Ciuman itu begitu liar, Sakti terlihat terburu-buru membuka pakaian lawan mainnya malam ini. Wanita berbeda lagi yang di temuinya malam ini sewaktu dia berada di club tadi.
"Slowly," ucap wanita itu lembut.
Sakti seakan tidak perduli, dia dengan rakusnya melumat bibir yang sejak tadi tidak pernah diam selama perjalanan mereka.
Sakti menghempaskan tubuh indah itu ke atas ranjang, seraya tersenyum miring. Gaun berwarna hitam membalut tubuh itu pun sudah terlepas dari tubuhnya. Sakti melempar kemejanya ke atas sofa, merangkak naik ke atas tubuh teman kencannya malam ini.
"Siapa nama kamu tadi?" bisik Sakti lalu menyusuri leher jenjang putih mulus itu.
Wanita itu mendesah saat Sakti menekan tubuh bagian bawahnya dan menyesap leher wanita itu sedikit kuat.
"Reina ...," ucapnya lirih seraya mengangkat dagunya memberikan ruang pada Sakti menikmati lehernya.
"Reina ...." Suara itu begitu lembut, tangan Sakti meremas payudara yang bahkan sedikit melebihi cengkraman telapak tangannya. "Malam ini, berikan yang terbaik."
Sakti melumat kasar bibir Reina, melepasnya lalu melumatnya lagi. Perlahan turun menyusuri dada wanita itu, bermain sebentar dengan lidahnya membuat tubuh indah itu melengkung, membusungkan dadanya, menyusupkan jari jemarinya masuk mengacak rambut Sakti.
Sakti mengangkat kepalanya menikmati wajah wanita yang tak kuasa menahan hasrat. Senyumnya menyeringai, begitu mudah wanita-wanita ini dia taklukkan. Sakti berhenti di atas perut Reina, lalu naik perlahan menarik selimut menutupi tubuh Reina.
Alis wanita itu mengerut, baru saja dia ingin menikmati malam ini dengan seorang casanova yang cukup terkenal di kalangannya, tiba-tiba berhenti begitu saja.
"Kenapa?" tanya Reina.
Sakti bangkit dari tempat tidur itu, menarik resleting celananya, meraih satu bungkus rokok di atas nakas.
"Sorry, mendadak aku kehilangan mood," ujarnya santai sambil memantik api, menghisap rokoknya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya.
"Gila!" gumam Reina menarik selimut itu sampai ke batas lehernya.
"Tidur saja, biar aku di luar," kata Sakti melangkah menuju pintu dan menutup pintu itu perlahan.
"Stress itu orang ... udah naik begini, di tinggal gitu aja," gerutu Reina meraih gaunnya, dia memutuskan untuk pulang saja daripada berada di sana dengan orang yang terang-terangan tadi semangat sekali menggaulinya, tiba-tiba berhenti.
Pintu apartemen itu tertutup dengan kerasnya, kekecewaan Reina terbalaskan setelah dia membanting pintu apartemen Sakti namun hanya membuat Sakti menoleh sambil mendengus lalu.
Terkadang Sakti memang seperti itu menggebu di awal, dan hilang rasa di pertengahan hingga membuat lawannya menumpat kesal.
Waktu menunjukkan pukul satu pagi saat gawainya berbunyi. Assisten pribadinya mengingatkan pertemuan dengan salah satu perusahaan kontraktor terbesar untuk proyek mereka di bidang property. Sakti hanya membaca sekilas, entahlah belakangan ini, Sakti merasa hidupnya sudah tak ada lagi warna.
"Membosankan!" gerutunya dalam hati.
*****
Sinar matahari pagi menyeruak masuk melalui celah tirai, Sakti tersadar dari tidurnya, matanya melirik jam di atas nakas, sudah setengah delapan pagi. Lelaki itu melangkah lebar menuju kamar mandi, secepat kilat menyiapkan dirinya pagi itu. Pertemuan akan di laksanakan pukul sembilan pagi ini, membicarakan proyek real estate, dia mencoba meluaskan bisnis perusahaan itu.
"Sialan!" kesalnya saat mobil sport yang dia kendarai tiba-tiba mati di tengah jalan.
"Argh ... kenapa ini?!" Sakti memukul kemudinya, seingatnya kemarin baru saja dia mengisi bahan bakar dan seingatnya lagi mobil ini tidak pernah bermasalahnya.
