Pukul lima lebih lima belas menit, aku baru pulang dari masjid. Istriku, eh Mas Abraham sudah menghadang di depan pintu sambil berkacak pinggang, macam warok lagi nantangin duel.
"Kenapa jam segini baru pulang. Pasti TP di depan Muzakka, ya, 'kan?" tuduhnya.
Kalian tahu TP? Kalau tidak tahu mari kuberi tahu. TP itu singkatan dari Tebar Pesona. Nah, kira-kira, nih, dengan ragaku sebagai laki-laki terus aku tebar pesona ke Mas Muza, apa bisa si doi tertarik, 'kan tak mungkin. Ngawur, Mas Abraham itu. Huh!
"Deeek! Kalau ngomong dipikir lagi, ya. Muzakka itu normal bukan turunan kaum Luth." Aku membantah tuduhannya.
"Terus, kenapa baru pulang. Biasanya salat Subuh kurang dari jam lima sudah selesai."
"Ada kajian subuh," jawabku sambil meninggalkannya di depan pintu, sedang mulutku tak henti menggerutu, "huh! Gitu aja curiga."
Jam tujuh pagi.
"Apa?""Mereka Pak Lurah. Para preman eksekusi kampung sebelah.""Astaghfirullah!""Ayo, Ham. Kita ke sana!""Baik, Pak."Kami berkendara sekitar lima menit. Ketika tiba di tempat, beberapa orang membawa alat pukul menyeret warga di pinggir jalan."Woooy, tunggu!" teriak Pak Lurah."Apa?! Mau menghalangi truk penambang juga?!""Sama sekali tidak, saya mau bicara," seru Pak Lurah setelah memarkir motor.Semakin dekat, aku semakin tak kuat menyaksikan kondisi salah satu warga yang babak belur dianiaya. Mataku berkunang-kunang dan terasa mual.Aku tak bisa melihat pemandangan sadis. Segera kualihkan pandangan dan menarik napas kuat-kuat agar suplay oksigen ke otak cukup sehingga terhindar pingsan.Jika aku tak sadarkan diri ada dua hal yang ditakutkan. Pertama bikin repot
Dari sudut mataku, Arina sepertinya memperhatikanku. Apakah dia menyukai sosok Mas Abraham sedemikian rupa sampai curi-curi pandang. Aku menoleh padanya, ia segera mengalihkan pandangan. Huh, dasar.Sebenarnya, dia punya rasa tidak terhadap Mas Abraham. Aku jadi ingin tahu."Rin, duduk sini," pintaku sambil menunjukkan kursi di depan mejaku."Ada apa, Mas?" tanya Arina sopan."Antara ingat dan tidak aku ingin memastikan padamu, apakah aku pernah memintamu untuk jadi istri keduaku?" tanyaku setenang mungkin padahal jantungku deg-degan takut dia menjawab iya."Oh, yang percakapan dua minggu yang lalu. Pernah, sih. Tapi kupikir Mas Abraham bercanda. Jadi tak kuanggap serius.""Memangnya kamu mau menikah dengan lelaki beristri?""Dari pada menikah dengan preman, Mas. Mending jadi istri kedua Mas Abraham."Sampai sini aku
Usai salat Magrib aku benar-benar mengajak Mas Abraham dan Maryam ke warung Bang Joli.Jika menjelang sore sampai malam. Bang Joli tidak lagi menjual nasi pecel tapi yang ia jual sate dan gulai."Eh, Pak Carik, tumben ngajak Bu Ulfa. Pesen apa?"Kok, Bang Joli bilang gitu, ya. Apa selama ini Mas Abraham sering kemari kalau malam. Pantesan di rumah makan cuma dikit. Ternyata nambahnya di kedai ini."Sate ayam, Bang. Tiga porsi yang satu buat Maryam tampa sambal."Kami bertiga pun duduk di kursi panjang yang tersedia di situ. Maryam duduk di tengah antara aku dan Ulfa. Sementara sebelah kananku kosong.Sementara Bang Joli sedang membakar sate, aku bercakap-cakap dengan Mas Abraham setengah berbisik."Fa, kamu biasanya jajan di sini, ya?" tanyaku."Kadang, Mas. Soalnya porsi makanku sebagai laki-laki banyak, butuh menutr
