Tabrakannya ringan saja, tak sampai membuat aku terpental, tak juga membuat motor jatuh, akan tetapi kaca belakang motorku pecah.
"Heh, lo mau mati ya?" kata seorang wanita. Aku menatapnya, wanita itu balik menatapku. Matanya melotot.
"Heh, masalah lo apa?" katanya lagi.
Ini kesempatan emas, dua baris doa itu akhirnya aku lafalkan juga. Akan tetapi tidak ada yang berubah. Karen justru makin marah.
Aku coba yang empat baris, dia justru berpaling dariku. Ternyata kali ini dia menyetir sendiri.
"Singkirkan motor butut lo," katanya kemudian.
Aku menggeser motor tersebut, akan tetapi sekuriti komplek datang.
"Sudah penyot ini, Bu, suru dia ganti," kata sekuriti itu seraya menunjuk bumper mobil Karen.
"Motorku juga pecah lampunya," kataku kemudian.
"Yang salah kan, lo, tiba-tiba berhenti," kata Karen.
"Benar, kamu yang salah," sambut sekuriti tersebut.
Masyarakat lingkungan itu mulai berdatangan, mungkin karena melihat orang datang, Karen sepertinya takut juga.
"Nih, ganti lampu motor lo," katanya seraya memberikan uang dua ratus ribu. Aku hanya melongo melihat dia pergi dengan mobil Jazz - nya.
"Kamu yang salah, kamu yang dalam duit, bagilah, ganti lampu itu paling seratus," kata sekuriti tersebut.
"Ini sama bapak semua, berhentilah jadi penjilat," kataku seraya memberikan uang itu semua padanya.
Ini kali pertama kupraktekkan ilmu tersebut, akan tetapi ternyata tidak ampuh, yang ada malah membuat orang makin marah.
Aku pulang ke rumah, hari itu aku tidak masuk kuliah. Coba kutelepon Ayah.
"Ayah, gak ampuhnya," laporku setelah basa-basi dan salam seadanya.
"Gak ampuh bagaimana?"
"Aku sudah baca sampai yang empat barisan, gak ampuh," kataku.
"Apa Itu, Cok?" ternyata mamak ada di sana.
"Aku ditabrak mobil, Mak, motorku pecah lampunya," kataku mengalihkan pembicaraan.
"Astaghfirullah, kamu baik-baik saja, Cok?"
"Alhamdulillah, baik, Mak, hanya motor itu yang pecah lampunya,"
"Cok, beli motor baru saja," kata mamak.
"Dek, jangan gitu ngajari anak," terdengar suara ayah.
"Jadi bagaimana lagi, Bang, percuma aku wakil bupati, percuma sawit kita luas, tapi motor anak kita Supra," kata Mamak.
"Iya, Dek, tapi gak gitu juga caranya, ajarkan hidup sederhana pada anak," kata ayah.
Perdebatan itu terjadi lagi, aku segera mematikan panggilan telepon.
Aku coba telepon Pak Ali Akhir lagi, konsultasi mengenai masalah yang menimpaku. Tentang video yang viral, tentang aku yang banyak dihujat.
"Begini, Cok, viral itu bermasa waktunya, satu bulan dua bulan, orang sudah lupa, saran saya, diamkan saja dulu, lagi pula gak capek kah berurusan dengan hukum terus," kata Pak Ali Akhir.
"Oh, iya, Pak, terima kasih," jawabku. Mungkin perwira polisi itu sudah mulai bosan denganku yang selalu banyak masalah. Aku coba ikuti sarannya, diamkan saja.
Waktu salat Zuhur tiba, aku segera ke masjid. Ketika sampai di mesjid, Ridho sedang membersihkan tempat ambil wudhu.
"Cok, tadi kamu ditabrak ya, makin kurang ajar saja itu orang, kita labrak ke sana," kata Ridho.
"Gak usah, aku yang salah," jawabku.
"Dia yang nabrak dari belakang, kok Ucok yang salah?" Pemuda itu masih bertanya.
"Udahlah," kataku lagi.
Aku segera masuk Masjid dan langsung azan karena waktu salat sudah dapat. Lanjut salat sunah dua rakaat, terus Iqamah dan salat berjamaah. Ada juga hikmahnya kejadian yang menimpaku, warga sepertinya semakin sadar pentingnya salat berjamaah, makin hari, jama'ahnya makin ramai.
Saat aku keluar dari mesjid, aku melihat seorang pria berpakaian lusuh duduk di teras mesjid. Di sampingnya ada tas ransel yang juga sudah lusuh.
