Beranda / Mafia / Jerat Sang Iblis / Bab 5: Boneka Porselen

Share

Bab 5: Boneka Porselen

Penulis: anakkampungsaja
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-05 10:27:10

di Sky Tower memiliki berat jenisnya sendiri.

Itu bukan jenis keheningan damai yang biasa Elena temukan di perpustakaan tua kampusnya, atau keheningan khusyuk di dalam gereja sebelum misa dimulai. Keheningan di tempat ini bersifat menekan, seolah oksigen di udara dipadatkan secara artifisial, membuat setiap tarikan napas terasa seperti perjuangan kecil.

Setelah Victor pergi dan pintu tertutup, Elena berdiri mematung di tengah ruang tamu penthouse yang luas itu. Ponsel hitam dengan satu kontak bernama "My Owner" itu terasa panas di telapak tangannya, seolah benda itu radioaktif. Dia ingin melemparnya. Dia ingin menjerit hingga kaca-kaca tebal itu retak. Namun, insting bertahan hidupnya—suara kecil di kepalanya yang terdengar seperti suara almarhum ibunya—memintanya untuk tetap waras.

Jangan bodoh, El. Kau tidak bisa melawan ombak dengan meninju air. Kau harus belajar berenang.

Elena memasukkan ponsel itu ke saku gaun sutra cream-nya. Dia menarik napas dalam, mengisi paru-parunya dengan aroma dingin AC sentral yang berbau lemon sintetis, lalu mulai melangkah.

Jika ini adalah penjaranya selama setahun ke depan, dia harus memetakan setiap incinya.

Dia mulai menyusuri penthouse itu. Langkah kakinya diredam oleh karpet bulu tebal berwarna abu-abu arang. Dia melewati ruang tamu dengan sofa kulit hitam yang terlihat terlalu kaku untuk diduduki, melewati bar pribadi yang dipenuhi botol-botol whisky dan cognac seharga gaji tahunannya, hingga akhirnya dia berhenti di depan sebuah pintu ganda yang terbuat dari kayu ebony gelap.

Jantungnya berdebar pelan. Victor bilang dia boleh menggunakan fasilitas di sini.

Elena mendorong pintu itu. Berat. Engselnya berputar tanpa suara, mengungkapkan isi ruangan di baliknya.

Napas Elena tercekat.

Itu adalah ruang musik. Tapi menyebutnya sekadar ruang musik adalah sebuah penghinaan. Itu adalah sebuah sanctuary. Ruangan itu dirancang dengan akustik sempurna; panel-panel kayu di dinding dipasang dengan sudut tertentu untuk memantulkan suara secara optimal. Di sudut ruangan, berdiri sebuah grand piano yang bukan Steinway seperti di gedung konser semalam.

Itu adalah Fazioli.

Piano buatan tangan dari Italia, terkenal dengan suara yang jernih dan resonansi yang bisa membuat pendengarnya menangis. Warnanya hitam pekat, mengkilap di bawah sorotan lampu gantung kristal yang menggantung rendah di atasnya. Piano itu berdiri di sana seperti binatang buas yang sedang tidur, agung dan menakutkan.

Kaki Elena bergerak sendiri, membawanya mendekat seolah ditarik magnet tak kasat mata. Dia mengulurkan tangan, jari-jarinya gemetar saat menyentuh tutup piano yang dingin.

Ini adalah alat yang digunakan Damian untuk memancingnya. Ini adalah umpan dalam perangkap tikus.

"Tuan Kael ingin Anda berlatih piano..." kata-kata Victor terngiang di telinganya.

Elena tahu, jika dia bermain, dia menuruti perintah Damian. Dia memvalidasi posisinya sebagai "aset" yang patuh. Tapi di sisi lain, jari-jarinya gatal. Rasa sakit di dadanya, ketakutan akan nasib ayahnya, dan kemarahan yang membakar ulu hatinya butuh penyaluran. Dan bagi Elena, satu-satunya cara dia bisa berteriak tanpa suara adalah melalui tuts hitam dan putih ini.

