Share

EPISODE 4

Enam jam lebih perjalanan terlalui, dan tanpa terasa kini Rimbu sudah berdiri di depan sebuah rumah yang di sisi kanan dan kirinya diapit pohon rambutan tua. Tampak pintu rumah bergaya joglo modern itu sedikit terbuka, menandakan jika sang Pemilik Rumah masih terjaga. Dengan langkah penuh keraguan, Rimbu pun memasuki rumah yang hanya disambanginya setahun sekali itu.

Terlihat ayah sambung Rimbu, Panji, langsung beranjak kegirangan ketika Rimbu tiba-tiba muncul di depannya. Panji langsung mengambil alih tas jinjing Rimbu, namun seperti biasa, Rimbu hanya membalas dengan sikap dingin. Rimbu melirik ke kamar sang Ibu di lantai dua, yang kabarnya baru saja keluar dari rumah sakit setelah jatuh pingsan karena terpeleset dari kamar mandi.

"Kok pulang gak ngabarin? Harusnya Bapak jemput tadi. Naik apa pulangnya? Belum makan kan? Bapak beliin bandeng presto kesukaan kamu ya?"

Rimbu menghela napasnya. "Gak usah. Rimbu mau langsung tidur aja, so--"

"Loh, Dek Rimbu?" sela Kakak Perempuan Rimbu, Ratih, yang baru saja keluar dari kamarnya.

"Masak nasi buat Rimbu, Tih. Bapak keluar beli lauknya dulu. Sama itu bangunin Simbok*, suruh bersihin kamar Rimbu."

Simbok* secara definisi maupun bahasa, simbok diartikan sebagai ibu, bibi, asisten rumah tangga, emak/embok (dalam bahasa jawa).

"Gak usah Pak, Ri--"

Ratih kembali menyela, "Sssttt udah nurut aja. Duduk di sini dulu. Mbak buatin minuman anget." Ratih berjalan cepat menuju sebuah kamar, lalu mengetuk pintu kamar itu. "Mbok, udah tidur? Ini Dek Rimbu pulang, minta tolong dibersihin kamarnya ya."

Tampak seisi penghuni kediaman Rimbu sangat sibuk. Ratih sibuk menyiapkan makanan baru di dapur. Sementara sang Ayah, Panji, belum juga memunculkan batang hidungnya setelah satu jam lalu pamit membeli bandeng presto kesukaan Rimbu. Rimbu yang dilarang membantu kesibukan itu tak tahan, dan akhirnya beranjak ke kamarnya, membantu simbok memasang sarung bantal.

Rimbu mengikat tali sarung bantal sambil memandangi setiap sudut kamarnya, bernostalgia. Kamar tidur Rimbu, sengaja dibuat paling mewah meski bukan kamar utama. Bahkan semua perabotan di kamar Rimbu merupakan kualitas kayu jati terbaik pada masanya. Sesayang itulah kedua orang tua kandung Rimbu pada dirinya, dulu. Rimbu menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir semua kenangan buruk.

"Sehat, Cah Ayu?"

Rimbu mengangguk menanggapi Simbok. "Mbok juga sehat kan?"

"Alhamdulillah. Nyonya sudah gak apa-apa, jangan khawatir."

Rimbu kembali mengangguk. "Apa kata dokter, Mbok?"

"Cuma kaget karna keseleo. Tadi sore sempat demam tinggi, tapi sekarang sudah turun."

"Syukur kalo gitu. Oh iya, itu lampu kamar samping emang sengaja dinyalain apa gimana, Mbok?" tanya Rimbu lagi.

"Sengaja dinyalakan karna tamu tahunannya Tuan mau datang. Tapi gak tau kok ini belum datang. Padahal selepas isya biasanya sudah datang." Simbok melihat ke luar jendela.

"Tamu tahunan siapa?"

"Muridnya Tuan waktu masih tinggal di rumah lama. Ganteng, tinggi, baik. Pokoknya paket komplit, Non." Simbok tertawa sembari mengacungkan kedua jempolnya.

•••••

Terdengar suara gaduh dari lantai satu, menandakan jika tamu tahunan Panji baru saja tiba. Rimbu menambah volume lagu yang sudah sepuluh kali diputarnya, sembari membenahi posisinya bersandar di bath up. Semuanya terasa sempurna, sampai sang Kakak, Ratih, tiba-tiba menerobos masuk ke dalam kamar mandi dan mengacaubalaukan kesempurnaan itu.

