Share

Tertipu

last update Last Updated: 2023-06-01 20:55:04

Tabrakannya ringan saja, tak sampai membuat aku terpental, tak juga membuat motor jatuh, akan tetapi kaca belakang motorku pecah.

"Heh, lo mau mati ya?" kata seorang wanita. Aku menatapnya, wanita itu balik menatapku. Matanya melotot.

"Heh, masalah lo apa?" katanya lagi.

Ini kesempatan emas, dua baris doa itu akhirnya aku lafalkan juga. Akan tetapi tidak ada yang berubah. Karen justru makin marah.

Aku coba yang empat baris, dia justru berpaling dariku. Ternyata kali ini dia menyetir sendiri. 

"Singkirkan motor butut lo," katanya kemudian.

Aku menggeser motor tersebut, akan tetapi sekuriti komplek datang.

"Sudah penyot ini, Bu, suru dia ganti," kata sekuriti itu seraya menunjuk bumper mobil Karen.

"Motorku juga pecah lampunya," kataku kemudian.

"Yang salah kan, lo, tiba-tiba berhenti," kata Karen.

"Benar, kamu yang salah," sambut sekuriti tersebut.

Masyarakat lingkungan itu mulai berdatangan, mungkin karena melihat orang datang, Karen sepertinya takut juga.

"Nih, ganti lampu motor lo," katanya seraya memberikan uang dua ratus ribu. Aku hanya melongo melihat dia pergi dengan mobil Jazz - nya.

"Kamu yang salah, kamu yang dalam duit, bagilah, ganti lampu itu paling seratus," kata sekuriti tersebut.

"Ini sama bapak semua, berhentilah jadi penjilat," kataku seraya memberikan uang itu semua padanya.

Ini kali pertama kupraktekkan ilmu tersebut, akan tetapi ternyata tidak ampuh, yang ada malah membuat orang makin marah. 

Aku pulang ke rumah, hari itu aku tidak masuk kuliah. Coba kutelepon Ayah.

"Ayah, gak ampuhnya," laporku setelah basa-basi dan salam seadanya.

"Gak ampuh bagaimana?"

"Aku sudah baca sampai yang empat barisan, gak ampuh," kataku.

"Apa Itu, Cok?" ternyata mamak ada di sana.

"Aku ditabrak mobil, Mak, motorku pecah lampunya," kataku mengalihkan pembicaraan.

"Astaghfirullah, kamu baik-baik saja, Cok?"

"Alhamdulillah, baik, Mak, hanya motor itu yang pecah lampunya,"

"Cok, beli motor baru saja," kata mamak.

"Dek, jangan gitu ngajari anak," terdengar suara ayah.

"Jadi bagaimana lagi, Bang, percuma aku wakil bupati, percuma sawit kita luas, tapi motor anak kita Supra," kata Mamak.

"Iya, Dek, tapi gak gitu juga caranya, ajarkan hidup sederhana pada anak," kata ayah. 

Perdebatan itu terjadi lagi, aku segera mematikan panggilan telepon. 

Aku coba telepon Pak Ali Akhir lagi, konsultasi mengenai masalah yang menimpaku. Tentang video yang viral, tentang aku yang banyak dihujat.

"Begini, Cok, viral itu bermasa waktunya, satu bulan dua bulan, orang sudah lupa, saran saya, diamkan saja dulu, lagi pula gak capek kah berurusan dengan hukum terus," kata Pak Ali Akhir.

"Oh, iya, Pak, terima kasih," jawabku. Mungkin perwira polisi itu sudah mulai bosan denganku yang selalu banyak masalah. Aku coba ikuti sarannya, diamkan saja.

Waktu salat Zuhur tiba, aku segera ke masjid. Ketika sampai di mesjid, Ridho sedang membersihkan tempat ambil wudhu.

"Cok, tadi kamu ditabrak ya, makin kurang ajar saja itu orang, kita labrak ke sana," kata Ridho.

"Gak usah, aku yang salah," jawabku.

"Dia yang nabrak dari belakang, kok  Ucok yang salah?" Pemuda itu masih bertanya. 