Dia duduk di bangku piano yang empuk. Dia tidak membuka partitur. Dia tidak butuh kertas untuk menumpahkan apa yang dia rasakan.

Elena menekan kord pertama.

C minor. Nada yang suram.

Suara yang dihasilkan Fazioli itu begitu jernih, begitu kaya, hingga membuat Elena merinding. Rasanya seperti menyentuh sutra. Resonansinya memenuhi ruangan, memeluk Elena dalam gelombang suara yang familiar.

Dia mulai bermain. Bukan Rachmaninoff atau Bach. Dia memainkan Winter Wind karya Chopin—Etude Op. 25 No. 11. Sebuah lagu yang dimulai dengan ketenangan yang menipu, sebelum meledak menjadi badai nada-nada yang kacau dan cepat.

Saat tempo musik meningkat, Elena memejamkan mata.

Dia membayangkan wajah ayahnya yang lebam. Tekan.

Dia membayangkan tatapan dingin Victor. Tekan lebih keras.

Dia membayangkan seringai Damian saat menempelkan pistol ke kepala ayahnya. Hantam.

Jari-jari Elena terbang di atas tuts dengan kecepatan yang memusingkan. Dia tidak lagi bermain musik; dia sedang bertarung. Setiap ketukan adalah pukulan, setiap arpeggio adalah jeritan. Keringat mulai menetes di pelipisnya, tapi dia tidak berhenti. Dia membiarkan kemarahan mengambil alih, membiarkan nada-nada disonan itu mencabik-cabik keheningan Sky Tower.

Dia lupa waktu. Dia lupa di mana dia berada. Untuk beberapa menit yang berharga itu, dia bukan tawanan. Dia adalah badai itu sendiri.

"Cukup."

Satu kata itu memecah konsentrasinya seperti kaca yang dilempar batu.

Elena tersentak, tangannya terhenti di udara, menghasilkan bunyi clang yang sumbang. Napasnya terengah-engah, dadanya naik turun dengan cepat. Dia menoleh ke arah pintu dengan panik.

Victor berdiri di sana. Wajahnya tetap datar, tidak menunjukkan emosi apakah dia terkesan atau terganggu. Namun, di belakangnya, berdiri seorang wanita paruh baya dengan setelan blazer kaku dan meteran kain yang dikalungkan di leher.

"Jam latihan pagi selesai, Nona," kata Victor sambil melirik jam tangan peraknya. "Penjahit sudah datang."

Realitas kembali menghantam Elena. Dia bukan badai. Dia hanya properti yang sedang dipersiapkan untuk pemiliknya.

Elena menutup tutup piano dengan perlahan, seolah sedang menutup peti mati. Dia berdiri, menyeka keringat di dahinya dengan punggung tangan, lalu berbalik menghadap Victor dengan dagu terangkat.

"Lakukan saja," katanya dingin.

Proses pengukuran itu lebih buruk daripada pemeriksaan medis. Itu adalah dekonstruksi harga diri.

Wanita itu bernama Madam Ratih, seorang desainer langganan para sosialita Jakarta, yang tampaknya sudah sangat terbiasa melayani klien-klien "khusus" Damian Kael. Dia tidak menyapa Elena. Dia tidak bertanya kabar. Dia hanya memberi isyarat agar Elena berdiri di atas podium kecil di tengah ruang tamu, lalu mulai bekerja.

"Lingkar pinggang, enam puluh sentimeter," gumam Madam Ratih kepada asistennya yang mencatat dengan cepat di tablet. "Terlalu kurus. Tuan Kael suka yang sedikit lebih berisi. Kita perlu menambahkan aksen di pinggul."

