Ada sedikit rasa kecewa melihat Agnes menjaga jarak dengan Fiani. Padahal, semalam ia sudah mengkhawatirkan Agnes dan berpikir pagi hari adalah waktu yang tepat untuk bertemu teman baiknya. Ia tidak peduli ucapan wanita itu semalam. Agnes dan pasangan suami istri itu menjadi pusat perhatian, tapi Fiani ingin menjadi penengah agar Agnes tidak semakin dipermalukan. Mengenai fakta yang membuatnya cukup terkejut. Semua itu tetap kembali lagi pada privasi Agnes dan Fiani tidak mempermasalahkan, meskipun ternyata status pertemanan mereka tidak seterbuka pertemanan pada umumnya. Ia tidak merasa dibohongi. Fiani harus mengerti keadaan Agnes dan sampai detik ini, Agnes tidak melakukan apa pun yang merugikan Fiani. Ini hanya tentang kehidupan pribadi yang terasa berat bagi Agnes dan belum berani mengungkapkannya. “Lo bisa pergi kerja duluan, Fi. Kita nggak perlu berangkat bareng. Gue nggak mau mereka justru menyerang lo karena label yang gue dapatkan semalam.” Agnes membuang pandangan set
Selama penerbangan menuju Jakarta. Tidak ada percakapan di antara Gerald dan Agnes. Bahkan, pria itu pun larut dengan kegiatan sendiri dibandingkan membuka obrolan bersama Agnes. Perempuan itu enggan memulai dan berusaha meredam rasa kesal, mengingat pria di sampingnya telah mempermainkan Agnes. “Nyebelin banget,” gerutu Agnes menatap kesal Gerald yang sudah dijemput sopir keluarga. Padahal, mereka beriringan keluar dari bandara setelah perjalanan di pesawat dan duduk bersebelahan. Gerald seolah tidak mengenal Agnes dan berlalu tanpa ucapan selamat tinggal. Ia melihat Honda CR-V putih itu berlalu dari bandara dan meninggalkan Agnes sendirian. Perempuan yang membawa satu koper dan kardus merek oleh-oleh, segera memanggil taksi. Ia ingin bertemu anak tercinta, meluapkan kebahagiaan. Perjalanan yang ditempuh untuk sampai ke kompleks perumahan sederhana tidak begitu lama. Hanya empat puluh lima menit dengan keadaan jalan yang lancar. “Anak Mama ... kangen banget udah lama nggak ketem
“Nenes janda cantik di kompleks ini, lho, Nak. Dia masih muda dan baru punya satu anak. Banyak pria muda di sekitar sini sering sekali bicarakan Nenes. Kamu nggak mau ikut mengantri dapatkan hati Nenes?” “Uhuk! Uhuk!” Gerald mengulum senyum melihat Agnes serabutan mengambil air putih dibantu Nek Lastri yang ikut panik. Pria itu sempat melihat Agnes sangat menyukai camilan dari Nek Lastri. Ia menikmati sambil mendengarkan Gerald diajak bicara wanita lansia itu. Tapi ia tidak berpikir Nek Lastri sedang mempromosikan Agnes di hadapan mantan kekasihnya. “Pelan-pelan makannya, Nenes. Jangan buat khawatir karena orang keselek juga bahaya. Nggak bisa dianggap remeh kalau yang tersedak makanan terlalu berat dan kasar.” Nek Lastri duduk di samping Agnes dan membantu menepuk serta mengusap punggung perempuan cantik itu. Agnes mengangguk dengan menyisakan sedikit batuk. Ia mengambil satu gelas berisi air putih untuk mendorong sisa makanan di tenggorokan. Dengan gerakan cepat Agnes menoleh
Perempuan berseragam olahraga itu masih manja bergelayut di leher kekasihnya. Ia menempelkan tubuh depan di punggung kekasihnya, lalu menaruh dagu di bahu tegap itu. Suara kecupan terisi di ruang ekstrakurikuler basket dan tidak lantas membuat pria yang sedari tadi sibuk melihat profil calon anggota baru merasa risih. “Masih lama, Kak? Jadi, kan, antar aku ke tempat bimbel?” Agnes mengingatkan kekasihnya yang sudah lima menit lalu mengabaikannya. Sebenarnya bukan mengabaikan, melainkan memang membutuhkan waktu merekrut anggota dan Agnes sudah dipersilakan melakukan aktifitas apa pun di ruangan sedang ini. Ukuran ruang ekskul ini setengah dari ruang kelas umum. Beberapa fasilitas tambahan cukup nyaman dan ditunjang camilan yang selalu tersedia. Gerald—kekasih Agnes—yang baru pensiun beberapa waktu lalu pun masih pada kebiasaan; menyediakan makanan untuk anggota lain. “Sebentar lagi selesai,” sahut Gerald membiarkan Agnes mengusel di ceruk lehernya. Jam masih menunjukkan pukul tiga
