LOGIN“Aku tidak peduli dengan orang lain. Asalkan bisa memeluk Raden Ayu, itu sudah cukup,” ucap Kamakarna, Putra Mahkota Badra.
Jika orang yang memeluknya bukan anggota keluarga kerajaan, Muniratri tak akan ragu melukai orang tersebut menggunakan cunduk atau benda apa pun yang bisa ia pakai menjadi senjata.
Masalahnya, orang itu adalah Putra Mahkota. Dia bukanlah seseorang yang bisa disinggung, bahkan jika yang dia lakukan pada Muniratri saat itu adalah perbuatan yang salah.
Dengan kondisi Putra Mahkota yang sedang linglung, Muniratri percaya bahwa kekuatan fisik tak akan mampu menghentikan lelaki tersebut. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk memakai taktik andalan.
“Yang Mulia, lengan saya sakit terkena kelat bahu Anda,” keluh wanita itu lirih, bagaikan seseorang yang lemah tak berdaya.
Dan ya ... berhasil. Putra Mahkota segera melepas pelukannya, lalu memeriksa tubuh Muniratri. Pada saat itu, Kamakarna menemukan banyak bekas luka yang masih segar, di kulit wanita tersebut.
“Raden Ayu ... apa yang terjadi padamu?” Putra Mahkota memegang lengan Muniratri dengan ketat, sebagaimana seseorang yang sedang menuntut penjelasan.
Istri Damarteja menunduk. “Saya baik-baik saja, Yang Mulia.”
Muniratri melepas cengkeraman Kamakarna, lalu merengkuh lengannya sendiri dengan posisi menyilang. Tindakan ini memberi isyarat pada Putra Mahkota, bahwa wanita tersebut sedang berusaha menutupi aib dalam diri.
Tempo hari, Muniratri berhasil mengelabui Prameswari Widuri dengan luka sengatan lebah. Kali ini, ia percaya bahwa Putra Mahkota akan bersimpati padanya setelah melihat luka tersebut.
“Ini pasti ulah Pangeran Adipati, kan?” tuding Putra Mahkota.
Muniratri menggeleng. “Bukan, Yang Mulia.”
Kamakarna mendaratkan telapak tangannya di wajah Muniratri. “Sudahlah Raden Ayu. Kamu tak perlu menutupi hal ini. Jujur saja padaku, maka aku pasti akan memberi keadilan untukmu.”
Muniratri menatap mata Putra Mahkota lekat-lekat. Senyuman hangat terpatri di wajah wanita tersebut. Ia kemudian meraih tangan Kamakarna, lalu menyingkirkannya dari wajah wanita itu.
“Yang Mulia tidak perlu khawatir dengan apa yang terjadi di dalam rumah tangga kami,” ucap Muniratri.
Kalimat yang wanita itu lontarkan, terdengar ambigu di telinga Kamakarna. Setiap kata yang keluar dari bibir mantan tunangannya tersebut, membuat dada Kamakarna sesak, terutama saat rangkaian kata ‘rumah tangga kami’ digaungkan.
Kamakarna mengepalkan tangan, dan menyembunyikannya di balik punggung. “Jadi benar, kan ... dia yang melakukan semua ini padamu?”
Muniratri tak menyangkal maupun membenarkan anggapan Putra Mahkota. Karena, jauh di palung hati, dia menikmati kegundahan lelaki tersebut.
Lelaki yang digadang-gadang sebagai calon pewaris takhta Kerajaan Badra kembali mencengkeram sang mantan, kali ini dia meremas pundak si wanita. “Raden Ayu tak perlu takut, aku pasti akan memberi keadilan untukmu!”
Dua janji yang sama sudah diucapkan oleh Kamakarna, menandakan bahwa dia serius dengan ucapannya. Kendati demikian, bagi Muniratri, hal itu tak ada bedanya dengan kapas yang beterbangan di angkasa, ringan dan membuat sesak.
Muniratri membuang muka sekilas, lalu kembali menatap Kamakarna. “Yang Mulia ... apa Anda tidak takut? Bagaimanapun ... beliau adalah paman Anda.”
Kamakarna yang awalnya antusias, berubah menjadi lesu dan tak bergairah. “Apa Raden Ayu harus mengingatkan bahwa lelaki itu adalah pamanku?”
Kata ‘paman’ yang terucap dari mulut mantan tunangannya, terdengar seperti cambuk berduri yang diayunkan pada Putra Mahkota. Cambuk tak kasat mata tersebut, berhasil membuat luka sayatan di sekujur tubuh Kamakarna.
“Tentu saja aku harus mengingatkanmu siapa suamiku. Karena lelaki itu, sekarang ada di belakangmu,” batin Muniratri. Mata wanita itu bersinar saat Damarteja datang.
“Apa yang sedang kamu lakukan?!” Damarteja mengempaskan tangan si keponakan dari pundak istrinya. Setelah itu, dia menggandeng Muniratri.