Elena berdiri kaku seperti manekin, tangannya direntangkan ke samping. Dia bisa merasakan dinginnya meteran kain yang melingkar di dadanya, di pinggulnya, di pahanya. Sentuhan Madam Ratih bersifat klinis, tidak personal, namun justru itu yang membuatnya terasa sangat merendahkan.

Elena merasa seperti sapi potong yang sedang dinilai kualitas dagingnya sebelum dikirim ke pejagalan.

"Bahu sedikit bungkuk," komentar Madam Ratih sambil menepuk punggung Elena cukup keras. "Tegakkan, Nona. Tuan Kael tidak membiayai postur yang buruk."

Elena mengertakkan gigi, tapi dia menegakkan punggungnya.

"Warna kulit olive pucat," lanjut Madam Ratih, menarik beberapa sampel kain dan menempelkannya ke lengan Elena. "Merah marun bagus. Hitam tentu saja. Biru navy. Jangan beri dia warna pastel atau kuning, itu membuatnya terlihat sakit."

"Aku tidak suka warna merah," potong Elena tiba-tiba. Dia benci diperlakukan seolah dia tidak ada di sana. "Aku lebih suka warna tanah. Cokelat, krem..."

Madam Ratih berhenti. Dia menurunkan kain merah sutra itu dan menatap Elena lewat kacamata bacanya yang melorot di hidung. Tatapannya bukan tatapan marah, melainkan tatapan kasihan yang bercampur dengan keheranan, seolah boneka pajangan baru saja berbicara.

"Selera Anda tidak relevan di sini, Sayang," kata Madam Ratih dengan nada yang dibuat-buat manis. "Saya tidak dibayar untuk membuat Anda merasa cantik. Saya dibayar untuk membuat Anda terlihat memuaskan di mata Tuan Kael. Dan Tuan Kael suka merah."

Wanita itu kembali menempelkan kain merah itu ke leher Elena. "Catat. Tiga gaun malam backless warna crimson, burgundy, dan scarlet. Lalu untuk pakaian rumah, gunakan sutra transparan."

"Transparan?" Elena melotot, menatap Victor yang berdiri mengawasi di sudut ruangan. "Aku tidak akan memakai itu. Itu... itu tidak senonoh."

Victor melangkah maju satu langkah. Langkahnya tenang, tapi efeknya instan. Suhu ruangan terasa turun beberapa derajat.

"Klausul Kedua: Kepatuhan," kata Victor pelan. "Apakah kita perlu membahas definisi kata itu lagi, Nona Wijaya? Atau haruskah saya menelepon fasilitas rehabilitasi ayah Anda dan memberitahu mereka untuk mengurangi dosis obat penahan sakitnya?"

Darah Elena membeku. Ancaman itu begitu spesifik, begitu kejam. Mengurangi obat penahan sakit bagi seseorang yang baru saja dipukuli habis-habisan adalah bentuk siksaan yang tak terbayangkan.

Elena menelan ludah, rasa pahit memenuhi mulutnya. Dia menunduk, menatap lantai marmer yang memantulkan wajahnya yang tak berdaya.

"Tidak," bisik Elena. "Tidak perlu."

"Bagus," kata Victor. Dia mengangguk pada Madam Ratih. "Lanjutkan. Buat semua sesuai spesifikasi Tuan Kael. Jangan ada yang dikurangi satu sentimeter pun."

Dua jam berikutnya berlalu dalam kabur yang memuakkan. Elena dipaksa mencoba berbagai sampel pakaian, sepatu hak tinggi yang menyiksa, hingga perhiasan yang beratnya membuat lehernya pegal. Dia tidak lagi protes. Dia membiarkan mereka memutarnya, menusuknya dengan jarum pentul, dan mendiskusikan tubuhnya seolah dia adalah potongan daging di pasar.

Ketika Madam Ratih dan timnya akhirnya pergi, matahari sudah condong ke barat. Cahaya oranye kemerahan membanjiri penthouse, mengubah suasana dari dingin menjadi sesuatu yang lebih suram dan membakar.

