Udara dingin pendingin ruangan menusuk kulit Alona, namun tak sedingin tatapan mata Pretty. Ruangan hotel mewah bergaya Eropa modern ini terasa seperti sangkar berlapis emas, setiap detail ukiran pada dinding, setiap helaan tirai beludru tebal, semua memenjara. Pretty berdiri tegap di hadapan Alona, kedua lengan melipat erat di dada, memancarkan aura kekuasaan yang tak terbantahkan. Matanya menyorot tajam, menghunus Alona yang meringkuk di tepi ranjang king size, bahu bergetar hebat.
“Aku tidak mau tahu! Pokoknya kau harus bersikap manis dan ramah kepadanya! Ingat, ini perintah!” Suara Pretty menggelegar, memantul di dinding ruangan. Alona tersentak. Air mata membasahi pipi, membasahi jejak-jejak ketidakberdayaan. Ia lelah, teramat lelah. Perlawanan selalu berujung pada rasa sakit yang tak terperi, ingatan akan jambakan kuat pada rambut panjangnya masih berdenyut di kulit kepala. Rambut indah, kebanggaannya, kini terasa seperti tali pengikat, menyeretnya ke jurang kepasrahan. “Dan ingat anak tiri! Namamu bukan Alona, tetapi Tiara! Kau akan menggantikan sosok anakku! Bersikaplah ramah! Jangan membuat lelaki tua itu kecewa!” Pretty berbalik, langkahnya tegas menuju pintu. Bunyi ‘klik’ pintu tertutup memicu tangis Alona. Tangisnya pecah, lebih keras, lebih pilu. Ia tak menginginkan perjodohan ini. Mimpi-mimpinya, cita-citanya yang menjulang tinggi, semuanya hancur berkeping-keping. Ia masih di bangku SMA, seragam putih abu-abu masih menggantung rapi di lemari kamarnya di rumah. Bagaimana mungkin ia dijodohkan dengan lelaki yang usianya terpaut jauh? Empat puluh tahun. Angka itu berputar-putar di benaknya, angka yang terasa seperti jurang tak berdasar antara dirinya dan masa depan yang menantinya. Lelaki itu, yang seharusnya bersanding dengan Tiara, anak kandung Pretty, kini harus ia hadapi. Tiara menolak, dan seperti biasa, Alona-lah yang menjadi tumbal. Sebuah boneka pengganti, tanpa suara, tanpa kehendak. * **Cklek.** Suara kenop pintu berputar, memecah kesunyian yang memekakkan telinga. Alona segera menyeka air mata, napasnya tersengal. Jantungnya berpacu, memukul-mukul rusuknya. **Drap… drap… drap…** Langkah kaki itu mendekat, setiap ketukannya terasa seperti palu yang menghantam gendang telinganya. Alona menunduk, pandangannya terkunci pada lantai marmer dingin. “Tiara!” Suara berat itu menggaung, memenuhi ruangan. Alona mengangguk kaku, tanpa mengangkat wajah. Sepasang sepatu pantofel hitam mengkilap berhenti tepat di hadapannya. Kilau kulitnya memantulkan cahaya lampu gantung kristal. Aroma maskulin yang pekat, perpaduan *woody musk* yang tajam, menyeruak ke dalam rongga hidungnya. Bau itu begitu kuat, begitu asing, begitu mendominasi. Perlahan, Alona mengangkat wajahnya. Netra indahnya bertemu pandang dengan sepasang mata tajam yang menatapnya tanpa ekspresi. Dunia seolah berhenti berputar. “Kamu wanita yang bernama Tiara?” Lelaki itu kembali bertanya, suaranya menusuk. Jantung Alona berdebar lebih kencang, iramanya tak beraturan. “I-iya, benar. Apakah Tuan orang suruhan Tuan Rajendra?” Suaranya bergetar, pertanyaan itu nyaris tak terdengar. Lelaki itu sedikit mengangkat alisnya. “Dengan siapa kau datang ke sini?” “Dengan Ibu, tetapi beliau sudah pulang lebih awal. Apakah Tuan utusan dari Tuan Rajendra? Bisakah saya menemuinya lebih awal?” Alona merasakan ketakutan merayap di setiap inci kulitnya. Tenggorokannya tercekat. Lelaki bertubuh gagah dengan dada bidang itu diam sejenak, menatapnya intens. “Aku Rajendra.” Alona terkesiap. Matanya melebar, pupilnya membesar. Ia tidak