LOGINBahuwirya memijat dahinya karena ia merasa frustrasi. “Bisa-bisanya mereka memberikan wanita sebagai hadiah. Padahal, Pangeran Hadiwangsa masih tergolong sebagai pengantin baru,” batinnya.
Jika sang Raja saja sampai sakit kepala, apalagi para pejabat yang ada di sana. Kendati demikian, mereka tak berani berkomentar apa pun. Hal itu dikarenakan mereka memegang prinsip ‘bicara mengantar nyawa, jadi batu mengulur maut’.
Kasim Swari berdiri di barisan paling kanan di samping para wanita hadiah. “Paduka Pangeran ... Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Agung Hadiwangsa, izinkan hamba memperkenalkan para wanita ini.”
“Silakan,” ucap sang Pangeran.
Diam-diam, Damarteja mencuri pandang ke arah Muniratri. Ia menemukan raut wajah sang istri mengeras dan ada sepercik api menyala di matanya.
Kasim Swari menunjuk gadis yang berdiri paling kanan di antara ketiganya. “Beliau adalah Raden Ajeng Ratnawangi, putri dari Raden Apta, keponakan Ibu Suri.”
Kasim Swari kemudian mempersilakan yang bersangkutan untuk maju dan memberi salam pada Damarteja.
“Yang di tengah adalah Raden Ajeng Kasmirah, putri angkat Yang Mulia Prameswari,” lanjutnya.
“Dan yang terakhir bernama Mustika, putri dari Begawan Prayono, guru spiritual Yang Mulia Putra Mahkota,” terang si kasim.
“Ketiga wanita cantik ini merupakan hadiah untuk Paduka Pangeran, semoga dapat menambah kedamaian di kediaman Anda,” pungkas lelaki itu.
Damarteja tersenyum lebar. “Menambah kedamaian? Yang ada mereka akan menghancurkan kedamaian kediamanku,” batinnya.
Lelaki itu menggenggam tangan Muniratri yang sedang gemetar. Andai saja mereka tak berada di tengah acara, Damarteja ingin sekali berlama-lama menikmati kegelisahan wanita itu
“Awalnya, aku pikir bisa hidup tenang karena berhasil membuat Pangeran Adipati jatuh ke pelukanku. Namun sekarang, ada tiga perempuan baru. Apakah Pangeran akan jatuh ke pelukan mereka juga?” batin Muniratri.
Di kerajaan Badra, memberikan wanita kepada bangsawan maupun keluarga kerajaan bukanlah hal tabu. Praktik ini sudah lumrah dijalankan sebagai bagian dari politik patronase.
Mereka memberikan wanita pada keluarga berpengaruh untuk membangun aliansi antar keluarga. Dengan cara ini, yang bersangkutan bisa mengontrol, atau bahkan memanipulasi lawan politiknya dengan mudah, tanpa perlu menumpahkan darah.
“Paduka ... Paduka ...?” seru Kasim Swari. Ia masih menunggu jawaban lelaki tersebut.
Damarteja berdiri. “Terima kasih atas hadiah dari Baginda Raja ... Yang Mulia Prameswari ... Yang Mulia Ibu Suri, dan Yang Mulia Putra Mahkota.”
Lelaki itu menghadap Raja Badra. “Hadiah dari Baginda, pasti akan saya manfaatkan sebaik-baiknya. Namun, untuk tiga wanita cantik ini ....”
“Ketiga orang itu mau mengikatku menggunakan selir. Mana di sampingku sudah ada putri koruptor yang selalu merayu dengan tujuan mendukung Putra Mahkota. Daripada dimanfaatkan secara gratis, lebih baik dia kujadikan tameng saja,” batin sang Pangeran.
Damarteja berpaling ke Muniratri. “Saya baru saja menikah beberapa hari. Jika saya mengambil selir ... tentu harus bertanya dahulu pada Putri.”
Muniratri mengepalkan tangan sambil menahan emosi karena sang suami baru saja melempar bola panas padanya. Kalau boleh jujur, di dalam lubuk hatinya, ia sungguh ingin menolak ketiga wanita itu.
Upaya untuk balas dendam menggunakan tangan sang Pangeran masih panjang. Jika ada wanita lain, Muniratri khawatir suaminya tak bisa ia kuasai secara penuh.
Namun jika dia menolak lelaki itu mengangkat selir dari ketiga anggota keluarga kerajaan, maka hal itu sama saja dengan mengantar nyawanya sendiri.
“Ketiga wanita cantik ini merupakan wanita pilihan dari orang-orang paling mulia di negeri ini. Bagaimana mungkin saya berani menolak perhatian Yang Mulia sekalian,” ucap Muniratri.