Elena duduk di sofa, dikelilingi oleh kotak-kotak belanjaan yang ditinggalkan. Dia merasa lelah sampai ke tulang sumsumnya. Bukan lelah fisik, tapi lelah jiwa. Hari ini baru hari pertama, dan dia sudah merasa sebagian dari dirinya telah dikikis habis.

Seorang pelayan—Sari—datang membawa nampan makan siang yang terlambat. Salad udang dengan saus lemon dan segelas jus hijau.

"Makanlah, Nona," kata Sari pelan. Untuk pertama kalinya, ada sedikit nada simpati dalam suaranya. "Tuan Kael akan pulang sebelum jam tujuh. Anda harus siap."

Elena menatap jam dinding digital. Pukul 17.45.

Satu jam lima belas menit lagi.

Waktu terasa berjalan lambat sekaligus terlalu cepat. Elena memaksakan diri memakan salad itu, meski perutnya menolak. Dia ingat kata-kata Damian: Kau butuh tenaga untuk membenciku.

Benar. Dia butuh tenaga. Dia tidak akan membiarkan Damian melihatnya lemah. Dia tidak akan pingsan di hadapannya.

Setelah makan, Elena mandi lagi. Dia menggosok tubuhnya lebih keras kali ini, berusaha menghilangkan jejak tangan Madam Ratih, berusaha menghilangkan perasaan menjadi objek. Dia mengenakan salah satu gaun baru yang ditinggalkan—sebuah dress hitam sederhana berbahan satin yang jatuh pas di lutut, dengan potongan leher rendah yang mengekspos tulang selangkanya. Itu adalah pilihan paling konservatif yang bisa dia temukan di antara tumpukan pakaian "spesifikasi Tuan Kael".

Dia duduk di sofa ruang tamu, menghadap ke pintu lift pribadi. Menunggu.

Lampu-lampu kota mulai menyala satu per satu di bawah sana, menciptakan lautan bintang buatan. Langit berubah menjadi ungu gelap, lalu hitam pekat.

Pukul 18.58.

Lampu indikator lift menyala. Angka lantai di layar panel berganti dengan cepat.

48... 49... 50.

Ting.

Pintu lift terbuka.

Elena refleks berdiri, tangannya saling meremas di depan perut. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga dia bisa mendengarnya di telinganya sendiri.

Damian Kael melangkah keluar.

Aura pria itu seketika mendominasi ruangan. Dia terlihat lelah, tapi itu adalah jenis kelelahan yang berbahaya—seperti singa yang baru selesai berburu seharian. Jas hitamnya tersampir di lengan kiri, dasinya sudah dilonggarkan, dan kancing teratas kemejanya terbuka. Lengan kemejanya digulung, memperlihatkan otot lengan bawah yang tegang dan jam tangan Patek Philippe yang berkilau.

Victor mengikuti di belakangnya, mengambil jas dan tas kerja Damian dengan sigap, lalu menghilang ke koridor belakang seolah mengerti tuannya butuh privasi. Atau lebih tepatnya, tuannya butuh waktu bermain dengan mainan barunya.

Damian tidak langsung menyapa Elena. Dia berjalan menuju bar, menuangkan cairan amber ke dalam gelas kristal pendek. Dia meminumnya sekali teguk, lalu menuang lagi. Baru setelah itu dia berbalik, bersandar pada meja bar, dan menatap Elena.

Tatapan itu.

Tatapan itu menelusuri Elena dari ujung kaki hingga ke mata, lambat dan intens. Elena merasa seolah pakaiannya dilucuti satu per satu. Dia ingin menyilangkan tangan di depan dada untuk menutupi dirinya, tapi dia menahan diri. Dia berdiri tegak, membalas tatapan itu dengan keberanian yang dipaksakan.