percaya pada apa yang baru saja ia lihat, pada apa yang baru saja ia dengar. Gambaran yang Pretty torehkan dalam benaknya hancur berkeping-keping. Pretty menggambarkan lelaki yang akan ia temui sebagai sosok tua, lusuh, berpenampilan buruk, dengan perut buncit dan aura tak terawat. Sebuah karikatur yang jauh dari kenyataan di hadapannya. Rajendra berdiri tegak, proporsi tubuhnya sempurna tersembunyi di balik setelan jas mahal. Wajahnya tegas, garis rahangnya kokoh, dan matanya memancarkan kecerdasan yang tajam. Usianya mungkin memang empat puluh, tetapi tidak ada sedikitpun kesan tua atau tidak terawat. “Kenapa kau menatapku seperti itu? Apakah ada yang salah?” Suara Rajendra kembali memecah keheningan, nada dinginnya menusuk. “Ti-tidak, hanya saja… apakah Tuan yang akan dijodohkan dengan Tiara?” Alona tidak bisa melepaskan pandangannya dari wajah lelaki itu. “Jangan gila! Aku tidak pernah mau dijodohkan. Ini hanya perintah dari Ayahku.” Rajendra memicingkan matanya, menatap Alona dengan tatapan menyelidik. Alona diam, tanpa berkedip. Ia masih mencoba mencerna perbedaan antara cerita Pretty dan realitas di depan matanya. Tidak ada perut buncit, tidak ada penampilan buruk, tidak ada kesan lusuh. Hanya seorang lelaki dengan wajah oriental yang tampan dan angkuh. *Aku tidak salah lihat, kan?* batin Alona, keraguan melilit sanubarinya. “Aku tidak suka ditatap seperti itu!” Rajendra membentak tiba-tiba, suaranya menggelegar. “Ma-maaf, saya tidak bermaksud.” Alona menunduk lagi, pipinya memanas. “Dengar! Kedatanganku ke sini, bukan berarti aku setuju dijodohkan denganmu. Aku hanya mengikuti kemauan Orang Tua saja. Jadi kau jangan berharap lebih!” Ucap Rajendra, suaranya penuh kekejaman. Mendengar ucapan Rajendra, jantung Alona berdebar lebih kencang lagi. Rasa takut yang sejak awal menghantuinya kini semakin menjadi-jadi, mencekiknya erat. “Jadi kau anak Baskara yang bernama Tiara?” “Be-benar, Tuan.” “Silakan keluar! Aku tidak ingin melihat wanita yang memaksakan kehendak demi sesuatu. Dan ingat! Sampai kapan pun aku tidak pernah setuju dengan perjodohan ini. Jadi aku tegaskan dari sekarang, jangan berharap lebih!” Rajendra berkata dengan nada setegas baja, tanpa sedikit pun keraguan. Ucapan pedas itu menghantam Alona, melukai relung sanubarinya. Asam lambungnya seakan naik, perutnya mual. Tanpa berkata sepatah kata pun, Alona berbalik, melangkah pergi meninggalkan lelaki yang masih berdiri angkuh di tempatnya. *Kamu pikir saya mau dijodohkan dengan lelaki angkuh seperti Anda? Akh… seandainya saja aku bisa menjawab ucapannya yang angkuh itu.* Alona menghela napas berat. *Seandainya saja aku menemui dia bukan membawa nama Tiara, sudah kuhajar lelaki itu!* Umpatan itu hanya bergema di benaknya. Ia masih merasa kesal, kakinya melangkah menuruni lobi hotel dengan cepat, seolah ingin melarikan diri dari bayangan Rajendra. * RAJENDRA GALA JANARDANA, lelaki dengan alis tebal dan tatapan tajam itu, tahun ini genap berusia empat puluh. Demi menuruti kemauan sang ayah, Nakula, ia terpaksa meninggalkan Negeri Paman Sam, tempat ia menetap selama lebih dari sepuluh tahun. Jendra, panggilan akrab keluarganya, telah membangun kerajaan bisnisnya di sana, jauh dari kenangan pahit di tanah kelahirannya. Setelah kepulangan Ratna, sang Ibu, ke pangkuan Ilahi, Jendra memilih untuk tidak kembali ke Indonesia. Namun, rencana dan keinginannya itu harus terhenti ketika sang ayah menelepon, memintanya kembali. “Ayah mau kamu pulang, Jendra!” Kalimat itu, diucapkan dengan nada yang tak terbantahkan, akhirnya menarik