"Halo, Pri ...," ujar Sakti saat sambungan teleponnya tersambung. "Kamu di kantor? bisa jemput saya ... ini di daerah ...." Sesaat Sakti melihat sekitarnya, "ini daerah Sudirman, mobil saya mogok," katanya lagi.
Setelah mendapatkan jawaban dari Supri, salah satu supir pribadi keluarga Anggara yang tentu saja sudah berada di kantor agar segera menjemputnya, Sakti menunggu lelaki itu di pinggir trotoar dekat dengan halte bis di bawah flyover.
Kembali Sakti menggulir gawainya, menghubungi mobil derek agar segera datang dan membawa mobilnya ke bengkel.
"Halo, Ndi ... maaf ya kamu harus gantiin aku pagi ini, aku ada jadwal ujian mendadak, bisa kan?" Suara gadis yang berdiri tidak jauh dari Sakti, membuat lelaki itu menoleh.
Gadis yang mengenakan setelan celana kulot berwarna lilac, dengan kemeja oversize putih serta sepatu kets itu berhasil membuat Sakti memperhatikannya dari jarak dua meter.
"Makasih ya, Ndi ... iya, ini lagi menuju halte busway. Kamu juga hati-hati."
Pendengaran itu tajam bak pisau, terakhir kali Sakti teringat kata hati-hati itu terucap dari seorang wanita yang sempat dekat dengannya sekitar empat tahun lalu, setelahnya tidak lagi ada wanita selain ibunya yang mengatakan hal seperti itu.
Tatapan Gendis menajam, alis mengerut dan tanpa sadar Sakti membalas tatapan gadis itu malah membalasnya dengan senyuman.
Gendis menggelengkan kepalanya melangkah menuju halte busway, meninggalkan Sakti yang berdiri masih dengan senyuman yang terukir di wajahnya.
Klakson mobil sedan mengagetkan Sakti, buru-buru dia meminta Supri keluar dari mobil itu. "Mobil ini aku bawa, kamu tunggu di sini sampai mobil derek datang, jangan lupa pastikan apa yang membuat mobil ini mogok seperti ini," kata Sakti yang langsung masuk ke dalam mobil tanpa menunggu jawaban dari lelaki yang umurnya hanya berselisih lima tahun dengannya itu.
Mengingat kejadian singkat tadi, senyum itu kembali terukir. Jika saja mobilnya tidak tiba-tiba mati di tengah jalan mungkin pertemuan dengan gadis bertubuh mungil itu tidak akan pernah terjadi.
"Siapa, ya," gumamnya lalu kembali tersenyum lagi.
"Celana kulot, sepatu kets ...," katanya lagi masih mengingat pakaian yang dikenakan Gendis tadi.
Meski sedikit telat, Sakti akhirnya berhasil menghadiri pertemuan pagi itu.
"Maaf, Pak ... ada yang ingin bertemu," ujar assisten pribadi Sakti.
"Siapa?"
"Teman Anda, Pak ... katanya teman lama."
"Suruh masuk," kata Sakti menutup setengah laptopnya.
"Empat tahun nggak ketemu, Bro," ujar suara itu membuat Sakti berdiri dari tempat duduknya.
"Gila lo, makin ganteng aja," sahut Sakti merentangkan tangannya.
"Sibuk banget kayaknya, sampe berabad-abad susah banget ketemu padahal masih satu kota," ujar lelaki itu memeluk erat tubuh sahabat lamanya.
"Lo yang sibuk, keluar kota terus ... duduk Ted," kata Sakti mempersilahkan Teddy, sahabatnya itu menduduki sofa di ruangan itu.
"Kerjaan gue kayak di kejar-kejar setan, Sak," kekeh Teddy.
"Padahal lo syaitonnya." Sakti tertawa jika mengingat panggilan Teddy semasa mereka SMA dulu, Syaiton.
"Udah insaf gue, sekarang lagi menuju jadi malaikat." Teddy tergelak. "Udah terima undangan gue?"
"Udah, lo ke rumah?"
"Iya, gue berharap ketemu lo tapi kata nyokap, lo tinggal di apartemen. Makin liar aja lo, nggak ada niatan buat insaf?" goda Teddy.
"Bentar lagi ...." Sakti tertawa.
"Insaf bisa di kasih waktu ya."