"Gaun itu lumayan," komentar Damian datar. Suaranya serak, berat. "Meski aku lebih suka merah."

"Aku bukan properti dekorasimu," jawab Elena, suaranya sedikit bergetar tapi jelas.

Damian terkekeh pelan. Dia berjalan mendekat, gelas di tangan kanannya. Suara langkah sepatunya di lantai marmer terdengar seperti detak jam kiamat.

"Kau salah, Elena," katanya saat berhenti tepat di depan Elena. Dia begitu tinggi hingga Elena harus mendongak penuh. "Kau adalah properti dekorasiku. Properti termahal yang pernah kubeli."

Damian mengangkat tangan kirinya, menyentuh rambut Elena yang tergerai. Jari-jarinya menyisir helai rambut hitam itu, lalu turun menyentuh pipi Elena. Kulitnya kasar, kapalan—tangan seseorang yang terbiasa memegang senjata, bukan pena.

Elena menahan napas, berusaha tidak mundur. Sentuhan itu tidak menyakitkan, tapi rasanya membakar.

"Bagaimana harimu?" tanya Damian, nadanya santai seolah mereka adalah pasangan suami istri normal. "Kudengar kau sedikit memberontak pada Madam Ratih."

"Kau memata-mataiku?"

"Aturan nomor satu: Transparansi," Damian mengingatkan. Ibu jarinya mengusap sudut bibir Elena. "Tidak ada yang terjadi di gedung ini tanpa sepengetahuanku. Aku melihatmu bermain piano tadi pagi."

Tubuh Elena menegang. "Kau melihatnya?"

"Dan mendengarnya," tambah Damian. Tatapannya meredup, menjadi lebih gelap. "Chopin. Winter Wind. Pilihan yang menarik. Penuh kemarahan. Penuh kekacauan."

Damian mencondongkan wajahnya, mendekat hingga hidung mereka hampir bersentuhan. Aroma whisky dan tembakau menyergap indra penciuman Elena.

"Kau bermain bagus, Elena. Sangat bagus. Tapi kau menahan diri."

"Aku tidak menahan diri," bantah Elena. "Aku memainkan apa yang kurasakan."

"Tidak," bisik Damian. "Kau bermain untuk melarikan diri. Kau bermain untuk memblokir dunia luar. Kau tidak bermain untuk seseorang."

"Untuk siapa aku harus bermain? Untukmu?" Elena meludahinya dengan sarkasme. "Kau ingin aku menghiburmu setelah kau menculikku?"

Damian tidak marah. Dia justru tersenyum, sebuah senyuman miring yang membuat lutut Elena lemas.

"Ya," jawabnya sederhana. "Duduklah di sana."

Damian menunjuk ke arah grand piano Fazioli di seberang ruangan.

"Sekarang?"

"Sekarang."

Elena ingin menolak. Tapi dia melihat kilatan dingin di mata Damian, kilatan yang sama yang dia lihat saat pria itu menodongkan pistol ke ayahnya. Ini bukan permintaan. Ini ujian.

Dengan langkah berat, Elena berjalan ke piano. Dia duduk di bangku, membuka penutup tuts. Damian mengikutinya, tapi dia tidak duduk di sofa. Dia berdiri di lengkungan piano, meletakkan gelas minumannya di atas permukaan hitam mengkilap itu (sebuah tindakan sakrilegi bagi musisi mana pun), dan menatap Elena lekat-lekat.

"Mainkan," perintah Damian.

"Lagu apa?"

"Terserah. Asal jangan lagu cengeng."

Elena menarik napas. Tangannya melayang di atas tuts. Pikirannya kosong sejenak. Dia tidak bisa memainkan Winter Wind lagi; energinya sudah habis. Dia butuh sesuatu yang lain. Sesuatu yang gelap, tapi tenang. Sesuatu yang menyerupai kepasrahan yang menyakitkan.