"Udahlah," kataku lagi.

Aku segera masuk Masjid dan langsung azan karena waktu salat sudah dapat. Lanjut salat sunah dua rakaat, terus Iqamah dan salat berjamaah. Ada juga hikmahnya kejadian yang menimpaku, warga sepertinya semakin sadar pentingnya salat berjamaah, makin hari, jama'ahnya makin ramai. 

Saat aku keluar dari mesjid, aku melihat seorang pria berpakaian lusuh duduk di teras mesjid. Di sampingnya ada tas ransel yang juga sudah lusuh.

"Assalamualaikum," sapa pria tersebut. 

"Waalaikum salam," 

"Pak, bisa minta tolong, Pak, saya datang merantau dari Sumatra, sudah dua bulan tidak dapat kerja, tolong saya, Pak, bagi ongkos untuk pulang ke kampung,  anak saya sakit, Pak ini KTP saya kalau bapak tidak percaya," katanya seraya menunjukkan KTP.

Kuperhatikan KTP tersebut, alamatnya Sumatra Selatan, akan tetapi wajahnya seperti tidak mirip dengan foto di KTP.

"Itu foto KTP, Pak, sepuluh tahun yang lalu, udah jelek seumur hidup pula," kata pria tersebut.

"Jadi mau pulang kampung gitu, Pak," 

"Iya, Pak, mohon bantuannya," katanya lagi.

Aku coba mengira-ngira ongkos ke Palembang sana, bisa lima ratus ribu itu. Aku ambil dompet di jok motor, pas sekali ada uang lima ratus ribu di dompet. Aku berikan pada pria tersebut.

"Semoga selamat sampai tujuan, Pak," kataku seraya menyalaminya.

"Terima kasih, Pak, terima kasih," katanya seraya menangis.

Ada rasa puas ketika bisa membantu orang. Aku lalu pulang ke rumah. Sampai di rumah uang sudah tidak ada.

 Malam harinya sehabis salat isya aku keluar untuk ambil uang ke ATM sekalian makan malam. Saat makan di sebuah warung Padang, aku terkejut melihat pria yang tadi minta ongkos di mesjid. Aku dengar dia bicara dengan orang yang di meja sebelahku.

"Tolong, Pak, istriku mau melahirkan, aku tidak ada ongkos pulang," kata pria itu. Aku menguping sambil makan.

"Ini KTP saya, Pak," kata pria itu lagi.

"Wah, jauh juga ke Aceh ya," kata pria di sampingnya.

"Tolong, Pak, istriku mau melahirkan, ini foto istriku," katanya lagi.

Ya, Allah, ternyata aku sudah tertipu. Lima ratus ribu sudah melayang. Akan tetapi aku heran juga, tadi KTP -nya KTP   Palembang, kini sudah KTP Aceh. Apa dia punyaku banyak KTP. 

"Coba periksa kantongnya, Pak, pasti banyak KTPnya," kataku sambil berdiri. 

"Mana ada!" pria itu coba mengelak.

 Akan tetapi aku menangkapnya. Kurogoh paksa kantongnya, ada empat KTP dengan nama dan foto yang berbeda-beda. 

"Bapak berbakat jadi pemain sinetron," kataku kemudian. 

"Sini uangku!" kataku lagi. Aku merampas tas pria tersebut. Ya, Allah, ternyata tas lusuh Itu berisi banyak uang, mungkin ada puluhan juta. Aku ambil lima ratus ribu. Sungguh pekerjaan yang mudah dan menghasilkan banyak uang, jika dalam satu hari dua orang saja orang sepertiku, dia sudah bergaji satu juta. Aku geleng-geleng kepala.