Beban berat yang dari tadi menggandul di tubuh wanita itu, akhirnya terangkat. Ia pun bisa melepaskan diri dari Putra Mahkota, tanpa perlu menyinggung perasaan yang bersangkutan.
“Aku tanya apa yang kamu lakukan pada bibimu?” ulang Damarteja.
Untungnya, suami Muniratri memilih bertindak sebagai paman Kamakarna, bukan sebagai Pangeran Adipati. Apabila dia membuat perkara dengan Kamakarna pada saat itu, maka tak akan ada yang berani menyalahkan Damarteja.
Akan menjadi lain cerita, jika Damarteja menggunakan status sebagai Pangeran Adipati Agung Hadiwangsa. Tindakannya bisa dianggap sebagai pelanggaran berat karena mencampuri urusan Putra Mahkota yang memiliki kedudukan lebih tinggi darinya.
“Aku hanya memeriksa bekas luka di badan Raden Ayu,” ucap Kamakarna.
Damarteja menyembunyikan Muniratri di balik tubuhnya. Ia kemudian melangkah lebih dekat ke sisi Kamakarna. “Raden Ayu? Panggil dia ... Bibi!”
Bibi ... bibi ... bibi ... Kamakarna muak mendengar kata tersebut dari mulut Damarteja. Apalagi dia sudah mengucapkannya tiga kali, seolah menekankan bahwa Muniratri, adalah miliknya dan Kamakarna tak berhak menyimpan rasa pada wanita tersebut.
Damarteja menepuk pundak Kamakarna seraya menatap mata lelaki tersebut dengan tajam. “Coba ucapkan!”
Luapan emosi mengalir di pembuluh darah Kamakarna. Ia ingin sekali melawan, namun tatanan sosial tak akan mendukungnya. Mau tak mau, ia harus menuruti perkataan sang paman.
“Bi ... bi...,” ucap Kamakarna pada Muniratri. Bibirnya bergumam, tak merelakan mantan tunangan berubah menjadi bibinya.
Damarteja pun tersenyum puas melihat keputusasaan di wajah Kamakarna. Ia harap, hal ini bisa menjadi peringatan bagi si keponakan, agar dia tak mengganggu Muniratri di lain hari. Karena dia tak suka apa yang sudah jadi miliknya diambil oleh orang lain.
“Malam sudah larut, waktunya kita pulang, Adinda.” Damarteja menarik istrinya ke samping, membuat mereka berdiri berdampingan.
Muniratri mengangguk dengan patuh. “Baik, Paduka.”
Lelaki itu berdeham. “Kenapa masih memanggilku Paduka? Kita kan sudah menikah ... panggil Kanda!”
Muniratri menarik sudut bibirnya di sisi kiri, di mana sisi tersebut tak terlihat oleh Putra Mahkota. Ia tahu betul apa yang sedang dilakukan oleh suaminya, membuat Kamakarna terbakar cemburu.
Muniratri menatap Damarteja dengan tatapan penuh kehangatan. “Kanda.”
Ada kepuasan di hati Damarteja saat panggilan intim tersebut terucap dari bibir sang istri. Tak mau membuang waktu, ia menyalurkan gelora dalam dada dengan mencumbu bibir Muniratri, tanpa memedulikan Kamakarna yang masih berada di sana.
***
Muniratri mencium sesuatu yang lebih buruk daripada menunda perjalanan Putra Mahkota. Untuk mencegah hal itu terjadi, wanita itu pun memberi perintah khusus pada Warman.“Amankan kuda Kanjeng Pangeran. Jaga baik-baik, jangan sampai ada yang berani berbuat macam-macam!” ucap sang Putri Hadiwangsa.“Jika ada yang memaksa mengambilnya, suruh dia bicara denganku,” lanjutnya.Lelaki itu pun menunduk pada Muniratri. “Baik, Kanjeng Putri.”Setelah memberi wejangan pada Warman, Muniratri menemui Putra Mahkota yang berada di kereta. Ia sengaja ditempatkan di sana karena seluruh tenda sudah dibongkar.“Bagaimana kondisi Yang Mulia?” tanya Muniratri pada tabib.“Beliau tidak mengalami luka luar yang parah, hanya saja tulangnya patah sehingga perlu diperban dan istirahat beberapa hari,” ujar sang tabib.Muniratri mengangguk, menandakan bahwa dia mengerti. Ia pun menyuruh tabib itu mening
Ganendra berkali-kali berdecak di depan Kamakarna, membuat sang Putra Mahkota tak tahan.Kamakarna melempar kulit kacang pada ajudannya yang sedang berkemas-kemas. “Katakan, ada apa?”Ganendra menghentikan aktivitasnya dan menghadap ke Kamakarna. “Kenapa Yang Mulia melepaskan Pangeran Adipati?”Ajudan itu melipat tangannya di depan dada. “Padahal ini kesempatan yang bagus untuk menghancurkan Pangeran Adipati sekaligus merebut Raden Ayu,” imbuhnya.Kamakarna manggut-manggut. Menurutnya, apa yang dikatakan oleh Ganendra cukup masuk akal.“Tapi jika aku melakukan itu, Raden Ayu dihujani kritik pedas,” batin sang Putra Mahkota.“Ck! Kamu tahu apa!” tukas Kamakarna. “Cepat bawa barang-barang itu ke kereta!”Kamakarna buru-buru pergi ke kereta karena ingin bertemu Muniratri. Ia benar-benar tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berdekatan dengan mantan tunangannya.