"Ya Allah, Dek, masa mandi doang aja sejam. Cepetan itu tamu Bapak udah nungguin."

Rimbu mengurangi volume lagunya. "Nungguin siapa?"

"Ya nungguin kamulah. Siapa lagi? Makan malemnya udah siap semua. Ayo cepet."

"Makan duluan aja. Aku gampang. Tanggung lagi pw*," balas Rimbu pada Ratih.

Pw* atau pewe merupakan singkatan dari Posisi Wuenak, atau Posisi Enak. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan suatu posisi atau situasi atau keadaan yang sudah nyaman bagi seseorang sehingga orang tersebut cenderung malas atau tidak mau untuk melakukan perubahan.

"Dek, gak boleh gitu ah. Bapak udah capek-capek keliling nyari warung bandeng yang masih buka cuma buat kamu loh."

Rimbu membuka matanya. "Aku gak minta."

"Kamu mana pernah minta sama orang. Tapi seenggaknya hargain usaha Bapak dikit aja bisa kan?"

Rimbu menoleh pada Ratih yang sedari tadi duduk di pinggiran bath up. "Dua lagu lagi. Kalo gak mau ya bilang aja aku udah tidur."

Ratih menghela napasnya seraya beranjak. "Yaudah iya, Mbak tungguin di depan."

Rimbu pun menyelesaikan ritual berendam berjam-jamnya, dan turun ke lantai satu. Terlihat Simbok sedang menata aneka kue kering di piring, sementara Panji, Ratih, dan si Tamu Tahunan tengah bercakap seru di ruang tamu. Langkah Rimbu terhenti, karena mendengar suara tawa yang tak asing. Rimbu kembali melanjutkan langkahnya, untuk sedikit mengintip.

Dan betapa terkejutnya Rimbu ketika mendapati tamu tahunan sang Bapak Sambung yang tak lain tak bukan adalah Denar. Rimbu mengingat apa yang dikatakan Simbok tentang murid Panji saat masih tinggal di rumah lama. Rimbu mengangguk-anggukkan kepalanya, merasa yakin jika murid yang dimaksud Simbok adalah Denar.

Rimbu lalu berbalik, hendak kembali ke kamarnya karena merasa tidak nyaman dengan keberadaan Denar. Namun saat Rimbu berbalik, sudah berdiri pria lain tepat di hadapannya, pria lain berkemeja seksi yang keberadaannya membuat Rimbu sejuta kali lipat merasa tidak nyaman. Pria lain itu, Aksara, menunduk menatap Rimbu yang spontan mendongak.

"Ikut saya sebentar." Rimbu menarik ujung lengan kemeja Aksara seraya berjalan cepat memasuki kamar mandi.

"Tolong rahasiain soal insiden rampok di kosan saya sama semua orang di rumah ini," imbuh Rimbu.

"Sayangnya gua udah cerita."

Spontan Rimbu berbalik menghadap Aksara. "Kamu gak seharusnya cerita ke sembarang orang."

"Orang yang gua ceritain bukan orang sembarangan."

"Tetep aja kamu gak punya hak buat cerita ke siapa pun," balas Rimbu.

"Punya. Kan gua yang nyelametin lu."

Rimbu kembali berbalik menghadap pintu. "Kita pura-pura gak kenal aja. Tolong bilang ke temen kamu juga."

KLEK!

"Loh kok kamu, Dek? Mas Aksara ke toilet yang di atas kali ya?" tanya Ratih sembari menjelajahkan pandangannya ke lantai dua.

Rimbu menjawab Ratih dengan mimik wajah setenang aktor papan atas, membuat Ratih dengan mudah percaya dan berlalu ke lantai dua. Rimbu lalu melirik ke arah Simbok yang sedari tadi sibuk di dapur. Tampak wajah wanita paruh baya itu pucat pasi seakan habis disapa memedi. Rimbu pun buru-buru keluar dari toilet, meninggalkan Aksara yang bersandar tak kalah tenang di dinding.

"Rimbu."