"Assalamualaikum," sapa pria tersebut.
"Waalaikum salam,"
"Pak, bisa minta tolong, Pak, saya datang merantau dari Sumatra, sudah dua bulan tidak dapat kerja, tolong saya, Pak, bagi ongkos untuk pulang ke kampung, anak saya sakit, Pak ini KTP saya kalau bapak tidak percaya," katanya seraya menunjukkan KTP.
Kuperhatikan KTP tersebut, alamatnya Sumatra Selatan, akan tetapi wajahnya seperti tidak mirip dengan foto di KTP.
"Itu foto KTP, Pak, sepuluh tahun yang lalu, udah jelek seumur hidup pula," kata pria tersebut.
"Jadi mau pulang kampung gitu, Pak,"
"Iya, Pak, mohon bantuannya," katanya lagi.
Aku coba mengira-ngira ongkos ke Palembang sana, bisa lima ratus ribu itu. Aku ambil dompet di jok motor, pas sekali ada uang lima ratus ribu di dompet. Aku berikan pada pria tersebut.
"Semoga selamat sampai tujuan, Pak," kataku seraya menyalaminya.
"Terima kasih, Pak, terima kasih," katanya seraya menangis.
Ada rasa puas ketika bisa membantu orang. Aku lalu pulang ke rumah. Sampai di rumah uang sudah tidak ada.
Malam harinya sehabis salat isya aku keluar untuk ambil uang ke ATM sekalian makan malam. Saat makan di sebuah warung Padang, aku terkejut melihat pria yang tadi minta ongkos di mesjid. Aku dengar dia bicara dengan orang yang di meja sebelahku.
"Tolong, Pak, istriku mau melahirkan, aku tidak ada ongkos pulang," kata pria itu. Aku menguping sambil makan.
"Ini KTP saya, Pak," kata pria itu lagi.
"Wah, jauh juga ke Aceh ya," kata pria di sampingnya.
"Tolong, Pak, istriku mau melahirkan, ini foto istriku," katanya lagi.
Ya, Allah, ternyata aku sudah tertipu. Lima ratus ribu sudah melayang. Akan tetapi aku heran juga, tadi KTP -nya KTP Palembang, kini sudah KTP Aceh. Apa dia punyaku banyak KTP.
"Coba periksa kantongnya, Pak, pasti banyak KTPnya," kataku sambil berdiri.
"Mana ada!" pria itu coba mengelak.Akan tetapi aku menangkapnya. Kurogoh paksa kantongnya, ada empat KTP dengan nama dan foto yang berbeda-beda.
"Bapak berbakat jadi pemain sinetron," kataku kemudian.
"Sini uangku!" kataku lagi. Aku merampas tas pria tersebut. Ya, Allah, ternyata tas lusuh Itu berisi banyak uang, mungkin ada puluhan juta. Aku ambil lima ratus ribu. Sungguh pekerjaan yang mudah dan menghasilkan banyak uang, jika dalam satu hari dua orang saja orang sepertiku, dia sudah bergaji satu juta. Aku geleng-geleng kepala.
Saat sampai di rumah, aku terkejut melihat mobil Honda Jazz kuning parkir di depan rumah, bumper depannya penyok, ini pasti Karen, ada apa dia datang? Apakah akan terjadi cek-cok lagi?
