Sentuhan tangan Muniratri membuat Damarteja meledak. Sedikit lagi, pertahanan sang Pangeran Adipati tumbang.
Lelaki tersebut mengunci pinggang Muniratri dengan tangan kirinya, lalu mengangkat tubuh wanita tersebut hingga membuat kedua kakinya bertumpu pada kaki Damarteja.
Tak lama kemudian, dia menggunakan tangan kanannya untuk menyusuri punggung Muniratri hingga tengkuknya. Ia menarik rambut wanita tersebut dengan lembut hingga wajah mereka saling berhadapan dalam garis sejajar.
Damarteja menyesap bibir Muniratri sekali, kemudian melahap sepenuhnya. Seperti menemukan oase di padang pasir, ia menghisap wanita tersebut penuh gairah hingga palum menjemput.
Lelaki itu mengakhiri ciumannya. “Kenapa Putri belum ganti baju?”
“Saya menunggu Paduka.” Muniratri berakting menjadi gadis pemalu.
Wanita itu pergi mengambil baki di meja, lalu membawa benda tersebut ke hadapan Damarteja. “Apa Anda bersedia membantu saya memakainya?”
Mulanya, sikap lelaki itu biasa saja, namun ketika ia melihat pola perhiasan yang dibawa sang istri, wajah Damarteja menggelap.
“Cunduk wijaya kusuma? Dan dia ingin aku memakaikannya? Perempuan ini benar-benar ... apa dia mau mendorongku ke jurang kematian?” batinnya.
Damarteja mengangkat dagu Muniratri. “Dari mana kamu dapat perhiasan ini?”
Dengan santai, Muniratri meraih tangan suami dan menjauhkan dari dagunya. “Bibi Wulan yang bawa. Katanya ini pemberian Prameswari.”
Damarteja bergegas mengambil pedang yang terdapat di samping ranjang, lalu melepaskannya dari sarung. Ia kemudian menghunuskan benda tajam tersebut di depan Wulan. “Apa kamu tahu apa salahmu?!”
Dayang tersebut langsung bersujud di kaki sang Pangeran Adipati. Sementara Muniratri, dia sembunyi di balik badan Damarteja.
“Hamba tidak tahu, Paduka.” Wulan membentur dahinya sendiri ke lantai, beberapa kali.
“Tidak tahu?” pangeran itu bergumam.
Damarteja melempar baki berisi perhiasan emas di depan wajah si dayang. “Kamu lihat baik-baik!”
Sang Pangeran mengambil cunduk yang terjatuh di lantai. “Cunduk ini berbentuk bunga wijaya kusuma. Bahkan semua perhiasan memiliki pola yang sama, dan kamu memberikan ini pada Putri untuk dia pakai?”
“Cunduk wijaya kusuma? Tidak mungkin ... ini ... ini cunduk padma, Paduka,” dalih Wulan.
“Padma?” Damarteja mendengus. “Apa kamu menganggapku sebagai orang yang mudah dibodoh-bodohi?”
“Hamba tidak berani, Paduka,” ucap Bibi Wulan dalam posisi masih bersujud.
Jika dilihat sekilas, memang ada kemiripan antara bunga wijaya kusuma dan teratai, apabila sama-sama dilihat dari atas, pada saat kedua bunga dalam kondisi sedang mekar-mekarnya. Kendati demikian, ada perbedaan jelas di antara kedua bunga tersebut.
Bunga teratai memiliki benang sari yang padat dan bentuk yang beraturan mengelilingi putik, sedangkan wijaya kusuma memiliki benang sari yang lebih bebas. Selain itu, wijaya kusuma memiliki tangkai putik yang lebih panjang dari benang sari, berbanding terbalik dengan teratai.
Berbeda dengan benang sari teratai yang memiliki bentuk padat dan letak yang teratur, benang sari pada wijaya kusuma lebih ramping dan panjang, seperti kecambah yang diletakkan di ruangan kurang cahaya matahari.
“Mentang-mentang aku lelaki, lantas kamu pikir aku tidak tahu bedanya wijaya kusuma dengan padma?” Pangeran sudah gelap mata.
“Ampuni hamba, Paduka,” pinta Wulan.
“Kesalahanmu tidak bisa dimaafkan ... pergi saja ke dunia bawah!” Damarteja mengayunkan pedangnya ke leher dayang itu.
Di balik badan Damarteja, Muniratri tersenyum puas. Tidak hanya terhindar dari busuknya buah simalakama, dia juga berhasil menggunakan tangan sang Pangeran Adipati sebagai pedangnya, untuk pertama kali.
***
Hal pertama yang dilakukan Damarteja saat tiba di jamuan makan malam keraton, ialah mengembalikan perhiasan pemberian Prameswari. Tak hanya satu set perhiasan tetapi juga kain sutra bersulam emas.
“Saya percaya, Yang Mulia Prameswari telah mengatur para bawahan dengan bijak,” puji Damarteja.
“Hanya saja, ada beberapa orang memiliki otak udang. Mereka tak dapat membedakan antara bunga wijaya kusuma dengan padma,” ucap Damarteja, nada suaranya tetap tenang meski menyiratkan ketidaksenangan.