Tertulis di dalam surat pernikahan kontrak, jika Agnes akan mendapatkan beberapa keuntungan sebagai bentuk ganti rugi dari pernikahan mereka yang hanya berlangsung selama satu tahun kedepan. Beberapa di antaranya mencakup satu unit mobil sport, rumah di kawasan elit, uang sepuluh milyar dan saham atas resort yang ditempati Agnes. Bahkan, rumah di kawasan elit akan dipilih sendiri oleh Agnes, maksimal satu minggu sebelum pernikahan mereka berlangsung secara tertutup. Ini bukan hal yang ditakuti Agnes. Ada hal lain membuatnya sedikit gundah dan hampir mundur. Sayangnya, dendam masa lalu Agnes terpantik kembali dan ia ingin menghancurkan telak Jiera. Ia akan membuat posisi di antara mereka terbalik, lalu Agnes bisa memenangkan keinginan terpendamnya juga. Gerald melihat tangan kanan Agnes dengan cepat membuat sebuah garis berbentuk tanda tangan. Pola cepat setelah dalam kurun kurang dari dua menit Agnes membaca isi surat tersebut. “Kamu berubah pikiran?” tanya Gerald masih tidak perca
Gerald menatap tidak percaya hal yang diucapkan Agnes. Ia tidak pernah berpikir Agnes akan sefrontal ini dalam mempertanyakan sesuatu yang menurut Gerald privasi. Hubungan di antara Gerald dan Jiera dikonsumsi untuk mereka berdua saja. Tapi melihat tatapan tegas Agnes dan keingintahuan lebih jauh, membuat Gerald mendapati sosok baru di depannya.Ini bukanlah seorang Agnes Zefanya yang dikenal sebagai General Manager. Perempuan dewasa dengan segala sikap mandiri, tidak berusaha mengusik kehidupan orang lain dan hanya mementingkan kebahagiaan sendiri tanpa perlu memikirkan permasalahan orang lain.Perempuan di hadapannya telah berbeda dari sifat yang dulu sangat manja terhadap Gerald. Entah alasan apa Agnes mempertanyakan hal tersebut.Ia memaksakan sedikit senyum. Mungkin Gerald salah mendengar pertanyaan Agnes.Pria itu berdeham pelan dan berucap, “Kamu lagi banyak pikiran, Nes? Apa Tante kamu menghubungi kamu mengenai sikapku yang mempermalukan beliau?”“Kenapa mengalihkan pembicaraa
Manik hitam Agnes melihat interaksi antara Irvin dan Gerald. Pria itu membawa Irvin ke ruang tengah, lalu menyiapkan mainan edukasi, saling berbicara satu sama lain. Gerald justru menyukai bagaimana Irvin terlihat ingin berbicara banyak. Sesekali pria itu membuat Irvin tertawa. Gerald bangun lebih pagi dibandingkan Agnes yang terlelap di samping Irvin. Seluruh pakaian mandi, lalu menyiapkan ASI untuk Irvin dilakukan Gerald. Bahkan, Gerald sudah memesan sarapan pagi dan mereka makan bersama di balkon ruang tengah. “Kamu mau aku antar pulang jam berapa?” Agnes terkesiap. Ia mendongak dan mendapati Gerald mendekati Agnes sambil menggendong Irvin yang terlelap. Ia segera bangun dari kursi balkon ruang tengah. Perempuan itu tidak sadar jika Irvin sudah cukup lama bermain, lalu tertidur seraya masih memegang botol minum. Bibir itu masih mengemut dibantu dengan tangan bebas Gerald yang tidak menahan beban tubuh Irvin. “Ge. Kamu marah sama aku?” “Marah karena apa, Nes?” Bibir ranum itu
Gerald melangkah ringan menuju pintu utama rumah orangtuanya. Senyum manis tidak pudar saat ingatan kuat mengenai kejahilannya pada Agnes berjalan sempurna. Ia tahu Agnes terpaksa harus menyuapi, sedangkan tangan kanan Gerald sibuk membantu Irvin menikmati makan siang. Setidaknya ia berhasil mengambil kesempatan dalam kesempitan, meskipun tatapan membunuh Agnes cukup membuat Gerald takut. “Akhirnya kamu sudah pulang, Nak. Mami nggak bisa hubungi nomor ponsel kamu dan ternyata memang nggak aktif sama sekali.” Gerald menoleh ke sumber suara, berniat untuk menjelaskan dari pertanyaan Mami kesayangannya. Namun, tatapan Gerald sudah tertuju di ujung sofa, tepat di samping Maminya yang semringah menyambut kedatangan Gerald. “Jiera?” “Kejutan!” Gerald mematung saat tubuh seksi itu sudah melangkah lebar, lalu mendekap erat tubuh Gerald menumpahkan segala kerinduan. Mami Gerald yang melihat pelukan sepasang tunangan itu pun mengulas senyum kecil. Dua orang di hadapannya memang lebih ser