PoV KarenNamaku Karen, lengkapnya Karenina. Kuliah kedokteran di universitas paling bergengsi di ibukota. Orang tuaku pejabat, beliau menjabat kepala dinas di kota kelahiranku di Sumatra. Di sini aku tinggal bersama seorang ART dan seorang sopir. Rumah di komplek tergolong elit dikontrak Ayah untuk tempat tinggalku.Semula di sini aman saja, tetangga kiri yang seorang polisi sangat baik. Akan tetapi ketenanganku mulai terusik. Belakangan ini, adab suara mengaji dan azan sangat keras dari masjid yang di belakang rumah.Hingga suatu hari, kesabaranku sudah habis, saat itu aku baru saja bisa tidur, jam sudah menunjukkan angka tiga, akan tetapi baru saja aku terlelap, suara mengaji itu mulai lagi. Suaranya seakan menggetarkan dinding kamarku. Mungkin karena pengaruh PMS, hatiku seakan terbakar, akhirnya aku pergi ke masjid tersebut.Saat aku sampai seorang pria lagi asyik mengaji, kutegur pun dia tak menggubris, akhirnya aku ucapkan salam. Astaga, wajah pemuda ini teduh sekali. Aku ha
Lelaki Bersarung PoV UcokIlmu meluluhkan hati orang itu ternyata berhasil, akan tetapi hasilnya sungguh tak terduga. Aku ditembak cewek yang lebih tua umurnya tiga tahun. Karen namanya, gadis cantik calon dokter.Malam itu aku terkejut melihat Karen datang ke masjid, dia memakai mukena warna pink, manis sekali. Saat itu aku dan Ridho duduk di teras masjid menunggu waktu isya."Assalamualaikum," salam dari Karen."Waalaikum salam," jawabku dan Ridho hampir bersamaan."Masih ada waktu Magrib kah?" tanyanya kemudian."Masih, masih," kataku seraya menunjuk ruang salat untuk perempuan.Gadis itu kemudian masuk masjid, aku dan Ridho melanjutkan obrolan. Beberapa saat kemudian gadis itu sudah selesai salat, dia justru duduk di depan kami."Diskusi apa kita ini?" tanyanya."Maaf, bertanya dulu, Karen, kamu muslim kan?" tanyaku kemudian. Karena pernah dia suruh aku pasang lampu di kamarnya, aku sempat melihat tanda-tanda agama lain."Ayahku tadinya muslim, ibuku kristen, jadi aku diberikan k
Bu Wabup PoV NiaSemenjak dilantik jadi wakil bupati, kehidupan kami benar-benar berubah. Senin sampai Jumat harus tinggal di rumah dinas walikota bupati. Sabtu Minggu baru ke rumah pribadi. Pelaksana tugas kepala desa kuserahkan pada wakil kepala desa.Akan tetapi apakah kami berubah lebih baik? Entahlah, aku tidak tahu, apakah ini lebih baik? Cantik kini diurus seorang baby sitter. Butet juga pindah sekolah ke kota. Bupati juga menepati janjinya, aku dilibatkan dalam setiap rapat penting. Urusan sosial dan pertanian juga jadi pekerjaanku. Satu lagi yang disarankan bupati aku urus, yaitu pemberdayaan perempuan.Hari itu kami lagi di rumah dinas Wakil Bupati. Bang Parlin tak berubah, hobby yang berkebun masih dia bawa sampai rumah dinas. Belakang rumah dinas itu jadi kebun sayuran dan tanaman obat-obatan.Ada tamu datang, mobil berpelat merah parkir di halaman rumah. Seorang pria paruh baya turun dari mobil. Aku kenal pria ini, dia kepala dinas sosial."Selamat sore, Bu," sapanya
Jabatan ini ternyata berat juga, berat dalam arti susah untuk yang jujur. Aku baru paham, ternyata jual beli jabatan itu sudah hal yang lumrah. Orang jujur justru banyak dimusuhi orang. Aku juga ternyata salah pilih, dinas sosial itu ternyata lahan basah. Karena menyalurkan uang yang banyak. Jabatan ini juga ternyata sangat menyita waktu dan pikiran. Aku sangat bersyukur punya Bang Parlindungan dan Butet yang selalu siap membantu. Hp-ku yang tadinya jarang berbunyi kini hampir-hampir setiap setengah jam ada yang menelepon."Kayaknya mamak dahulu butuh asisten ini, yang kerjanya khusus terima telepon dan atur jadwal mamak," usul Butet di suatu hari."Belum perlu lah, Tet,""Camat saja ada asistennya," kataku Butet lagi."Iya juga ya, nantinya kita cari,"Pak bupati meneleponku di suatu hari, saat itu aku lagi berada di kantor dinas sosial."Bu Nia, saya mohon jangan terlalu keras, saya setuju kita berantas korupsi, tapi pelan-pelan saja," kata Bupati."Maaf, Pak, saya lihat di dinas s
