Share

Bukan Urusanku

Meskipun tidak ada jendela di kamar ini yang memberitahukanku bahwa matahari telah terbit, aku tahu aku telah kesiangan. Aku kelelahan karena menyetir ditengah kemacetan kota dan derap kaki ditangga selama berjam-jam setelah aku berbaring hingga tertidur pulas. Aku duduk dan menyalakan saklar lampu di dinding. Bola lampu kecil menerangi kamar dan aku meraih ke bawah ranjang untuk menarik koperku.

Aku perlu mandi dan aku perlu memakai kamar kecil. Mungkin semua orang masih tertidur dan aku bisa menyelinap ke kamar mandi tanpa ada seseorang yang mengetahuinya. Jafin tidak menunjukkan padaku dimana kamar mandinya kemarin malam.

Aku meraih celana dalam bersih dan sebuah celana pendek hitam dan tank top putih. Jika aku beruntung, Aku bisa segera keluar dari kamar mandi sebelum Rudy turun ke lantai bawah. Aku membuka pintu yang menuju ke dapur kemudian berjalan melewati deretan rak yang menyimpan banyak makanan lebih dari yang dibutuhkan semua orang. Aku perlahan memutar kenop pintu dan dengan mudah itu terbuka. Lampu dapur mati dan satu-satunya cahaya berasal dari sinar matahari yang masuk melalu jendela  besar yang mengarah ke lautan. Jika aku tidak begitu ingin buang air kecil aku akan menikmati pemandangan itu beberapa saat. Tapi kebutuhan alam sudah memanggil dan aku harus pergi. Rumah ini sunyi. Botol minuman mengotori rumah, bersama dengan sisa makanan dan beberapa potong pakaian.Aku akan membersihkannya. Jika aku ternyata lebih berguna mungkin aku diijinkan tinggal hingga aku dapat kerja.

Aku perlahan membuka pintu pertama yang kudatangi, khawatir bisa saja itu kamar tidur. Ternyata itu hanya tempat menyimpan baju. Menutup pintu, aku kembali menuju ke ruangan yang menuju ke tangga. Jika hanya satu-satunya kamar mandi disini gabung dengan kamar tidur maka aku pasti sial. Kecuali...mungkin diluar sana ada satu kamar mandi yang digunakan orang-orang setelah seharian di pantai. Rita pasti mandi dan memakai kamar kecil juga.

Berbalik dan menuju ke dapur dan dua pintu kaca yang terbuka tadi malam.Menatap sekeliling, aku melihat ada tangga turun dan menuju bawah rumah. AKu mengikutinya.

Di bawah rumah ada dua pintu. Aku membuka salah satunya ada jaket keselamatan, papan seluncur dan pelampung menutupi dinding. Aku menutupnya kembali dan membuka pintu yang lain. Bingo.

Sebuah toilet di satu sisi dan shower kecil ada di sisi lain ruangan itu. Shampo, kondisioner dan sabun berjajar dengan handuk bersih.

Setelah selesai mandi dan berpakaian aku menggantung handuk di ujung shower. kamar mandi ini jarang digunakan. Aku bisa memakai handuk yang sama sepanjang minggu dan mencucinya di akhir pekan. Jika aku tinggal disini untuk waktu yang lama.

Aku menutup pintu di belakangku dan berjalan menuju lantai atas. Bau air laut begitu mengagumkan. Saat aku sampai di atas, aku berdiri didepan pagar dan menatap air. Ombak memecah pantai pasir putih. Ini adalah pemandangan paling indah yang pernah kulihat.

Ibu dan aku pernah berbicara tentang pergi kepantai bersama-sama suatu hari nanti. Setiap musim dingin yang begitu dingin, kami duduk di dalam rumah dan merencanakan liburan musim panas kami ke pantai. Kami tidak pernah bisa melakukannya dan kemudian dia sakit.Kami tetap merencanakannya. Itu membantu untuk mimpi besar kami.

Sekarang aku berdiri disini menatap ombak yang hanya bisa kami bayangkan. Ini bukanlah liburan yang kami rencanakan tapi aku disini melihatnya untuk kami berdua.

"Pemandangan itu tidak akan pernah membosankan." Suara Rudy mengejutkanku. Aku berbalik untuk melihat Rudy usng bersandar di pintu. Telanjang dada.

Oh. My.

Aku tidak bisa berkata-kata. Satu-satunya dada telanjang seorang pria yang pernah kulihat adalah Bobi. Dan itu terjadi sebelum ibuku sakit, ketika aku punya waktu untuk berkencan dan bersenang-senang. Dada Bobi yang berusia 16 tahun tidak ada apa-apanya dibanding dengan dada bidang, berotot di depanku. Dia bahkan punya six pack di perutnya.