Jari-jarinya menekan tuts. Beethoven. Moonlight Sonata, 3rd Movement. Bukan bagian pertamanya yang lambat dan sedih, tapi bagian ketiganya—Presto Agitato. Cepat, mendesak, penuh gejolak.

Musik memenuhi ruangan. Elena fokus pada tuts, berusaha mengabaikan kehadiran Damian yang menjulang di sampingnya. Tapi itu mustahil. Dia bisa merasakan tatapan pria itu membakar kulitnya. Dia bisa merasakan energi gelap yang memancar darinya.

Saat dia mencapai bagian fortissimo, Damian tiba-tiba bergerak.

Dia berjalan memutari piano dan berdiri tepat di belakang Elena.

Napas Elena tercekat, membuat temponya sedikit goyah, tapi dia memaksa dirinya terus bermain.

Damian tidak menyentuhnya. Belum. Dia hanya berdiri di sana, di belakang punggung Elena. Kehadirannya begitu dekat hingga Elena bisa merasakan panas tubuhnya.

Lalu, tangan Damian turun. Kedua tangan yang besar dan kuat itu mendarat di bahu Elena, meremasnya pelan.

Elena hampir berhenti, tapi remasan di bahunya mengisyaratkan sebaliknya. Terus main.

Ini adalah siksaan jenis baru. Bermain piano membutuhkan kebebasan gerak tubuh, tapi tangan Damian memaku Elena di tempat. Berat tangannya adalah pengingat fisik akan kekuasaannya. Bahwa Elena bisa berekspresi, bisa berteriak lewat musik, tapi pada akhirnya, dia tetap berada di bawah cengkeraman Damian.

Damian menunduk, bibirnya menyapu telinga Elena yang terbuka karena rambutnya disibakkan ke samping.

"Lebih cepat," bisik Damian.

Elena memacu jari-jarinya. Otot-otot lengannya mulai terasa panas. Napasnya memburu.

"Lebih keras," perintah Damian lagi, tangannya meremas bahu Elena lebih kuat, hampir menyakitkan.

Elena memukul tuts itu dengan sekuat tenaga. Musik itu menjadi kacau, liar, putus asa. Air mata frustrasi mulai menggenang di mata Elena. Ini bukan lagi seni. Ini adalah pemerkosaan terhadap musiknya. Damian mengubah satu-satunya hal suci yang dimiliki Elena menjadi alat untuk menyiksanya.

Saat nada terakhir—kord yang keras dan dissonan—dipukul, Elena berhenti. Dia terengah-engah, dadanya naik turun dengan cepat, keringat dingin membasahi punggungnya.

Hening.

Tangan Damian perlahan melepaskan bahu Elena. Jejak panas dari telapak tangannya masih tertinggal di kulit Elena.

"Bagus," suara Damian terdengar parau di telinganya. "Sangat patuh."

Elena menutup matanya, menahan air mata agar tidak jatuh. Dia tidak akan memberinya kepuasan itu.

Damian mengambil gelasnya dari atas piano, meminum sisa isinya, lalu meletakkannya kembali dengan bunyi klak yang tajam.

"Makan malam disajikan sepuluh menit lagi. Cuci mukamu. Kau terlihat berantakan," kata Damian dingin, seolah momen intens barusan tidak pernah terjadi.

Dia berjalan menjauh, menuju tangga yang mengarah ke lantai mezzanine di mana kamar pribadinya berada.

Elena tetap duduk di bangku piano, tubuhnya gemetar hebat. Dia menatap tuts hitam putih yang kini tampak buram oleh air mata yang tak terbendung lagi.

Dia melihat pantulan dirinya di badan piano yang mengkilap.

Satu hari.

Dia baru melewati satu hari.

Dan rasanya dia sudah kehilangan separuh jiwanya.

