Sebegitu ingin tahunya dia tentang Gendis, namun ketika rasa penasarannya membuncah lalu menghadapi kenyataan kalo gadis itu malah milik orang lain.
"Nggak mungkin pacarnya, kalo pacar pasti naek motornya nggak jauhan kayak gitu. Ck, bukan ... bukan pacar, mungkin kakaknya. Nah, bisa jadi ...."Bergelut dengan pikirannya sendiri, Sakti memutuskan untuk datang lagi besok.
Meraih gawainya, Sakti mencari nama Supri. Hal pertama yang harus dia lakukan adalah menghubungi Supri, hanya lelaki itu yang bisa membantunya."Pri."
"Ya, Pak."
"Kamu di rumah?"
"Iya, Pak ... saya di rumah Pak Satyo."
"Besok, setelah antar Papa ... kamu ke kantor saya, ya."
"Siap, Pak."
"Oh ya, kamu udah cari motor yang saya mau kemarin?"
"Belum, Pak ... maaf, seharian saya nemenin Pak Satyo."
"Ya sudah, besok temani saya berarti. Nanti saya bi
"Dis, lo kenapa?" tanya Andi, melihat Gendis berjingkrak setelah lelaki yang terakhir berada di depan kasir itu pergi. "Hah? Nggak ... nggak apa-apa," ujar Gendis tersipu malu. "Yee ... udah buruan, udah di hitung?" "Oh iya, sebentar ...." Seperti biasa ketika keluar dari minimarket yang selalu tidak pernah di sangka pasti sudah setia menunggu di sana. "Dia pantang mundur ya ternyata," kata Andi menggoda Gendis. "Ya ampun, Mas Arya ...," ucap Gendis pelan nyaris tak terdengar. "Udah terima aja kenapa, Dis." "Terima apaan?" "Udah nembak, kan?" "Nggak ada nembak ... nembak apa?" "Ya elo Munaroh ... siape lagi?!" Logat Betawi itu terdengar lebih kental dari biasanya. Gendis tertawa, membantu Andi mendorong rolling door, "nggak nembak, nggak ngomong apa-apa, gimana mau nerima." "Nggak gercep, diambil orang aja dulu ... kapok," rutuk Andi. "Gue duluan, ya ... Mas Arya, gue
Matahari sore mulai tenggelam, Sakti masih sibuk dengan pekerjaannya. Tiga hari yang lalu dia memerintahkan Supri untuk mencari tahu siapa Gendis, dimana dia tinggal, kuliah jurusan apa, semester berapa, bagaimana kehidupannya, bagaimana keluarganya. Supri melakukan dengan sangat baik, entah bagaimana cara Supri mendapatkan semua informasi itu, termasuk Gendis belum punya pasangan. Sakti tersenyum saat mendengarkan laporan dari Supri, terlebih saat tahu kalau Gendis belum mempunyai pacar. Itu artinya, peluang untuk dirinya terbuka lebar. Dan sudah tiga hari pula, lelaki itu selalu menyempatkan diri berhenti di minimarket tempat Gendis bekerja, meski masih sering menemukan lelaki lain itu menjemput Gendis tapi setidaknya masih ada celah untuknya masuk ke hati gadis itu. Malam ini rencananya Sakti ingin memperkenalkan diri, tapi bingung harus memulai darimana. Apalagi pekerjaannya yang masih harus dia selesaikan. "Sak," suara berat itu dat
Wangi parfum itu menyeruak ke seluruh ruangan. Sakti menuruni anak tangga sambil berlari kecil, waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Rencananya pagi itu, Sakti akan menemui Gendis. Bagaimanapun caranya dia harus memperkenalkan dirinya pada gadis yang membuatnya selalu ingin kembali dan kembali menemui lagi kesana. "Mau kemana?" tanya Hanna yang sedang duduk di meja makan bersama Tari yang sedang mengupas buah-buahan. "Mau ketemu calon yang memenuhi kriteria Mama semalam," ujar Sakti menyeruput kopi yang terhidang di meja itu, matanya melirik ke arah Tari. "Kamu di rumah aja, kan? usahakan selalu nemenin Mama, kamu di sekolahin nggak gratis loh," ujar Sakti sambil berlalu. Seketika wajah gadis yang tidak tahu apa-apa itu mendadak memucat. "Jangan didengerin, dia memang begitu," ucap Hanna tak enak hati. "Pri," panggil Sakti pada Supri yang sedang membersihkan mobil majikannya. "Motor udah siap?" "Udah, Pak ...." Supri memberik
"Gendis ... nama aku Gendis." Gendis menyambut uluran tangan Sakti. Senyum itu terpancar dari wajah Sakti, hampir satu bulan dia menunggu momen ini. "Mau pulang?" tanya Sakti menyamai langkah Gendis sambil membuka jaket kulitnya. "Iya, Mas sendiri kenapa jadi ngikutin aku?" "Mau antar pulang," jawab Sakti menyipitkan matanya karena kepanasan. "Rumahku jauh, jalan kaki nanti capek," ujar Gendis sopan. "Mana panas lagi." "Kalo gitu, aku ambil motor gimana? Biar aku antar sekalian." Gendis menghentikan langkahnya, bukan untuk mengiyakan ajakan Sakti, malah melipat tangannya di depan dada. "Gini ya, Mas Sakti—" "Sakti aja, nggak usah pake Mas ...." Sakti tersenyum. Pria dengan bulu-bulu halus yang memenuhi rahangnya hanya mampu tersenyum melihat gadis ini lebih, dan lebih dekat lagi. "Ok, gini ya Sak ... sebelumya maaf banget kita baru aja kenal, itu pun masih dalam hitungan jari ketemunya, tiba-tiba k