"Jadi siapa gadis yang malang itu." Lagi-lagi Sakti tertawa.
"Aseeem, eh bener juga sih tapi bukan malang lah ... sedih banget kalo di bilang malang, harusnya gue yang bersyukur ngedapetin dia," ujar Teddy.
"Tau dia sama kelakuan lo?" Kali ini pertanyaan Sakti serius.
"Tau," jawab Teddy.
"Dia terima?"
"Dia ngasih gue kesempatan," kata Teddy lagi. "Dan gue menggunakan kesempatan itu dengan sangat baik."
"Kesempatan gimana?"
"Kesempatan merubah gue jadi lebih baik lagi. Manusia itu emang nggak ada yang sempurna, Sak ... tapi selalu ada kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik lagi, lo akan menemukan masa itu ... mungkin nggak sekarang tapi pasti nanti akan merasakannya. Gue yakin lo juga nggak mau kan hidup terus-menerus kayak gini."
Sakti terdiam, apa yang di katakan sahabatnya ini mang benar. Mau sampai kapan dia hidup dengan gaya seperti ini.
"Tapi memang ada yang mau nerima gue?"
"Kenapa nggak?"
"Manusia di ciptakan berpasang-pasangan, menerima kekurangan dan kelebihan pasangannya, itu pasti."
"Asli ... bener banget lo menuju malaikat, Ted."
"Anjriitt."
Gelak tawa dua sahabat yang sudah sangat lama tidak bertemu membuat hari Sakti semakin berwarna. Bayangan gadis yang menyita perhatiannya seharian ini masih sering terlintas, perkataan Teddy seakan menguatkan jika makhluk di muka bumi ini di ciptakan berpasang-pasangan, menerima kekurangan dan kelebihan, seburuk apapun itu.
Sakti menelan ludahnya kasar, menatap gedung-gedung di luar sana, sementara matahari semakin lama semakin condong ke barat. Beberapa pesan masuk mengajaknya bertemu di club seperti biasa, namun tak diindahkannya.
Malam itu Supri mengantarkannya menuju apartemen Sakti. Lampu-lampu menerangi jalanan Jakarta di malam hari, mobil yang membawanya berhenti tepat di sebuah lampu merah. Pandangan Sakti tertuju pada setelan celana kulot berwarna lilac dan sepatu kets yang dikenakan seorang gadis persis sama dengan yang di kenakan gadis pagi tadi. Gadis itu duduk di atas motor dengan mendekap totebag di depan dadanya, sementara lelaki berjaket jeans itu tak henti-hentinya mengajaknya bicara.
"Pri."
"Ya, Pak."
"Kamu nggak bisa maju sedikit, sejajar dengan motor itu?" tanya Sakti.
"Ada mobil di depan, Pak. Kalo kita maju, bisa kena."
"Nggak bisa, ya?"
"Nggak bisa, Pak ... sudah hijau."
"Kejar, Pri," kata Sakti.
"Nggak bisa, Pak ... di depan padat," kata Supri lagi.
Raut wajah kecewa itu hanya mampu memandang hingga sosok itu menghilang.
"Pri."
"Ya, Pak."
"Besok temenin saya cari motor."
"Gimana?" tanya supir yang sudah lebih 10 tahun bekerja pada keluarga Anggara.
"Besok temenin saya cari motor, kalo bisa saya mau yang CC nya besar, motor-motor gede gitu lah," kata Sakti lagi.
"Oh ... kalo buat kejar cewek belinya motor-motor unik, Pak."
"Hah?"
"Motor-motor lawas tuh kebanyakan cewek-cewek suka," kata Supri lagi.
"Lawas?" Sakti terdiam, lalu menyunggingkan senyumnya.