"Kau sedang menikmati pemandangan?" Mata gelinya tidak membuatku ingin lari. Aku mengalihkan tatapanku untuk melihat senyuman di bibirnya. "Jangan biarkan aku mengganggumu. Aku juga sedang menikmatinya." Jawabnya, kemudian menyesap secangkir kopi ditangannya.

Wajahku memanas dan aku tahu wajahku memerah. Berbalik, aku menatap pada lautan. Sungguh memalukan.Aku mencoba agar pria ini membiarkan aku tinggal sedikit lebih lama. Meneteskan air liur bukanlah hal yang baik. Tawa kecil di belakangku hanya membuat segalanya lebih buruk. Dia menertawkanku. Fantastis.

"Disini kau rupanya. Aku merindukanmu di ranjang pagi ini." Suara lembut seorang wanita datang dari belakangku. Ingin tahu lebih yang terjadi dan aku pun berbalik. Seorang gadis yang hanya memakai bra dan celana dalam merapatkan dirinya pada tubuh Rudy dan menjalankan kuku panjang merah mudanya di dada Ruduy. Aku tidak menyalahkannya karena menyentuh dadanya. Aku pun sangat tergoda.

"Waktunya kau pergi." Jawabnya sambil mengangkat tangan gadis itu dari dadanya dan menjauh darinya. Aku melihat saat dia menunjuk ke arah pintu depan.

"Apa?" Tanya gadis itu. Ekspresi kebingungan diwajahnya seolah mengatakan dia tidak mengharapkan ini.

"Kau sudah dapat apa yang kau inginkan, sayang. Kau mendapatkannya. Sekarang aku sudah selesai."

Nada dingin dalam suaranya mengejutkanku. Apa dia serius?

Gadis itu menghentakkan kakinya. Rudy menggelengkan kepalanya dan menyesap lagi kopi dari cangkirnya.

"Kau tidak bisa lakukan ini padaku. Semalam begitu mengagumkan, Kau tahu itu." Gadis itu meraih lengannya dan dia dengan cepat menghempaskannya.

"Aku sudah memperingatkanmu semalam ketika kau memohon padaku dan melepas pakaianmu bahwa ini hanya akan satu malam saja. tidak lebih."

Aku mengalihkan perhatianku pada gadis itu. Waajahnya marah dan membuka mulutnya untuk berdebat tapi menutupnya lagi. Dengan hentakan kakinya dia berjalan keluar rumah.

Aku tidak percaya apa yang baru saja kulihat. Apa seperti ini cara orang-orang ini bersikap? Satu-satunya pengalaman pacaran yang kumiliki hanyalah bersama Bobi. Meskipun kami tidak pernah tidur bersama, dia selalu berhati-hati dan bersikap manis padaku.

"Jadi, bagaimana tidurmu semalam?" Tanya Rudy seolah tidak terjadi apa-apa.

Aku mengalihkan pandanganku dari pintu dimana gadis itu pergi dan melihatnya. Apa yang mempengaruhi gadis itu untuk tidur dengan seorang yang mengatakan hal seperti itu padanya? tentu saja, Rudy punya tubuh yang akan membuat model pakaian iri dan matanya itu bisa mebuat seorang gadis menjadi gila. Tapi tetap saja. Dia begitu kejam.

"Apa kau sering melakukannya?" Tanyaku sebelum aku bisa menghentikan diriku sendiri.

"Apa? Bertanya apakah seseorang tidur nyenyak?" Rudy mengangkat alisnya.

Dia tahu apa yang aku tanyakan. Dia menghindarinya. Ini bukan urusanku. Aku harus menjauh.

"Tidur dengan seorang gadis dan membuangnya seperti sampah?" Tanyaku. Aku menutup mulutku, terkejut dengan kata-kata yang baru saja aku ucapkan. Apa yang telah aku lakukan? Mencoba untuk mendapatkan penjelasan?

Rudy meletakkan cangkirnya pada meja disampingnya dan duduk. Dia bersandar sambil meregangkan kaki panjangnya. Kemudian menatapku. "Apakah kau selalu ikut campur hal yang bukan urusanmu?"

"Tidak pernah, tidak. Aku minta maaf." Kataku dan buru-buru masuk ke dalam. Aku tidak ingin memberinya kesempatan untuk mengusirku keluar. Aku butuh kamar di bawah tangga itu paling tidak selama dua minggu.