Saat sampai di rumah, aku terkejut melihat mobil Honda Jazz kuning parkir di depan rumah, bumper depannya penyok, ini pasti Karen, ada apa dia datang? Apakah akan terjadi cek-cok lagi?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (17)
goodnovel comment avatar
Rosi Mauliana
asyik bisa baca cerita keluarga Parlin lagi
goodnovel comment avatar
carsun18106
oh sudah pasti ini mah, ngga bakal bisa ngejawab sih
goodnovel comment avatar
carsun18106
satu lg komen ilang, manteeep
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Jadul Tapi Mantul    The End

    PoV Nia Sangat sedih melepas Butet untuk mengarungi rumah tangga barunya. Rasanya baru kemarin dia kugendong. Dia teman diskusi yang sangat asyik. Selama ini dia memang sudah tinggal jauh dari kami, akan tetapi tetap berat juga untuk melepasnya. Bang Parlin juga terlihat sangat sedih, pesta ini justru jadi ajang tangis bagi suamiku. Dia justru sering menangis. Tamu yang datang sangat beragam, mulai dari pekerja kami, sampai toke sawit, sampai bupati pun datang. Akan tetapi aku sedikit kecewa, menantuku tidak datang dengan alasan tak bisa meninggalkan warungnya. Karena Menantu tidak datang, otomatis cucu kamI juga tidak datang. Padahal ini hari bersejarah. Aku ingin berfoto seluruh keluarga. Akan tetapi menantu dan satu-satunya cucu tidak datang. Aku sudah coba hubungi menantu, akan tetapi jawaban dia adalah tidak bisa meninggalkan warungnya. Katanya jika ditinggalkan, terpaksa ditutup dan pelanggan akan lari. Sementara warung itu belum bisa diserahkan kepada karyawan. Resep

  • Jadul Tapi Mantul    Selamat Menempuh Hidup Baru, Butet

    Aku bangun pagi seiring azan subuh berkumandang dari mesjid desa. Lalu mandi dan pergi ke mesjid untuk salat subuh berjamaah, kami sekeluarga pergi ke mesjid. Cantik juga ikut, kami mau sekalian membicarakan proses akad nikah di masjid tersebut. Penghulunya juga masih Abang angkatku, yang dulu pernah jadi guru mengaji di rumah kami. Setelah membicarakan semua, kami pulang ke rumah. Mulai ada kesibukan di rumah. Para Bapak-bapak memasak rendang, para ibu-ibu memasak nasi. Jam delapan pagi sudah bisa makan. Satu kampung makan di rumah kami. Kebanyakan bawa baskom masing-masing. Ibunya Bang Sandi datang, begitu datang dia langsung salaman. "Kok lama kali datangnya?" tanya mamak."Itu tadi, Bu, ngantar Sandy mau pulang," jawab Ibu tersebut."Kok cepat kali dia pulang?" tanya mamak lagi."Katanya mau tugas,"Ternyata Bang Sandy memang di sini, ingin aku bertanya pada ibunya, akan tetapi aku tahan, tak ingin merusak suasana hati yang beberapa jam lagi akan menikah. Bang Sandy bohong soal

  • Jadul Tapi Mantul    Sedihnya Melepas Butet

    Pertanyaan Bang Sandy ini sepertinya tidak masuk akal, mengajak tinggal di Brunei, pekerjaan membobol bank. "Bagaimana, Tet, kita akan bahagia bersama," kaya Bang Sandy lagi."Hei, Bang Sandy, kamu masih waras gak? masa ajak aku jadi penjahat, kerja membobol bank, emangnya kamu pikir aku penjahat ya," kataku kemudian."Itu hanya perumpamaan, Tet, intinya aku bisa lebih baik dari si Cina itu," "Hei, Bang, kamu sudah rasis, gak boleh manggil orang dengan sukunya,""Bukan maksud rasis ya, Tet, hanya kesal, ayolah, Tet, kita akan hidup makmur di Brunei, Kamu tahu gak, pemerintah Brunei pernah mengajak aku pindah ke sana, sebagai tenaga ahli bidang IT," kata Bang Sandy lagi."Wah,""Iya, Butet, aku bisa lebih baik dari si sipit itu, percayalah," Lama-lama omongan Bang Sandy makin melantur saja, padahal biasanya dia orang yang santun, jarang bicara, ini sudah rasis segala. "Kok kamu jadi rasis sih, ini bukan Bang Sandy yang kukenal,""Cinta, Tet," Oh, seperti kata ayah, cinta bisa mem