Sang Pangeran Adipati menggenggam tangan istri. “Untung saja waktu itu saya menyadari ada yang tidak benar dengan motif perhiasan tersebut. Jika tidak, mungkin istri saya sudah ....”
Para menteri dan pejabat yang hadir pada malam itu saling berbisik. Mereka membicarakan betapa fatal masalah ini jika Muniratri mengenakan perhiasan yang diberikan oleh Prameswari.
Bibir Widuri melebar dengan dada yang terbakar amarah. Baru kali ini dia dipermalukan oleh orang lain, apalagi di depan publik.
“Terima kasih atas perhatian Pangeran Adipati Agung Hadiwangsa. Saya pasti akan mendisiplinkan para dayang agar mereka lebih teliti, sehingga kesalahan seperti ini tidak terulang lagi,” ucap Prameswari. Bibir wanita itu tersenyum, namun tidak dengan hatinya.
Prabu Bahuwirya, Raja Badra yang sedang berkuasa, melihat situasi di ruangan itu sedikit suram. Ia pun berusaha mencairkan suasana. Jika tidak, para pejabat yang hadir akan menjadikan keluarga kerajaan sebagai bahan gunjingan saat mereka berada di luar keraton.
“Pangeran Adipati Agung Hadiwangsa! Selamat atas pernikahanmu.” Bahuwirya mengangkat gelas emas berisi arak.
Damarteja berdiri, menyambut sulangan sang Raja. “Terima kasih, Baginda!” Ia meminum arak di gelasnya.
“Sebentar lagi kamu akan kembali ke Agratampa. Maka dari itu, aku berikan beberapa hadiah kecil. Semoga kamu menyukainya,” ucap Bahuwirya.
“Aku juga sudah menyiapkan hadiah untuk Pangeran Adipati,” sambar Kamakarna, Putra Mahkota Badra.
Mendengar lelaki yang pernah menjadi tunangannya bersuara, tanpa sadar tangan Muniratri gemetar.
“Terima kasih, Yang Mulia.” Kedua tangan Damarteja mengangkat gelas kecil berisi arak.
“Namun karena malam ini adalah malam terakhir saya berada di ibu kota, saya ingin lebih dekat dengan Anda. Saya akan merasa sangat bahagia jika Yang Mulia memanggil saya ... paman,” sambungnya.
Ada rasa tidak suka di hati Kamakarna. Saat orang lain memanggil Damarteja sebagai Pangeran Adipati, lelaki itu tidak protes. Namun saat dia memanggilnya demikian, lelaki itu langsung menyatakan keberatan.
Ini bukan tentang masalah gelar, melainkan status panggilan. Apabila Kamakarna menyebut Damarteja dengan panggilan ‘Pangeran Adipati’, dia bisa memanggil Muniratri dengan sebutan Raden Ayu.
Akan menjadi lain hal, jika memanggil Damarteja dengan sebutan paman, karena itu berarti dia harus memanggil mantan tunangannya dengan sapaan bibi.
“Yang Mulia?” seru Damarteja pada Putra Mahkota. Ia masih menunggu respons si keponakan.
“Ah ... iya ...,” jawab Kamakarna dengan canggung, membuat suasana di dalam ruangan menjadi kikuk.
“Hm ... mm ... bagaimana kalau kita keluarkan saja hadiahnya sekarang,” ucap Raja Badra untuk mencairkan keadaan.
Lelaki itu menepuk tangannya dua kali sebagai isyarat pada bawahan untuk membawa hadiah yang sudah disiapkan. Tak lama kemudian, para abdi dalem membawa masuk empat peti besar ke dalam ruangan.
“Lapor, Baginda. Peti berwarna hijau merupakan hadiah dari Anda. Sedangkan tiga lainnya, masing-masing dari Yang Mulia Ibu Suri, Yang Mulia Prameswari, dan Yang Mulia Putra Mahkota,” terang Kasim Swari.
“Buka!” titah sang Raja.
Mereka terkagum-kagum saat melihat hadiah dari Bahuwirya. Namun, setelah peti yang lain dibuka, ekspresi hadirin berubah dari kagum menjadi tercengang.