Kadang aku merasa orang tuaku terlalu berlebihan dalam hal yang terjadi padaku. Ini hanya foto dengan tiga cewek, ayah sampai harus datang ke Jakarta? Padahal aku sudah banyak melihat orang di Jakarta ini, sudah banyak bergaul dengan mahasiswa lain, kurasa aku masih yang paling baik. "Kak Karen, tolong hapus status itu," kataku kemudian lewat pesan inbox.Akan tetapi tak dibalas, mau menelepon aku tidak tahu nomor. Akan tetapi aku memang sangat terganggu dengan status tersebut. Kucoba inbok lagi, tak juga dibalas. Akhirnya aku nekat pergi ke rumahnya yang tidak berapa jauh dari rumah. Kulirik jam sudah menunjukkan angkat setengah sebelas.Saat di pintu gerbang komplek, sekuriti menahan motorku, aku pun menjelaskan maksud kedatangan, yaitu ingin bertemu Karenina. Sekuriti itu bilang menelepon Karen duluan."Oh, aku minta nomornya saja kalau gitu," kataku lagi. Sekuriti ini bukan yang pernah kuberikan uang dulu."Maaf, kami tidak boleh memberikan nomor orang sembarangan, maaf," katan
Dalam hal ini aku merasa ayah berlebihan, ayah bilang berhenti membandingkan, jadi apa ukuran kesuksesan? Jika bukan dibandingkan dengan yang lain? Apa ukuran kebaikan jika bukan karena ada pembanding? "Ayah iri ya, aku lebih sukses dari pada ayah?' tanyaku kemudian.Plakk! Ayah malah menamparku, ini untuk pertama kali setelah aku dewasa ditampar Ayah. "Maaf, Cok," Ayah langsung minta maaf setelah menampar. Tak bicara' lagi ayah pergi ke kamar yang ada di atas yang kebetulan memang kosong.HP -ku berbunyi, ada panggilan video dari Butet, langsung saja kuterima."Mana ayah?" tanya Butet."Merajuk" jawabku."Apa, Cok? Merajuk?" ternyata mamak ada di situ."Iya, Mak?""Kok bisa merajuk?""Itulah, seharusnya aku yang merajuk, ini orang tua yang merajuk, bukan anaknya lagi, dunia terbalik," kataku kemudian."Jelaskan dulu, Cok,"""Ayah menamparku, Mak, lalu ayah yang merujuk, itu di kamar atas berkurung."Cok, ayah menamparmu?" tanya mamak lagi."Iya, Mak,""Kok bisa?" "Kan gini, Mak,
"Bapakmu tampan ya, Cok?" kata Karen seraya duduk di kursi plastik yang ada di depan rumah."Hehehe, iya," jawabku. "Penampilan Bapakmu unik dan antik," katanya lagi."Oh, ya,""Terus badannya tetap bagus, tidak seperti bapak-bapak kebanyakan," Karen makin lanjut memuji Ayah."Rambutnya itu, lo, keren," kata Karen lagi. Selama ini orang selalu bilang rambut ayahku kuno, baru kali ini ada yang bilang keren."Lo datang kemari mau ngapain, mau muji Ayahku ya?" aku agak kesal juga."Aku mau ngajak makan malam," kata Karen lagi."Masih sore,""Maksudnya kita jalan-jalan dulu sampai malam baru makan," "Oh, tidak, terima kasih,""Tolonglah, Cok, malas kali jalan sendiri, " kata Karen lagi.Ah, kata tolong itu lagi, entah kenapa cewek cantik suka minta tolong."Cok, please, aku yang traktir," "Maaf, ada Ayahku," kataku akhirnya."Cok, tolonglah, aku takut jalan sendirian malam, di rumah terus bosan," kata Karen lagi. Dua kali minta tolong itu akhirnya membuat ku luluh juga."Ok, aku gan
Aku memberikan HP pada Ayah, Ayah menghentikan makannya lalu mengajakku keluar dari ruangan. "Bang, Abang ke Jakarta mau nasehatin Ucok, malah ikut-ikutan!" kata Mamak. "Dek, dengarkan dulu, gini ceritanya. ..." "Bagaimana?" "Lihat dulu kemari, Dek, jangan marah-marah gitu," kata Ayah. "Hmmm, aku mendengarkan," "Si Ucok ini kelemahannya kan cewek cantik, jadi dia mau pergi sama cewek cantik, pilihan Abang apa coba, Dek, melarang atau membiarkan? Jika dilarang, taulah kau anak kita, Dek, sudah merasa dewasa, kalau dibiarkan, mana bisa hati tenang anak kita lemah di depan cewek cantik, jadi Abang buat pilihan lain, ikut sebagai pengawal, menjaga anak kita," kata ayah. "Ohhh, gitu, Bang," kata Mamak. "Iya, Dek, Jakarta ini keras, Dek, anak kita lemah di cewek, sementara Jakarta ini banyak ceweknya," kata Ayah lagi. "Jadi bagaimana, Bang, kita suruh dia berhenti kuliah saja?' tanya mamak. "Rumit, Dek, sementara Ucok sudah merasa dewasa," "Jadi. ...," "Begini, Dek, Abang ras