Dante menatap layar laptopnya yang menampilkan deretan transaksi dari kartu hitam.
Karaoke Blue Room – 20.15
Luna Club – 22.07
Luna Club VIP Lounge – 22.43
Rahangnya mengeras. Jemarinya yang memegang mouse perlahan mengepal.
“Risa…” gumamnya pelan.
Ia mengambil ponsel dan menekan nomor Risa. Satu nada sambung, dua, tiga—tak juga diangkat.
Panggilan berikutnya pun sama. Hingga akhirnya Dante menutup ponsel dengan helaan napas berat.
Tak butuh waktu lama sebelum ia menghubungi nomor lain.
“Erick, di mana nona Risa sekarang?” suaranya tenang, tapi dingi
Risa baru saja masuk ketika Mbok Sarti, pengasuh lama keluarga itu, datang menghampiri.“Non, Tuan besar manggil ke ruang kerja,” ucapnya pelan.Risa sempat tertegun. Sudah lama sekali rasanya ia tidak dipanggil secara khusus ke ruang itu—ruangan yang selalu menegangkan dengan aroma kayu tua dan suara jam antik yang berdetak pelan di sudutnya.Begitu pintu dibuka, Kakek sudah duduk di balik meja besar, kacamata digantungkan di ujung hidungnya, menatap beberapa berkas di depannya sebelum akhirnya mengangkat pandang.“Duduklah, Risa.”Risa menuruti, menunduk sopan.Suasana hening sesaat, hanya terdengar detak jarum jam yang seakan memperlambat waktu.
Risaa terbangun pelan. Cahaya matahari yang menembus tirai membuat matanya menyipit. Ia butuh beberapa detik untuk sadar bahwa dirinya masih berada dalam pelukan Dante. Laki-laki itu tertidur dengan posisi miring, wajahnya tenang, seolah tidak pernah menyembunyikan rahasia apa pun.Risaa menatapnya lama. Ada rasa hangat di dadanya, tapi juga nyeri kecil yang sulit dijelaskan. Ingatan malam tadi membuat pipinya memanas, tapi ucapan terakhirnya—tentang keinginan agar Dante menceraikan istrinya—membuat dadanya terasa sesak.Perlahan, ia bangkit, berusaha tidak membangunkan Dante. Namun tangan laki-laki itu tiba-tiba terangkat dan menarik pinggangnya kembali.“Bangun pagi-pagi sudah mau kabur?” suara Dante terdengar serak tapi lembut.Risaa tersenyum tipis. &l
"Lebih cepat Om!" pinta RisaDante diam saja, namun gerakannya semakin mantap, seolah membiarkan setiap desah dan napas Risaa menjadi irama yang menuntunnya. Suasana di ruangan yang sunyi seketika dipenuhi oleh gema langkah napas mereka yang saling terburu, membiarkan ketegangan antara keduanya semakin memuncak.Risaa menekuk tubuhnya sedikit, menahan dan menikmati dorongan yang terus mengalir, sementara Dante membalas dengan ciuman lembut di leher dan dada, membuat setiap sentuhan terasa begitu intens.Tubuh Risaa menegang, detik demi detik seakan melambangkan ketegangan yang tak kunjung reda, namun ada kenyamanan aneh dalam kedekatan itu, membuat keduanya larut dalam momen yang hanya milik mereka.Dante memutar tubuh Risaa perlahan, menekannya dengan ritme yang pas namun membuat detak jantung Risaa berlari. Risaa menekanka
“Cukup?” suara Risaa terdengar serak, tapi ada senyum nakal di ujung bibirnya.Dante menatapnya lama. Risaa masih terlihat mabuk — bukan hanya oleh alkohol, tapi juga oleh perasaan yang menyesakkan dada. Mata itu berkilat, berani, seolah menantang batas yang selama ini mereka pura-pura tidak lihat.Tanpa banyak bicara, Risaa melangkah mendekat, kemudian naik ke pangkuan Dante. Aroma alkohol bercampur wangi tubuhnya memenuhi udara.“Risaa…” panggil Dante dengan suara berat.“Kamu bilang cukup, Om?” bisiknya pelan, suaranya menggoda dan lembut sekaligus, membuat dada Dante terasa sesak.Risaa mengangkat wajahnya sedikit, jarak di antara mereka nyaris tidak ada. Jemarinya menyentuh dagu Dant
Kata-kata Dante datar, tapi nadanya lembut — seolah mencoba menahan amarah yang hampir pecah.Risa menunduk, memainkan ujung jarinya.“Aku cuma… pengin ngerasain bebas sedikit aja,” ucapnya pelan.“Bebas itu bukan berarti hilang kendali,” jawab Dante cepat.Hening sesaat.Angin malam lewat di antara mereka.Cahaya lampu jalan memantul di wajah Risa — merah muda, sedikit lembap, matanya lelah tapi masih berkilat.“Aku tahu kamu marah…”Risa menatap Dante, matanya sendu.“Tapi aku cuma mau lupa sebentar, Om. Lupa semuan
“Maaf, Tuan?”“Lampu, kabut, efek—apapun yang bisa bikin semua orang sibuk menikmati malamnya. Sekarang.”Pria itu mengangguk cepat. Beberapa detik kemudian, DJ menaikkan volume musik, lampu sorot menari-nari di udara, dan kabut turun makin tebal. Kerumunan pun bersorak, perhatian yang tadinya tertuju pada Dante kini teralihkan oleh pesta yang mendadak jadi lebih hidup.Dante berdiri di tepi bar, menatap dari jauh.Sorot matanya menembus cahaya dan kabut — berhenti tepat pada Risa yang masih tertawa, tak sadar sedang diawasi.Ia memutar gelas di tangannya, tapi tak benar-benar meminumnya.Erick meliriknya dari sisi kanan.&ld