Pagi ini, tak terdengar suara Ulfa memasak. Ada apa dengan istriku. Untung ini hari minggu jadi aku tak perlu khawatir terlambat.Semenjak raga kami tertukar, aku tak berani tidur di kamar yang sama dengan istriku. Selalu istirahat di kamar almarhum ayah dulu.Jadi, karena kami tidur terpisah, aku bangun untuk memastikan apa yang dilakukannya.Di dapur, ia tak ada. Di ruang tamu dan kamar mandi pun juga tidak terlihat.Pasti di kamar."Fa, sudah jam segini, kok, masih meringkuk. Apa tak masak? Nanti Maryam makan apa?""Aku sakit, Mas. Perutku rasanya begah.""Biasa itu, Fa. Orang hamil muda memang begitu.""Apa dulu kamu pas hamil kayak gini rasanya. Tidur tengkurap tak bisa padahal punggung rasanya mau patah.""Ya, iyalah kayak gini masak kayak gitu. Itu belum seberapa. Tunggulah nanti usia lima
"Tapi, Fa, kurasa wajar mereka enggan pindah. Aku pun kalau jadi mereka tak mau," kataku memberikan argumen padanya."Itulah, dirimu. Keputusan menggunakan perasaan. Tidak memikirkan jangka panjang."Enak saja dia bilang begitu. Aku tak terima, seolah pikiranku cupet cuma mikirin perasaan."Yang tidak memikirkan jangka panjang itu, kamulah!" Sungutku."Iya, iya, semua aku bagian yang jelek-jelek. Yang bagus-bagus hanya perilakumu," ucapnya, sambil mengelus dadanya yang tak lagi rata, lalu melanjutkan perkataannya seolah bicara pada dirinya sendiri, "sabar, sabar."Huh! Aku mencebik sebal dia selalu begitu pura-pura bilang iya padahal maksudnya mengejek. Tidak mau ikhlas kalau ingin memuji. Sudah lah."Mas," panggilnya."Apa?!" bentakku masih sakit hati atas ucapannya tadi."Sabar, sabar," gumamnya lirih.
"Eh, Maryam?" Mas Abraham menoleh ke kanan dan kiri lalu melihat ke arah jalan."Apa Maryam jatuh, ya?" tanyanya.Bagaimana, sih, jadi Ibu masak anaknya ketinggalan dibilang jatuh. Tanpa harus menunggunya naik motor. Aku langsung tancap gas. Kubiarkan dia di halaman rumah Pak Darso sementara aku menyusuri jalan menuju rumah Pak Dirman kembali.Di halaman itu Maryam menangis kencang. Sedang di kedua sisinya ada Pak Dirman dan istrinya yang sedang membujuknya."Nah, itu. Ayah Maryam datang. Ayo, berhenti nangisnya."Maryam pun perlahan sesenggukan tatkala berusah berhenti menangis."Lah, ya, Pak Carik kok sampai anak ketinggalan."Duh, rasanya malu sekali kalau begini. Berasa jadi orang tua yang tak perhatian."Iya, kok, bisa ibunya lupa anaknya," ucapku. Padahal salah kami berdua lupa anak, tapi aku lebih suka menyalah
"Mbak Ulfa sakit, Mas?" tanya Muzakka padaku."Biasa," jawabku enteng."Maksudnya?" tanyanya keheranan dengan sikapku."Dia sedang hamil muda, jadi sering mual.""Oh, Maryam akan punya adik," gumam Muzakka dengan raut wajah yang tak bisa kumengerti."Iya, betul. Istriku sangat senang dengan bakal hadirnya adik Maryam. Ia juga pernah cerita tentang Mas Muza dan berharap Mas bisa bahagiadengan istri Mas Muza kelak."Mudah-mudahan jika ia tahu bahwa aku yang dikenalnya sebagai Ulfa, berharap kebahagiannya, maka ia bisa menerima Arina. Karena tak seharusnya Muzakka tenggelam dalam masa lalu. Aku tak mungkin bisa bersamanya.Pemuda ini mengangguk lalu seolah merenung sebentar, ia berkata, "Baiklah, Mas. Nanti saya akan minta restu orang tua dulu. Jika Umi dan Abi setuju, saya akan datang langsung melamar Dek Arina."
"Ramuan penangkal tafsir mimpi buruk dan kapsul panjang umur?" tanyaku lirih pada Mas Abraham.Ia menoleh padaku."Iya, masak lupa ketika kita pergi ke orang pintar dikasih itu?" Ia berkata sambil tangannya menepuk-nepuk pahaku pelan di bawah meja. Seolah isyarat agar aku tak banyak bertanya padanya.Padahal aku masih ingin menanyakan mengapa tadi dia berkata dari dukun, sekarang malah bilang bahwa itu dari orang pintar. Ah, aku jadi curiga. Jangan-jangan ...."Pak Tajam mau tidak ramuan tersebut? Syarat dari orang pintar habis minum itu, Bapak harus meninggalkan tempat di mana Bapak pernah bermimpi buruk."Suami istri di depan kami saling pandang."Jadi habis minum kami harus pergi dari rumah ini?" tanya Bu Tajam."Betul, Pak. Takdir Bapak yang lama akan tertinggal di rumah ini."Itu teori dari mana? Kok,