Pagi itu terasa berbeda bagi Sakti, secara sengaja ketika berangkat kerja lagi-lagi dia melewati halte busway tempat pertama kali dia bertemu gadis ber-kulot lilac. Meski gadis itu tidak ada, tetap saja dia perintah agar membawa mobil jangan terlalu cepat. Bahkan setelah melewati halte itu pun Sakti masih memutar kepalanya memastikan gadis itu bisa saja tiba-tiba datang. "Memangnya siapa, Pak?" tanya Supri. "Manis," jawab Sakti sambil tersenyum. "Manis?" Supri melirik kaca spion melihat Sakti di kursi tengah. "Iya, gadis manis di halte busway. Jarang saya liat yang seperti itu. Seperti tadi malam, kamu ingat ... saya bilang kejar gadis yang mengenakan celana kulot itu, saya rasa itu dia." Supri menyadari sepertinya anak majikannya ini sedang jatuh cinta. "Pandangan pertama, Pak." "Kenapa?" "Iya, namanya pandangan pertama ... dulu saya juga pertama kali jatuh cinta sama istri waktu ke temu di pasar becek. Pertama kali lihat dia lagi nawar tempe," cerita Supri. "Kamu ngapain d
"Meeting siang nanti setelah makan siang," ujar Agus assisten pribadi Sakti."Di kantor mereka?""Iya, Pak.""Ok, tim marketing siapa yang kamu tunjuk untuk ikut kita?" tanya Sakti masih fokus dengan berkas yang dia tanda tangani."Saya tunjuk Roro untuk presentasi produk kita," jawab Agus."Ok, kalian bawa mobil kantor saja, saya biar bawa mobil sendiri." Sakti memberikan berkas itu pada Agus."Saya permisi, Pak." Agus mohon diri embali ke ruangannya."Oh ya, Gus," panggil Sakti.Agus memutar tubuhnya, "ya, Pak?""Sudah berapa lama kamu menikah?" tanya Sakti.Agus mengernyitkan dahinya, seingatnya atasannya ini sangat sangat jarang membahas hal pribadi."Sudah berapa lama?" Lagi sakti bertanya."Dua tahun, Pak.""Pacaran berapa lama?""Tiga tahun, Pak. Kalo boleh tau, ada apa Pak?""Total sudah saling kenal lima tahun, nggak bosan?'"Lebih, Pak," ujar
"Pembalutnya isi 10 dengan sayap," ulang Gendis lagi."Ah ... iya— iya," jawab Sakti kelabakan karena merasa mengambil barang-barang itu dengan asal ambil saja."Totalnya 250 ribu, Kak," ujar Gendis lalu tersenyum."Ya ampun," ucap Sakti saat melihat senyum Gendis."Gimana? ada yang salah?" Gendis mengerutkan keningnya."Oh, nggak— nggak, nggak ada yang salah." Sakti merogoh saku celana bagian belakang mengeluarkan dompetnya. "Berapa tadi?""250 ribu," jawab Gendis lagi.Mengeluarkan tiga lembar uang ratusan, dan memberikannya pada Gendis. Detak jantung itu masih sama, berdegub kencang. Apalagi saat Gendis memberikan uang kembaliannya pada Sakti beserta struk pembayaran, jari mereka tak sengaja bersentuhan."Terimakasih, selamat berbelanja kembali," ujar Gendis dan lagi-lagi kembali tersenyum."Sama-sama," jawab Sakti namun mata lelaki itu mengarah pada name tag yang berada di dada Gendis.Gendis menge
"Pacarnya? ck ...." Sakti berdecak, kecewa terlihat dari raut wajahnya.Sebegitu ingin tahunya dia tentang Gendis, namun ketika rasa penasarannya membuncah lalu menghadapi kenyataan kalo gadis itu malah milik orang lain."Nggak mungkin pacarnya, kalo pacar pasti naek motornya nggak jauhan kayak gitu. Ck, bukan ... bukan pacar, mungkin kakaknya. Nah, bisa jadi ...."Bergelut dengan pikirannya sendiri, Sakti memutuskan untuk datang lagi besok. Meraih gawainya, Sakti mencari nama Supri. Hal pertama yang harus dia lakukan adalah menghubungi Supri, hanya lelaki itu yang bisa membantunya."Pri.""Ya, Pak.""Kamu di rumah?""Iya, Pak ... saya di rumah Pak Satyo.""Besok, setelah antar Papa ... kamu ke kantor saya, ya.""Siap, Pak.""Oh ya, kamu udah cari motor yang saya mau kemarin?""Belum, Pak ... maaf, seharian saya nemenin Pak Satyo.""Ya sudah, besok temani saya berarti. Nanti saya bi
