“Cepat! Jangan berjalan seperti siput!” Bentakan demi bentakan Marni 'tak ada habisnya, Alana hanya bisa pasrah mengikuti semau bibinya yang durjana itu. Sampai di halaman rumah. “Senyum! Jangan pasang wajah seperti habis disiksa seperti itu!” peringatan Marni tepat di depan telinga Alana, suara menggeram dan penuh tekanan, tidak ingin dibantah. Selangkah masuk ke dalam rumah, ekspresi Marni tiba-tiba melunak, mencuatkan keheranan Alana. Dan keheranan itu terjawab saat seraut wajah ditemukan pasang matanya. Jantung yang mula tenang seketika bertabuh kencang. “Juragan Wasesa!” Lelaki tua itu duduk santai bersadar sofa dengan kaki bersilang. Seringai mewarnai wajah saat tatapan Alana menjumpainya. “Saya sudah membawa Alana, Juragan," kata Marni. Juragan Wasesa tersenyum senang. “Bagus, Nyonya Marni.” “Lana! Cepat pergi dari sini, Nak!" Pandangan Alana terentak ke lain arah. “Kakek!” Terkejut kedua kali, kiri kanan tubuh Kakek Sadeli dicekal dua orang anak buah Juragan Wasesa.
Angin berembus kencang, menerbangkan dedaunan tua yang sudah menyerah dari tangkai bagian pohon.Suara deru air sungai yang mengalir deras, menemani Alana yang terduduk di atas bebatuan dengan memeluk lipatan kaki.Air mata masih setia mendampingi, mewakili segala yang dirasakannya sekarang. Ingin berlari sekencang-kencangnya, melepas semua beban yang sesak penuh di dada, tapi kakinya terlalu lemah untuk diajak berlari.Ketika larut dalam melodi, Alana tersentak. Seseorang menepuk pundaknya dari belakang. “Isan!”Wajah anak itu riang dengan senyumnya.“Kamu memancing?" tanya Alana seraya berdiri.Isan mengangguk seraya mengangkat pancingan dan ember kecil di kedua tangan.“Sudah dapat ikannya?”“Hmm.”“Coba lihat!"Ember kecil berisi ikan disodorkan Isan segera pada Alana.“Wah, ada dua, besar-besar! Kamu hebat, San!”Pujian itu melebarkan senyuman Isan. Setelah menaruh wadah ikannya di atas batu, ia bertanya balik pada Alana, “Kakak sendiri sedang apa di sini?" (Isyarat).Pertanyaan
Kailash Daniel sudah menyelesaikan urusannya di desa itu. Merasa telah dekat dengan Alana dan keluarga, sebelum kembali ke ibukota, dia menyempatkan mampir kembali ke rumah itu. Sekedar pamit dan memberikan sedikit uang untuk Kakek Sadeli.Untungnya, Marni lagi-lagi sedang keluar saat Kailash datang. Jika tidak, maka Kailash akan menjadi tujuan barunya. Tentu saja menggunakan Utari sebagai umpan.Namun keburukan di saat sama, hari itu juga Dirga melihatーkedua kali, betapa Alana begitu akrab dengan pria asing yang mendadak menjadi rival di dunianya.Akan tetapi lagi-lagi seperti tolol, Dirga hanya melihat di kejauhan lalu pergi membawa setumpuk amarah dari rasa cemburu di ubun-ubun.Hari berikutnya.Kehidupan Alana setelah memutuskan keluar dari pekerjaannya di perkebunan Juragan Wasesa menjadi semakin ricuh. Mendengar bentakan Marni setiap waktu rasanya seperti memutuskan saraf sendiri.Dan hari ini, Alana memutuskan mencari pekerjaan di tempat lain. Dia berjalan ke arah pasar seorang
“Mohon maaf, Juragan.” Kakek Sadeli lebih menegakkan badan untuk mendukung keseriusan kata yang akan dia ucapkan.“Bukannya saya sombong, bukannya saya tidak menghargai Anda, tapi Alana ... selain dia masih terlalu muda, dia juga ... hanya akan saya nikahkan dengan orang yang benar-benar dicintainya.”Kata-kata itu menohok, mengungkit perbedaan yang membumi langit terkait usia, Juragan Wasesa sedikit menajamkan mata.Kakek Sadeli yang tegas itu kemudian melanjutkan, “Dan meskipun kami hidup dalam keterbatasan, kami masih merasa cukup, kami tidak pernah kelaparan. Jadi ... silakan manfaatkan uang Anda yang berlimpah ini untuk kepentingan Anda yang lain. Sekali lagi saya mohon maaf, Juragan.”Koper yang terbuka dengan isi gepokan uang ditutup, lalu disodorkan kembali ke hadapan Juragan Wasesa oleh Kakek Sadeli. Itu mahar yang dipersembahkan untuk mempersunting Alana. Jumlah yang sangat banyak untuk harga seorang gadis kampung yang bahkan tidak berpendidikan tinggi.Mendapat penolakan de
Pukul 18.30 malam di meja makan.“Apa Lana belum juga pulang, Tari?" Kakek Sadeli bertanya, beliau baru saja mengisi duduk sebuah kursi di samping cucunyaーUtari, anak perempuan Marni.“Sepertinya belum, Kek," jawab Tari, sambil menyendok nasi ke piring kosong milik sang kakek.“Kemana perginya anak itu?"“Palingan juga dia di bawa laki-laki, Pak!” Marni menimpal, wajahnya selalu kecut jika menyangkut Alana.“Bu ... berhentilah berkata buruk tentang Kak Lana,” Utari menegur ibunya.“Kamu jangan ikut-ikutan membela gadis liar itu seperti Kakekmu, Tari! Dia itu tidak pantas dikasih hati."Utari dan Kakek Sadeli hanya saling melempar pandang tanpa mengatakan apa pun. Berdebat dengan Marni bukan hal yang patut dikejar.Mereka melanjutkan makan tanpa bicara lagi.Saat sama, suara ketukan pintu terdengar, menyentak segenap perhatian.“Nah, itu pasti Lana!” Kakek beranjak semangat.“Biar Tari yang buka pintunya, Kek!”Kakek mengangguk dan duduk lagi.Utari beranjak dan berjalan menghampiri pi
Dua hari berlalu ....Alana kini sedang berada di tengah-tengah hamparan luas sebuah perkebunan teh di desanyaーDesa Tanjung Sekar. Tidak ada waktu untuk menggulung perasaan takut setelah penculikan itu, tidak boleh trauma.Di punggungnya, dia menggendong sebuah keranjang bambu berukuran besar, tempatnya menampung pucuk-pucuk daun teh yang telah dipetiknya.“Lana."Seseorang menepuk pundaknya dari belakang.Alana terpancing perhatian dan mendapati seraut wajah, lalu tersenyum lebar. "Dirga.”Pemuda manis bernama Dirga itu kekasihnya.“Kenapa ke sini? Kamu tidak bekerja?"Dirga menggeleng seraya merapat ke samping Alana. "Ada rapat di pusat kota, aku malas ikut. Lebih baik ke sini menemani kamu kerja.”“Hmm, begitu," tanggap Alana, meneruskan kembali pekerjaannya. “Tapi pekerjaanku akan sangat membosankan. Kamu pasti akan kabur dalam sepuluh menit.”“Tidak akan!” sanggah Dirga, mulai ikut membantu, berkutat dengan daun-daun teh. “Bersama gadis tercantik di Tanjung Sekar, siapa pun akan