PRIIT … PRIIIT … PRIIIIIT ….Seluruh Pasukan Wirajati yang mengawal rombongan perjalanan Putra Mahkota berlarian menuju tengah perkemahan. Setibanya di sana, mereka langsung membentuk barisan yang rapi.“Tidak biasanya ada suara peluit,” gumam Kamakarna di dalam tenda.Lelaki itu baru saja bangun tidur. Lebih tepatnya, suara peluit yang panjang dan berkesinambungan telah membangunkannya.“Cari tahu apa yang terjadi!” perintah Putra Mahkota pada ajudannya. Setelah itu, dia lanjut tidur.Di depan para pasukan, Muniratri mengangkat Lencana Komando Wisesapati setinggi-tingginya. “MULAI SAAT INI, KOMANDO SAYA AMBIL ALIH!”Para prajurit bergeming di tempatnya, tak ada satu pun yang bersuara. Mereka sibuk memerhatikan lencana yang ada di tangan Muniratri, memastikan apakah pusaka itu asli atau tidak.Kesunyian itu membuat Muniratri sadar bahwa dirinya belum diakui. Maka ia memanggil Warman, wakil ketua pasukan dalam rombongan, dan menyuruhnya memeriksa keaslian lencana.Setelah memastikan bah
Muniratri mengunjungi Mustika yang menginap di tenda Damarteja dan menyiram wanita yang masih tidur itu dengan air dingin.“Ah sial! Siapa yang berani menyiramku?!” pekik Mustika, tangannya sibuk menyeka wajah.Begitu membuka mata, wanita itu pun berjingkat. Di depannya berdiri Muniratri dengan ember kosong.“Aku yang siram. Ada masalah?” Muniratri menjatuhkan ember ditangannya tanpa menggunakan tenaga.Kasmirah langsung berlutut pada Muniratri. Ia tidak mau kena masalah karena saat wanita itu datang, air mukanya tak enak dipandang.“Saya memberi hormat pada Kanjeng Putri Hadiwangsa,” ucap Mustika.Muniratri tak ada niat untuk bertele-tele dengan formalitas yang ada. Tanpa memberi kesempatan Mustika untuk bangkit, dia langsung melempar selir itu dengan sesuatu yang pedas, tapi bukan makanan.“Aku dengar, kamu menghabiskan malam yang panas dengan Pangeran Adipati hingga larut malam,” desi
Pada dini hari, Muniratri memanggil Endra dan Ningsih ke tendanya. Wanita itu memberikan tugas khusus pada mereka.“Membawa Paduka Pangeran pergi? Itu tidak mungkin!” tolak Endra.“Kamu tidak bersedia?” Muniratri mengangkat pipi kanannya.Wanita itu membuang muka ke arah lain. “Ah ucapan manusia memang tidak bisa dipercaya. Tahu begitu, aku tidak percaya begitu saja saat ada yang bilang akan menghormatiku,” cibirnya.Ningsih mencium sesuatu yang tidak beres dengan Muniratri. Sebelum makin parah, ia pun turun tangan untuk menghentikan kegilaan wanita itu.“Kanjeng Putri, Paduka bertanggung jawab memimpin rombongan Yang Mulia Putra Mahkota. Jika kita membawa beliau pergi, sama saja kita mendorong Paduka untuk mangkir dari tugas,” tutur Ningsih.Muniratri tahu langkahnya akan menimbulkan dampak yang besar. Karena itu, dia menyerahkan tugas ini pada mereka berdua.“Aku tidak menerima p
Jika Damarteja hanya terkena hipotermia, mereka hanya perlu fokus menghangatkan tubuh sang Pangeran.Masalahnya pada kasus ini, Pangeran Adipati tidak hanya menderita hipotermia, tetapi juga keracunan. Orang terdekat Damarteja harus memutar otak supaya bisa menawarkan efek obat perangsang di dalam tubuh lelaki itu.“Ada satu cara sederhana yang efektif untuk mengatasi hipotermia, yaitu transfer panas melalui kontak kulit ke kulit,” ujar Endra.Muniratri memiringkan kepalanya beberapa derajat ke sisi kiri. Tulang pipinya yang bagian kanan sedikit terangkat dibarengi dengan mata yang menyipit. “Maksud Mas Endra?”Ajudan itu meletakkan kepalanya sejajar dengan tanah. “Mohon Kanjeng Putri melakukan penyatuan dengan Paduka.”Saat Muniratri baru menikah dengan Damarteja, Endra benar-benar membenci wanita itu. Apa pun yang dia lakukan, tak ada yang baik di matanya.Namun kali ini, tidak ada orang lain yang bisa m