Gendis tergesa-gesa memasuki kelasnya pagi itu, hampir saja dia telat mengikuti mata kuliah dosen yang terkenal susah memberi nilai itu. Sejurus pandang, Gendis mendapati sosok Rika duduk di ujung ruangan. Gadis itu terlihat nampak kacau dan lusuh tidak seperti biasanya. "Hei, kemana aja?" "Dis," sapa Rika datar tidak seperti biasanya. Barusaja Gendis ingin menanyakan keadaan sahabatnya itu, namun kedatangan dosen ke ruangan itu mengurungkan niatnya. Sesekali Gendis menatap wajah Rika, alis gadis itu berkerut memperhatikan raut wajah yang biasanya ceria kini terlihat kusut dan pucat. "Kamu sakit, ya?" Isi pesan yang Gendis tuliskan di kertas lalu memberikan pada Rika. Rika menoleh sebentar, membaca pesan itu lalu menggeleng lesu. Dengan banyak pertanyaan terbesit di pikirannya dan hampir satu jam setengah dengan rasa penasaran, akhirnya mata kuliah itu pun berakhir. "Ka, kamu kenapa?" Gendis mendekati gadis itu. "Aku ngga
"Gendis," panggil Arya yang berhenti tepat di depan mereka dengan sepeda motornya. Sakti tersenyum samar, diamatinya lelaki berwajah campuran yang mengendarai motor matic itu secara seksama. "Tidak ada kelebihannya," ujar Sakti dalam hati. "Jauh banget ....." Lagi dia bergumam, sedikit sombong pastinya. "Mas Arya?" "What?! Mas? Gendis panggil dengan sebutan Mas?" Lagi Sakti mendengus kesal. "Kok sudah pulang?" tanya Gendis pada Arya yang tersenyum begitu manis padanya. "Iya, aku izin setengah hari, kuliah nanti jam tiga," jawab Arya, lalu melirik Sakti. "Ah ya, kenalin temen aku," ujar Gendis. Arya mengulurkan tangan pada lelaki bertubuh jangkung itu. "Arya," ucapnya. "Sakti." Sakti menerima uluran tangan dari lelaki yang mungkin seumuran dengannya. "Teman Gendis? baru liat," ujar Arya menatap mereka bergantian. "Iya, teman ... teman baru," kata Gendis melirik Sakti. "Gendis mau pulang? b
Sakti menghenyakkan tubuhnya di sofa ruang kerjanya, meletakkan kasar berkas yang baru saja diberikan oleh Agus. Pusing rasanya kepala lelaki itu memeriksa laporan yang Agus berikan padanya. Penjelasan Agus tentang kerugian yang mereka alami sangatlah tidak masuk akal."Saya nggak mau tau, gimana caranya kamu cari dimana sebabnya atau ada faktor lain yang bisa mengakibatkan kerugian ini. Ini bukan jumlah kecil ya, Gus ... meski kita baru menapaki bisnis ini, tapi bukan berarti kita tutup mata," tegas Sakti."Baik, Pak ... saya usahakan segera mencari bukti," ujar Agus.Ketukan di pintu membuat dua orang di ruangan itu bersamaan menoleh. Lelaki pemilik mata sipit itu tersenyum pada mereka."Nggak lagi sibuk, kan?" tanya Teddy"Udah nggak," jawab Sakti lalu beralih lagi pada Agus. "Saya maunya laporan itu ada di meja saya besok, nggak mau tau caranya seperti apa, cari buktinya!" tegas Sakti."Kenapa?" tanya Teddy. "Masalah?""Biasalah,
"Aku pulang ya," kata Sakti ketika mereka sudah berdiri di depan gerbang gedung berlantai delapan itu. "Hati-hati," ucap Gendis tersenyum, tersipu malu saat mengingat kejadian tadi di saat hujan masih deras. "Nggak usah di pikirin," goda Sakti, karena dia yakin Gendis masih memikirkan kejadian konyol tadi. "Apaan sih." Gendis lagi-lagi tertunduk malu. Jika saja ulat bulu itu tidak terjatuh di pundaknya mungkin bisa jadi Gendis akan berpikiran macam-macam dengan Sakti dan jari-jari tangannya yang mengkerut karena dingin sudah membekas di pipi lelaki itu. "Pulang, ya ... haachh—" Sakti tiba-tiba bersin. "Eh, kamu—" "Sana buruan masuk, nanti kamu malah demam," ujar Sakti menyalakan mesin motornya. Gendis setengah berlari masuk ke dalam meninggalkan Sakti yang masih di sana menunggu hingga punggung gadis itu menghilang, barulah dia melajukan kendaraannya. "Dari mana basah kuyup begitu?" tanya Wati saat membuka