buru kuseka air mata yang terlanjur menetes. Aku tak mau terlihat lemah di depan Ibu. Di depan orangtua Mas Ben. Sesayang apapun Ibu denganku dan Radit, sebagai orangtua, ia pasti akan tetap membela anaknya, meski anaknya telah berbuat salah. Itu yang aku takutkan.

"Ben menikah lagi? Dengan siapa? Kamu dapat kabar darimana, Mil? Jangan langsung percaya begitu saja dengan kabar yang belum tentu kebenarannya! Ben anak baik, ayah yang penyayang, suami yang bertanggung jawab! Mana mungkin dia seperti itu?"

Kuperlihatkan foto-foto pernikahan Mas Ben yang ada dalam ponselku. Ibu menutup mulutnya yang menganga ketika baru saja melihat fakta yang mengejutkannya. Ia menggeleng, seperti tak percaya dengan foto-foto yang baru saja ia lihat di layar ponselku.

"Mas Ben memang sudah menikah lagi, Bu! Mas Ben memang suami yang bertanggung jawab soal nafkah untuk keluarga. Tapi tidak dengan ikrar janji suci pernikahannya!"

Wajah Ibu yang kulihat terkejut, kemudian berubah tersenyum. Ia menggenggam erat jemariku. Membuatku bertanya-tanya atas sikapnya.

"Begini Mila, suami yang bertemu istri setiap hari saja masih bisa merasa bosan. Apalagi Ben, yang hanya bertemu kamu setiap tiga bulan sekali. Dia laki-laki. Tidak akan bisa menahan hasratnya yang memang harus tersalurkan. Wajar kalau Ben menikah lagi. Laki-laki itu dibolehkan memiliki lebih dari satu istri. Tidak usah bercerai. Jalani saja takdir kamu dan Ben. Takdir yang mengharuskan kamu di madu. Sepanjang Ben tetap memberimu dan Radit nafkah, ikhlaskan saja!"

Kata-kata Ibu membuat air mata yang tadinya berhenti menetes, kini kembali menyembul keluar. Aku tak percaya Ibu dengan entengnya berkata aku harus ikhlas dimadu. Aku tidak terima dengan apa yang Ibu katakan kepadaku. Rasa takutku kini terbukti, Ibu pasti akan tetap membela Mas Ben, meski di sini Mas Ben benar-benar salah. Alasan apapun itu, perselingkuhan tetaplah salah.

Kuseka lagi airmataku dengan kasar. Aku tersenyum menatap Ibu. Kulepaskan genggaman tangannya.

"Aku tahu, Bu. Di dalam dasar hati Ibu, Ibu menentang keras apa yang sudah Mas Ben lakukan. Hanya karena demi harga diri seorang anak, Ibu rela menyebut perbuatan Mas Ben yang jelas-jelas salah dalam agama maupun hukum, karena selingkuh dan menikah diam-diam tanpa persetujuan dari istri pertamanya, itu sebuah kewajaran. Takdir yang harus aku terima! Bagaimana dengan rumah tangga Ibu dulu dan Bapak? Kalau Ibu bilang itu hal wajar, kenapa Ibu tak terima dan memilih bercerai saat Bapak meminta Ibu untuk mengizinkannya menikah lagi? Maaf, Bu. Aku bukan wanita bodoh yang mau dimadu dengan cara kotor seperti ini!" kataku dengan suara sedikit ditekan dan bibir yang masih tetap memperlihatkan senyuman.

Tak menunggu jawaban dari Ibu. Aku bangkit dan pergi melangkah dengan cepat, meninggalkannya sendirian yang masih terpaku usai mendengar kata-kataku yang panjang tak terputus.

=====

Bersambung ....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istriku Tak Bodoh   17. Hutang Membuat Ben Menalak Fika

    Bagian 17Pov: FikaKudengar Mas Ben tengah mengobrol dengan Ibu mertuaku melalui ponsel. Wajah Mas Ben terlihat begitu senang. Obrolan yang kudengar serius diselingi sedikit candaan dari Mas Ben, membuatku penasaran.Ketika Mas Ben selesai mengobrol dan mematikan ponselnya. Aku menghampirinya."Mas ... sepertinya seru sekali obrolannya? Ada apa?" kataku yang langsung ikut duduk saat Mas Ben kembali duduk."Rumah makan Ibu yang di Bandung 'kan tidak ada yang mengurusi. Omzetnya juga menurun belakangan ini. Memang rencananya sih, pembukaan cabang baru rumah makan Ibu yang kemarin sebagai ganti rumah makan yang di Bandung ini. Karena mau dijual. Tapi baru sekarang terjualnya," kata Mas Ben yang kemudian kembali menatap layar ponselnya.Seperti angin segar saat mendengar Mas Ben bercerita. Kalau rumah makan itu sudah terjual, berarti Ibu mertuaku sedang memegang uang banyak. Rumah makan Ibu mertuaku semuanya besar. Bisa dipastikan berapa uang y

  • Istriku Tak Bodoh   16. Resmi Bercerai

    Bagian 16 Pov: Mila "Aku tidak rela, Mil! Aku tidak rela kita pisah! Akan kubuat kamu menjanda seumur hidupmu! Kamu tidak akan pernah bisa bahagia. Tanpa aku!" teriak Mas Ben tidak terima. "Semua sudah keputusan pengadilan. Satu hal yang harus kamu tahu, Mas. Aku justru akan lebih bahagia setelah ini. Karena Allah, akan selalu memberikan jalan yang baik untuk orang-orang yang baik dan terdzalimi!" kataku yang kemudian tersenyum di hadapannya dan kemudian berlalu meninggalkannya. Setelah sidang perceraian selesai, dan Mas Ben juga mengajukan banding, hasil keputusan persidangan adalah aku dan Mas Ben resmi bercerai. Rasanya hati benar-benar plong. Sudah tidak ada lagi batu besar yang mengganjal hingga membuatku sesak. Hari ini, aku resmi menyandang status janda. Akan kubuka lembaran baru. Lembaran kehidupan yang masih putih, tanpa goresan. Entah apa yang akan membuat lembaran itu berwarna kembali. Dengan goresan-goresan pena kehidupan yang akan