Spontan Rimbu menghentikan langkahnya, tanpa menoleh. "Sorry gua gak hobi pura-pura, jadi gua gak bisa nurutin mau lu. Tapi soal insiden rampok waktu itu gua gak bakal cerita ke siapa-siapa lagi."

"Rampok? Siapa yang dirampok? Terus Mas Aksara dari tadi di situ? Sama Dek Rimbu?" Ratih melihat bergantian ke arah Aksara dan Rimbu.

•••••

Suasana makan malam itu awalnya terasa sangat canggung, karena Ratih yang biasa mengendalikan suasana tengah tidak fokus sebab banyak pertanyaan yang bergumul di kepalanya. Tetapi kedatangan sahabat kecil Rimbu seketika membuat suasana makan malam larut itu terselamatkan.

Sahabat kecil Rimbu datang mengantar jamu yang baru saja selesai diracik Ibunya untuk mempercepat pemulihan Ibu Rimbu. Sahabat kecil Rimbu, Nala Manika atau yang lebih sering disapa Manik, adalah gadis yang terkenal periang. Manik tahu banyak tentang Rimbu, mulai dari rahasia kecilnya, rahasia besar, hingga masa lalu Rimbu.

Manik bahkan bisa dengan mudah melepas topeng pertahanan Rimbu, dan membuat karakter asli Rimbu terlihat. Entah karena ilmu psikologi yang benar-benar bisa dia serap dengan sempurna, atau memang gadis berambut keriting itu keturunan cenayang sungguhan, Manik bisa membaca apapun yang orang pikirkan.

"Mbak Ratih lagi gak enak badan apa gak enak hati, Mbak?"

Ratih mencubit lengan Manik. "Apa sih, Dek."

"Suka sama mas yang itu apa yang itu?" Manik menunjuk Aksara lalu Denar.

"Kamu ini kebiasaan suka ngasal kalo ngomong."

"Manik keturunan Mbah Miwjan, Mbak, jangan ngeles. Gak mempan." Manik terbahak dengan mulut penuh nasi.

Panji ikut terbahak. "Memang Mbakmu ini keliatan suka sama yang mana?"

Spontan Manik menunjuk Aksara. "Yang itu, tapi dianya gak suka."

Denar berdeham, "Soalnya Aksara udah ada yang disuka."

Ratih ikut berdeham, "Emang ada yang gak suka sama Mas Aksara? Ganteng, baik, mapan. Mbak sukanya cuma sebatas itu. Bukan suka yang pake hati."

Manik menunjuk Rimbu. "Tapi ada. Ini, makhluk satu ini gak suka loh sama Mas Aksara."

"Rimbu kan memang susah suka orang."

Manik mengangguk menanggapi Panji. "Susah dilupain juga Om. Liat aja itu mantan-mantannya pada gak bisa move on* sampe sekarang."

Move on* secara harfiah artinya meninggalkan tempat yang selama ini ditinggali untuk menuju ke tempat yang baru. Istilah ini sering digunakan pada orang yang telah melupakan mantan pasangan dan melanjutkan hidup tanpa terpaku pada kenangan masa lalu lagi.

"Oh iya, kemarin sore mantanmu yang polisi itu main ke rumah jenguk Ibu. Nanyain kabarmu. Minta alamatmu juga yang di Jakarta."

"Jangan dikasih," sahut Rimbu pada Panji.

"Iya gak Bapak kasih. Bapak suruh minta ke kamu sendiri kalo pulang. Tapi kenapa putus, Nduk*? Kayanya anaknya baik. Di--"

Nduk* merupakan panggilan singkat dari gendhuk, yakni panggilan yang memiliki makna seorang gadis muda yang dekat dengan orang tertentu, bisa keluarganya, saudaranya, atau majikannya.

"Ya ampun Om Panji gak tau? Itu polisi cuma seragamnya doang, aslinya mah tukang selingkuh. Masa nih ya, Rimbu yang nemenin dia dari pas belom jadi apa-apa, tapi pas udah jadi apa-apa malah selingkuh sama cewek yang iyuh gak banget," sela Manik pada Panji.

"Bener gitu, Nduk?"

Rimbu diam, masih asik memisahkan kulit ikan bandeng. "Iya. Makanya jangan terima cowok mana pun lagi di rumah ini. Rimbu mantep gak mau pacaran atau nikah. Bisa kan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status