Rajendra kembali ke kampung halaman. Lelaki tua dengan rambut penuh uban itu kini terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Berbagai peralatan canggih menempel di tubuhnya, kesadarannya semakin menurun, wajahnya pucat pasi. Namun, bibirnya tak henti berucap lirih, “Jendra harus menikah dengan anak Baskara.” “Ayah, ini Jendra, Ayah. Sadarlah, Ayah!” Rajendra mengepalkan tangannya, menggenggam erat tangan sang ayah yang terasa begitu lemah dan dingin. “Sudah berapa lama Ayah seperti ini?” Wajah karismatik Rajendra kini basah oleh air mata, kesedihan mendalam terpancar dari setiap guratan di wajahnya. “Seminggu terakhir ini Tuan semakin menurun kesadarannya, Tuan Muda.” Aspri yang sudah puluhan tahun mengabdi pada Nakula menjelaskan, suaranya penuh keprihatinan. Tangis Rajendra semakin kuat. Hanya sang ayah yang ia miliki saat ini, satu-satunya keluarga yang tersisa. “Ayah, tolong sadar! Jendra akan turuti kemauan Ayah, Jendra akan menikahi wanita itu!” Mata yang sejak lama terpejam, tubuh yang sudah lama lemah, seketika mendapatkan energi entah dari mana. Nakula membuka matanya perlahan, kelopak matanya berkedip, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya. “Ayah… Ayah, ini Jendra, Ayah.” Rajendra bangkit dari duduknya. “Cepat panggil dokter!” Sang aspri yang sudah berjaga berhari-hari itu segera berlari, menghubungi tim medis. “Jendra…” ucap sang ayah terbata, suaranya serak. “Benarkah kamu mau menikahi anak Baskara?” “Ya, Ayah, asal Ayah kembali sehat!” Kali ini, kesehatan Nakula lebih berharga dari apa pun yang Rajendra miliki. Ia akan melakukan apa saja. “Ayah pasti akan segera sehat seperti sedia kala. Terima kasih, Nak! Hanya kau yang akan membalas jasa Baskara.” Sebuah senyum tipis terukir di bibir Nakula, senyum yang menunjukkan kelegaan dan harapan. * Terpenuhinya keinginan sang ayah membawa Nakula yang hampir melepas nyawa pulang ke rumah. Setelah mendengar kesanggupan sang anak untuk memenuhi janjinya, Nakula kini sudah kembali beraktivitas seperti sedia kala, meskipun dengan langkah yang masih perlahan. “Memang siapa wanita yang akan dijodohkan dengan Jendra, Ayah?” Rajendra duduk di kursi seberang sang ayah, yang sedang menikmati kopi pagi di teras rumah. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, namun pikirannya masih diselimuti awan kelabu perjodohan. Nakula meletakkan cangkir kopinya perlahan. “Dia anak Baskara. Lelaki muda yang dahulu menyelamatkan aku dan hartaku. Jika bukan karena ketulusannya, mungkin saat ini kamu tidak akan menjadi pemilik perusahaan besar di Amerika sana. Ketulusan Baskara mengantar aku dan Ibumu menjadi salah satu orang yang berpengaruh di Negeri ini. Berulang kali aku tawarkan, bahkan aku rekrut menjadi orangku, tetapi ia tidak pernah mau. Ia hanya meminta agar kelak anakku mau dinikahkan dengan anaknya.” “Kenapa harus Rajendra, Ayah?” Rajendra tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. “Karena kau yang masih hidup sebagai anakku. Anak Baskara jauh lebih muda daripada kamu.” Nakula menyeruput teh hangatnya, memandang alam yang luas di hadapannya, seolah mencari jawaban di cakrawala. “Tapi kan ini bukan zamannya Siti Nurbaya, Ayah! Yang kalau apa-apa harus dituruti. Rajendra berhak memilih dan menentukan garis masa depan Rajendra sendiri.” Suara Rajendra meninggi, frustrasi. Nakula menoleh, tatapannya tajam. “Kalau kau bisa memilih, lantas mengapa hari ini kau masih sendiri? Berapa banyak wanita yang gagal kau dekati? Pintaku tak banyak, Jendra, penuhi janjiku untuk Baskara! Atau kau akan melihatku