  • Istriku Tak Bodoh   15. Restu Mama

    Bagian 15Pov: JonasKata-katanya kudengar seperti batu besar yang menikam hati ini hingga begitu keras kurasakan.Patah hati karena ditolak mentah-mentah oleh Mila, membuatku kehilangan arah. Aku sangat berharap jawabannya akan melambungkan hati ini. Menggempur jiwa yang sebelumnya telah rapuh. Baru kali ini seorang wanita menolak cintaku. Menolak keinginanku.Mila sangat berbeda dengan wanita kebanyakan. Bukan hanya wajah cantiknya yang dapat mengalihkan hatiku dari dunia di sekelilingku. Sikap tegas, juga kepribadiannya yang sulit ditebak dan dijamah, membuatku ingin cepat-cepat merengkuh hatinya.Aku tidak akan menyerah. Penolakan ini merupakan acuanku untuk tetap terus mencari celah agar bisa masuk ke bagian dari kehidupannya.Bodoh sekali aku! Jelas-jelas aku tahu, tipe seperti Mila, bukan tipe wanita yang mudah jatuh kepelukan laki-laki. Apalagi dia masih berstatus istri orang! Akkhhh! Pasti dia mengira aku memang sudah benar-benar gi

  • Istriku Tak Bodoh   14. Debat Berujung Pernyataan Cinta

    Bagian 14Pov: MilaMelihat Radit di kamar yang tengah tertidur. Membuat dadaku sesak menahan isakkan tangis agar tak bersuara. Kutatap lekat-lekat wajahnya yang polos. Radit sama sekali tidak tahu bahwa sebentar lagi, Ayah dan Bundanya akan berpisah. Aku benar-benar tak bisa membayangkan jika suatu saat nanti Radit tahu yang sebenarnya. Hati dan jiwanya pasti akan sangat terpukul."Maafkan Bunda, ya, Nak! Maafkan Bunda yang tidak bisa menjaga utuh pernikahan Bunda. Maafkan Bunda yang egois dengan hanya memikirkan hati dan perasaan Bunda saja. Tapi tidak memikirkan perasaanmu. Bunda janji, semua akan Bunda tebus dengan kebahagiaan kamu kelak. Kebahagiaanmu setelah ini."Kukecup kening dan pipinya. Kemudian kutinggalkan Radit. Aku tidak mau kehadiranku membuatnya terbangun.Begitu sampai di kamar, kusegerakan diriku untuk mandi. Meski masih siang, aku ingin sekali mendinginkan hati dan kepala ini dengan guyuran air. Membasuh wajah lelahku agar terli

  • Istriku Tak Bodoh   13. Pelacur

    Bagian 13Pov: MilaAku tak menyangka, Jonas akan mempermalukan Mas Ben di acara yang sangat penting seperti ini. Bagaimana kalau sampai Mas Ben berpikir macam-macam tentang aku dan Jonas. Rasa takutku bergelayut dalam dada. Aku tak mau sampai semua hal buruk yang kubayangkan terjadi.Mas Ben menatapku dengan marah yang begitu mendalam, membuat dadaku sesak hingga sulit sekali bernafas. Kemudian kulihat Mas Ben turun dari podium dengan tergesa menghampiriku. Ditariknya tanganku dengan kasar hingga aku berdiri menghadapnya."Wanita s*alan! Pantas saja kamu punya foto-foto pernikahan aku dengan Fika. Rupanya kamu ada main dengan atasanku! Foto-foto itu kamu dapatkan dari dia 'kan? Hanya demi memata-mataiku, kamu rela bermain gila dengan atasanku! Sejak kapan kamu ada main dengannya?" ucap Mas Ben berapi dengan jari menunjuk ke wajahku.Tubuhku gemetar. Hatiku sakit saat Mas Ben menuduhku yang buruk. Ketakutanku akan Mas Ben yang berpikir macam-macam

  • Istriku Tak Bodoh   12. Kehancuran Ben

    Bagian 12Pov: JonasAcara serah terima jabatan untuk karyawan berkompeten yang terpilih di perusahaan yang aku pimpin, akan dimulai sebentar lagi. Tapi aku masih sibuk memilih kemeja, dasi, dan jas mana yang akan kupakai. Bahkan jam tangan dan sepatu pun aku bingung mesti pakai yang mana.Mila pasti datang dengan gaun dan sepatu yang cantik, juga riasan wajah yang akan membuat mata siapa saja memandang pasti terpesona dengannya.Aku tahu kalau dia wanita yang sangat memperhatikan penampilannya. Terlihat kemarin sewaktu dia datang ke kantor. Walau keperluannya hanya mengajukan laporan, Mila begitu menawan. Dia sampai bisa menarik perhatianku. Tak kentara kalau dia seorang wanita yang sudah bersuami dan memiliki anak balita.Selain menawan dan berpenampilan menarik, Mila wanita yang kuat dan tegas. Terbukti ketika dia berbicara denganku. Padahal dia tahu, aku atasan suaminya, direktur dari perusahaan tempat suaminya bekerja. Tapi sikapnya masih saja

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status