Karena mereka sudah diputuskan menjadi selir Pangeran Adipati, ketiga wanita itu duduk di samping Damarteja. Mereka melayani lelaki tersebut dengan antusias, membuat Muniratri menelan amarah.
“Maafkan hamba, Kanjeng Putri,” seru seorang pelayan.
Di saat emosinya membuncah, ada saja kejadian tidak menyenangkan. Seorang pelayan yang menuangkan arak, menumpahkan cairan tersebut ke pakaian Muniratri.
“Tidak apa, kamu boleh pergi,” ucap wanita itu.
Kepala Putri Hadiwangsa sudah penuh dengan masalah, ia tak ingin menambah persoalan.
Bukannya lekas pergi meninggalkan lokasi, pelayan itu malah bersujud di hadapan Muniratri. Ia bahkan membenturkan dahinya sendiri ke lantai.
“Hamba bersalah, Kanjeng Putri. Mohon izinkan hamba membersihkan pakaian Anda,” ucapnya.
Muniratri mendengus. Ia baru saja menyadari satu hal. Jika ada seorang pelayan mengotori baju tamu saat perjamuan, lalu dia menawarkan diri untuk membersihkan pakaian tamu tersebut, itu berarti ada seseorang yang ingin bicara secara pribadi dengan si tamu.
Wanita itu melihat sekeliling, mencari tahu siapa yang ingin berbicara dengannya, namun tak ketemu. Tak ada satu pun dari mereka yang bertukar pandangan dengan Muniratri.
“Baiklah, antar aku ke ruangan ganti,” ucap Muniratri pada pelayan tersebut.
Muniratri dibawa ke sebuah ruangan di samping taman sari. Di sana, pelayan tersebut memintanya menunggu tuan yang bersangkutan. Lalu, ia undur diri.
Muniratri mondar-mandir dengan langkah santai sambil mengipasi bagian kain yang basah. Beberapa menit kemudian, seorang laki-laki membuka pintu, lalu memeluk wanita tersebut ... erat-erat.
“Aku merindukanmu,” ucapnya.
Muniratri mendorong pria itu menggunakan seluruh tenaga yang ia miliki. Sayangnya, tak membuahkan hasil.
Kekuatan orang itu jauh lebih besar. Mendorongnya, sama saja seperti mendorong tembok pertahanan kota yang kokoh dan tak tergoyahkan.
“Yang Mulia, Anda tak boleh melakukan ini. Bagaimana jika ada orang lain melihat kita?” bisik wanita tersebut.
***
Muniratri mencium sesuatu yang lebih buruk daripada menunda perjalanan Putra Mahkota. Untuk mencegah hal itu terjadi, wanita itu pun memberi perintah khusus pada Warman.“Amankan kuda Kanjeng Pangeran. Jaga baik-baik, jangan sampai ada yang berani berbuat macam-macam!” ucap sang Putri Hadiwangsa.“Jika ada yang memaksa mengambilnya, suruh dia bicara denganku,” lanjutnya.Lelaki itu pun menunduk pada Muniratri. “Baik, Kanjeng Putri.”Setelah memberi wejangan pada Warman, Muniratri menemui Putra Mahkota yang berada di kereta. Ia sengaja ditempatkan di sana karena seluruh tenda sudah dibongkar.“Bagaimana kondisi Yang Mulia?” tanya Muniratri pada tabib.“Beliau tidak mengalami luka luar yang parah, hanya saja tulangnya patah sehingga perlu diperban dan istirahat beberapa hari,” ujar sang tabib.Muniratri mengangguk, menandakan bahwa dia mengerti. Ia pun menyuruh tabib itu mening
Ganendra berkali-kali berdecak di depan Kamakarna, membuat sang Putra Mahkota tak tahan.Kamakarna melempar kulit kacang pada ajudannya yang sedang berkemas-kemas. “Katakan, ada apa?”Ganendra menghentikan aktivitasnya dan menghadap ke Kamakarna. “Kenapa Yang Mulia melepaskan Pangeran Adipati?”Ajudan itu melipat tangannya di depan dada. “Padahal ini kesempatan yang bagus untuk menghancurkan Pangeran Adipati sekaligus merebut Raden Ayu,” imbuhnya.Kamakarna manggut-manggut. Menurutnya, apa yang dikatakan oleh Ganendra cukup masuk akal.“Tapi jika aku melakukan itu, Raden Ayu dihujani kritik pedas,” batin sang Putra Mahkota.“Ck! Kamu tahu apa!” tukas Kamakarna. “Cepat bawa barang-barang itu ke kereta!”Kamakarna buru-buru pergi ke kereta karena ingin bertemu Muniratri. Ia benar-benar tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berdekatan dengan mantan tunangannya.