mati dengan seribu penyesalan.” Nakula mengangkat tubuhnya, bangkit dari kursi, dan meninggalkan Rajendra sendirian, tenggelam dalam pikirannya. * “Jendra, apa benar kamu akan dijodohkan dengan anak Pak Baskara?” Maria, sepupunya, bertanya dengan nada ingin tahu, matanya berbinar. Mereka duduk di sebuah kafe, aroma kopi tercium kuat. “Tahulah! Aku pusing, Maria, kau tahu kan bagaimana Ayahku jika ada keinginan?” Rajendra pasrah, menyandarkan punggungnya ke sofa empuk, memijat pelipisnya. “Siapa yang akan dijodohkan denganmu? Setahuku Pak Baskara memiliki dua anak perempuan.” Maria menyesap minumannya, menunggu jawaban. “Aku belum tahu, yang pasti di antara itu. Aku berharap semua ini tidak terjadi.” Rajendra menghela napas panjang, keputusasaan terlihat jelas di wajahnya. “Setahuku Pak Baskara memiliki dua anak perempuan yang berbeda karakter. Satu memiliki kepribadian yang baik, dan yang lain sebaliknya.” Maria mencoba membantu, memberikan sedikit informasi yang mungkin berguna. Rajendra hanya bisa menatap kosong ke depan, bayangan perjodohan ini terasa seperti beban berat yang menghimpitnya.Setelah beberapa sesi terapi, psikiater menyarankan agar Alona melakukan perjalanan untuk penyembuhan diri.Rajendra mengambil keputusan untuk membawa Alona berlibur ke Hawaii, tempat yang selama ini menjadi impian Alona.. Ia berharap suasana tropis, pantai indah, dan udara segar di sana dapat membantu Alona pulih dari traumanya. Dengan penuh semangat, Rajendra mulai mengurus semua akomodasi yang dibutuhkan, mulai dari tiket pesawat, hotel, hingga jadwal kegiatan yang akan mereka lakukan selama di sana.Ketika Rajendra memberitahukan rencana ini kepada Alona, ia merasa lega karena Alona tidak menolak ide tersebut. Meskipun masih terlihat lesu, Alona setuju untuk pergi bersama Rajendra ke Hawaii.Hari keberangkatan pun tiba, Rajendra dan Alona terbang menuju Hawaii dengan penuh harapan. Mereka tiba di hotel yang sudah Rajendra pesan sebelumnya dan disambut dengan hangat oleh staf hotel. “Bagaimana Alona? Kamu suka kan?” Tanya Rajendra saat membuka godrin yang menutupi kamarnya yang me
Setelah selesai merapikan tenda yang telah mereka gunakan untuk berkemah, Jendra bergegas meninggalkan lokasi kemah bersama Alona, sang istri. Sepanjang perjalanan, Jendra tak henti-hentinya memeluk Alona, meyakinkan sang istri bahwa dia akan selalu ada untuk melindungi dan mencintainya. "Kamu tenang ya, Sayang. Aku di sini, akan terus melindungi kamu," ucap Jendra dengan penuh tulus dan kehangatan.Mendengar kata-kata itu, Alona merasa hari itu begitu mencerahkan hatinya. Hatinya yang semula keras dan sulit menerima kebaikan orang lain, kini mulai luluh oleh ketulusan cinta Jendra. Alona tersadar bahwa Jendra sungguh mencintainya, lebih dari siapapun yang pernah ada dalam hidup mereka.Dibanding Saloka, yang sudah dikenal Jendra selama puluhan tahun, Jendra justru memilih untuk percaya pada Alona. Ia merasa beruntung memiliki suami yang setia dan tulus seperti Jendra.Perlahan, Alona menoleh pada Jendra, matanya berkaca-kaca seiring senyuman tulus yang terukir di wajahnya. "Terima k