"Dis, lo kenapa?" tanya Andi, melihat Gendis berjingkrak setelah lelaki yang terakhir berada di depan kasir itu pergi. "Hah? Nggak ... nggak apa-apa," ujar Gendis tersipu malu. "Yee ... udah buruan, udah di hitung?" "Oh iya, sebentar ...." Seperti biasa ketika keluar dari minimarket yang selalu tidak pernah di sangka pasti sudah setia menunggu di sana. "Dia pantang mundur ya ternyata," kata Andi menggoda Gendis. "Ya ampun, Mas Arya ...," ucap Gendis pelan nyaris tak terdengar. "Udah terima aja kenapa, Dis." "Terima apaan?" "Udah nembak, kan?" "Nggak ada nembak ... nembak apa?" "Ya elo Munaroh ... siape lagi?!" Logat Betawi itu terdengar lebih kental dari biasanya. Gendis tertawa, membantu Andi mendorong rolling door, "nggak nembak, nggak ngomong apa-apa, gimana mau nerima." "Nggak gercep, diambil orang aja dulu ... kapok," rutuk Andi. "Gue duluan, ya ... Mas Arya, gue
Matahari sore mulai tenggelam, Sakti masih sibuk dengan pekerjaannya. Tiga hari yang lalu dia memerintahkan Supri untuk mencari tahu siapa Gendis, dimana dia tinggal, kuliah jurusan apa, semester berapa, bagaimana kehidupannya, bagaimana keluarganya. Supri melakukan dengan sangat baik, entah bagaimana cara Supri mendapatkan semua informasi itu, termasuk Gendis belum punya pasangan. Sakti tersenyum saat mendengarkan laporan dari Supri, terlebih saat tahu kalau Gendis belum mempunyai pacar. Itu artinya, peluang untuk dirinya terbuka lebar. Dan sudah tiga hari pula, lelaki itu selalu menyempatkan diri berhenti di minimarket tempat Gendis bekerja, meski masih sering menemukan lelaki lain itu menjemput Gendis tapi setidaknya masih ada celah untuknya masuk ke hati gadis itu. Malam ini rencananya Sakti ingin memperkenalkan diri, tapi bingung harus memulai darimana. Apalagi pekerjaannya yang masih harus dia selesaikan. "Sak," suara berat itu dat
Wangi parfum itu menyeruak ke seluruh ruangan. Sakti menuruni anak tangga sambil berlari kecil, waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Rencananya pagi itu, Sakti akan menemui Gendis. Bagaimanapun caranya dia harus memperkenalkan dirinya pada gadis yang membuatnya selalu ingin kembali dan kembali menemui lagi kesana. "Mau kemana?" tanya Hanna yang sedang duduk di meja makan bersama Tari yang sedang mengupas buah-buahan. "Mau ketemu calon yang memenuhi kriteria Mama semalam," ujar Sakti menyeruput kopi yang terhidang di meja itu, matanya melirik ke arah Tari. "Kamu di rumah aja, kan? usahakan selalu nemenin Mama, kamu di sekolahin nggak gratis loh," ujar Sakti sambil berlalu. Seketika wajah gadis yang tidak tahu apa-apa itu mendadak memucat. "Jangan didengerin, dia memang begitu," ucap Hanna tak enak hati. "Pri," panggil Sakti pada Supri yang sedang membersihkan mobil majikannya. "Motor udah siap?" "Udah, Pak ...." Supri memberik
"Gendis ... nama aku Gendis." Gendis menyambut uluran tangan Sakti. Senyum itu terpancar dari wajah Sakti, hampir satu bulan dia menunggu momen ini. "Mau pulang?" tanya Sakti menyamai langkah Gendis sambil membuka jaket kulitnya. "Iya, Mas sendiri kenapa jadi ngikutin aku?" "Mau antar pulang," jawab Sakti menyipitkan matanya karena kepanasan. "Rumahku jauh, jalan kaki nanti capek," ujar Gendis sopan. "Mana panas lagi." "Kalo gitu, aku ambil motor gimana? Biar aku antar sekalian." Gendis menghentikan langkahnya, bukan untuk mengiyakan ajakan Sakti, malah melipat tangannya di depan dada. "Gini ya, Mas Sakti—" "Sakti aja, nggak usah pake Mas ...." Sakti tersenyum. Pria dengan bulu-bulu halus yang memenuhi rahangnya hanya mampu tersenyum melihat gadis ini lebih, dan lebih dekat lagi. "Ok, gini ya Sak ... sebelumya maaf banget kita baru aja kenal, itu pun masih dalam hitungan jari ketemunya, tiba-tiba k