PRIIT … PRIIIT … PRIIIIIT ….Seluruh Pasukan Wirajati yang mengawal rombongan perjalanan Putra Mahkota berlarian menuju tengah perkemahan. Setibanya di sana, mereka langsung membentuk barisan yang rapi.“Tidak biasanya ada suara peluit,” gumam Kamakarna di dalam tenda.Lelaki itu baru saja bangun tidur. Lebih tepatnya, suara peluit yang panjang dan berkesinambungan telah membangunkannya.“Cari tahu apa yang terjadi!” perintah Putra Mahkota pada ajudannya. Setelah itu, dia lanjut tidur.Di depan para pasukan, Muniratri mengangkat Lencana Komando Wisesapati setinggi-tingginya. “MULAI SAAT INI, KOMANDO SAYA AMBIL ALIH!”Para prajurit bergeming di tempatnya, tak ada satu pun yang bersuara. Mereka sibuk memerhatikan lencana yang ada di tangan Muniratri, memastikan apakah pusaka itu asli atau tidak.Kesunyian itu membuat Muniratri sadar bahwa dirinya belum diakui. Maka ia memanggil Warman, wakil ketua pasukan dalam rombongan, dan menyuruhnya memeriksa keaslian lencana.Setelah memastikan bah
Muniratri mengunjungi Mustika yang menginap di tenda Damarteja dan menyiram wanita yang masih tidur itu dengan air dingin.“Ah sial! Siapa yang berani menyiramku?!” pekik Mustika, tangannya sibuk menyeka wajah.Begitu membuka mata, wanita itu pun berjingkat. Di depannya berdiri Muniratri dengan ember kosong.“Aku yang siram. Ada masalah?” Muniratri menjatuhkan ember ditangannya tanpa menggunakan tenaga.Kasmirah langsung berlutut pada Muniratri. Ia tidak mau kena masalah karena saat wanita itu datang, air mukanya tak enak dipandang.“Saya memberi hormat pada Kanjeng Putri Hadiwangsa,” ucap Mustika.Muniratri tak ada niat untuk bertele-tele dengan formalitas yang ada. Tanpa memberi kesempatan Mustika untuk bangkit, dia langsung melempar selir itu dengan sesuatu yang pedas, tapi bukan makanan.“Aku dengar, kamu menghabiskan malam yang panas dengan Pangeran Adipati hingga larut malam,” desi
Pada dini hari, Muniratri memanggil Endra dan Ningsih ke tendanya. Wanita itu memberikan tugas khusus pada mereka.“Membawa Paduka Pangeran pergi? Itu tidak mungkin!” tolak Endra.“Kamu tidak bersedia?” Muniratri mengangkat pipi kanannya.Wanita itu membuang muka ke arah lain. “Ah ucapan manusia memang tidak bisa dipercaya. Tahu begitu, aku tidak percaya begitu saja saat ada yang bilang akan menghormatiku,” cibirnya.Ningsih mencium sesuatu yang tidak beres dengan Muniratri. Sebelum makin parah, ia pun turun tangan untuk menghentikan kegilaan wanita itu.“Kanjeng Putri, Paduka bertanggung jawab memimpin rombongan Yang Mulia Putra Mahkota. Jika kita membawa beliau pergi, sama saja kita mendorong Paduka untuk mangkir dari tugas,” tutur Ningsih.Muniratri tahu langkahnya akan menimbulkan dampak yang besar. Karena itu, dia menyerahkan tugas ini pada mereka berdua.“Aku tidak menerima p
Jika Damarteja hanya terkena hipotermia, mereka hanya perlu fokus menghangatkan tubuh sang Pangeran.Masalahnya pada kasus ini, Pangeran Adipati tidak hanya menderita hipotermia, tetapi juga keracunan. Orang terdekat Damarteja harus memutar otak supaya bisa menawarkan efek obat perangsang di dalam tubuh lelaki itu.“Ada satu cara sederhana yang efektif untuk mengatasi hipotermia, yaitu transfer panas melalui kontak kulit ke kulit,” ujar Endra.Muniratri memiringkan kepalanya beberapa derajat ke sisi kiri. Tulang pipinya yang bagian kanan sedikit terangkat dibarengi dengan mata yang menyipit. “Maksud Mas Endra?”Ajudan itu meletakkan kepalanya sejajar dengan tanah. “Mohon Kanjeng Putri melakukan penyatuan dengan Paduka.”Saat Muniratri baru menikah dengan Damarteja, Endra benar-benar membenci wanita itu. Apa pun yang dia lakukan, tak ada yang baik di matanya.Namun kali ini, tidak ada orang lain yang bisa m