***
Sentuhan tangan Muniratri membuat Damarteja meledak. Sedikit lagi, pertahanan sang Pangeran Adipati tumbang.Lelaki tersebut mengunci pinggang Muniratri dengan tangan kirinya, lalu mengangkat tubuh wanita tersebut hingga membuat kedua kakinya bertumpu pada kaki Damarteja.Tak lama kemudian, dia menggunakan tangan kanannya untuk menyusuri punggung Muniratri hingga tengkuknya. Ia menarik rambut wanita tersebut dengan lembut hingga wajah mereka saling berhadapan dalam garis sejajar.Damarteja menyesap bibir Muniratri sekali, kemudian melahap sepenuhnya. Seperti menemukan oase di padang pasir, ia menghisap wanita tersebut penuh gairah hingga palum menjemput.Lelaki itu mengakhiri ciumannya. “Kenapa Putri belum ganti baju?”“Saya menunggu Paduka.” Muniratri berakting menjadi gadis pemalu.Wanita itu pergi mengambil baki di meja, lalu membawa benda tersebut ke hadapan Damarteja. “Apa Anda bersedia membantu saya memakainya?”Mulanya, sikap lelaki itu biasa saja, namun ketika ia melihat pola
Damarteja membangun tembok tinggi tak kasat mata di antara dia dan Muniratri. Ia yakin seratus satu persen, wanita itu tidak akan mampu menghancurkannya.“Paduka!” seru Muniratri, kali ini wanita tersebut menggunakan gaya ala gadis manja. Suaranya bahkan dibuat sedikit mendesah.Tanpa aba-aba, Muniratri mendekap tubuh Damarteja, membuat sang Pangeran meremang. Lebih parahnya lagi, lelaki tersebut tak mengenakan atasan, sehingga sentuhan wanita itu langsung mengenai permukaan kulit si suami.“Paduka.” Muniratri menggosok-gosok dada sang suami dengan rambutnya.Damarteja sudah terbiasa disapa ‘paduka’ oleh ribuan orang. Ia merasa tak ada yang istimewa dari panggilan tersebut. Namun saat kata tersebut keluar dari mulut Muniratri, ia merasa ada sesuatu yang berbeda.Panggilan ‘paduka’ yang meluncur dari bibir istrinya terdengar begitu dahsyat, hingga membuat Damarteja merem-melek. Ia bahkan sesekali menggigit bibir, agar efek dari kata tersebut tidak bertambah parah.“Putri ... aku masih
“Wulan, bagaimana menurutmu?” tanya Widuri.Dayang tersebut berlutut di samping Muniratri. “Yang di katakan oleh Kanjeng Putri memang benar, Yang Mulia.”Bibir Muniratri tersungging. “Tentu wanita itu tidak menyangkal omonganku. Makanan yang aku berikan padanya semalam, sudah kuberi obat tidur dosis tinggi, sehingga dia tidur sepanjang malam dan tak tahu kejadian yang sebenarnya.”Selain mengawasi tindak-tanduk Muniratri, Damarteja juga melakukan pekerjaan lain yang tak kalah penting, yakni menutup mata Endra, ajudannya. Ia tak ingin ada lelaki lain yang melihat tubuh si istri.Ajudan Damarteja tersenyum puas mengetahui penderitaan yang dirasakan oleh istri si tuan. “Aku kira Paduka berada di kamar wanita itu semalam penuh karena tergoda oleh kecantikan si ular,” batin Endra.Lelaki itu manggut-manggut beberapa kali. “Ternyata Paduka hebat juga,” ucapnya.Damarteja tak peduli dengan
“Yang Mulia ... JANGAN!” Muniratri berteriak hingga terbangun dari tidur. Tubuhnya, dibanjiri keringat dingin.Ingatan tentang hari ketika keluarganya dieksekusi terus muncul dalam mimpi wanita itu, tiap malam. Meski sudah empat puluh dua hari berselang, kejadian pada saat itu masih tergambar jelas, tanpa terlewat satu adegan pun.“Putri ....” Damarteja memeluk Muniratri dari belakang. “Kamu mimpi buruk?”Pelukan Damarteja membuat Muniratri tersadar akan status yang ia sandang, bahwa saat ini dia merupakan istri pangeran adipati. Wanita itu pun menyembunyikan wajahnya dengan bersandar di dada suami.“Saya pasti sudah mengganggu waktu istirahat Paduka.” Muniratri mendekap lengan Damarteja yang besar dan kokoh.“Tidak sama sekali.” Lelaki itu mencium rambut istrinya. “Putri mimpi apa, sampai terbangun tengah malam?”“Kalau orang ini tahu bahwa tiap malam aku memimpikan Ayah ... aku takut dia akan makin membenciku,” batin wanita itu.Muniratri mendusel ke permukaan dada Damarteja. “Entah
“Sebelum Pangeran Adipati Agung Hadiwangsa datang ke kamar pengantin, silakan Anda pelajari buku ini terlebih dahulu,” ujar Bibi Wulan.Muniratri menerima buku berjudul Rumah Tangga di Atas Awan dari wanita itu, lalu membukanya. Tiap kali Muniratri membalik halaman, ia selalu menutupi matanya yang berbinar menggunakan jari-jemari yang dibentangkan lebar-lebar.“Buku ini ... sungguh tidak bermoral! Bagaimana bisa laki-laki dan perempuan melakukan ... itu ....” Muniratri melempar buku tersebut ke kasur, setelah membacanya hingga halaman terakhir.“Mengapa hidup begitu kejam?!” Wanita itu menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.Ia merengek, pura-pura meratapi nasibnya yang baru saja menikah dengan Damarteja, sang Pangeran Adipati Kerajaan Badra.“Setelah malam ini, apakah aku masih punya muka untuk bertemu Yang Mulia Putra Mahkota?” imbuhnya, masih sama seperti sikap awal, pura-pura menangis