Di kejauhan, guntur bergemuruh pelan, seolah langit Jakarta turut berduka untuk gadis yang kini terperangkap di menara gading itu. Malam telah benar-benar datang, dan di Sky Tower, malam adalah milik sang Iblis.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jerat Sang Iblis   Bab 10: Pisau Cukur dan Kepercayaan

    ​Benda itu terasa dingin di telapak tangan Elena, namun memancarkan kehangatan sejarah yang aneh.​Elena duduk di tepi tempat tidur, sinar matahari pagi membanjiri kamarnya, membuat berlian-berlian kecil pada bros perak berbentuk bunga lili itu berkilauan. Bros itu tidak besar, tidak mencolok seperti perhiasan orang kaya baru yang norak. Desainnya kuno, Art Nouveau, dengan lekukan perak yang elegan menyerupai kelopak bunga yang sedang mekar. Logamnya sedikit kusam di bagian lipatan, tanda bahwa benda ini sering disentuh, sering dipegang, mungkin ditenangkan.​"Terima kasih."​Dua kata di kertas kuning itu masih tergeletak di meja nakas. Tulisan tangan Damian—tajam, miring ke kanan, penuh tekanan—seolah menatapnya.​Pintu kamar Elena terbuka setelah ketukan singkat. Victor masuk membawa nampan sarapan dan koran pagi yang sudah disetrika (kebiasaan aneh orang kaya lama).​"Selamat pagi, Nona," sapa Victor. Wajahnya segar, seolah semalam dia tidak sedang memegang senapan serbu di lobi. "

  • Jerat Sang Iblis   Bab 9: Malam Para Serigala

    Pintu itu terkunci. Gerendel besi itu terpasang kokoh. Namun, Elena belum pernah merasa seterbuka dan serentan ini seumur hidupnya.Di dalam kamar tidurnya yang mewah namun menyesakkan, Elena duduk meringkuk di sudut ruangan, di celah sempit antara lemari pakaian dan dinding. Dia memeluk lututnya erat-erat, seolah berusaha membuat tubuhnya sekecil mungkin agar tidak terlihat oleh bahaya yang sedang mengamuk di luar sana.Jam digital di nakas menunjukkan pukul 02.45 dini hari.Sudah lima jam sejak Damian membentaknya untuk masuk. Lima jam sejak Clair de Lune yang damai digantikan oleh dering telepon yang membawa kabar kematian.Selama lima jam itu, Sky Tower tidak lagi menjadi hunian sunyi di atas awan. Tempat ini telah berubah menjadi markas komando perang.Meskipun dinding kamarnya kedap suara, getaran dari aktivitas di luar merembes masuk. Elena bisa merasakan langkah-langkah kaki berat yang berlari di koridor marmer—bukan satu atau dua orang, tapi lusinan. Dia mendengar suara bip t

  • Jerat Sang Iblis   Bab 8: Gencatan Senjata

    Bunyi bor listrik yang mendengung tajam memecah keheningan sore di penthouse Sky Tower. Suaranya menyakitkan telinga, menggema di lorong marmer yang biasanya sunyi senyap seperti makam.Elena berdiri di ambang pintu kamarnya, melipat tangan di dada, mengawasi pekerjaan itu dengan tatapan kosong.Seorang teknisi bertubuh kekar, mengenakan jumpsuit abu-abu tanpa logo perusahaan, sedang melubangi pintu kayu mahoni kamarnya yang tebal. Serbuk kayu berjatuhan ke karpet mahal. Di sebelahnya, Victor berdiri tegak seperti patung penjaga, mengawasi setiap gerakan teknisi itu dengan mata elang."Besi baja padat, silinder ganda," jelas Victor tanpa diminta, suaranya berusaha menyaingi bunyi bor. "Tidak bisa dibobol dari luar tanpa alat peledak atau kunci induk elektronik yang hanya dipegang oleh saya dan sistem keamanan pusat. Tuan Kael sendiri tidak memegang kunci fisiknya."Elena menatap lubang yang baru terbentuk di pintu itu. "Jadi, ini kandang di dalam kandang?""Ini privasi, Nona," koreksi