Aku menyibukkan diri dengan membersihkan gelas kotor dan botol bir. Tempat ini perlu dibersihkan dan aku bisa melakukannya sebelum aku mendapat pekerjaan. AKu hanya berharap dia tidak mengadakan pesta seperti ini setiap malam. 

"Kau tidak perlu melakukannya. Rita akan datang besok."

Aku memasukkan botol yang kukumpulkan ke dalam tempat sampah dan kemudian menatapnya.

"Aku pikir aku bisa membantu."

Rudy tersenyum. "Aku sudah punya asisten rumah tangga. Aku tidak akan menambahkan satu lagi jika itu yang kau pikirkan."

Aku menggelengkan kepala. "Tidak. Aku tahu. Aku hanya ingin membantu. kau mengijinkanku tidur di rumahmu semalam."

Rudy berjalan mendekat dan berdiri di depan lemari menyilangkan tangan di depan dadanya. "Tentang itu, kita harus bicara."

Oh, sial. Ini dia. 

"Oke." jawabku.

Rudy mengerutkan dari dan detak jantungku bertambah cepat. 

"Aku tidak suka ayahmu. Dia adalah parasit. Ibuku selalu saja bersama pria seperti dia. Itu adalah bakatnya. Tapi kupikir kau sudah tahu hal ini. Yang membuatku curiga, kenapa kau datang minta tolong padanya padahal kau tahu dia seperti apa?"

Aku ingin mengatakan padanya bahwa ini bukanlah urusannya. Kecuali pada kenyataan bahwa aku membutuhkan bantuannya membuat hal ini menjadi urusannya. Dia layak tahu mengapa dia membantuku. Aku tidak ingin dia berpikir aku juga parasit.

"Ibuku baru saja meninggal. Dia sakit kanker. Ditambah 3 tahun perawatan. Satu-satunya yang kami miliki hanya rumah nenek yang diwariskan untuk kami. Aku harus menjual rumah dan semuanya untuk membayar perawatan ibu. Aku tidak pernah bertemu ayahku sejak dia meninggalkan kami 5 tahun lalu. Tapi hanya dia satu-satunya keluarga yang kumiliki. Aku tidak punya keluarga lain untuk dimintai tolong. Aku butuh tempat tinggal sampai aku punya pekerjaan dan mendapat gaji. Kemudian aku bisa pindah. Aku tidak berniat untuk tinggal lama. Aku tahu ayahku tidak ingin aku ada disini." Aku mengeluarkan tawa miris. "Meskipun aku tidak pernah berharap dia akan pergi sebelum aku datang."

Tatapan Rudy tetap kuat ke arahku. Aku lebih suka informasi ini tidak diketahui siapa pun. Aku bercerita pada Bobi tentang kepergian ayahku yang begitu menyakitkan. Kehilangan saudari dan ayahku menjadi hal terberat bagiku dan ibu. Lalu Bobi ingin lebih dan aku tidak bisa menjadi orang yang dia butuhkan. Aku harus menjaga ibuku yang sakit. Aku melepaskan Bobi agar dia bisa berkencan dengan gadis lain dan bersenang-senang. Aku hanya menambah beban beratnya. Persahabatan kami tetap berjalan tapi aku tahu kalau pria yang aku cintai itu hanya akan menjadi kenangan masa kecil.

"Aku turut berduka tentang ibumu." Rudy akhirnya menjawab. "Kau bilang dia sakit selama 3 tahun, jadi sejak kau berusia 17 tahun?"

Aku mengangguk, tidak yakin apa lagi yang harus kukatakan.

"Kau berencana mencari kerja dan tempat tinggal untukmu." Dia tidak bertanya. "Kamar di bawah tangga itu milikmu selama sebulan. Kau bisa mencari kerja dan mendapat cukup gaji untuk mendapat sebuah apartemen. Jika orangtua kita kembali sebelum waktu yang kuperkirakan aku harap ayahmu bisa membantumu."

Menghembuskan nafas lega "Terima kasih."

Rudy menatap pada belakang dapur yang mengarah tempatku tidur. Kemudian kembali menatapku. "Aku harus melakukan sesuatu. Semoga beruntung dalam mencari pekerjaan." Katanya lalu meniggalkan meja dan pergi.

Aku tidak punya bensin di trukku tapi aku punya kamar. Aku juga masih punya seratus rubu rupiah. Aku bergegas ke kamar untuk mengambil dompet dan kunci. Aku harus mencari kerja secepat mungkin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status