Alona berada di dalam sebuah bangunan khusus toilet umum laki-laki, wajahnya tampak pucat pasi ketakutan. Tiba-tiba, Saloka muncul dari balik salah satu pintu toilet dengan senyum yang jahil dan sinis."Kamu mau apa, Saloka?" tanya Alona dengan suara gemetar, mencoba menyembunyikan rasa takutnya."Sudahlah, Alona, aku tahu Rajendra tidak mencintaimu. Cinta dia habis di Sitha, kau dinikahi aku yakin belum pernah disentuh bukan?" ucap Saloka dengan nada picik, sambil melangkah mendekati Alona.Alona terdiam, hatinya semakin khawatir dan ketakutan. Tiba-tiba, Saloka mengunci pintu toilet, membuat Alona merasa terjebak."Buka pintunya!" pekik Alona, hampir menangis."Tidak, aku tidak mau, lagipula ini toilet khusus lelaki, kamu yang salah berada disini," balas Saloka dengan nada datar, sambil tersenyum jahat."Buka! Atau aku teriak!" ancam Alona, mengumpulkan keberanian yang masih tersisa."Teriak saja, jika kau mau mati," ejek Saloka, mengejek ketakutan Alona.Alona merasa buntu, matanya
Malam itu, di tengah hutan pinus yang rimbun, Alona, Rajendra, dan teman-teman mereka berkumpul di sekitar api unggun yang menyala terang. Udara dingin menusuk tulang, dan angin kencang yang meniup dedaunan membuat suasana semakin akrab dan hangat. Di sekitar api unggun, mereka berbagi tugas dalam menyiapkan hidangan malam itu. Beberapa di antara mereka sibuk memasak, mengolah daging untuk barbekyu, dan mengatur piring serta alat makan. Alona dan beberapa teman wanitanya sedang bersemangat membuat minuman untuk menghangatkan tubuh di malam yang dingin ini.Sementara itu, Rajendra dan teman-teman lelaki lainnya bertanggung jawab atas api unggun yang menerangi kegelapan malam. Mereka mengatur kayu bakar dan memastikan nyala api tetap hidup untuk menjaga kehangatan di tengah dinginnya udara. Api unggun yang menyala semakin menambah keakraban suasana malam itu.Meskipun sibuk dengan urusan masing-masing, Rajendra tidak lupa untuk sesekali melirik istrinya, Alona, dari kejauhan. Dia mempe
Mentari pagi yang hangat mulai menyelinap masuk melalui celah-celah jendela, mengusik tidur Alona dan Rajendra yang masih terlelap di atas sofa. Semalam, mereka berdua begitu larut dalam perbincangan tentang skema acara yang akan dihadiri, hingga akhirnya memutuskan untuk menonton film komedi bersama. Tanpa terasa, keduanya terlelap dan bermimpi indah."Rajendra, bangun, kita kesiangan!" seru Alona dengan panik, menyadari waktu yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Rajendra yang terkejut bangun, mendengus dan meregangkan tangannya dengan santai. "Jam berapa ini?" tanyanya pada Alona."Jam delapan," jawab Alona cepat, lalu berdiri hendak melangkah pergi. Namun, tanpa disadari, Rajendra menarik tangan Alona hingga membuatnya kembali terjatuh ke atas tubuh rajendra. "Aduh!" pekik Alona, merasakan rasa kaget yang luar biasa."Maaf Alona, mungkin ini lancang," ucap Rajendra dengan wajah yang tampak bersalah. Alona menatapnya dengan ekspresi bingung, mencoba memahami maksud dari tindak
Setiap hari, Rajendra semakin menunjukkan rasa cintanya pada Alona. Ia selalu berusaha menjaga dan memenuhi kebutuhan Alona sebagai suaminya. Mulai dari bangun pagi untuk menyiapkan sarapan, hingga menemani Alona berbelanja keperluan rumah tangga.Rajendra juga sudah tak pernah lagi pergi clubbing seperti dulu. Ia hanya keluar untuk urusan bisnisnya saja, kemudian segera kembali ke rumah dan menghabiskan waktu bersama Alona.Namun, meskipun Rajendra berusaha keras menunjukkan rasa cintanya, Alona belum juga merespon perasaan tersebut. Ia masih belum bisa menerima keberadaan Rajendra sepenuhnya dalam hidupnya. Wajah Alona yang selalu datar dan dingin membuat Rajendra merasa khawatir.Suatu malam, saat makan malam bersama, Rajendra mencoba membuka percakapan dengan Alona. "Alona, aku tahu mungkin aku belum sempurna sebagai suami, tapi aku berusaha untuk lebih baik. Apakah kau bisa melihat usahaku?" tanya Rajendra dengan lembut.Alona menatap matanya, lalu menundukkan pandangannya. "Aku