  • Jerat Sang Iblis   Bab 7: Tanda Kepemilikan

    Cermin tidak pernah berbohong, dan pagi ini, kejujuran cermin itu terasa brutal.Elena berdiri di kamar mandi pribadinya, jemarinya yang gemetar menyentuh kulit lehernya. Di sana, tercetak jelas jejak malam neraka yang baru saja ia lewati. Kulitnya yang putih pucat kini dinodai oleh warna ungu kebiruan dan merah padam. Bentuknya bukan sekadar memar acak; itu adalah cetakan jari. Empat di satu sisi, satu jempol di sisi lain.Tanda cengkeraman.Setiap kali Elena menelan ludah, rasa sakit yang tajam menjalar hingga ke rahangnya, mengingatkannya betapa dekatnya ia dengan kematian beberapa jam yang lalu.Dia masih hidup. Jantungnya masih berdetak, meski iramanya kacau. Namun, bayangan Damian—mata yang melebar tanpa pupil, gigi yang gemeretuk, dan teriakan *"Mama"* yang memilukan—terus berputar di kepalanya seperti kaset rusak.Elena mundur dari cermin, menarik kerah piyama sutranya tinggi-tinggi untuk menutupi tanda itu. Dia merasa mual. Bukan hanya karena rasa sakit fisik, tapi karena ke

  • Jerat Sang Iblis   Bab 6: Mimpi Buruk Sang Raja

    Air dingin itu membasuh wajahnya, namun tidak bisa membasuh rasa panas yang tertinggal di bahunya. Di depan cermin kamar mandi tamu yang mewah—berlapis marmer hitam dengan keran emas—Elena menatap pantulan dirinya sendiri.Dia masih Elena. Matanya masih cokelat gelap, hidungnya masih sama, bibirnya masih miliknya. Namun, ada sesuatu yang redup di dalam sana. Cahaya perlawanan yang biasanya menyala terang kini berkedip-kedip, terancam padam oleh tiupan angin dingin yang dibawa oleh Damian Kael.Jejak tangan pria itu di bahunya terasa seperti stempel kepemilikan. Damian tidak memukulnya, tidak melukainya secara fisik, namun cara pria itu "memainkannya" di depan piano tadi lebih merusak daripada tamparan. Damian telah mengambil satu-satunya tempat perlindungan Elena—musiknya—dan mengubahnya menjadi arena dominasi.Elena mengeringkan wajahnya dengan handuk tangan yang begitu tebal dan lembut hingga terasa seperti selimut. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yan

  • Jerat Sang Iblis   Bab 5: Boneka Porselen

    di Sky Tower memiliki berat jenisnya sendiri.Itu bukan jenis keheningan damai yang biasa Elena temukan di perpustakaan tua kampusnya, atau keheningan khusyuk di dalam gereja sebelum misa dimulai. Keheningan di tempat ini bersifat menekan, seolah oksigen di udara dipadatkan secara artifisial, membuat setiap tarikan napas terasa seperti perjuangan kecil.Setelah Victor pergi dan pintu tertutup, Elena berdiri mematung di tengah ruang tamu penthouse yang luas itu. Ponsel hitam dengan satu kontak bernama "My Owner" itu terasa panas di telapak tangannya, seolah benda itu radioaktif. Dia ingin melemparnya. Dia ingin menjerit hingga kaca-kaca tebal itu retak. Namun, insting bertahan hidupnya—suara kecil di kepalanya yang terdengar seperti suara almarhum ibunya—memintanya untuk tetap waras.Jangan bodoh, El. Kau tidak bisa melawan ombak dengan meninju air. Kau harus belajar berenang.Elena memasukkan ponsel itu ke saku gaun sutra cream-nya. Dia menarik napas dalam, mengisi paru-parunya dengan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status