  • Jadul Tapi Mantul    Gadis Mahal

    Sekitar jam 10.00 malam, Ayah akhirnya pulang ke rumah. Ini kesempatanku untuk bertanya apakah Ayah setuju. Bang Ucok, mamak dan bahkan Cantik tidak setuju aku pergi kuliah di Amerika. Tinggal Ayah yang belum kutanyakan."Papa, Kak Butet mau pergi ke Amerika," belum sempat aku bertanya Cantik sudah mengadu duluan. "Amerika," Ayah melihatku."Iya, jauhhh,""Hahaha," ayah malah tertawa, mungkin ayah mengira ini lelucon."Ayah, Cantik benar, aku mau pergi ke Amerika," kataku kemudian."Waw, mau ngapain?""Kuliah pascasarjana, Yah," "Jauh sekali ke Amerika?""Aku dapat beasiswa, Yah," Ayah' terdiam, dia melihat mamak, lalu kembali melihatku."Boleh, Yah?" tanyaku lagi."Kamu sudah dewasa, Butet sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk," kata Ayah."Ayah dukung apapun keputusanmu, tapi Ayah berikan sedikit gambaran, Amerika itu jauh, jika sekiranya ayah meninggal kamu gak akan bisa kejar, terus adikmu suka' kangen kakaknya, kamu satu bulan tidak pulang saja Cantik sudah sering be

  • Jadul Tapi Mantul    Amerika?

    Aku justru makin bingung, Ini kesempatan langka, beasiswa di Amerika. Akan tetapi aku dan Pak Johan sudah membuat semacam kesepakatan. Tiga tahun lagi kami akan menikah, itu 2 tahun yang lalu. Apakah kesepakatan itu sudah janji? "Bagaimana, Butet? kok malah bengong?" kata Pak Dosen."Saya berpikir dulu, Pak," jawabku akhirnya."Butet, ini kesempatan langka, Jangan disia-siakan, aku yakin kamu bisa berkarir di luar negeri," kata Pak Dosen."Cita-cita saya bukan seperti itu, Pak, cita-cita saya buka kantor pengacara publik, yang memberikan layanan hukum' gratis untuk masyarakat miskin," kataku kemudian."Jika memang itu cita-citamu, cocok juga, tapi ambil S-2 ini juga, paling dua tahun," kata Pak Dosen."Saya pikirkan dulu, Pak," kataku kemudian."Kupikir tadi kamu akan sujud sukur sambil menamgis karena dapat beasiswa penuh," kata seorang pengacara yang lain."Iya, gak nyangka kamu masih berpikir, padahal ini kesempatan emas, dari propinsi ini hanya dua orang, kamu salah' satunya," ka

  • Jadul Tapi Mantul    Butet Bingung

    Bertanya ke Bang Ucok ternyata jawabannya sangat logika, ini sesuatu yang berubah pada diri Bang Ucok. Setelah dia menikah bicaranya sekarang sudah banyak yang secara logika. Atau karena dia sekarang sudah sarjana psikologi. "Memangnya siapa yang orang Cina siapa yang orang Padang?" Tanya Bang Ucok lagi."Adalah,""Biar kutebak, kalau Cina itu yang pemilik hotel itu ya?" "Iya, Bang,""Yang orang Padang siapa?" "Coba tebak?" tanyaku kemudian.Heran juga Bang Ucok tidak ingat kepada Bang Sandy, Padahal kami dulu sering memecahkan kasus bersama. Bahkan kudengar Bang Sandi setelah jadi polisi pernah pergi ke tempat Bang Ucok. Kenapa dia tidak ingat?"Umar ya?" "Bukan?""Jadi siapa?""Ah, payah Bang Ucok."Aku memutuskan panggilan telepon karena Bang Ucok tidak ingat kepada Sandy. Aku makin bingung entah memilih siapa. Cari jawaban Bang Ucok juga mengambang, masalah umur dia pilih pada Sandy, di masalah profesi dia pilih Pak Johan. Sedangkan masalah suku dia tidak memberikan pilihan.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status